Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amyra Andia Nissa
"ABSTRAK Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu masalah yang dalam prevalensi masih terus meningkat. Dilaporkan bahwa Indonesia pada jenjang tahun 2000 hingga 2014 angka terjadinya KDRT naik secara stabil dan pada 2016 kasus KDRT kepada istri mencapai 6.725 kasus di Indonesia. KDRT dapat mempengaruhi kesehatan jiwa bukan hanya pada korban namun juga pada anaknya. Penelitian ini mengambil data dari laporan jaga Departemen Psikiatri RSCM dan juga rekam medis pasien yang sudah menikah dan telah mengalami kasus KDRT dari tahun 2013 hingga 2017. Metode yang digunakan adalah cross sectional study dan menggunakan data dari pasien yang sudah menikah dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya. Data yang diolah dalam riset ini merupakan tingkat pendidikan dan mental status (Speech, Mood, Thought Process, dan Perception). Data dengan jumlah 41 data yang dapat digunakan. Semua subjek merupakan perempuan dan umur yang dominan merupakan kisaran 31-40 tahun. Subjek lebih dominan mempunyai pendidikan di tingkat primer dan sekunder (72.7%). Mayoritas subjek mengalami gangguan pada mental statusnya (70.7%). Hasil analisis data menggunakan Contigiency Coefficient ditemukan bahwa hubungan antara tingkat pendidikan dan mental status pada korban KDRT tidak membuahkan signifikansi (p = 0,73). Tingkat pendidikan tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan mental status yang ditimbulkan oleh pasien KDRT.

ABSTRACT
Domestic violence cases are still increasing. In Indonesia, it is stated that in the range of 2000-2014 the prevalence of domestic violence is increasing and in 2016 domestic violence cases that happen to wives reach a number of 6.725 cases in Indonesia. Domestic violence may affect the mental health of not only the victim but also her surrounding. This research collects data from the Domestic Violence Report Book from Psychiatric Department of RSCM (Rumah Sakit Ciptomangunkusumo) and medical records of married patients that came due to domestic violence from the year 2013 until 2017. This research uses cross sectional method and only uses data from patients who are married and have experienced domestic violence from her husband. The data that will be analyzed are educational level and mental status. A number of 41 datas that can be used in this research. All of the subjects are woman and the dominant age is in the range of 31-40. Dominantly, subjects have pursued education at primary-secondary level (72.7%) and have their mental status disturbed (70.7%). Data analysis using Contigency Coefficient showed that there is no statistical significance between educational level and mental status among DV victims (p = 0,73).
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisha Emilirosy Roekman
"Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan isu yang penting di Indonesia, dengan penelitian yang sedikit. Beberapa faktor dianggap berkontribusi untuk memperparah kondisi pasien seperti usia ketika menikah (muda) dan lama kekerasan, serta rendahnya tingkat GAF score (fungsionalitas). Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi antara usia ketika menikah, lama kekerasan, dan current GAF scale saat pasien mengalami kondisi KDRT. Metode cross sectional digunakan serta data diambil dari Buku Laporan Jaga KDRT dan Rekam Medis pada Departemen Psikiatri RSCM-FKUI (2013-2017). Data yang digunakan sebanyak 50 pasien dengan kekerasan fisik dimana rerata (SD) usia ketika menikah adalah 25.45 (6.26) tahun, dengan 1921.10 (2554.51) hari rerata periode kekerasan, dan 69.10 (7.93) rerata dari GAF Score. Uji komparasi antara GAF dan periode kekerasan ditemukan rerata GAF lebih tinggi pada periode kekerasan berjangka panjang, juga periode kekerasan jangka panjang merupakan nilai tertinggi pada nilai rerata usia ketika menikah. Pada uji korelasi tidak ditemukan korelasi antara usia ketika menikah dan GAF (p = 0.975) serta periode kekerasan dengan GAF (0.132). Maka dari itu, usia ketika menikah dan periode kekerasan serta GAF tidak memiliki korelasi yang bermakna secara statistik. Menggunakan variabel yang berbeda serta kekuatan penilitian yang dikuatkan diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih bermakna.

