Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dw Pt Gde Purwa Samatra
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jofizal Jannis
"BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun terakhir ini dengan meningkatnya arus lalulintas di tanah air kita, khususnya Jakarta, maka terjadi pula peningkatan jumlah penderita cedera kepala yang seringkali berakibat cacad (skwele) berupa hemiparesis, afasia, epilepsi, dan kerusakan saraf kranial dengan keluhan seperti diplopia, anosmia dan kaburnya penglihatan, atau bahkan kematian. Dari tahun 1983 dan 1984 misalnya, dimana jumlah penderita cedera kepala yang dirawat di RSCM adalah 3315 orang dan 2959 orang, tanpa tendensi kenaikan, tetapi dicatat kenaikan cedera kepala berat terjadi sebesar 5% (12). Data tersebut tidak mengungkapkan angka kecacatan yang menjadi keluhan sejak selesai perawatan.
Selain itu kecacatan akibat cedera kepala juga merupakan aspek tertentu yang penting dilihat dari sudut kehidupan sosial penderita. Penderita kecacatan akan mendapat kesulitan dalam melakukan pekerjaanya dengan baik bahkan mungkin tidak bisa bekerja sama sekali.
Suatu pengamatan tentang akibat cedera kepala di Inggris (7) memberi gambaran yang sangat memprihatinkan. Menurut catatan sekitar 50% dari penderita pasca cedera kepala terpaksa menganggur disebabkan ketidakmampuan berfungsi dengan baik dalam melaksanakan tugasnya.
Kerusakan-kerusakan yang timbul akibat cedera kepala pada umumnya akan mengenai kulit kepala berupa luka atau penumpukan darah di subgaleal, fraktur linier/impresi pada tulang tengkorak disertai cedera otak, disertai penurunan tingkat kesadaran dan adanya perdarahan dalam rongga kepala (4,27,43).
Sampai saat ini memang belum banyak ditemukan penelitian yang agak spesifik untuk menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi disfungsi dan kelumpuhan saraf kranial. Tetapi banyak hasil studi telah memberikan petunjuk kuat bagaimana kelumpuhan saraf kranial secara korelatif terkait dengan faktor-faktor tertentu.
Berikut ini, beberapa hasil studi yang telah dilakukan Para ahli menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan saraf kranial akan diuraikan secara ringkas.
Terjadinya cedera kepala dapat menyebabkan komplikasi kelumpuhan saraf kranial yang kemungkinan disebabkan oleh fraktur, hematom yang menekan, tarikan segera setelah otak tergeser akibat akselerasi dan tekanan serebral traunatik yang menekan batang otak. (24,41,47).
Soernargo (44) pada tahun 1983 mencatat kecacatan saraf kranial berupa kelumpuhan n.fasialis tipe perifer pada 9 orang periderita dan optalmoparesis pada 5 orang penderita. Tidak dilaporkan adanya kelumpuhan saraf kranial yang lain.
Jennet (22) mengamati 150 pasien dan melaporkan terjadinya kerusakan saraf kranial pada 37% penderita, dimana 50% diantaranya hemianopia. Sedangkan kelumpuhan n.fasialis pada fraktur ospetrosum transversus antara 30-50% dan 10-25% terjadi pada fraktur longitudinal.
Menurut kepustakaan lain (30,48) disebutkan bahwa kelumpuhan saraf kranial sering terjadi pada penderita cedera kepala. Yang paling sering terkena adalah n.olfaktorius, n.optikus, n.akustikus, n.okulomotorius dan n.fasialis.
Bannister dan Rovit (3,42) mencatat bahwa saraf kranial yang paling sering dikenai adalah: n.fasialis, n.optikus, n.abdusen, n.okulomotorius dan n.trokhlearis. Dari basil penelitiannya, kehilangan penciuman terjadi pada 5-77. dari semua pasien penderita yang dirawat.
