Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustien Bayu Ristanti
Abstrak :
Latar Belakang: Halusinasi verbal auditori (HVA) adalah pengalaman mendengar suara tanpa stimulus eksternal dan sering dikaitkan dengan skizofrenia. HVA diperkirakan terjadi sebagai akibat dari ucapan internal yang disalahartikan sebagai bagian dari sumber eksternal karena gangguan pemantauan persepsi verbal pada orang dengan skizofrenia (ODS). Penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa ada aktivitas otot bicara ketika pasien skizofrenia berhalusinasi. Hingga saat ini, penelitian serupa belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara halusinasi auditorik verbal dengan kejadian bicara internal yang digambarkan oleh aktivitas elektromiografi otot perioral. Metode: Penelitian ini menggunakan teknik potong lintang dan responden dengan HVA dipilih sebagai sampel dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Kriteria inklusi adalah pasien skizofrenia dengan halusinasi auditorik verbal yang berobat di Poliklinik Jiwa dr. Cipto Mangunkusumo berusia antara 19 - 59 tahun. Dalam penelitian ini, responden yang sehat juga dimasukkan sebagai kelompok kontrol. Aktivitas otot perioral pada masing-masing responden akan direkam dengan elektromiografi selama fase istirahat dan HVA tanpa artikulasi. Pada responden sehat, aktivitas otot perioral dicatat dengan membaca tanpa artikulasi. Analisis data bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon dengan nilai p < 0,05 menggunakan SPSS ver. 20. Hasil: Sebanyak 13 dari 21 responden dengan HVA sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (61,9%) dengan rentang usia 18-25 tahun (38,1%) dan memiliki skor 2 (57,1%) pada skala uji P3 PANSS Wilcoxon. menunjukkan perbedaan yang signifikan (perbedaan: 0,0550mV, p=0,009) antara hasil aktivitas otot perioral awal dan hasil aktivitas otot perioral selama HVA. Selain itu, hasil uji chi-square antara HVA dan internal speech menunjukkan hubungan yang signifikan dengan p=0,007. Kesimpulan: Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara hasil aktivitas otot dasar perioral dengan hasil aktivitas otot perioral saat terjadi HVA. Hasil ini membuktikan bahwa pembicaraan internal terjadi selama halusinasi ......Background: Auditory verbal hallucinations (HVA) are experiences of hearing sounds without external stimuli and are often associated with schizophrenia. HVA is thought to occur as a result of internal speech being misinterpreted as part of an external source due to impaired monitoring of verbal perception in people with schizophrenia (ODS). Previous studies have suggested that there is speech muscle activity when schizophrenic patients hallucinate. Until now, similar research has never been conducted in Indonesia. Objective: To determine the relationship between verbal auditory hallucinations and internal speech events described by electromyographic activity of perioral muscles. Methods: This study used a cross-sectional technique and respondents with HVA were selected as samples using a consecutive sampling technique. Inclusion criteria were schizophrenic patients with verbal auditory hallucinations who were treated at the Mental Polyclinic of dr. Cipto Mangunkusumo is between 19 - 59 years old. In this study, healthy respondents were also included as a control group. Perioral muscle activity in each respondent will be recorded by electromyography during the resting phase and HVA without articulation. In healthy respondents, perioral muscle activity was recorded by reading without articulation. Bivariate data analysis was performed using the Wilcoxon test with a p value <0.05 using SPSS ver. 20. Results: A total of 13 of the 21 respondents with HVA were mostly male (61.9%) with an age range of 18-25 years (38.1%) and had a score of 2 (57.1%) on the P3 PANSS test scale. Wilcoxon. showed a significant difference (difference: 0.0550mV, p=0.009) between baseline perioral muscle activity results and perioral muscle activity results during HVA. In addition, the results of the chi-square test between HVA and internal speech showed a significant relationship with p=0.007. Conclusion: The results of the analysis showed that there was a significant relationship between the results of perioral muscle activity and the results of perioral muscle activity during HVA. These results prove that internal speech occurs during hallucinations
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozi Yuliandi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Perbaikan fungsi sosial adalah salah satu tujuan tatalaksana skizofrenia. Beberapa studi menunjukkan fungsi sosial dipengaruhi oleh gejala positif, gejala negatif, dan gangguan neurokognitif. Tatalaksana secara farmakologis memiliki manfaat yang efektif untuk mengatasi gejala positif seperti halusinasi dan waham, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap fungsi sosial. Demikian juga, rehabilitasi kognitif memiliki manfaat terbatas untuk meningkatkan fungsi sosial. Studi terbaru menunjukkan bahwa kognisi sosial menjadi salah satu faktor yang memengaruhi fungsi sosial. Pada pasien skizofrenia, terjadi penurunan beberada domain kognisi sosial. Terdapat berbagai metode untuk meningkatkan kognisi sosial, salah satunya adalah Social Cognition and Interaction Training (SCIT). Modul SCIT menargetkan tiga domain kognisi sosial pada skizofrenia, yaitu : emotional processing, theory of mind, dan bias atribusi. Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menilai keandalan antar penilai Modul SCIT untuk skizofrenia versi Indonesia.

