Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Monika Ratnasari
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan: Membandingkan ukuran, perubahan dilatasi, dan laju dilatasi pupil serta perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, mean arterial pressure (MAP), dan frekuensi nadi pada neonatus yang diberikan tetes mata tropikamid 0,5% dan fenilefrin 2,5% dengan maupun tanpa penambahan tetrakain 0,5%. Metode: Uji eksperimental acak tersamar ganda ini membandingkan dua kelompok, yaitu yang mendapat tetes mata tetrakain 0,5% 5 menit sebelum penetesan prosedur standar midriatikum (tropikamid 0,5% + fenilefrin 2,5% - 3x penetesan tiap 15 menit) atau artificial tears + prosedur standar midriatikum. Seratus mata neonatus aterm sehat dirandomisasi ke dalam masing-masing kelompok. Pemeriksaan diameter pupil, tekanan sistolik, diastolik, MAP, dan frekuensi nadi dilakukan pada baseline, menit ke-15, 30, 45, dan 60 pasca penetesan obat. Hasil: Penambahan tetrakain 0,5% setelah 60 menit menghasilkan diameter pupil dan selisih perubahan dilatasi lebih besar, serta laju dilatasi pupil lebih cepat yang secara statistik bermakna (p<0,05). Terjadi peningkatan tekanan sistolik dan MAP serta penurunan frekuensi nadi yang lebih rendah dengan penambahan tetrakain 0,5%, tetapi tidak berefek serupa terhadap peningkatan tekanan diastolik. Perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik. Simpulan: Penambahan tetrakain 0,5% terhadap tropikamid 0,5% dan fenilefrin 2,5% menghasilkan efek dilatasi pupil yang lebih besar dan lebih cepat. Prosedur ini aman dilakukan pada neonatus.
ABSTRACT Objective: To evaluate the efficacy and safety in pre-instilling tetracaine 0.5% over mydriatic agents in dilating the pupil of newborn eyes. Design: Double-blind randomized-controlled experimental study. Methods: The study was performed in 100 eyes of full-term healthy newborns. Each eye was randomized to receive either 0.5% tetracaine (intervention group) or artificial tears (placebo group) five minutes prior to 0.5% tropicamide + 2.5% phenyleprine - 15 minutes apart for 3 times. Pupil diameter, size changes and dilatation rate, as well as systolic, diastolic, mean arterial blood pressure and pulse rate were measured at baseline, 15, 30, 45 and 60 minutes after eye drops instillation. Results: Pupil diameter and size changes were significantly larger, and the rate of pupillary dilatation significantly faster in the intervention group compare to the placebo group after 60 minutes (p<0.05). Increasing systolic and mean arterial pressure, along with decreasing pulse rate in the intervention group were lower than the placebo group. Higher increase of diastolic blood pressure was observed in the intervention group, although the value was not statistically significant. Conclusions: Pre-instillation of 0.5% tetracaine over 0.5% tropicamide and 2.5% phenylephrine effected in larger and faster pupillary dilatation; and it appears safe to administer in newborn eyes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arian Aditya Adi Nugroho
Abstrak :
Latar Belakang: Dry eye (DE) menjadi salah satu masalah kesehatan terbanyak yang dilaporkan di lingkungan kantor. Studi sebelumnya telah melaporkan sebesar 1 dari 3 pekerja perkantoran mengalami DE. Gejala DE dapat memengaruhi kenyamatan mata dan menurunkan kualitas hidup, yang selanjutnya dapat memperburuk produktivitas kerja dan menimbulkan beban ekonomi akibat perawatan medis dan menurunnya performa pekerja. