Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ilma Ranjani Wijaya
"Latar Belakang Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah gangguan perkembangan saraf yang paling umum terjadi pada anak-anak dan remaja di dunia. Psikoedukasi merupakan landasan tatalaksana GPPH, termasuk psikoedukasi bagi keluarga. Orang tua terbukti memainkan peran penting dalam diagnosis dan penanganan anak-anak dan remaja dengan GPPH. Diperlukan penelitian mengenai pengembangan psikoedukasi yang efektif untuk mengajarkan orang tua penderita GPPH di Indonesia mengenai penanganan anaknya. Metode Penelitian ini menggunakan desain penelitian intervensi pre-post yang menggunakan ADHD Knowledge Questionnaire yang diadaptasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari See et al. (2021) sebagai pre-test dan post-test. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan bahwa pengetahuan tentang GPPH pada pre-test dan posttest meningkat secara signifikan (P <0,001) di setiap kategori. Nilai rata-rata kuesioner adalah 38,0% (SD±21,4) pada pre-test dan 58,3% (SD±26,2) pada post-test. Nilai tinggi berkorelasi secara signifikan dengan kesadaran memiliki kenalan dengan GPPH (p < 0,01) pada pre-test dan dengan tingkat edukasi (p < 0,01) pada post-test. Pembahasan Pengetahuan orang tua mengenai GPPH relatif rendah sebelum psikoedukasi dan meningkat sehingga memadai pada post-test. Intervensi ini efektif dalam semua kategori informasi GPPH bagi semua orang tua terlepas dari faktor pribadi, selain tingkat edukasi, yang perlu disesuaikan. Kesimpulan Psikoedukasi, terutama pendekatan dengan bimbingan ahli dalam platform online, merupakan metode yang bermanfaat dan efektif untuk meningkatkan pengetahuan tentang ADHD bagi orang tua di Indonesia.

Introduction Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD) is the most common neurodevelopmental disorder among children and adolescents in the world. Psychoeducation is a cornerstone of ADHD management, including the psychoeducation of relatives. Parents have been found to play a crucial role in the diagnosis and management of their children with ADHD. Therefore, a study is needed on the development of psychoeducation that is effective in increasing the knowledge of parents on how to help their children with ADHD in Indonesia. Method This study is a pre-post interventional study that uses an ADHD Knowledge Questionnaire adapted and translated into Indonesian from See et al. (2021) as a pre-test and post-test. Results Wilcoxon signed ranks test reveals that the knowledge of ADHD in the pre-test and posttest increased significantly (P < .001) across every category. The mean score was 38.0% (SD±21.4) on the pre-test and 58.3% (SD±26.2) on the post-test. Increased ADHD knowledge was significantly associated with having other friends or relatives with ADHD (p < 0.01) in the pre-test and with their level of education (p < 0.01) in the post-test. Discussion The parents’ knowledge of ADHD was relatively low before psychoeducation and increased to average levels in the post-test. The intervention is effective in all disorder information categories for parents of all personal factors, except their education level, which needs to be adjusted for. Conclusion Psychoeducation is a beneficial and effective method to increase knowledge of ADHD for parents in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Atmaja
"Latar Belakang: Bunuh diri merupakan perilaku disengaja untuk mengakhiri hidup, dengan satu kasus terlaksana setiap 20 percobaan. Sebanyak 90%-nya memiliki gangguan psikiatri, salah satunya skizofrenia. Tingkat bunuh diri pada orang dengan skizofrenia (ODS) dilaporkan 4–13%. Faktor risiko bunuh diri melibatkan distres subjektif, gangguan kognitif, dan distorsi sosial, yang dipengaruhi oleh masalah struktur dan fungsi otak. Gangguan kognitif pada ODS, seperti memori kerja dan pengambilan keputusan, berpotensi meningkatkan risiko bunuh diri. Penelitian ini bermaksud mencari hubungan fungsi kognitif, pengambilan keputusan, faktor obat, serta faktor yang memengaruhi lainnya dengan gagasan bunuh diri pada ODS yang belum banyak diteliti.