Kelumpuhan saraf kranial lain yang pernah dilaporkan 7,41,42) adalah kelair. pr1 n.optikus don kh_asma 0.3 5.2% dan Optalmoparesis; 2.6% n.okulomotorius, 2.7% n.abdusen dan 1.3% kombinasi n.okulomotorius dan n.abdusen.
Hughes (4) pada penelitian dengan 1000 sampel pasien mengamati 34 orang dengan kelumpuhan n.okulomotorius, 55 orang mengalami kelumpuhan n.abdusen dan 23 orang dengan kelumpuhan n.trokhlearis. Lebih jauh Hughes?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Rakhmawati Emril
"Latar belakang: Sebuah skala prediktor yang dapat secara konsisten memprediksi keluaran pasien perdarahan intraserebral spontan (PIS) sangat diperlukan dalam penatalaksanaan pasien. Semakin cepat prognosis diketahui akan semakin baik karena sangat erat kaitannya dengan efektifitas terapi.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berperan sebagai prediktor independen terhadap keluaran pasien perdarahan intraserebral spontan di supratentorial, dan membuat sebuah skala prediktor PIS yang sesuai dengan pola penderita PIS di RSCM
Disain dan Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi kasus kontrol yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan skala prediktor berdasarkan variabel yang terbukti sebagai prediktor independen keluaran penderita PIS.
Hasil: Faktor yang berperan sebagaai prediktor independent terhadap keluaran 30 hari pasien PIS adalah Skala koma Glassgow (p< 0.001), perluasan perdarahan ke intraventrikel (p= 0.001), dan volume lesi (p=-0.010). Skala prediktor PIS adala total nilai masing-rasing komponen yang terdiri Bari: SKG 34 (=2), 9-12 (=1), 13-15 (=0); IVH ya (=1), tidak (=0); volume Iasi ? 30 cc (=1), < 30 cc ff.)). Subyek dengan total skor 0, 1, 2, 3, 4, berturut-turut memiliki probabilitas meninggal 1.3%, 9.2-13.16%, 52.7-63.5%, 92:5-95.1%, dan 99.3%. Probabilitas keluaran meninggal meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor.
Kesimpulan: Faktor yang berperan sebagai prediktar keluaran 30 hari pasien PIS spontan supratentorial adalah Skala koma Glassgow, perluasan perdarahan ke intraventrikel, dan volume hematom. Berdasarkan prediktor independent tersebut dapat dibuat skala prediktor untuk memprediksi keluaran pasien. Probabilitas meninggal meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor.

Background. The predictor scale that predict consistently the outcome of patients with ICH is very important. Prognosis has strong relationship with effectiveness of treatment
Objective. To found the factors that act as the predictors of 30-day outcome for spontaneous intracerebral hemorrhage and to define a predictor scale or modified ICH scoring .
Methods. These was a case control study that continued by defined a predictor scale for ICH which use a criteria that was predictive of outcome.
Result. Factors independently associated with 30-day mortality were Glasgow Coma Scale score (p< 0.001), presence of intraveniricular hemorrhage (p0 001), and ICH volume (p=O.0I). The predictor scale of ICH was the sum of individual points assigned as follows: GCS score 3 to 8 (= 2 points), 9 to 12 (= 1 point), 13 to 15 point (41); Intraventricular hemorrhage yes (-I), no (41); ICH volume 30 cc (=1), < 30 cc (4). Thirty-day mortality rates for subjects with predictor scale of ICH of 0,1,2,3,and 4 were 1.3%, 9.2-13.6%, 52.7-63.5%, 92.5 - 95.1%, and 99.3% respectively. Thirty-day mortality increased steadily with predictor scale of ICI
Conclusions. Factors independently associated with 30-day mortality is Glasgow Coma Scale score, presence of intraventricular hemorrhage, and ICH volume. The ICH predictor scale can predict the risk stratification on patients with ICH. The use of a scale such ICH predictor scale could improve standardization of clinical treatment protocols.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Hendrik
"Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab kecacatan fisik jangka panjang dan mental pada usia produktif sehingga akan berdampak pada keadaan psikologis dan sosioekonomi keluarga. Penderita stroke membutuhkan perawatan yang intensif serta memerlukan dukungan dari keluarga. Pemikiran utama setelah stroke bagi penderita dan keluarganya adalah prospek penyembuhan. Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat beberapa faktor yang memmpengaruhi keluaran pasca stroke seperti beratnya kelainan, tekanan darah, kadar gula darah, perawatan fase akut.