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan gejala DE pada pekerja perkantoran dan pekerja lapangan di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang untuk menilai gejala DE pada pekerja perkantoran dan penebang tebu dengan menggunakan kuesioner Ocular Surface Disease Index (OSDI) versi Bahasa Indonesia. Penelitian ini juga menilai faktor risiko yang berperan pada terjadinya DE. Hasil: Sebanyak 268 subjek penelitian (142 pekerja kantoran dan 126 penebang tebu) diikutsertakan dalam analisis data. Lebih dari setengah (56.3%) pekerja mengalami gejala DE (OSDI >12). Prevalensi DE lebih besar pada pekerja perkantoran (37.7%) dibandingkan penebang tebu (18.7%) (OR 3.74, IK 95% 2.25, 6.23). Faktor yang mempengaruhi terjadinya DE antara lain usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, durasi jam kerja, status merokok, penggunaan lensa kontak, penyakit sistemik dan durasi menggunakan gadget. Hasil analisis multivariat menunjukan usia merupakan faktor yang paling memengaruhi terjadinya DE (p < 0.001). Kesimpulan: Penebang tebu memiliki risiko tiga kali lebih rendah untuk mengalami DE dibandingkan pekerja perkantoran. Hal ini disebabkan adanya pengaruh lingkungan pada pekerja perkantoran yang dapat meningkatkan risiko terjadinya DE. Kata Kunci: Dry Eye; Mata Kering; OSDI; Risiko Pekerjaan; Pekerja Perkantoran; Penebang Tebu. ......Background: Dry eye (DE) is one of the most common health problems in the office environment. Previous study has reported that 1 out of 3 office workers experienced DE. The symptoms of DE may affect eye health and reduce the quality of life, which in turn decrease work productivity and cause an economic burden due to medical treatment and decreased worker performance. This study aimed to compare the severity of DE in office workers and field workers in Indonesia. Methods: This study was a cross-sectional observational study to assess the severity of DE in office workers and sugarcane loggers using the Indonesian version of the Ocular Surface Disease Index (OSDI) questionnaire. This study also assessed the risk factors that play a role in the occurrence of DE. Results: A total of 268 research subjects (142 office workers and 126 sugarcane loggers) were included in the data analysis. More than half (56.3%) of workers experienced DE symptoms (OSDI >12). The prevalence of DE was higher among office workers (37.7%) than sugarcane loggers (18.7%) (OR 3.74, 95% CI 2.25, 6.23). Factors that influence the occurrence of DE included age, gender, type of work, duration of working hours, smoking status, use of contact lenses, systemic diseases and duration of using gadgets. The results of multivariate analysis indicated that age was the most influencing factor for ED (p < 0.001). Conclusion: Sugarcane loggers have three times less risk of presenting DE symptoms than office workers. It is due to environmental influences on office workers which might increase the risk of DE.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alia Nessa Utami
Abstrak :
Latar Belakang: Tata laksana edema makula terus dievaluasi, dengan terapi anti-VEGF sebagai lini pertama. Subthreshold micropulse laser (SML) diajukan sebagai alternatif adjuvan. Studi retrospektif terdahulu menunjukkan efektivitas SML 577-nm sebagai monoterapi pada edema makula dengan ketebalan di bawah 400 μm. Akan tetapi, data prospektif efektivitas SML sebagai adjuvan masih minim. Tujuan: Menilai pengaruh pemberian kombinasi bevacizumab dan laser SML 577-nm dibanding bevacizumab monoterapi terhadap ketebalan makula sentral dan tajam penglihatan pasien edema makula diabetik ringan-sedang. Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental lengan ganda. Dilakukan randomisasi acak terhadap pasien edema makula diabetik dengan rentang ketebalan makula 300-600 μm, kelompok kontrol mendapatkan protokol standar. Kelompok studi mendapatkan adjuvan laser SML kuning satu minggu pascainjeksi. Pasien menjalani follow-up penilaian tajam penglihatan dan ketebalan makula sentral pada 28 dan 35 hari pascainjeksi. Hasil: Terdapat 26 subjek yang terbagi rata pada kelompok studi dan kontrol. Ditemukan signifikansi nilai CMT pada kontrol 28 hari dan 35 hari pascainjeksi baik pada kelompok studi (p=0,011 dan 0,014) maupun kontrol (p=0,006 dan