Metode: Desain penelitian ini adalah kasus kontrol dalam rentang waktu Oktober 2023 hingga April 2024. Sampel penelitian adalah orang dengan diagnosis skizofrenia atau skizoafektif dalam fase remisi yang ada di Poliklinik Jiwa dan bangsal rawat inap RSUPN Cipto Mangunkusumo, kantor pusat Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), dan bangsal rawat inap RSJ dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Besar sampel dari penelitian ini ada 49 dengan gagasan bunuh diri dan 49 tanpa gagasan bunuh diri. Penilaian kemampuan pengambilan keputusan menggunakan instrumen IOWA Gambling Task (IGT). Instrumen yang digunakan untuk menilai kecepatan pemrosesan, memori kerja, dan fungsi eksekutif adalah symbol coding, digit sequencing task, dan Tower of London. Perceived stress scale (PSS) digunakan untuk menilai distres subjektif. Data lain dinilai dengan kuesioner demografik. Analisis bivariat dan multivariat dengan regresi logistik digunakan untuk menilai faktor risiko dari gagasan bunuh diri pada ODS.
Hasil: Dari 98 subjek, didapatkan adanya hubungan antara umur dengan gagasan bunuh diri pada ODS (p=0,008). Didapatkan ada hubungan antara jenis kelamin dengan gagasan bunuh diri (p=0,008; OR=3,24; IK95% 1,42 – 7,41). Didapatkan ada hubungan antara memori kerja dengan gagasan bunuh diri (p=<0,001). Hasil fungsi eksekutif A dan B ditemukan berhubungan dengan gagasan bunuh diri (p=0,028 dan p=0,047). Didapatkan ada hubungan antara distres subjektif dengan gagasan bunuh diri (p=<0,001). Pada analisis multivariat dengan regresi logistik, didapatkan ada hubungan yang bermakna antara umur (B=-1,44; p=0,020; aOR=0,24; IK95%=0,07 – 0,80), status pernikahan (B=-1,37; p=0,03; aOR=0,26; IK95%=0,07 – 0,90), memori kerja (B=2,33; p=0,043; aOR=10,23; IK95%=1,07 – 97,61), dan distres subjektif (B=2,41; p=<0,001; aOR=11,17; IK95%=3,46 – 36,06) dengan gagasan bunuh diri.
Simpulan: Terdapat hubungan antara umur, status pernikahan, memori kerja, dan distres subjektif terhadap gagasan bunuh diri pada ODS. Dengan mengetahui faktor risiko ini, intervensi dengan faktor terkait dapat dilakukan.

Background: Suicide is a deliberate act to end one’s life, with one completed case occurring for every 20 attempts. Approximately 90% of suicide survivors have psychiatric disorders, one of them is schizophrenia. Suicide rates among people with schizophrenia (PwS) are reported to range from 4% to 13%. Suicide risk factors include subjective distress, cognitive impairments, and social distortions, influenced by structural and functional brain issues. Cognitive impairments in PwS, such as working memory and decision-making, may increase suicide risk. This study aims to examine the relationship between cognitive function, decision-making, medications, and other influencing factors on suicidal ideation in PwS, which has not been widely studied.
Methods: This case-control study was conducted from October 2023 to April 2024. The sample consisted of individuals diagnosed with schizophrenia or schizoaffective disorder in remission condition, recruited from the Psychiatry Outpatient Clinic and inpatient wards of RSUPN Cipto Mangunkusumo, the central office of the Indonesian Schizophrenia Care Community (KPSI), and the inpatient wards of RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. The sample included 49 individuals with suicidal ideation and 49 without. Decision-making ability was assessed using the Iowa Gambling Task (IGT). Cognitive functions such as processing speed, working memory, and executive function were evaluated using Symbol Coding, Digit Sequencing Task, and Tower of London tests, respectively. Subjective distress was measured using the Perceived Stress Scale (PSS). Additional data were collected using demographic questionnaires. Bivariate and multivariate analyses using logistic regression were performed to assess the risk factors for suicidal ideation in PwS.
Results: Among 98 subjects, age was significantly associated with suicidal ideation in PwS (p=0.008). Gender was also associated (p=0.008; OR=3.24; 95% CI=1.42–7.41). Working memory showed a significant relationship with suicidal ideation (p<0.001). Executive function tasks A and B were associated with suicidal ideation (p=0.028 and p=0.047, respectively). Subjective distress was significantly linked to suicidal ideation (p<0.001). Multivariate logistic regression analysis revealed significant associations between age (B=-1.44; p=0.020; aOR=0.24; 95% CI=0.07–0.80), marital status (B=-1.37; p=0.03; aOR=0.26; 95% CI=0.07–0.90), working memory (B=2.33; p=0.043; aOR=10.23; 95% CI=1.07–97.61), and subjective distress (B=2.41; p<0.001; aOR=11.17; 95% CI=3.46–36.06) with suicidal ideation.
