Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lumban Tobing, Fredy Buhama
Abstrak :
Pemerintah Indonesia pada 25 Maret 1992 silam telah mengeluarkan kebijakan penghentian bantuan Belanda setelah sekian lama berusaha keras menahan diri dari rasa ketersinggungannya terhadap sikap dan tindakan-tindakan Belanda yang ingin menggunakan "politik pemberian bantuan" untuk mengintimidasi Indonesia dengan cara mengaitkan bantuan dengan masalah pelaksanaan HAM di Indonesia. Ada beberapa faktor yang dipandang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pemerintah tersebut, yakni politik domestik (insiden Dili 12 November 1991 dan peran individual Presiden Soeharto) dan politik eksternal internasianal (tuntutan global HAM). Pembahasan secara eksplanatif dilakukan dengan menggunakan kerangka teori foreign policy making-process. Menurut Roy C. Macridis (1979), terdapat aktor-aktor the governmental agencies dan the non-governmental agencies dalam suatu proses pembuatan kebijakan, sementara Graham T. Allison (1971) berpendapat bahwa untuk menganalisis suatu proses pembuatan kebijakan luar negeri antara lain dapat digunakan rational policy model. Proses pembuatan kebijakan itu sendiri secara teoritik sangat dipengaruhi oleh adanya faktor politik domestik dan eksternall internasional. Masalahnya sekarang ialah perbedaan kedua faktor tersebut kini semakin mengabur seiring dengan semakin memudarnya batas-batas negara di era global dewasa ini. Oleh karenanya untuk menganalisis bagairnanakah pertautan antara kedua faktor politik ini, dapat digunakan teori linkage yang dikemukakan James N. Rosenau (1980). Di samping faktor politik domestik dan ekternall internasional tersebut, menurut Rosenau, terdapat pula variabel individu decision-maker seperti Kepala Negaral Pemerintahan, khususnya mengenai image, persepsi, dan karakteristik pribadinya yang menentukan corak politik luar negerinya. Variabel individu ini biasanya terlihat pada gaya kepemimpinan yang khas dari decision-maker tersebut yang umumnya sangat bersifat personal. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data primer berupa wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitiannya sendiri menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan luar negeri tersebut sangat ditandai oleh berperannya aktor-aktor the governmental agencies khususnya Presiden Soeharto dan para menterinya yang terkait: Menteri Luar Negeri, Ali Alatas dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuin-Wasbang), Radius Prawiro. Adapun koordinasi di antara instansi pemerintah itu sendiri sepenuhnya berada di tangan Presiden Soeharto selaku chief diplomat politik luar negeri Indonesia. Dengan demikian variabel individu Presiden Soeharto memang sangat besar pengaruhnya terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini terbukti dari pendapat para informan bahwa kebijakan tersebut semata-mata lebih disebabkan oleh adanya ketersinggungan Presiden Soeharto terhadap sikap dan ulah J.P. Prank --Menteri Kerjasama Pembangunan Internasional Belanda yang juga adalah ketua IGGI ketika itu- yang acapkali mengancam akan menghentikan bantuannya sehubungan dengan pelaksanaan HAM di Indonesia yang dinilainya buruk. Tuntutan HAM yang mengglobal ini memang telah menjadi tolok ukur keberhasilan/kegagalan pembangunan yang dibiayai dana-dana bantuan luar negeri. Akan tetapi dalam kasus ini ternyata Indonesia (Presiden Soeharto) tegas-tegas telah menyatakan sikap penolakannya terhadap setiap upaya yang ingin menggunakan bantuan sebagai alat politik, sehingga keluarlah keputusan pemerintah Indonesia yang menolak segala bentuk bantuan Belanda sekaligus menandai dibubarkannya forum IGGI.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djokomulono
Abstrak :