p=0,001). Akan tetapi, tidak ditemukan perbedaan signifikansi selisih nilai CMT antara kedua kelompok pada kontrol 28 hari (p=0,317) dan 35 hari (p=0,84). Tidak ditemukan perbedaan selisih TPDK ETDRS antara kelompok studi dan kontrol pada kelompok 28 hari (p=0,568) dan 35 hari (p=0,128) pascainjeksi. Kesimpulan: Kombinasi SML dengan bevacizumab intravitreal dapat mengurangi ketebalan makula sentral dan memperbaiki tajam penglihatan namun tidak ditemui perbedaan yang signifikan dengan monoterapi standar. ......Background: The management of macular edema is constantly evaluated, with anti-VEGF therapy being the first line. Subthreshold micropulse laser (SML) has been proposed as an alternative adjuvant. A previous retrospective study demonstrated the effectiveness of 577-nm SML as monotherapy in macular edema with CMT below 400 μm. However, prospective data on the effectiveness of SML as an adjuvant are lacking. Objective: To assess the effect of the combination of bevacizumab and 577-nm SML laser compared to bevacizumab monotherapy on central macular thickness and visual acuity in mild-moderate diabetic macular edema patients. Methods: This research is a double arm experimental study. A randomized trial was performed on diabetic macular edema patients with macular thickness range of 300-600 μm. The control group received a standard protocol and the study group received a yellow SML laser adjuvant one week after injection. Patients underwent follow-up assessment of visual acuity and central macular thickness at 28 and 35 days postinjection. Results: There were 26 subjects which were equally divided into study and control groups. Significant decrease in CMT were found in study group (p=0.011 and 0.014) and the control group (p=0.006 and p=0.001). However, there was no significant difference in delta CMT values between the two groups in the 28-day (p=0.317) and 35-day controls (p=0.84). There was no difference in ∆TPDK ETDRS between the study and control groups at 28 days (p=0.568) and 35 days (p=0.128) after injection. Conclusion: The combination of SML and intravitreal bevacizumab can reduce central macular thickness and improve visual acuity but there was no significant difference with standard monotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti
Abstrak :
Latar Belakang: Bertambahnya jumlah penderita miopia di dunia menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengguna Lensa Kontak Lunak (LKL). Di Indonesia, prevalensi miopia sebesar 26.1% pada tahun 2002 dan diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Pemaikaian LKL memiliki efek samping berupa terjadinya inflamasi pada kornea dan konjungtiva, yang ditandai oleh peningkatan kadar Interleukin-6 (IL-6) pada air mata. Tujuan: Mengevaluasi peningkatan kadar IL-6 pada air mata pada pengguna LKL harian tipe hidrogel konvensional dan LKL mingguan tipe silikon hidrogel serta meninjau korelasinya dengan tingkat inflamasi konjungtiva. Metodologi (Method): Penelitian ini merupakan suatu uji eksperimental randomisasi acak terkontrol dengan desain dua kelompok paralel, yaitu satu subjek miopia yang diterapi menggunakan LKL Hydrogel Nefilcon-A harian di satu mata, dan menggunakan LKL Silicone Hydrogel Lotrafilcon-B mingguan di mata lainnya, selama 14 hari. Tindakan foto konjungtiva, dan pengambilan sampel air mata untuk IL-6 dilakukan sesaat sebelum pemakaian LKL dan 14 hari setelah pemakaian LKL. Hasil: Seratus mata dari 50 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Dari seluruh subjek tersebut, 80,8% adalah perempuan dan 18,2% laki-laki dengan usia rata-rata 22,18±1,79 tahun. Median delta IL-6 sebelum dan setelah penggunaan LKL adalah 6,37 (0,05 — 1115,80) pg / mL untuk silikon hidrogel dan 4,46 (0,01 - 685,40) pg / mL untuk hidrogel konvensional. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kadar IL-6 pra dan pasca LKL pada kedua grup (p=0,117). Kesimpulan: Kadar IL-6 pada air mata mengalami peningkatan signifikan setelah 14 hari penggunaan LKL pada kedua kelompok. Tetapi peningkatan kadar IL-6 pada air mata tersebut tidak disertai dengan peningkatan hiperemia konjungtiva. ......Background: The increasing number of myopia patient in the world, causes growth in Soft Contact Lenses (SCL) users. In Indonesia, the prevalence of myopia was 26.1% in 2002 and is expected to increase every year. SCL usage has proven to increase cytokine production, especially Interleukin-6 (IL-6) which accompanied by inflammation of the ocular surface such as conjunctival hyperemia. Objective: Comparing IL-6 tear levels and their correlation with conjunctival inflammation scale between overnight wear silicone hydrogel SCL and daily wear hydrogel SCL. Methods: This study is a randomized controlled trial between two parallel groups. A myopia subject, who has never used SCL before, being treated using daily Hydrogel (Nefilcon-A) SCL in one eye, and overnight Silicone Hydrogel (Lotrafilcon-B) SCL in the other eye, for 14 days. The slit lamp examination, conjunctival photographs, and tear sampling for IL-6 were done before and 14 days after SCL usage. Results: One hundred eyes from 50 patients were included in this study. Of those patients, 80,8% were female and 18,2% male with mean age 22,18±1,79 years old. Median of IL-6 delta (pre-post) SCL usage was 6,37 (0,05 — 1115,80) pg / mL for silicon hydrogel and 4,46 (0,01 - 685,40) pg / mL for conventional hydrogel (p = 0,117). There were no significant difference between the initial and final conjunctival hyperemia scales in both groups (p=1,000). The correlation between IL-6 tear levels and conjunctival hyperemia was not significant (p = 0.234). Conclusion: There were a significant increase of IL-6 tear levels after 14 days of SCL usage in both groups. But the marked escalation of tear IL-6 levels was not accompanied by increasing scales of azconjunctival hyperemia.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Anggarani Idham
Abstrak :
ABSTRAK
Edema makula diabetik (EMD) merupakan salah satu penyebab utama kebutaan pada pasien diabetes. Saat ini terapi utama pada pasien edema makula diabetik adalah injeksi intravitreal anti VEGF. Pada beberapa keadaan, hal ini menjadi kendala karena 50% pasien yang menjalani rangkaian injeksi intravitreal anti VEGF memiliki edema makula yang refrakter. Vitrektomi pars plana dan internal limiting membran (ILM) peeling diharapkan dapat menjadi alternatif terapi pada EMD refrakter. Penelitian ini bertujuan menilai hasil terapi tindakan vitrektomi dan ILM peeling pada pasien non proliferative diabetic retiopathy (NPDR) dengan EMD refrakter. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan intervensi single arm. Subjek dengan NPDR dan EMD refrakter menjalani tindakan vitrektomi dan ILM peeling. Nilai ketebalan makula sentral (CMT) dan tajam penglihatan diukur sebelum, 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan sesudah tindakan. Komplikasi pasca tindakan juga dinilai pada setiap kunjungan yang direncanakan. Rentang usia 62,5 (39-72) tahun, lama menderita diabetes 10 (3-18) tahun, kadar HbA1C 6,4 (5,5 -10,8)%. Nilai CMT sebelum, 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan sesudah tindakan adalah [492,0 (303-895) : 277,5 (97-809) : 264 (147-608) : 264,0 (142-660) µm] (p=<0,001). Tajam penglihatan terbaik adalah [1,02 (0,60-1,30) : 1,04 (0,60-1,70) : 1,06 (0,52-2,00) : 1,04 (0,52-2,00) LogMAR] (p=0,635). Terdapat komplikasi pasca tindakan pada pengamatan bulan kedua meliputi retinal detachment dan macular hole. Pada penelitian ini, tindakan vitrektomi dan ILM peeling pada pasien NPDR dengan EMD refrakter memberikan perubahan CMT yang bermakna. Tidak terdapat perubahan yang bermakna secara statistik pada nilai tajam penglihatan namun mayoritas subjek menunjukkan stabilitas tajam penglihatan.