Tujuan: Mengetahui perbedaan derajat keterbatasan pada penderita pasca stroke terhadap tekanan darah sistolik fase akut, kadar gula darah fase akut, dan subtipe stroke.
Disain dan Metode: Studi potting lintang dengan perbandingan internal antara tekanan darah sistolik fase akut, kadar gula darah fase akut. dan subtipe stroke terhadap beratnya derajat keterbatasan setelah 6 bulan awitan stroke. Keluaran fungsional dinilai dengan menggunakan skala Rankin yang dimodifikasi (mRS).
Hasil: Dari 93 penderita didapatkan 80 (86%) penderita menunjukkan keluaran fungsional yang baik (skor mRS 0-2), terdiri dari 90.9% laki-laki dan 78,9% perempuan. Sebagian besar penderita (67,5%) yang mempunyai keluaran fungsional yang baik mengalami subtipe stroke sindroma lakunar (LACS), 48,75% penderita memiliki tekanan darah sistolik > 160 mmHg peda fase akut, dan 77,5% menunjukkan kadar gula darah fase akut 8-150 mgldL. Faktor yang berpengaruh terhadap keluaran fungsional setelah 6 bulan awitan stroke adalah subtipe stroke (p<0,05).
Kesimpulan: Subtipe stroke merupakan faktor yang berhubungan dengan keluaran fungsional stroke setelah 6 bulan.

Background: Stroke causes long term physical and mental disability in productive age and impacts on family's psychology and social economy. Stroke patients need intensive care and support from their family. The main question from the patients and their family is prospect to recovery. Previous study showed that there were many factors affecting outcome in stroke patients such as severity or disability, acute blood pressure, acute blood glucose level, and treatment in acute phase.
Purpose: To perceive the difference between degree of disability and acute systolic blood pressure, acute blood glucose level, stroke subtype.
Design and method: Cross sectional study with internal comparison in acute systolic blood pressure, acute blood glucose level, stroke subtype aspects between group with good and poor functional outcome. Functional outcome was assessed using modified Rankin Scale (mRS).
Result: From 93 patients, we have 80 (86%) patients with good functional outcome (mRS score 0-2). consist of 90.9% male and 78.9% female. Most of patients (67.5%) with good outcome had lacunar syndrome (LACS). 48.75% with systolic blood pressure > 160 mmHg, and 77.5% showed blood glucose level 8-1 50 mg/dI,. Factor that independently influenced functional outcome 6 months after stroke is stroke subtype (p<0.05).