Domestic Violence has become an important issue in Indonesia with limited research. Several factors that contributes in affecting the patient's condition are early age at marriage, long term period of abuse, and low GAF. This study aims to find the correlation between age at marriage, period of abuse, and current GAF scale in responding to the domestic violence. Cross sectional study and data collection from the DV Report Book of Psychiatric Department and medical records at RSCM-FKUI (2013-2017) used in this research. Among 50 subjects, the mean (SD) age at marriage is 25.45 (6.26), with 1921.10 (2554.51) mean of period of abuse, and 69.10 (7.93) GAF mean. The comparison between mean of GAF and period of abuse shown higher long term physical abuse (26.16), and long term abuse is high in mean age at marriage (27.68). Moreover, there are no correlation between age at marriage and current GAF (p = 0.975) with no correlation between period of abuse and current GAF (p = 0.132). Thus, age at marriage, period of abuse, and GAF have no statistical significant correlation. It is recommended to use different variable that correlate with GAF, and increasing the power of research to give more meaningful result."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahira Khansa Nabilah
"Pendahuluan: Skizofrenia dapat mengganggu interpretasi ekspresi wajah sehingga berdampak negatif terhadap kehidupan pasien. Interpretasi ekspresi emosi wajah dipengaruhi oleh etnis dan budaya. Belum tersedia instrument interpretasi ekspresi wajah berdasarkan budaya Indonesia. Penelitian ini bertujuan melakukan standardisasi Instrumen Ekspresi Emosi Wajah Versi Indonesia di antara orang sehat. Metode: Mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia yang memenuhi kriteria inklusi diminta untuk memilih jenis, valensi, dan arousal emosi dari 69 foto wajah yang divalidasi oleh psikiater. Foto wajah merupakan foto wajah dari sepuluh aktor yang menampilkan secara acak 7 jenis emosi dasar (netral, bahagia, sedih, marah, terkejut, jijik, takut). Hasil: Seratus enam mahasiswa kedokteran dengan rerata usia adalah 20 (18-22) tahun memiliki skor BAI (Beck Anxiety Inventory) yaitu 16.18±9.3 dan skor BDI (Beck Depression Inventory) yaitu 16 menginterpretasikan ekspresi emosi wajah dari 69 foto wajah untuk memperoleh nilai standar (rerata konsistensi, skor valensi dan arousal) dan confusion matrix Instrumen Ekspresi Emosi Wajah Versi Indonesia. Rerata konsistensi tiap jenis emosi yaitu senang (86.5%), terkejut (84.2%), marah (76.5%), netral (75.9%), jijik (71.6%), sedih (58.4%), dan takut (50%). Skor valensi tiap jenis emosi yaitu senang (4±0.4), netral (3±0.3), terkejut (2.7±0.2), jijik (2.2±0.1), sedih (2.1±0.2), marah (2.1±0.2), dan takut (2). Skor arousal tiap jenis emosi yaitu senang (3.6±0.3), takut (3.5), sedih (3.4±0.2), marah (3.4±0.2), terkejut dan jijik (3.3±0.2), netral (2.9±0.4). selain itu, berdasarkan confusion matrix, jenis emosi yang sering membuat partisipan bingung adalah takut 50% dan jijik (32.1%). Kesimpulan: Instrumen Ekspresi Emosi Wajah Versi Indonesia memiliki nilai standar berupa rerata konsistensi, valensi, dan arousal; dan confusion matrix dari 7 emosi dasar yaitu netral, senang, sedih, marah, terkejut, jijik, dan takut."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meidian Sari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gangguan Bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan satu atau beberapa episode mood yang muncul bergantian secara dramatis. Presentasi klinis yang beragam, seringkali membuat GB salah didiagnosis di awal, terutama untuk GB-II yang datang dengan keluhan depresi berat, karena episode hipomania yang tidak terdeteksi. Oleh karena itu diperlukan suatu instrumen yang dapat mendeteksi hipomania sebagai penanda penting adanya bipolaritas pada pasien dengan gangguan mood.