Conclusion: Age, marital status, working memory, and subjective distress are associated with suicidal ideation in PwS. Understanding these risk factors may facilitate targeted interventions to mitigate suicide risk.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betty Hidayati
"Latar Belakang : Gambaran klinis mania bipolar pada masa kanak dan remaja sering atipikal dan jarang menunjukkan gejala mood yang euforia sehingga cenderung sulit diidentifikasi. K-SADS MRS merupakan sebuah kuesioner yang dikembangkan khusus untuk menilai gejala mania pada anak dan remaja. Kuesioner ini menilai 15 item gejala mania pada anak dan remaja, dan saat ini belum ada versi bahasa Indonesia.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kualitatif untuk menilai kesahihan isi K-SADS MRS versi Bahasa Indonesia. Kesahihan isi dinilai menggunakan Content Validity Index for Items (I-CVI) dan Content Validity Index for Scales (S-CVI).
Hasil : Hasil analisis menunjukkan nilai I-CVI kuesioner K-SADS MRS versi Bahasa Indonesia sebesar 0,986, berarti butir pertanyaan dalam kuesioner K-SADS MRS relevan. Nilai S-CVI didapatkan sebesar 0,986, yang menunjukkan kuesioner K-SDAS MRS mempunyai validasi isi baik.
Kesimpulan : Kuesioner K-SADS MRS versi bahasa Indonesia yang sahih secara isi dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya, untuk menilai keparahan gejala mania bipolar pada anak remaja dalam pelayanan dan sebagai bahan pengajaran bagi dokter spesialis.

Background: The clinical presentation of bipolar mania in children and adolescents is often atypical and rarely shows euphoria mood, making it difficult to identify. The K- SADS MRS is a questionnaire specifically developed to assess manic symptoms in children and adolescents. This questionnaire assesses 15 items of manic symptoms in children and adolescents, and currently, there is no Indonesian version of this questionnaire.
Method: This study is a qualitative study to assess the content validity of the Indonesian version of the K-SADS MRS. Content validity was assessed using the Content Validity Index for Items (I-CVI) and the Content Validity Index for Scales (S-CVI).
Results: The analysis results showed that the I-CVI value of the Indonesian version of the K-SADS MRS questionnaire was 0.986, which indicates that the items in the K- SADS MRS questionnaire are relevant. The S-CVI value was obtained at 0.986, which indicates that the K-SADS MRS questionnaire has good content validity.
Conclusion: The Indonesian version of the K-SADS MRS questionnaire, which is content-valid, can be used for further research to assess the severity of bipolar manic symptoms in adolescent children in clinical services and as teaching material for specialist doctors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Danila
"Latar Belakang: Penelitian luas dalam literatur sosial dan psikologi tentang reaksi terhadap daya tarik fisik menunjukkan dampak signifikan terhadap harga diri dan kesejahteraan individu. Dalam praktik estetika, keberhasilan prosedur terutama ditentukan oleh kepuasan pasien, yang hanya dapat dinilai secara akurat oleh pasien itu sendiri. Hal ini mengharuskan klinisi untuk mempertimbangkan perspektif pasien saat mengevaluasi hasil prosedur. FACE-Q© Aesthetics adalah alat penilaian yang divalidasi secara psikologis untuk individu yang menjalani prosedur estetika, mencakup tiga domain: penampilan wajah, kualitas hidup, dan efek samping. Menerjemahkan kuesioner pasien yang dilakukan sendiri untuk berbagai negara dan budaya, terutama di negara multikultural seperti Indonesia, memerlukan pertimbangan yang cermat untuk memastikan kesetaraan antara versi asli dan versi target. PenerjemahanFACE-Q© Aesthetics ke dalam bahasa Indonesia menekankan proses validasi lintas budaya, dengan mempertimbangkan perbedaan pemahaman bahasa dan perbedaan sosio-kultural selama fase cognitive debriefing.
Metode: Kuesioner ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mengikuti pedoman terbaik dari International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) melalui empat tahap. Selama proses penerjemahan dan diskusi, fokus diberikan pada memastikan kesetaraan antara versi asli dan versi Indonesia dalam empat aspek: kesetaraan semantik (mempertahankan makna), kesetaraan idiom (mengadaptasi ungkapan idiomatik), kesetaraan empiris (menggunakan istilah yang relevan secara budaya), dan kesetaraan konseptual (memastikan konsistensi makna lintas budaya). Wawancara cognitive debriefing dilakukan untuk menilai pemahaman pasien dan kesesuaian budaya dari kuesioner yang diterjemahkan. Proses penerjemahan mencakup 39 skala dan 315 item pertanyaan, melewati proses ketat penerjemahan–ulang– penerjemahan, serta wawancara cognitive debriefing pada pasien berusia 18-75 tahun yang menjalani prosedur estetika oleh ahli bedah plastic minimal satu minggu setelah prosedur. Wawancara bertujuan memastikan kuesioner yang diterjemahkan mudah dipahami, relevan secara budaya, dan mempertahankan makna yang dimaksudkan dari instrumen asli. Tanggapan peserta tentang pemahaman bahasa dan relevansi sosio- kultural dikumpulkan dan dianalisis.