Conclusion: Stroke subtype is significant factors to functional outcome 6 months after stroke."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Imam Santoso
"Latar Belakang: Cedera kranioserebral merupakan penyebab kematian paling sering pada orang dewasa muda. Dari penelitian perkiraan keluaran pasien cedera kranioserebral sudah dapat diprediksi dalam 3 hari perawatan (3 x 24 jam). Skor Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) yang terdiri dari perubahan suhu tubuh, nadi, pernafasan dan peningkatan jumlah lekosit darah dapat memprediksi kejadian infeksi, kematian pada trauma. Pada penelitian sebelumnya bila digabung dengan SKG dapat memprediksi kematian cukup akurat sebanding dengan skala prediktor lain yang ada sebelumnya. Tujuan: Merumuskan model prediksi gabungan SKG dengan skor SIRS untuk mengetahui risiko kematian 3 hari pertama pada pasien dewasa cedera kranioserebral derajat sedang dan berat. Desain dan Metode: Studi dengan disain prospektif potong lintang yang dilanjutkan dengan nested case control tanpa pembanding antara pasien cedera kranioserebral derajat sedang dan berat yang mengalami kematian dalam 3 hari pertama sebagai kelompok studi dengan kelompok kontrol yang diambil secara acak dari pasien-pasien yang tidak mengalami kematian dini. Hasil: Dari 113 subyek penelitian didapatkan 18 (15.9%) penderita mengalami CKB dan 95 (84.1%) penderita mengalami CKS. Terdapat 27 (23.9%) penderita yang meninggal dalam 3 hari pertama. Skor SIRS 22 terjadi pada 83 (73.4%) penderita. Faktor yang berpengaruh terhadap kematian adalah SKG, skor SIRS ≥2 dan frekuensi nafas > 20 kali/menit (p 0.000). Hasil analisis multi variat enter menunjukan bahwa faktor risiko independen kematian 3 hari pertama adalah SKG<9 (p-0.000) dan skor SIRS 2 (p-0.001), dengan probabilitas kematian 99.9% Kesimpulan: Gabungan Skor SIRS ≥2 dan SKG <9 dapat memprediksi kematian dalam 3 hari pertama. Takipneu sebagai komponen SIRS berperan sebagai faktor risiko terjadinya kematian pasien dewasa cedera kranioserebral sedang dan berat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ole Mulyadi
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Girianto Tjandrawidjaja
"Merokok merupakan faktar resiko Gangguan Pembuluh Darah Otak [GPDO] dan telah diketahui bahwa ada karelasi yang kuat antara merakak dengan Infark Iskemik. Akan tetapi, karelasi antara merakak dengan Perdarahan Intraserebral masih belum jelas. Tujuan: mempelajari hubungan antara pala kebiasaan merakak dan Perdarahan Intraserebral. Hetade: Telah dilakukan penelitian kasus kelala pada penderita GPDO pria dan wanita di bangsal perawatan saraf RS Umum Cipta Hangunkusuma selama tahun 1991. Setelah jenis GPDO ditega~kan dengan CT Scan, wawancara pala kebiasaan merakak dilakukan pada penderita-penderita itu sendiri atau pada salah satu keluarga yang terdekat. Data yang ada dianalisa dengan menggunakan Rasia Odd, Mantel Haenzsel dan tes x2. Hasil: Terdapat 60 penderita Perdarahan Intraserebral sebagai kasus dan 142 penderita Infark Iskemik sebagai kantral dalam penelitian. 92,4% dari 119 respanden yang mempunyai riwayat kebiasaan merakak, mengisap rakak lebih dari 11 tahun dan 797. dari respanden tersebut mengisap rakak kretek. Rasia Odd perakak berat dan perakak keseluruhan yang mengalami Perdarahan Intraserebral adalah 0,33 · [95% Interval Kepercayaan 0,15-0,77; P<0,05] dan 0,40 [957. Interval Kepercayaan 0,20-0,77; P<0,05], sedangkan untuk bekas perakak 0,59 [95% Interval Kepercayaan 0,25-1,43;P>0,05] dan perakak ringan 0,59 [95% Interval Kepercayaan 0,22-1,56;P>0,05]. Hasil-hasil tersebut praktis sama apabila kasus-kasus hipertensi dikeluarkan. Kesimpulan: Pada penderita GPDO, yang mempunyai derajat kebiasaan merokok berat, kemungkinan mengalami Infark Iskemik lebih besar daripada Perdarahan Intraserebral.