Metode: Penelitian ini adalah uji validitas dan reliabilitas instrumen Hypomania Checklist-33 dengan desain potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknikconsecutive sampling pada 111 penyandang gangguan mood dengan diagnosis Gangguan Bipolar I, Gangguan Bipolar II, dan Gangguan Depresi Berat di Poli Rawat Jalan Psikiatri RSCM dan di Komunitas Bipolar Care Indonesia dari bulan April hingga November 2015.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa instrumen Hypomania Checklist-33 versi Bahasa Indonesia, terbukti sahih dan handal untuk menilai episode hipomania yang sering tidak terdiagnosis dalam praktik klinis.
Simpulan: Instrumen Hypomania Checklist-33 versi Bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai alat skrining rutin untuk mendeteksi bipolaritas pada pasien gangguan mood.

ABSTRACT
Background: Bipolar disorder is characterized by one or more of mood episode that change dramatically. The wide variation of clinical presentation of bipolar disorder often make this disorder wrongly diagnosed initially, especially for Bipolar Disorder Type II, who came with depression, because of the underdetection of hypomania episode. Therefore, there is an increasingly need for an instrument to help detecting hypomania episode as an important sign of bipolarity in patient with mood disorders.
Method: This study is a validity and reability testing of Hypomania Checklist-33 applying cross sectional study design. The samples were recruited using consecutive sampling technique towards 111 respondents with mood disorders, including Bipolar Disorder Type I, Bipolar Disorder Type II, and Major Depressive Disorder, in RSCM Psychiatry Outpatient Unit and Bipolar Care Indonesia Community from April to November 2015.
Results: The result of this study, shows that the Hypomania Checklist-33 Indonesian Version is valid and reliable to assess the episode of hypomania which often underdiagnosed in clinical setting.
Conclusion: Hypomania Checklist-33 Indonesian version can be use as a routine screening tool in detecting bipolarity among patients with mood disorders.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichsan Meidito Morama
"Latar Belakang: Isolasi atau karantina pasien selama pandemi COVID-19 merupakan langkah pencegahan persebaran penyakit yang penting. Namun, isolasi pasien COVID-19 mempunyai dampak buruk terhadap kondisi psikologis. Beberapa masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, dan masalah kognisi dapat muncul pada pasien yang di isolasi. Tidak hanya itu, isolasi dapat juga memicu perasaan berduka karena pasien tidak dapat bertemu langsung dengan keluarga serta kehilangan kebebasan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mencari prevalensi masalah psikologis (kecemasan, depresi, dan masalah kognisi), tahapan berduka, dan mencari asosiasi antara faktor demografi (umur, jenis kelamis, dan status pendidikan) dengan kejadian masalah psikologis Metode: Data sekunder yang didapat dari survey pada pasien isolasi COVID-19 yang ditempatkan di Wisma Atlet Kemayoran dan RSCM Kiara pada periode 19 sampai 26 Oktober 2020 digunakan untuk penelitian ini. Analisis univariat dan bivariat dilakukan pada data tersebut menggunakan program SPSS Hasil: Dari 1584 sampel dari data sekunder, 1517 digunakan untuk penelitian ini karena terdapat beberapa sampel dengan data yang tidak lengkap. Ditemukan prevalensi masalah psikologis yang tinggi (77.2%), dimana depresi merupakan masalah yang sering dijumpai (63%). Acceptance (98.1%) merupakan tahapan berduka yang paling banyak dialami partisipan. Kemudian, hanya jenis kelamin dan status pendidikan saja yang memiliki asosiasi yang signifikan dengan masalah psikologis, dimana perempuan dan orang yang beredukasi tinggi memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah psikologis selama isolasi.