ABSTRACT
Diabetic macular edema (DME) is one of the leading causes of blindness in diabetic patients. The main therapy of DME, up until now is intravitreal injection of anti-vascular endothelial growth factor (VEGF). In certain situation, medical dilemma appeared as in such circumstances 50% patients that underwent series of intravitreal injection of anti VEGF experienced the refractory DME. Pars plana vitrectomy and internal limiting membrane (ILM) peeling is expected to be an alternative treatment in refractory DME. The aim of this study was to assess the result of vitrectomy and ILM peeling in patients with non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR) with refractory DME. This study was a clinical trial with single arm intervention. The patients with NPDR with DME underwent vitrectomy and ILM peeling surgery. The assessment of the central macular thickness (CMT) and the visual acuity was conducted before the treatment and 1 month, 2 months and 3 months after. The complication after the treatment was assessed in each scheduled visit. The average age was 62.5 years old with range of 39-72 years old, the history duration of diabetes mellitus was 10 years (3-18) years, level of HbA1C was 6.4 (5.5-10.8)%. The CMT before treatment, 1 month, 2 months and 3 months after treatment were [492,0 (303-895) : 277,5 (97-809) : 264 (147-608) : 264,0 (142-660) µm] (p=<0,001). The best corrected visual acuity was [1,02 (0,60-1,30) : 1,04 (0,60-1,70) : 1,06 (0,52-2,00) : 1,04 (0,52-2,00) LogMAR] (p=0,635). The recorded complication after the treatment was retinal detachment and macular hole. These complications were found on the 2nd month. This study concluded that there was a significant CMT changes in patients with NPDR and refractory DME who underwent vitrectomy and ILM peeling. There was no statistically significant changes in the visual acuity yet majority of the subjects showed a stable visual acuity after the treatment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58740
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elyas Aditya Pradana
Abstrak :

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesesuaian antara dacryoscintigraphy dibandingkan dacryocystography sebagai pemeriksaan penunjang pada pasien obstruksi duktus nasolakrimal primer didapat (PANDO). Penelitian ini merupakan suatu studi diagnostik pada pasien tersangka PANDO dengan epiphora yang datang ke poliklinik Plastik dan Rekonstruksi RSCM Kirana. Pasien tersebut selanjutnya dikirim ke Departemen Radiologi untuk pemeriksaan dacryoscintigraphy dan dacryocystography. Selanjutnya dengan observasi dan kuesioner dinilai efek samping dan kenyamanan terhadap kedua pemeriksaan.

 

Penelitian ini merekrut 31 subjek (62 mata). Melalui tes irigasi dan sondase didapatkan 47 mata tersangka PANDO. Sebanyak 87.1% subjek berjenis kelamin perempuan, dengan kelompok umur terbanyak (74.2%) yaitu >40 tahun. Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sakus yaitu 0 menit, duktus (5 menit), dan kavum nasi (12.5 menit). Nilai kesesuaian antara kedua pemeriksaan dalam menentukan ada atau tidaknya obstruksi sebesar 83.8% (strong agreement), sedangkan dalam menentukan letak obstruksi sebesar 70.9% (agreement).

 

Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy tidak ditemukan adanya efek samping, sedangkan pada dacryocystography, terdapat 2 pasien yang menunjukan hiperemis konjungtiva. Terdapat 22 subjek mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryocystography, sedangkan tidak ada subjek yang mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryoscintigraphy (p<0.005). Sebanyak 16 subjek menyatakan dacryoscintigraphy lebih nyaman, 11 subjek menyatakan dacryocystography lebih nyaman, sedangkan 4 subjek menyatakan kedua pemeriksaan sama nyamannya. Dacryoscintigraphy memiliki nilai kesesuaian yang baik dengan dacryocystography dalam menentukan ada atau tidak obstruksi dan menentukan letak obstruksi pada pasien PANDO. Kedua pemeriksaan tersebut mempunyai tingkat kenyamanan yang sama, namun pemeriksaan dacryocystography dirasakan lebih nyeri sewaktu atau durante tindakan dibandingkan dengan dacryoscintigraphy.


This study aims to assess conformity of dacryoscintigraphy compared to dacryocystography as supporting assessment in patient with primary acquired nasolacrimal duct obstruction (PANDO). This diagnostic study performed in PANDO with epiphora complaint whose visiting RSCM Kirana Plastic and Reconstruction Division. Subsequently, subjects were sent to Radiology Department for dacryoscintigraphy and dacryocystography examinations. After the examination, observation and questionnaire assessed the side effects and comfort of both examinations.

This study recruited 31 subjects (62 eyes). Through irrigation and probing, there were 47 eyes found with PANDO. As much as 87.1% subjects were female, with mostly (74.2%) aged >40 years old. With dacryoscintigraph, time needed to reach sac was 0 minutes, duct was 5 minutes, and nasal cavum was 12.5 minutes. Conformity value between the two examinations in detecting obstruction was 83.8%, meanwhile in detecting the location of obstruction was 70.9%.