Smoking is a risk factor for Cerebral Vascular Disorders [GPDO] and it is known that there is a strong correlation between smoking and Ischemic Infarction. However, the correlation between peacock and intracerebral hemorrhage is still unclear. Objective: to study the relationship between peacock nutmeg and intracerebral hemorrhage. Hetade: Research has been carried out on cases of cockroaches in male and female GPDO sufferers in the neurological care ward of Cipta Hangunkusuma General Hospital during 1991. After the type of GPDO was confirmed by CT Scan, interviews were conducted on the sufferers themselves or one of their closest relatives. The existing data was analyzed using Rasia Odd, Mantel Haenzsel and x2 tests. Results: There were 60 sufferers of Intracerebral Hemorrhage as cases and 142 sufferers of Ischemic Infarction as cantrals in the study. 92.4% of the 119 respondents who had a history of the habit of smoking rakak for more than 11 years and 797 of these respondents smoked kretek rakak. The odds ratio for severe and overall silver who experienced intracerebral hemorrhage was 0.33 · [95% Confidence Interval 0.15-0.77; P<0.05] and 0.40 [957. Confidence Interval 0.20-0.77; P<0.05], while for former silver it was 0.59 [95% Confidence Interval 0.25-1.43; P> 0.05] and light silver 0.59 [95% Confidence Interval 0.22-1.56; P> 0.05]. The results were practically the same if hypertension cases were excluded. Conclusion: In GPDO sufferers, who have a heavy smoking habit, the possibility of experiencing ischemic infarction is greater than intracerebral hemorrhage.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Roezwir Azhary
"untuk mengetahui berapa banyak penderita epilepsi parsial kompleks yang menampilkan aktivitas epileptik pada rekaman EEG jika ditidurkan dengan kloralhidrat
Kebanyakan dari rekaman EEG diwaktu bangun normal pada penderita yang didiagnosis dengan epilepsi Subdivisi EEG bagian Neurologi FKUI/RSUPNCM mendapatkan kelainan spileptik 23% dari 483 rekaman BEG selama tahun 1996 dari seluruh pasien yang dikirim dengan diagnosis epilepsi Untuk meningkatkan nilai diagnostik EEG telah mengembangkan berbagai macam tehnik Pada penelitian ini kami mencoba melakukan induksi tidur sebagai suatu prosedur prosedur der gan kloralhidrat 50 mg/kg berat badan pasien. studi pra dapat melakukan tes, semua pasien yang secara klinis didiagnosis sebagai epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi serangan umura Upa 13-60 tahun, masih mendapat serangan dalam 1 tahun terakhir, tidak menderita penyakit darah tinggi dan jantung. Sebelum direkam, semus parlen harus makan pagi dan melanjutkan makan obat anti epilepsi sesuai dosis yang telah ditetapkan sebelumnya. Kami memakai alat EEG merek Neurofax 12 saluran dengan EOG dan ECG, filter 70 Hz dan elektroda sistim 10-20 ditambah sepasang elektrode zygomatikus. Semua subyek direkam selama 14 menit waktu bangun, kemudian diberikan 50 mg/kg berat badan klorelhidrat, setelah menunggu 15-30 menit rekaman dilanjutkan selama periode waktu yang sama. Studi dilakukan mulai dari bulan Mei sampai Oktober 1996. Dari 36 pasien yang memenuhi kriteria, 2 dikeluarkan karena tidak bisa tidur dalam waktu yang telah ditentukan. Ada 13 penderita laki-laki (38,2%) dan 21 penderita wanita (61,8%) dari 34 penderita. Usia rata-rata 27,2 ± 1,37. Aktivitas epileptik terlihat pada 11 dari 34 (32,4%) penderita pada rekaman EEG banggun dan 20 dari 34 (58,8%) pada rekaman tidur dimana perbedaan tersebut cukup bermakna secara statistik P<0,05. Empat dari 20 penderita (20%) aktivitas epileptik terlihat pada lobus frontal dan 16 dari 20 penderita (80%), terlihat pada lobus temporal. Kebanyakan aktivitas epileptik (80%) terlihat pada stadium II tidur non REM dan 55% pada stadium III tidur non REM. Pada stadium 1 aktivitas epileptik 25%, namun ada beberapa rekaman dimana stadium I tidur non REM tak terlihat. Stadium IV tidur non REM tidak tercapai dalam penelitian ini. Aktivitas cepat bervoltage rendah terlihat tidak terlalu menyolok pada setiap rekaman. Kloralhidrat dapat digunakan sebagai obat penginduksi tidur dengan hasil yang cukup baik, dimana aktivitas cepat voltage rendah terlihat tidak begitu menyolok. Penderita dengan aktivitas epileptik terlihat lebih banyak pada rekaman tidur dibandingkan dengan rekaman diwaktu bangun dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik.