Introduction: Patient isolation or quarantine during COVID-19 pandemic was vital in preventing disease transmission. However, it has a negative impact on the psychological state of quarantined people. Depression, anxiety, and cognitive problems are some examples of psychological problems that appear during isolation. Additionally, the inability to meet patient’s family directly and loss of freedom can trigger feelings of grief. Hence, this research aims to find the prevalence of psychological problems (i.e., anxiety, depression, and cognitive problems), stages of grief, and the association between demographic factors (i.e., age, gender, and educational level) with psychological problems Methods: Secondary data that was obtained from a survey on COVID-19 isolated patients in Wisma Atlet Kemayoran and RSCM Kiara between 19 and 26 October 2020 were used in this research. Univariate and bivariate analyses were done on those data using SPSS. Results: Among 1584 samples, 1517 were used due to missing data in some of the samples. A high prevalence of psychological problems (77.2%) was observed, with depression (63%) as the most prevalent. Acceptance (98.1%) was the most prevalent stage of grief experienced by the participants. Only gender and educational level were significantly associated with psychological problems, whereas female gender and high educational people were more prone to experience psychological problems during isolation Conclusion: The high rate of psychological problems found in isolated patients indicates the importance of inserting the management of psychological problems during the future pandemic that requires isolation as a preventive measure."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Fawzia
"Pendahuluan: Depresi mempengaruhi 45,19% pasien tuberkulosis paru (TB) dalam kepatuhan terhadap pengobatan, yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan kematian, resistensi obat yang meningkat, serta penularan penyakit yang terus berlanjut. Usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, status gizi, komorbiditas, fase terapi, dan status HIV adalah faktor-faktor yang dapat berkontribusi terhadap depresi pada pasien TB. Infeksi Mycobacterium tuberculosis menyebabkan peradangan sistemik, mengubah respons pusat sistem kekebalan tubuh di sistem saraf pusat, mengaktifkan sumsum tulang belakang-hipotalamus-kelenjar adrenal (HPA) dan saraf simpatis, serta berkontribusi terhadap masalah psikiatri. Komposisi asam lemak, termasuk jumlah tinggi EPA dan DHA, mempengaruhi fungsi sel dengan memodifikasi pola produksi eikosanoid, resolvin, dan protektin. Selain itu, fluiditas membran sel yang meningkat dengan peningkatan asam lemak omega-3 dibandingkan dengan asam lemak omega-6 mempengaruhi kejadian depresi.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap 99 orang dengan TB paru. Data dikumpulkan menggunakan Semi-Kuantitatif Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ), pengukuran antropometri, dan Beck Depression Inventory-II (BDI-II).
Hasil: Analisis korelasi menggunakan uji Spearman menunjukkan rasio asupan omega-6/omega-3 PUFA sebesar 7,78 ± 1,13, dengan nilai median skor depresi sebesar 9 (10-36). Tidak ada korelasi antara asupan omega-6/omega-3 PUFA dan skor depresi (r=0,063; p = 0,534).
Kesimpulan: Tidak ada korelasi antara rasio asupan omega-6/omega-3 PUFA dan skor depresi pada pasien TB paru. 

Introduction: Depression affects 45.19% of pulmonary tuberculosis (TB) patients in their adherence to treatment, leading to increased morbidity, mortality, drug resistance, and disease transmission. Factors like age, gender, education, income, nutrition, comorbidities, therapy phase, and HIV status contribute to TB-related depression. Mycobacterium tuberculosis infection induces systemic inflammation, alters the immune response in the central nervous system, activates the hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis and sympathetic nerves, and influences psychiatric issues. Fatty acid composition, particularly high levels of EPA and DHA, modifies cellular function by affecting eicosanoid, resolvin, and protectin production. The greater cell membrane fluidity with omega-3 fatty acids compared to omega-6 fatty acids affects depression occurrence.