Metode. Studi ini merupakan uji keandalan antar penilai modul SCIT untuk skizofrenia versi Indonesia terhadap implementasi aktivitas dalam setiap sesi yang dilakukan oleh peneliti di modul SCIT pada kelompok sehat. Besar sampel ditetapkan berdasarkan jumlah orang dalam satu kelompok berdasarkan ketentuan dari modul yaitu 7 orang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Intraclass Correlation Cofficient (ICC) dengan total nilai tiap sesi modul dibandingkan antar penilai.

Hasil. Keandalan antar penilai pada modul SCIT versi Indonesia ini sangat baik, dengan nilai Intraclass Correlation Cofficient (ICC) sebesar 0.985.

Kesimpulan. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi modul SCIT versi Indonesia memperlihatkan bahwa konsistensi antar penilai yang sangat baik. Modul pelatihan ini bisa diterapkan dengan menyesuaikan situasi dan budaya di Indonesia.
ABSTRACT
Background. One of the goals of schizophrenia treatment is to improve the patient`s social functioning. Some studies show social function is influenced by positive symptoms, negative symptoms and neurocognitive disorders. Pharmacological treatment has effective benefits for dealing with positive symptoms such as hallucinations and delusions, but does not have a significant effect on social functioning. Likewise, cognitive rehabilitation has limited benefits for improving social functioning. Recent studies have shown that social cognition is one of the factors that influence social functioning. In schizophrenia patients, there are decrease some domain of social cognition. There are various methods to improve social cognition, one of which is Social Cognition and Interaction Training (SCIT). The SCIT module targets three domains of social cognition in schizophrenia, emotional processing, theory of mind, and attribution bias. This research is a preliminary study to assess the inter-rater reliability of SCIT module for schizophrenia in Indonesian version.

Method. This study is an inter-rater reliability of SCIT module for schizophrenia in Indonesian version on the implementation of activities in each session conducted by researcher in SCIT module in healthy groups. The sample size is determined based on the number of people in one group based on the provisions of the module which is 7 people. Measurements were made using the Intraclass Correlation Cofficient (ICC) with the total value of each module session compared between raters.

Results. The inter-rater reliability of SCIT module for schizophrenia in Indonesian version is very good, with the Intraclass Correlation Cofficient (ICC) value is 0.985.