Kebijaksanaan luar negeri Amerika dalam menghadapi krisis Teluk merupakan produk dari suatu proses pengambilan keputusan yang pada dasarnya didahului oleh konflik kelembagaan antara Presiden dan Kongres. Krisis tersebut bermula dari invasi irak atas Kuwait yang berakhir melalui proses penyelesaian dengan cara kekerasan yaitu perang. Permasalahan utama di dalam penelitian tesis adalah berkenaan dengan penggalangan Amerika pada periode pemerintah Presiden Bush yang menghasilkan kebijaksanaan melakukan perang (war policy), ditinjau dari perspektif Amerika yang dilihat pada dua dimensi, yaitu domestik dan eksternal. Dimensi domestik Amerika ditekankan pada hubungan kepentingan politik dan kepentingan militer yang mempengaruhi proses dan hasil (output) pengambilan kebijaksanaan luar negeri serta adanya kendala kelembagaan yang dihadapi Presiden Bush terhadap Kongres. Akibatnya sebagian kebijaksanaan yang dihasilkan mendahului persetujuan Kongres, seperti pengiriman pasukan ke luar negeri dan penambahan jumlah pasukan Amerika. Termasuk kebijaksanaan yang berkenaan dengan pernyataan perang (war policy) diwarnai dengan adanya konflik kelembagaan meskipun pada akhirnya konsensus dapat dicapai. Untuk memecahkan pokok permasalahan di dalam tesis ini digunakan teori Elit Politik dari C. Wright Mills yang pada intinya menyatakan bahwa setiap kebijaksanaan nasional yang dihasilkan dibuat oleh sekelompok kecil individu yang terdiri dari tiga kategori, yaitu birokrasi, pejabat militer dan elit ekonomi. Di dalam tesis ini peran elit ekonomi tidak memiliki pengaruh langsung atau menonjol atas kebijaksanaan yang dihasilkan, namun pada kategori birokrasi dan pejabat militer menunjukkan bukti yang kuat atas pengaruh langsung tersebut. Kategori birokrasi itu ditunjukkan dengan adanya konstelasi hubungan dan peran antara Presiden Bush dengan Kongres. Sedangkan kategori pejabat-pejabat militer terpusat pada tingkat inner circle yang ada disekitar Presiden terutama yang berkaitan dengan mekanisme pengambiian keputusan. Pada tingkat inilah faktor-faktor pengalaman dan psikologis Presiden Bush sangat berpengaruh terhadap upaya penggalangan Amerika dalam Perang Teluk tersebut. Pengalaman politik yang luas menyebabkan ia memiliki hubungan erat dengan para pemimpin dunia, sehingga mempermudah membujuk mereka membentuk Pasukan Multinasional (multinational Forces) di luar kerangka pasukan PBB, melalui pembicaraan jarak jauh secara langsung (hot-line). Faktor psikis seperti adanya hambatan kelembagaan dengan Kongres yang dikuasai mayoritas Demokrat dan minoritas Republikan yang beraliran konservatif, menghasilkan kebijaksanaan tanpa persetujuan Kongres. Selain itu ketidakmampuan mengatasi masalahmasalah penting di dalam negeri terutama perekonomian Amerika, menyebabkan Presiden Bush memanfaatkan Perang Teluk sebagai alat politik untuk meraih dukungan publik dalam rangka kampanye pemilihan presiden periode kedua. Pada dimensi eksternal yang dianggap "menguntungkan" terhadap segala risiko yang mungkin timbul dari kebijaksanaan pengiriman pasukan ke wilayah Teluk dan pernyataan perang Amerika, antara lain adalah memudarnya Uni Soviet sebagai musuh utama Amerika; ketergantungan Republik Rakyat Cina dalam mengatasi perekonomian dalam negeri dan adanya masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menyusul peristiwa Tiannamen; serta ketersediaan beberapa negara untuk membiayai perang. Beban biaya perang yang tidak ditanggung sepenuhnya oleh Amerika merupakan salah satu alasan (economic reason) lahirnya kebijaksanaan perang.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waryono Kushantara
Abstrak :
ABSTRAK
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 menjadi bahan pemisah antara masa kehidupan sebagai negara jajahan dan masa menjadi masa yang merdeka, berdaulat serta bebas menentukan jalan hidupnya. Kemerdekaan Indonesia direbut melalui perjuangan bersenjata dengan mematahkan kekuatan senjata penjajah yang jauh lebih modern. Sekalipun kekuatan persenjataannya tidak memadai, berkat perjuangan yang dijiwai semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang tidak kenal menyerah, rela berkorban yang diiringi motivasi tinggi maka penjajah akhirnya bisa diusir. Di antara negara-negara yang merdeka sesudah perang dunia II hanya sedikit yang merebut kemerdekaannya melalui perjuangan revolusi, salah satunya adalah Indonesia. Karena itu bagi para pendiri negara sifat anti penjajah, kegandrungan akan melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial dijadikan tujuan dasar negara kita yang adalah tujuan politik luar negeri kita.