Methods: A cross-sectional study of 99 individuals with pulmonary TB was conducted. Data was collected using the Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ), anthropometric measurements, and Beck Depression Inventory-II (BDI-II).
Results: Spearman correlation analysis revealed an omega-6/omega-3 PUFA intake ratio of 7.78 ± 1.13, with a median depression score of 9 (10-36). No correlation was found between omega-6/omega-3 PUFA intake and depression score (r=0.063; p = 0.534).
Conclusion: No correlation exists between the omega-6/omega-3 PUFA intake ratio and depression scores in pulmonary TB patients.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Dwi Heryani
"Latar Belakang: Gangguan ansietas di tempat kerja merupakan masalah yang serius. Secara global, sebanyak 14,9% atau 264 juta orang menderita gangguan ansietas. Mental health foundation di UK melaporkan adanya kejadian ansietas di tempat kerja sebanyak 12,8%. Ansietas di tempat kerja akan berdampak pada penurunan kemampuan kerja dan memperbanyak cuti sehingga diperlukan untuk mengetahui faktor penyebab ansietas di tempat kerja. Salah satu tantangan manajemen sumber daya manusia di abad ke-21 adalah masalah keseimbangan kehidupan kerja dan pekerjaan sedentari. Beberapa penelitian di dunia menunjukan bahwa pekerjaan sedentari dan keseimbangan kehidupan kerja berpengaruh pada kejadian ansietas di tempat kerja Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitis observasional dengan potong lintang untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan sedentari dan keseimbangan kehidupan kerja terhadap ansietas di tempat kerja dengan menggunakan 6 Item Parker dari Job Stress Scale, International Physical Activity Questionnaire Short Form (IPAQ-SF) untuk menilai pekerjaan sedentari, dan kuesioner keseimbangan kerja adaptasi dari Fisher dkk (2009) yang telah tervalidasi. Besar sampel minimal pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus perbandingan dua proporsi yaitu sebesar 109 sampel.  Hasil: Sebanyak 117 pekerja masuk ke dalam kriteria inklusi dan diikutsertakan dalam peneltian. Hasil memperlihatkan sebanyak 23 responden (19,7%) mengalami ansietas di tempat kerja kategori tinggi. Nilai rata-rata skala ansietas di tempat kerja yaitu 16,07 dengan nilai standar deviasi sebesar 4,647, sedangkan nilai rata-rata skala keseimbangan kehidupan kerja yaitu 46,83 dengan standar deviasi 8,815. Pekerja yang memiliki keseimbangan kehidupan kerja dimensi WIPL yang tinggi, yaitu pekerja yang merasa pekerjaan mengganggu kehidupan pribadinya memiliki risiko 3,16 kali lebih tinggi untuk mengalami ansietas di tempat kerja  (IK 1,19-8,38) dan dimensi PLIW yang tinggi, yaitu pekerja yang merasa kehidupan pribadi mengganggu pekerjaannya memiliki risiko 4,86 kali lebih tinggi untuk mengalami ansietas di tempat kerja (IK 1,84-12,85). Tidak terdapat hubungan signifikan antara pekerjaan sedentari dan ansietas di tempat kerja. Kesimpulan: Terdapat hubungan dimensi WIPL dan PLIW terhadap ansietas di tempat kerja. Hal ini dikarenakan adanya peran ganda dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi sehingga menyebabkan terjadinya ansietas di tempat kerja. 