to find out how many people with complex partial epilepsy display epileptic activity on EEG recordings if put to sleep with chloralhydrate
Most of the EEG recordings when awake were normal in patients diagnosed with epilepsy. The EEG Subdivision of the Neurology Department, FKUI/RSUPNCM, found spileptic abnormalities, 23% of the 483 BEG recordings during 1996 from all patients sent with a diagnosis of epilepsy. To increase the diagnostic value of EEG, we have developed various techniques. In this study, we tried to induce sleep as a procedure using 50 mg chloralhydrate/kg of the patient's body weight. Preliminary studies were able to carry out tests, all patients who were clinically diagnosed as complex partial epilepsy that developed into attacks aged up to 13-60 years, still had attacks in the last 1 year, did not suffer from high blood pressure or heart disease. Before being recorded, Semus Parlen must eat breakfast and continue taking anti-epileptic drugs according to the previously determined dose. We use a 12 channel Neurofax brand EEG device with EOG and ECG, 70 Hz filter and 10-20 electrode system plus a pair of zygomatic electrodes. All subjects were recorded for 14 minutes while awake, then given 50 mg/kg body weight of chlorelhydrate, after waiting 15-30 minutes the recording was continued for the same time period. The study was conducted from May to October 1996. Of the 36 patients who met the criteria, 2 were excluded because they were unable to sleep within the specified time. There were 13 male sufferers (38.2%) and 21 female sufferers (61.8%) out of 34 sufferers. Mean age 27.2 ± 1.37. Epileptic activity was seen in 11 of 34 (32.4%) patients on waking EEG recordings and 20 of 34 (58.8%) on sleeping recordings where the difference was statistically significant at P<0.05. In four of 20 patients (20%), epileptic activity was seen in the frontal lobe and in 16 of 20 patients (80%), it was seen in the temporal lobe. Most epileptic activity (80%) was seen in stage II non-REM sleep and 55% in stage III non-REM sleep. In stage 1, epileptic activity is 25%, but there are several recordings where stage I non-REM sleep is not visible. Stage IV non-REM sleep was not achieved in this study. Fast, low-voltage activity appears less prominent in each recording. Chloralhydrate can be used as a sleep-inducing drug with quite good results, where low voltage fast activity does not appear to be so striking. Patients with epileptic activity were seen more frequently in sleep recordings compared to waking recordings and this difference was statistically significant.