Meskipun kemerdekaan Indonesia diraih dengan pengorbanan darah, keringat, air mata, tetapi kekerasan itu terpaksa dilakukan untuk mencirikan bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bebas dari campur tangan asing.

Kemerdekaan merupakan sifat asasi setiap bangsa. Pada dasarnya meskipun Indonesia cinta damai namun lebih cinta pada kemerdekaan. Prinsip ini tetap dianut Indonesia dari sejak berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia sampai saat ini. Dari awal mula para pendiri negara telah menggariskan politik luar negeri yang bebas aktif. Politik luar negeri ini secara konsisten tetap dijalankan Indonesia dan dalam pelaksanaannya selalu ditentukan oleh kepentingan nasional yang paling menonjol pada saat itu. Dengan demikian terjalin ikatan yang erat antara politik luar negeri dan politik dalam negeri. Diantaranya terjadi saling interaksi dan pengaruh mempengaruhi.

Dengan menganut politik luar negeri yang tidak memihak, Indonesia tidak akan terseret pada salah satu kubu, kehadiran salah satu blok bukan mustahil akan mengundang pula kehadiran blok lawan. Bila sampai terjadi akan membahayakan keamanan nasional sehingga akhirnya akan berpengaruh pula secara tidak langsung pada keamanan dan stabilitas regional. Keadaan ini tidak pernah terjadi sehingga kemanan nasional dapat terlaksana dengan baik karena tidak ada kekeuatan asing yang ikut campur dalam masalah dalam negeri kita. Kondisi ini pun secara tidak langsung berpengaruh terhadap kemanan nasional.
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Lukman Hadi
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas konflik yang terjadi antara Partai Komunis Indonesia dengan Partai Sosialis Indonesia dalam periode 1955-1960. Tahun 1955 ditandai dengan pemilihan umum pertama dan tahun 1960 ditandai dengan pembubaran Partai Sosialis Indonesia. Kurun waktu tersebut mencakup periode Demokrasi Parlementer serta peralihan kepada Demokrasi Terpimpin. Konflik PKI dengan PSI merupakan konflik yang berlatar be1akang ideologis. Secara historis konflik ideologi komunisme dengan sosialisme demokrat berawal dari perbedaan penafsiran terhadap Marxisme. Konflik Indeologi PKI dengan PSI mengakibatkan pertentangan kepentingan dimana satu sama lain menempatkannya sebagai lawan politik utama. Dalam sistem politik multi partai serta tumouhnya kekuatan ekstra parlementer seperti Sukarno dan militer, konflik PKI dengan PSI mewujud dalam pola-pola aliansi antara kekuatan-kekuatan politik ada. Menghadapi sejumlah isyu politik pada kurun waktu 1955-1960, PSI yang beraliansi dengan Masyumi serta dekat dengan Mohammad Hatta. Sementara PKI beraliansi dengan Sukarno. Telaah terhadap topik masalah tersebut didasarkan atas teori konflik. Dalam hal ini digunakan teori konflik dari Galtung yang memperlihatkan hubungan antara elemer-elemen konflik yaitu: perbedaan persepsi yang bersumber dari ideologi, perilaku konflik serta suasana konflik yang tercipta. Perbedaan persepsi akan membentuk perilaku konflik yang bertujuan menjatuhkan atau mengalankan lawan.