Background: Anxiety disorders have a prevalence rate of 14.9% among the worldwide population, whereas the Indonesian population has a prevalence rate of 6.1%. The mental health foundation in the UK reports that the incidence of anxiety in the workplace is 12.8%. An inadequate equilibrium between work and personal life has the potential to give rise to mental health conditions, such as workplace anxiety. The presence of workplace anxiety has been shown to have detrimental effects on productivity, as well as an increase in sick leave and financial costs for the company in question. The primary objective of this research is to examine the correlation between work-life balance and workplace anxiety within the context of Indonesia. Methods: This study is an observational analytical study with a cross-sectional design to determine the relationship between sedentary work and work-life balance on work anixety using the 6 items Parker from Job Stress Scale, International Physical Activity Questionnaire Short Form (IPAQ-SF) questionnaire to assess sedentary work, and the adaptive work balance questionnaire from Fisher et al. (2009) which has been validated. The sample size in this study was calculated using the ratio of two proportions, namely 109 samples. Results: A total of 117 workers met the inclusion criteria and were included in the study. The results showed that 23 respondents (19,7%) experienced severe anxiety at work. The average value of the work  anxiety scale is 16.07 with a standard deviation value of 4.647, while the average value of the work-life balance scale is 46.83 with a standard deviation of 8.815. Workers who have a high work-life balance on the WIPL dimension who feel that work interferes with their personal life, have a 3.16 times higher risk of experiencing work anxiety (CI 1.19-8.38) and a high PLIW dimension, who feel that their personal life interferes with their work have a 4.86 times higher risk of experiencing work anxiety (CI 1.84-12.85). There is no significant relationship between sedentary work and work anxiety. Conclusion: There is a relationship between WIPL and PLIW dimensions on anxiety at work. This is due to the dual roles in work and personal life, causing work anxiety."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Wijaya
"ABSTRAK
Antipsikotika adalah golongan obat psikotropika yang digunakan sebagai terapi utama penatalaksanaan skizofrenia. Antipsikotika di bagi menjadi dua golongan yaitu antipsikotika generasi pertama (Tipikal) dan antipsikotika generasi kedua (atipikal). Di Indonesia, hingga saat ini sedikit penelitian yang membahas mengenai pola penggunaan obat, khususnya mengenai rasionalitas penggunaan antipsikotika sesuai indikasi pada pasien skizofrenia. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk menganalisis survai penggunaan antipsikotika pada pasien skizofrenia yang di rawat inap meliputi karakteristik pasien, karakteristik klinis dan rasionalitas penggunaan antipsikotika. Data di ambil dari rekam medik pasien skizofrenia yang masuk ruang rawat inap Departemen Kesehatan Jiwa RSCM periode Juli 2014 hingga Juni 2015. Pada penelitian ini, dari 113 pasien yang di analisis, terdapat sebagian besar pemberian antipsikotika pasien skizofrenia yang di rawat tidak rasional (73,4%). Multifaktorial yang menyebabkan pengobatan tidak rasional menurut analisis penelitian seperti ketidaktepatan indikasi, tidak monoterapi, kombinasi yang tidak tepat, dan terjadinya efek samping pemberian antipsikotika pada pasien tersebut. Adanya hubungan antara keluaran klinis dengan frekuensi rawat inap, lama rawat inap dengan mono atau kombinasi terapi dan rasionalitas penggunaan antipsikotika dengan jaminan kesehatan pasien.

ABSTRACT
Antipsychotics are the class of psychotropic drugs that are used as primary therapy treatment of schizophrenia. Antipsychotics divided into two groups, first generation typical) and second generation (atypical). In Indonesian, recent data few studies discussing the patterns of drug use, especially regarding the use antipsikotika rationality as indicated in schizophrenic patients. This retrospective study aimed to analyze the survey antipsychotics use in schizophrenic patients were hospitalized include patient characteristics, clinical characteristics and rationality antipsychotics. Data were obtained from the medical records of patients with schizophrenia who came to Department of psychiatry RSCM during the period of July 2014 to June 2015. In this study, out of 113 patients evaluated, the frequency is higher treated schizophrenia patients are not rational (73.4%). Multifactorial causes irrational treatment according to the imprecision of the analysis as inaccuracies indication, not monotherapy, inaccuracies combination, and the occurrence of adverse reactions. The relationship between clinical output with a frequency of hospitalization, duration of hospitalization with mono or combination therapy and rationality antipsychotics use by healthcare patients.