With dacryoscintigraph, there were no side effects found. Meanwhile with dacryocystograph, there were 2 patients found with conjunctival hyperemia. There were 22 subjects complaining with pain at dacryocystograph examination, while there were none at dacryoscintigraph examination (p<0.005). Sixteen subjects feel dacryoscintigraph examination was more convenient, eleven subjects feel dacryocystohraph examination was more convenient, while 4 subjects feel the two examinations just as convenient.

Dacryoscintigraph has good conformity value with dacryocystograph examination in detecting obstruction and defining the location in PANDO patients. Both examinations have high convenience level, even though dacryocystograph was more painful at the examination than dacryoscintigraph.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulinda Arty Laksmita
Abstrak :
Tujuan: Mengevaluasi efek pemberian sitikolin dalam menekan kerusakan retina tikus dengan intoksikasi metanol. Metode: Lima belas ekor tikus Sprague-Dawley dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok metanol yang diobservasi di hari ke-3 (B1) dan ke-7 (B2), serta kelompok metanol dan sitikolin yang diobservasi di hari ke-3 (C1) dan ke-7 (C2). Tikus pada kelompok perlakuan (B dan C) ditempatkan pada inhalation chamber berisi gas N2 O:O2 selama eksperimen, dilanjutkan dengan pemberian metanol via oral gavage dengan dosis inisial 3,2 gr/kg dan dosis tambahan 1,6 gr/kg. Tikus kelompok C mendapat sitikolin via oral gavage dengan dosis 1 gr/kg setiap 24 jam. Enukleasi dilakukan pada akhir eksperimen. Pada preparat retina dilakukan pemeriksaan histopatologi fotoreseptor dan sel ganglion retina, serta imunohistokimia ekspresi bcl-2 dan caspase-3. Hasil: Densitas sel ganglion tikus terintoksikasi metanol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapat sitikolin di hari ke-3 dan ke-7 (p<0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin tidak setebal lapisan ganglion tikus yang tidak mendapat sitikolin, menandakan edema yang lebih ringan. Tikus dengan sitikolin menunjukkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi, serta caspase-3 yang lebih rendah dibandingkan tikus tanpa sitikolin.< Kesimpulan: Pemberian sitikolin memiliki efek dalam menekan kerusakan lapisan ganglion retina tikus dengan intoksikasi metanol.
Aims: To evaluate effect of citicoline administration in suppressing retinal damage due to methanol intoxication. Methods: Fifteen Sprague-Dawley rats were divided into five groups including normal group (A), groups with methanol only, observed on day-3 (B1) and day-7 (B2), and groups with methanol and citicoline, observed on day-3 (C1) and day-7 (C2). Rats in group B and C were placed in an inhalation chamber filled with N2 O:O 2 during the experiment, then methanol was administered via oral gavage. Citicoline 1 gr/kg every 24 hours was administered via oral gavage for group C. Enucleation was done and rats retina were prepared for histopathology and immunohistochemistry examination to evaluate photoreceptor morphology, retinal ganglion cell (RGC) density, bcl-2 and caspase-3 expression. Result: RGC density of citicoline-treated intoxicated rats was higher than no-citicoline intoxicated rats, either on day-3 (p<0.001) or day-7 (p<0.001). Ganglion layer thickness of citicoline-treated intoxicated rats was thinner than no-citicoline intoxicated rats, which means citicoline-treated rats had milder ganglion layer edema. Citicoline-treated rats showed higher bcl-2 and lower caspase-3 expression than no-citicoline rats. No differences was found in photoreceptor findings among groups. Conclusion: Citicoline administration showed effect in suppressing rat’s retinal ganglion layer damage in methanol intoxication.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
King Hans Kurnia
Abstrak :