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Mamentu
Abstrak :
Penulisan tesis ini ditujukan untuk mendapatkan jawaban tentang peran dan pengaruh Lobi Bisnis terhadap Lembaga Legislatif Amerika Serikat ( Kongres ) pada masa Ronald Reagan menjadi kepala negara ( 1981-1988 ). Dasar pemikiran yang mendorong penelitian ini adalah adanya keinginan dari penulis untuk membuktikan bahwa budaya kebebasan, kesetaraan dan individualisme yang dianut oleh bangsa Amerika telah menyebabkan kelompok-kelompok masyarakat yang menonjol didalam sektor pembangunan ekonomi nasional, menjadi memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap proses politik negara ini. Khususnya dalam proses pembuatan keputusan atau perumusan suatu kebijaksanaan yang berlangsung didalam Kongres. Untuk tujuan ini, maka untuk mendapatkan hasil penelitian yang akurat, penulisan tesis ini diarahkan pada pembahasan terhadap salah satu kelompok Lobi Bisnis yang ada di Amerika, yaitu Lobi kelompok industri Tekstil dan Pakaian jadi. Tesis ini akan terdiri dari. 4 bab pembahasan dan 1 bab kesimpulan. Bagian pertama ( BAB I ) membahas tentang hakekat Lobi, nilai-nilai budaya yang mendasari adanya Lobi dalam politik Amerika, kemudian tentang pentingnya kehadiran Lobi bagi kelompok-kelompok kepentingan yang berada didalam masyarakat Amerika, serta juga tentang bagaimana unsur Lobi menjadi penting didalam setiap proses perumusan kebijaksanaan Amerika Serikat. Pada bagian ini, juga akan dijelaskan secara teoritik tentang bagaimana budaya demokrasi Amerika, memherikan kesempatan kepada individu atau swasta untuk dapat menjadi pelaku-pelaku utama didalam sistem dan pembangunan ekonomi mereka. Selanjutnya bagian ini juga memuat tentang teori-teori yang akan dipakai untuk menganalisis permasalahan. Untuk mendapatkan hasil analisa yang sesuai dengan apa yang diharapkan, maka teori-teori yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah ; teori kebudayaan, teori kelompok, politik ekonomi, teori organisasi dan teori kebijakan publik. Pada bagian kedua ( BAB II ), akan dibahas secara khusus tentang Lobi. Secara keseluruhan mulai dari masa awal pertumbuhan kegiatan Lobi didalam proses politik di Amerika Serikat, kemudian tentang peraturan yang mengatur kegiatan melobi ( lobbying ) serta kategorikategori yang dapat dipakai untuk menentukan seseorang adalah pelobi, dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pelobi profesional. Bagian ini secara lebih terperinci akan menjelaskan tentang pentingnya keberadaan Lobi bagi seluruh individu dan lembaga yang berkepentingan dengan suatu kebijaksanaan yang akan ditetapkan oleh Kongres. Selanjutnya sebagai kaitan yang amat penting dengan peran Lobi dalam Kongres, maka pada bab II ini akan terjadi dalam pola hubungan kekuasaan antara Kongres dan Presiden, serta perubahan-perubahan struktural yang berlangsung didalam Kongres sendiri. Hal ini perlu dibahas, oleh karena perubahan-perubahan ini tentunya juga berpengaruh besar terhadap peran dan akses pengaruh Lobi terhadap Kongres. Pada bagian ketiga ( BAB III ), akan dibahas secara lebih spesifik tentang permasalahan yang dihadapi oleh kalangan industri tekstil dan pakaian jadi Amerika Serikat, pada era kepresidenan Ronald Reagan. Didalam bab ini, akan diperlihatkan angka-angka kerugian yang dialami oleh kalangan industri domestik tekstil Amerika ini, akibat derasnya arus produk-produk impor sejenis, yang kemudian menguasai pasar domestik Amerika Serikat. Selanjutnya pada bagian keempat ( BAB IV ), akan dibahas mengenai upaya-upaya lobbying yang dilakukan oleh pelobi kalangan industri tekstil dan pakaian jadi terhadap Kongres. Pembahasan masalah ini akan difokuskan pada upaya lobi tekstil yang dimulai dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1988. Kemudian akan dilihat sikap dan tanggapan dari Kongres terhadap upaya lobbying yang dilakukan oleh Lobi