"
Lengkap +
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Ferdian Nugraha
"ABSTRAK
Nama : Ferry Ferdian NugrahaProgram studi : Farmakologi klinikJudul : Survei Penggunaan Antipsikotika Oral dan Haloperidol Dekanoat pada Pasien Skizofreniadi Instalasi Rawat Jalan Departemen Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Periode 1 Januari 2017 - 31 Mei 2018Terapi farmakologi dengan antipsikotika sampai saat ini merupakan salah satu pilihan utama dalam penatalaksanaan skizofrenia. Penelitian pada tingkat kepatuhan pasien untuk datang berobat, ketepatan dari pemilihan terapi, penentuan dosis terapi, lama terapi, efektivitas terapi, berapa banyak pasien yang mendapatkan terapi obat anti ekstrapiramidal, ketepatan dosis serta kombinasi dari penggunaan suntikan antipsikotik jangka panjang dan menilai berapa biaya yang dikeluarkan untuk terapi skizofrenia selama satu bulan serta analisa hubungan di poli jiwa rumah sakit Cipto Mangunkusumo belum pernah dilakukan. Penelitian retrospektif dengan menggunakan data rekam medis didapatkan 58 pasien yang dianalisis, di dapatkan data demografik terbanyak berjenis kelamin laki-laki 69 , usia 26 ndash;45 tahun 58,6 , belum menikah74,1 , jenjang pendidikan perguruan tinggi 1,7 , status tidak bekerja 36,2 , dan pasien dengan jaminan kesehatan nasional sebesar 75,9 , Data karakteristik klinik terbanyak pasien dengan diagnosis skizofrenia tipe paranoid sebesar 84,5 dengan lama menderita kelainan ini kurang lebih 5 tahun, tingkat kepatuhan dan remisi paling baik tampak pada pasien skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotika oral. Data penggunaan obat di dapatkan cara pemberian monoterapi risperidon dan kombinasi haloperidol dengan klozapin, terapi obat anti ekstrapiramidal lebih dari 50 . Tidak ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan dan remisi, sedangkan tampak ada hubungan bermakna antara dosis dan remisi P=0,019 . Kejadian efek samping merupakan faktor yang bermakna mempengaruhi kepatuhan pasien untuk datang berobat P=0,005 .
ABSTRACT
AbstractName : Ferry Ferdian Nugraha Study Program : Farmakologi klinikTitle : A Survey of Oral Antipsychotic and Haloperidol Decanoate Long Acting Injection Usage in Out-Patient with Schizophrenia at Psychiatry Policlinic, Cipto Mangunkusumo Hospital in The Period of January 1, 2017 - May 31, 2018Pharmacological therapy with antipsychotics is currently one of the main options in the management of schizophrenia. There was no study about patient compliance rates to come for treatment, accuracy of therapy selection, therapy dosage determination, length of therapy, effectiveness of therapy, how many patients received anti-extrapyramidal drug therapy, dosage accuracy and combination of long-term use of antipsychotic injections, cost therapy assessment of schizophrenia for one month and analysis of the relationship in the Psychiatric Policlinic of Cipto Mangunkusumo Hospital.Retrospective study using medical record data obtained from 58 patients were analyzed. From demographic data, the majority of patients was men 69 , age 26-45 years 58,6 , single 74,1 , college education level 1,7 , unemployed status 36,2 , and national health insurance 75,9 . From clinical characteristic data, most patients were diagnosed with schizophrenia paranoid type 84,5 with duration of disorder was about 5 years. The level of compliance and remission is best seen in schizophrenia patients receiving oral antipsychotic therapy. From drug usage data, patients obtained monotherapy risperidon and combination therapy haloperidol and clozapine, anti-extrapyramidal drug therapy were more than 50 . There was no significant association between compliance and remission, while there was a significant association between dosage and remission P = 0.019 . The incidence of side effects was a significant factor which influenced patient compliance to come for treatment P = 0.005 ."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58610
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library