Latar belakang. Penelitian ini bertujuan menilai gambaran struktur dan fungsi retina serta menilai hubungan antara durasi terapi kelasi besi dan kadar feritin serum dengan abnormalitas struktur retina pada penyandang thalasemia-β mayor yang memperoleh terapi kelasi besi di RSCM. Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada penyandang thalasemia-β mayor berusia di atas 10 tahun yang memperoleh terapi kelasi besi dan menjalani kontrol di Pusat Thalasemia RSCM. Subjek dilakukan pemeriksaan oftalmologis, foto fundus, dan fundus autofluorescence. Selanjutnya dilakukan pengambilan subsampel dari subjek awal berdasarkan hasil fundus autofluorescence dan dilakukan pemeriksaan elektroretinografi multifokal dan elektrookulografi. Hasil. Abnormalitas struktur retina didapatkan pada 46,2% subjek sedangkan abnormalitas pemeriksaan fundus autofluorescence didapatkan pada 41,9% subjek. Sebagian besar subjek memiliki tajam penglihatan dan sensitivitas kontras yang normal. Nilai tengah seluruh parameter elektroretinografi multifokal dan rasio amplitudo light peak terhadap dark trough elektrookulografi kedua kelompok subjek berada dalam rentang normal. Didapatkan penurunan sensitivitas kontras yang signifikan pada subjek dengan abnormalitas struktur retina dan makula, namun tidak untuk tajam penglihatan. Kadar feritin serum yang lebih tinggi berhubungan dengan abnormalitas struktur retina. Kesimpulan. Rerata kadar feritin serum dalam periode satu tahun dengan titik potong ≥6.000 ng/ml dapat digunakan sebagai panduan untuk memulai pemeriksaan struktur dan fungsi retina. ......Introduction. This study aims to evaluate retinal structure and function and association between iron chelation treatment duration and serum ferritin level with retinal structure abnormality in β-thalassemia major patients treated with iron-chelating agent in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods. This cross-sectional study was performed on β-thalassemia major patients aged more than 10 years old in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo Hospital, who received iron-chelating agent for at least one year. Patients underwent ophthalmologic examination, fundus photography, and fundus autofluorescence imaging. Afterwards subsample was chosen based on fundus autofluorescence imaging result, and underwent multifocal electroretinography and electrooculography examination. Results. Retinal structure abnormality was found in 46.2% patients and fundus autofluorescence abnormality in 41.9% patients. The majority of patients had normal visual acuity and contrast sensitivity. Each multifocal electroretinography parameters and light peak to dark trough amplitude ratio in electrooculography had normal median values. Significant contrast sensitivity reduction was found on patients with retinal and macular structure abnormality, but not for visual acuity. Significant association between higher ferritin serum level and retinal structure abnormality was found. Conclusion. Mean ferritin serum level within one year with cutoff point of ≥6.000 ng/ml can be used as a guide to start retinal structure and function evaluation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Muslim
Abstrak :
Latar belakang : Simblefaron merupakan suatu proses penempelan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi yang terjadi akibat inflamasi kronis. Transplantasi membran amnion merupakan tata laksana yang umum dilakukan pada kasus simblefaron. Terdapat 2 jenis membran amnion yaitu cryopreserved dan frezeedried yang berbeda proses pengawetanya. Hingga saat ini belum ada penelitian yang membandingkan secara langsung efektivitas kedua amnion tersebut dalam proses epitelisasi konjungtiva. Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas membrane amnion cryopreserved dan frezee-dried dalam epitelisasi konungtiva, dalam menurunkan inflamasi dan meningkatkan densitas sel goblet. Metode: Sebanyak 14 mata (10 subyek) simblefaron dilakukan randomisasi kemudia dibagi kedalam 2 kelompok. 7 mata menjalani release simblefaron dan transplantasi membrane amnion cryopreserved, 7 mata lainnya dengan amnion freeze-dried. Pasca bedah pada minggu 1,2,3 dan 4 dilakukan foto segmen anterior untuk menilai waktu epitelisasi dan derajat inflamasi. Dan pada minggu ke-4 pasien menjalani pemeriksaan sitologi impresi dan Ferning untuk dibandingkan dengan hasil yang telah dilakukan pre operasi. Hasil: kelompok mata dengan amnion cryopreserved menunjukan rerata waktu epitelisasi 2,14 ± 1,07 minggu sedangkan amnion freeze-dried 3,29 ± 1,25 minggu. Derajat inflamasi berat lebih banyak ditemukan pada kelompok freeze-dried. Densitas sel goblet dan derajat Ferning lebih tinggi ditemukan pada kelompok cryopreserved. Kesimpulan: Secara klinis membran amnion cryopreserved memiliki kecenderungan hasil yang lebih baik dibandingkan amnion freeze-dried dalam proses epitelisasi, menurunkan inflamasi dan meningkatkan densitas sel goblet. ......Background : symblepharon is a attachment of conjunctival bulbi to conjunctival tarsal due to chronic inflammation. Amnion membrane (AM) transplantation is a surgical treatment for symblepharon. There are two types of amniotic membranes namely cryopreserved and freeze-dried which have different preservative processes. Objective : Our aims was to compare AM cryopreserved and freeze-dried in complete conjunctival epithelization, reduce the inflammation and restored goblet cells. Methods : In 14 eyes of symblepharon, symblepharon release with AM transplantation were performed. 