tekstil dan pakaian jadi ini. Pada bagian akhir dari bab ini, akan dibahas tentang bentuk-bentuk kebijaksanaan perdagangan yang dikeluarkan oleh Kongres pada masa itu, sehingga dapat diperoleh kejelasan tentang berhasil atau tidaknya upaya Lobi mereka ( Tekstil dan Pakaian jadi ) untuk mempengaruhi Kongres. Bagian kelima ( BAB V ) atau bagian terakhir dari tulisan ini, akan memuat tentang analisa dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari seluruh pembahasan. Sehingga, berdasarkan seluruh hasil pembahasan tesis ini, maka akan dapat dilihat tentang terbukti atau tidaknya hipotesis yang diajukan.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Asrori
Abstrak :
ABSTRAK
Masalah pengembangan suatu daerah sebetulnya merupakan suatu masalah yang tidak bisa dipisahkan dengan Masalah Pembangunan Nasional secara keseluruhan. Banyak para ahli yang memperdebatkan teori-teori atau pendekatan-pendekatan yang lebih cocok untuk mengembangkan suatu daerah, tetapi nampaknya perdebatan tersebut masih akan berlangsung terus, karena diantara mereka memang sulit untuk menemukan suatu teori atau suatu pendekatan yang manjur yang bisa digunakan di setiap daerah yang mempunyai potensi yang sangat heterogen. Walaupun demikian, diantara perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para ahli, diantara mereka sebetulnya mempunyai konsensus bahwa pembangunan daerah haruslah merupakan bagian dari pembangunan secara keseluruhan.
Pentingnya pembangunan daerah ini juga dirasakan di Indonesia, karena pada dasarnya pembangunan daerah merupakan suatu proses untuk meratakan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh penjuru tanah air.
Di dalam Trilogi Pembangunan juga disebutkan bahwa unsur atau logi pertama dari Trilogi Pembangunan ialah pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh tanah air. Untuk mewujudkan adanya pemerataan pembangunan di seluruh tanah air, maka Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mencantumkan perlunya pembangunan daerah berdampingan dengan pembangunan sektoral, dalam suatu kerangka pembangunan nasional, sesuai dengan konsep wawasan nusantara.
Karena Indonesia merupakan suatu negara yang terdiri dari berbagai daerah dengan tingkat perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan yang masing-masing berbeda. Maka hal ini menuntut penanganan yang berbeda pula bagi masing-masing daerah.
Pentingnya pembangunan daerah ini juga dinyatakan oleh Benyamin Fisher, dengan mana ia mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah mencapai suatu tahap pembangunan nasional yang menuntut dipentingkannya kebijaksanaan pembangunan daerah atau regional.
Di dalam Repelita IV, kebijaksanaan pembangunan daerah antara lain akan diarahkan pada keserasian antara pembangunan regional dengan pembangunan sektoral serta peningkatan pendapatan daerah.
Untuk mencapai keserasian antara pembangunan sektoral dengan pembangunan regional, diperlukan adanya perencanaan regional di daerah tersebut. Perencanaan regional juga menjadi penting karena dalam proses pembangunan daerah, biasanya daerah tersebut dihadapkan dengan masalah keterbatasan berbagai sumber yang dibutuhkan untuk pembangunan, tetapi di lain pihak daerah tersebut harus mampu menghasilkan suatu output yang maksimal, sehingga untuk mencapai semuanya ini diperlukan adanya suatu perencanaan regional.
Selain diperlukan adanya perencanaan regional yang tepat, daerah dalam membangun atau mengembangkan dirinya juga memerlukan adanya sumber dana dari daerah tersebut dalam jumlah yang mencukupi, sehingga kombinasi dari perencanaan regional dan peningkatan keuangan daerah akan merupakan suatu faktor yang sangat penting untuk mengembangkan suatu daerah.
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Koriana Ismayanti
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno B. Nichlany
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>