"
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adre Mayza
"Merokok merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, menurut World Health Organization (WHO 1988), kebiasaan merokok cenderung meningkat akhir-akhiir ini yaitu 50% pada laki-laki dan 8% pada wanita. Rokok adalah faktor risiko dari strok yang dapat dicegah (klasifikasi serebro vascular diasease III 1990), akan tetapi mekanisme rokok sebagai penyebab strok masih kontroversi. Barigarımenteria (1993) pada penelitianya menganggap rokok sebagai faktor risiko strok yang dapat menurunkan kadar protein S. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh rokok terhadap penurunan kadar protein S pada strok iskemik fase akut. Penelitian dilakukan di Bagian Penyakit Saraf RSUPN-CM sejak bulan Mei 1996 sampai dengan Februari 1997 dengan disain kanıs kontrol pada 45 penderita strok iskemik akut perokok dan 45 penderita strok iskemik akut non perokok yang memenuhi kriteria inklusi. Semua penderita Paki-laki dengan rentang usia seluruh penderita 40 74 tahun. Pemeriksaan protein S dilakukan pada fase akut selambat-lambatnya hari keenam setelah serangan, menggunakan metode koagulometrik. Nilai standard protein 3 untuk orang Indonesia 76% 121,2%. Penilaian hasil aktifitas kadar protein S menurun bila nilai kurang dari 76%. Rerata usia pada kasus 57,2 ± 7,5, tahun dan rerata usia kontrol 56,9 ± 7,9 tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara usia kasus dan kontrol (p=0,421). Rerata lama merokok 15,6 ± 8 talaan, 71% (32 orang) merokok lebih dari 10 tahun dan 28,8% (13 orang), merokok kurang dari 10 tahun, didapatkan perbedaan yang bermakna penurunan aktifitas protein S antara kasus dan kontrol (X 11,37, p- 0,0018; Ratio Odds 11,2). Rerata jumlah rokok yang dikonnanai perhari 15 ± 8 batang perhari, 35,5% (16 orang) merokok lebih dari 20 batang perhari, 64,4% (29 orang) merokok kurang dari 20 batang perhari (X²-4,45; p 0,0349, Ratio Odds-7,89). Semua penderita perokok kretek, 26,78% (12 orang) perokok kretek filter dan 73,3% (33 orang) perokok kretek non filter. Tidak didapatkan perbedaan bermakna perokok kretek filter dan non kretek filter (X=0,72; p = 0,403). Didapatkan penurunan aktifitas kadar protein S yang bermakna pada kasus dibanding dengan kontrol (Ratio Odds 14,3). Rata-rata aktifitas kadar protein S pada kasus 50,6% dan rata-rata pada kontrol 85,5%, terlihat perbedaan yang bermakna dengan uji t-test 7,5; p 0,0001. Tujub puluh lima persentil aktifitas kadar protein S menurun dibawah nilai standard normal pada kasus dan hanya lima belas persentil pada kontrol. Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap penurunan aktifitas kadar protein S (t-test-4,25; p- 0,0001; 95% CI 15,5-45,7) dan (t-test = 2,65; p=0,011; 95% CT 4,1-30,2.

Smoking is a public health problem in the world, according to the World Health Organization (WHO 1988), smoking habits tend to increase recently, namely 50% in men and 8% in women. Cigarettes are a risk factor for preventable stroke (cerebro vascular disease classification III 1990), however the mechanism of smoking as a cause of stroke is still controversial. Barigarımenteria (1993) in his research considered smoking as a risk factor for stroke which can reduce protein S levels. This study aims to see the effect of smoking on reducing protein S levels in the acute phase of ischemic stroke. The research was conducted in the Neurological Diseases Department of RSUPN-CM from May 1996 to February 1997 with a control design on 45 acute ischemic stroke sufferers who were smokers and 45 sufferers of acute ischemic stroke who were non-smokers who met the inclusion criteria. All Paki sufferers were male with an age range of 40 to 74 years. Protein S examination is carried out in the acute phase no later than the sixth day after the attack, using the coagulometric method. The standard value of protein 3 for Indonesians is 76% 121.2%. Assessment of activity results means S protein levels decrease if the value is less than 76%. The mean age of cases was 57.2 ± 7.5 years and the mean age of controls was 56.9 ± 7.9. There was no significant difference between the ages of cases and controls (p=0.421). The average number of cigarettes consumed per day was 15 ± 8 cigarettes per day, 35.5% (16 people) smoked more than 20 cigarettes per day, 64.4% (29 people) smoked less than 20 cigarettes per day (X²-4.45; p 0.0349, Odds