Hasil: Studi ini melibatkan 38 peserta dan wawancara menunjukkan bahwa hampir semua peserta memahami versi bahasa Indonesia dari kuesioner FACE-Q© Aesthetics. Permasalahan yang ditemui meliputi masalah tata bahasa, makna yang ambigu, makna ganda, kata yang mirip, dan ketidakbiasaan dengan pengalaman subjektif, dengan sedikit penyesuaian yang diperlukan untuk kesesuaian budaya. Pasien mengonfirmasi bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan dengan pengalaman estetika mereka dan secara efektif menangkap kepuasan mereka terhadap hasil dan kualitas hidup. Istilah dan frasa utama disesuaikan untuk menyesuaikan dengan nuansa sosio-kultural Indonesia, memastikan integritas konseptual instrumen tetap terjaga.
Kesimpulan: Dengan mengintegrasikan umpan balik dari wawancara cognitive debriefing, kami memastikan bahwa versi Indonesia dari kuesioner ini sesuai secara budaya dan siap digunakan dalam praktik klinis. Artikel ini memberikan penjelasan rinci tentang prosescognitive debriefing, menyoroti perannya yang penting dalam mengadaptasi kuesioner untuk budaya beragam di Indonesia.

Background: Extensive research in social and psychological literature exploring reactions to physical attractiveness reveals a statistically significant impact on individuals' self-esteem and overall well-being. In aesthetic practice, the success of a procedure is primarily determined by patient satisfaction, which can only be accurately assessed by the patients themselves. This requires clinicians to consider their perspectives when evaluating procedural outcomes. FACE-Q© Aesthetics is a psychologically validated assessment tool for individuals undergoing aesthetic procedures, covering three domains: facial appearance, quality of life, and adverse effects. Translating self-administered patient questionnaires for different countries and cultures, especially in a multicultural country like Indonesia, requires careful consideration to ensure equivalence between the original and target versions. The translation of FACE-Q© Aesthetics into Indonesian emphasizes a transcultural validation process, considering variations in language comprehension and socio-cultural differences during the cognitive debriefing phase. Method: The tools were translated into Indonesian following best-practice guidelines by the International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) and took place in four stages. During translation and discussion, emphasis was placed on ensuring equivalence between the original and the Indonesian version in four areas: semantic equivalence (maintaining meaning), idiom equivalence (adapting idiomatic expressions), empirical equivalence (using culturally relevant terms), and conceptual equivalence (ensuring consistent meanings across cultures). Cognitive debriefing interviews were conducted to assess patient understanding and cultural appropriateness of the translated questionnaire. The translation process involved 39 scales and 315 question items, underwent a strict translation–back–translation process, and included cognitive debriefing interviews among patients aged 18-75 who had aesthetic procedures by a plastic surgeon in a leading aesthetic clinic at least one-week post-procedure. The interviews aimed to ensure that the translated questionnaire is easily understood, culturally relevant, and maintains the intended meaning of the original instrument. Participants' feedback on language comprehension and socio-cultural relevance was collected and analyzed. Result: This study involved 38 participants and the interviews showed that almost all participants understood the Indonesian version of the FACE-Q© Aesthetics questionnaire, Issues encountered included grammatical problems, ambiguous meanings, multiple meanings, similar words, and unfamiliarity with subjective experiences, with minimal adjustments needed for cultural appropriateness. The patients confirmed that the questions were relevant to their aesthetic experiences and effectively captured their satisfaction with outcomes and quality of life. Key terms and phrases were adapted to suit Indonesian socio-cultural nuances, ensuring the instrument's conceptual integrity was maintained.
Conclusion: Through incorporating feedback from cognitive debriefing interviews, we have ensured that the Indonesian version of the questionnaire is culturally appropriate and ready for use in clinical practice. This article provides a detailed account of the cognitive debriefing process, highlighting its critical role in adapting the questionnaire for Indonesia's diverse culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library