7 eyes with AM cryopreserved, 7 eyes with MA freeze-dried. Post-operative evaluation was done weekly in all subjects until 4 weeks after surgery include photographic documentation to evaluate conjunctival epithelization and grading inflammation. On the last week subjects underwent cytology impression and Ferning test (mucin production) to be compared with results that have been done pre-operatively. Results : Eyes with AM cryopreserved showed epithelization in 2,14 ± 1,07 weeks, while AM freeze-dried was 3,29 ± 1,25 weeks. Severe inflammation (4/7) was found in eyes with freeze-dried, goblet cells and mucin production were higher in eyes with AM cryopreserved. Conclusion : Clinically AM cryopreserved showed better result in completing conjunctival epithelization, reduce inflammation and restored goblet cells compared with AM freeze-dried.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Maria Magdalena
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan terjemahan, adaptasi, uji validasi dan reliabilitas terhadap kuesioner AS-20 menjadi kuesioner AS-20 versi Indonesia. Selanjutnya mengevaluasi skor kualitas hidup pasien strabismus dewasa pre dan post operasi dengan kuesioner AS-20 versi Indonesia tersebut dan menilai faktorfaktor apa saja yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien strabismus. Penelitian ini merupakan pilot study prospektif dengan metode pre-post study yang menggunakan kuesioner. Sebanyak 30 subjek dengan usia ≥ 17 tahun yang didiagnosis strabismus manifes secara klinis dengan indikasi operasi yang ikut dalam penelitian ini. Subjek penelitian akan mengisi kuesioner sebelum operasi dan mengisi kembali kuesioner yang sama pada 2 bulan pasca operasi koreksi strabismus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kuesioner AS-20 versi Indonesia merupakan kuesioner yang valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai kualitas hidup pasien strabismus dewasa di Indonesia (Cronbach Alpha > 0.7). Pada studi ini, pasien strabismus dewasa menunjukkan kualitas hidup yang lebih rendah baik secara fungsi maupun psikososial dan operasi koreksi strabismus dapat meningkatkan skor kualitas hidup pada follow up 2 bulan pasca operasi. Diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi skor kualitas hidup dalam studi ini antara lain: jenis kelamin, deviasi dan diplopia.
The aims of this study were to translate, adapt, validation and reliability test of the AS-20 Questionnaire into Indonesian version of AS-20 Questionnaire. This study also evaluated the quality of life scores of strabismus adult patient pre and postoperatively with the Indonesian version of the AS-20 Questionnaire and assessed any factors that affect the quality of life of strabismus patient. This study was a prospective pilot study with a pre-post study method using a questionnaire. A total of 30 subjects, aged ≥ 17 years, who diagnosed clinically with manifest strabismus and required of strabismus correction surgery were included in this study. Subjects filled out the questionnaire before surgery and refilled the same questionnaire at 2 months after strabismus correction surgery. The result of this study found that Indonesian version of AS-20 Questionnaire is a valid and reliable questionnaire as an instrument to assessed the quality of life of adult strabismus in Indonesia (Cronbach Alpha > 0.7). In this study, adult strabismus patient showed a lower quality of life both functionally and psychosocially and strabismus correction surgery could improve quality of life scores at 2 months postoperative follow-up. Factors affecting the quality of life in this study include: gender, deviation and diplopia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>