Ratio-7.89). All sufferers were kretek smokers, 26.78% (12 people) were filter kretek smokers and 73.3% (33 people) were non-filter kretek smokers. There was no significant difference between filtered kretek and non-filtered kretek smokers (X=0.72; p = 0.403). There was a significant decrease in the activity of protein S levels in cases compared to controls (Odds Ratio 14.3). The average activity level of protein S in cases was 50.6% and the average in controls was 85.5%, showing a significant difference using the t-test of 7.5; p 0.0001. Seventy-fifth percentile activity levels of protein S decreased below normal standard values ​​in cases and only fifteen percentiles in controls. Length of smoking and the number of cigarettes consumed each day had a significant influence on reducing the activity of protein S levels (t-test-4.25; p-0.0001; 95% CI 15.5-45.7) and (t-test = 2.65; p=0.011; 95% CT 4.1-30.2."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Putri Laksmidewi
"Diagnosis strok sering ditegakkan berdasarkan pembuktian klinis dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis neurologis saja. Akan tetapi gambaran klinis yang ditemukan tidaklah selalu sama, seringkali bervariasi sehingga diagnosa topis tidak selalu tepat. Diteliti hubungan antara gambaran klinis dengan topografi anatomi/ tipe infark pada CT-sken otak pad a penderita strok iskemik. Penelitian ini dilakukan secara prospektif, "cross sectional" dan bersifat deskriptif analitik. Populasi adalah penderita strok iskernik kejadian pertama berusia 40 tahun dan 65 tahun yang dirawat di ruang perawatan klas III RSUPN-CM Jakarta. Sejak bulan April sampai dengan Juli 1996, didapatkan 52 kasus strok iskemik kejadian pertama. Terdiri dari 34 laki-laki (65,3%) dan perempuan 18 (34,7%) dengan rasio laki : perempuan adalah 1,9 : 1 . Strok trombosis ditemukan terbanyak yaitu 93,9% sedangkan strok emboli 6,1 %. Dari 52 penderita yang diteliti, didapatkan basil CT-sken otak adalah 29 (59,2 %) berupa infark tentorial , 20 (40,8%) adalah infark lakunar, hanya satu kasus ditemukan berupa infark watershed dan dua lainnya dengan infark multipel. Pada pemeriksaan CT otak pertama, dua kasus tidak memperlihatkan adanya gambaran infark sehingga dilakukan pemeriksaan CT otak yang kedua yaitu antara hari ke 7 - 10 , didapatkan hasil berupa infark lakunar pada kedua kasus tersebut. Hemihipatesis ringan ditemukan pada 44,8% strok dengan tipe infark tentorial dan 70 % pada strok lakunar. Hemihipatesis berat hanya ditemukan pada strok dengan tipe infark tentorial. Hemihipestesi ditemukan 55,2% pada strok tipe tentorial dan 75 % pada strok tipe lakunar. Afasis hanya ditemukan pada strok tent
The diagnosis of stroke is often made based on clinical evidence with anamnesis and neurological clinical examination alone. However, the clinical picture found is not always the same, it often varies so that the diagnosis of topis is not always correct. The relationship between clinical features and anatomical topography/type of infarction on brain CT scans in ischemic stroke sufferers was studied. This research was conducted prospectively, "cross sectional" and is descriptive analytic in nature. The population was first-time iskernic stroke sufferers aged 40 years and 65 years who were treated in class III treatment rooms at RSUPN-CM Jakarta. From April to July 1996, there were 52 cases of first-occurrence ischemic stroke. Consisting of 34 men (65.3%) and 18 women (34.7%) with a male: female ratio of 1.9: 1. The highest number of thrombotic strokes was found, namely 93.9%, while embolic strokes were 6.1%. Of the 52 patients studied, brain CT scan results showed that 29 (59.2%) were tentorial infarctions, 20 (40.8%) were lacunar infarctions, only one case was found to be a watershed infarction and the other two were multiple infarctions. In the first brain CT examination, two cases did not show any signs of infarction so a second brain CT examination was carried out, namely between days 7 - 10, the results were lacunar infarcts in both cases. Mild hemihypathesis was found in 44.8% of tentorial strokes and 70% of lacunar strokes. Severe hemihypathesis is only found in strokes with tentorial infarction type. Hemihypesthesia was found in 55.2% of tentorial type strokes and 75% of lacunar type strokes. Aphasis is only found in tentorial strokes."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library