Conclusion. In this study, can be concluded that the implementation of the Indonesian version of SCIT module shows that the consistency among raters is very good. So that this training module can be implemented by adjusting to the situation and culture in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amyra Andia Nissa
Abstrak :
ABSTRAK Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu masalah yang dalam prevalensi masih terus meningkat. Dilaporkan bahwa Indonesia pada jenjang tahun 2000 hingga 2014 angka terjadinya KDRT naik secara stabil dan pada 2016 kasus KDRT kepada istri mencapai 6.725 kasus di Indonesia. KDRT dapat mempengaruhi kesehatan jiwa bukan hanya pada korban namun juga pada anaknya. Penelitian ini mengambil data dari laporan jaga Departemen Psikiatri RSCM dan juga rekam medis pasien yang sudah menikah dan telah mengalami kasus KDRT dari tahun 2013 hingga 2017. Metode yang digunakan adalah cross sectional study dan menggunakan data dari pasien yang sudah menikah dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya. Data yang diolah dalam riset ini merupakan tingkat pendidikan dan mental status (Speech, Mood, Thought Process, dan Perception). Data dengan jumlah 41 data yang dapat digunakan. Semua subjek merupakan perempuan dan umur yang dominan merupakan kisaran 31-40 tahun. Subjek lebih dominan mempunyai pendidikan di tingkat primer dan sekunder (72.7%). Mayoritas subjek mengalami gangguan pada mental statusnya (70.7%). Hasil analisis data menggunakan Contigiency Coefficient ditemukan bahwa hubungan antara tingkat pendidikan dan mental status pada korban KDRT tidak membuahkan signifikansi (p = 0,73). Tingkat pendidikan tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan mental status yang ditimbulkan oleh pasien KDRT.
ABSTRACT Domestic violence cases are still increasing. In Indonesia, it is stated that in the range of 2000-2014 the prevalence of domestic violence is increasing and in 2016 domestic violence cases that happen to wives reach a number of 6.725 cases in Indonesia. Domestic violence may affect the mental health of not only the victim but also her surrounding. This research collects data from the Domestic Violence Report Book from Psychiatric Department of RSCM (Rumah Sakit Ciptomangunkusumo) and medical records of married patients that came due to domestic violence from the year 2013 until 2017. This research uses cross sectional method and only uses data from patients who are married and have experienced domestic violence from her husband. The data that will be analyzed are educational level and mental status. A number of 41 datas that can be used in this research. All of the subjects are woman and the dominant age is in the range of 31-40. Dominantly, subjects have pursued education at primary-secondary level (72.7%) and have their mental status disturbed (70.7%). Data analysis using Contigency Coefficient showed that there is no statistical significance between educational level and mental status among DV victims (p = 0,73).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisha Emilirosy Roekman
Abstrak :
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan isu yang penting di Indonesia, dengan penelitian yang sedikit. Beberapa faktor dianggap berkontribusi untuk memperparah kondisi pasien seperti usia ketika menikah (muda) dan lama kekerasan, serta rendahnya tingkat GAF score (fungsionalitas). Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi antara usia ketika menikah, lama kekerasan, dan current GAF scale saat pasien mengalami kondisi KDRT. Metode cross sectional digunakan serta data diambil dari Buku Laporan Jaga KDRT dan Rekam Medis pada Departemen Psikiatri RSCM-FKUI (2013-2017). Data yang digunakan sebanyak 50 pasien dengan kekerasan fisik dimana rerata (SD) usia ketika menikah adalah 25.45 (6.26) tahun, dengan 1921.10 (2554.51) hari rerata periode kekerasan, dan 69.10 (7.93) rerata dari GAF Score. Uji komparasi antara GAF dan periode kekerasan ditemukan rerata GAF lebih tinggi pada periode kekerasan berjangka panjang, juga periode kekerasan jangka panjang merupakan nilai tertinggi pada nilai rerata usia ketika menikah. Pada uji korelasi tidak ditemukan korelasi antara usia ketika menikah dan GAF (p = 0.975) serta periode kekerasan dengan GAF (0.132). Maka dari itu, usia ketika menikah dan periode kekerasan serta GAF tidak memiliki korelasi yang bermakna secara statistik. Menggunakan variabel yang berbeda serta kekuatan penilitian yang dikuatkan diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih bermakna.
Domestic Violence has become an important issue in Indonesia with limited research. Several factors that contributes in affecting the patient's condition are early age at marriage, long term period of abuse, and low GAF. This study aims to find the correlation between age at marriage, period of abuse, and current GAF scale in responding to the domestic violence. Cross sectional study and data collection from the DV Report Book of Psychiatric Department and medical records at RSCM-FKUI (2013-2017) used in this research. Among 50 subjects, the mean (SD) age at marriage is 25.45 (6.26), with 1921.10 (2554.51) mean of period of abuse, and 69.10 (7.93) GAF mean. The comparison between mean of GAF and period of abuse shown higher long term physical abuse (26.16), and long term abuse is high in mean age at marriage (27.68). Moreover, there are no correlation between age at marriage and current GAF (p = 0.975) with no correlation between period of abuse and current GAF (p = 0.132). Thus, age at marriage, period of abuse, and GAF have no statistical significant correlation. It is recommended to use different variable that correlate with GAF, and increasing the power of research to give more meaningful result.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Taufik Ashal
Abstrak :
Tesis ini membahas uji validitas dan reliabilitas instrumen Triage Assestment System: Crisis Intervention Versi Bahasa Indonesia dalam mengukur derajat keparahan krisis psikologis yang dialami seseorang. Krisis psikologis merupakan kondisi yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai gangguan psikiatri. Diperlukan suatu instrumen untuk mendeteksi dan menentukan derajat keparahan krisis psikologis, yang akan digunakan sebagai dasar penentuan intervensi yang sesuai. Uji validitas dan reliabilitas instrumen TAS-CI dilaksanakan dengan subjek penelitian tenaga medis departemen Psikiatri RSCM (N=50), selanjutnya subjek diminta melakukan penilaian terhadap tayangan kasus video vignette krisis psikologis menggunakan instrumen TAS-CI. Penelitian ini menghasilkan uji konsistensi internal Cronbach's Alpha = 0,772-0,861, uji reliabilitas inter-rater membuktikan tidak ada perbedaan bermakna penilaian krisis oleh residen psikiatri, dokter muda dan perawat untuk kasus krisis derajat ringan dan sedang, namun terdapat perbedaan bermakna untuk kasus krisis derajat berat. Hasil uji validitas isi = 0,991 dan validitas konstruksi menunjukkan korelasi komponen dengan skor total TAS-CI yang baik (p <0.001). Instrumen TAS-CI terbukti kesahihan dan keandalannya dalam menentukan derajat keparahan krisis psikologis pasien untuk krisis derajat sedang dan ringan, namun berhati-hati untuk penilaian kasus krisis derajat berat. ...... This thesis discusses the validity and reliability of Indonesian version of Triage Assestment System: Crisis Intervention (TAS-CI) instrument. Psychological crisis may cause many kind of psychological disorders to the patients. We need the valid and reliable instrument for assest the severity of psychological crisis as base to perform the apropriate interventions. For testing the validity and reliability TASCI, we used RSCM Psychiatry Departement medical staff (N=50) as subject, and ask them to rate the crisis cases from videos vignette by using TAS-CI. The study resulted chronbach`s alpha score = 0,772-0,861, Inter-rater reability test resulted no significant different of rating by psychiatry residents, nurses, and junior clerkship doctors for light and mild crisis cases, but significant different for severe crisis. Content validity test resulted = 0,991 and construction validity test resulted the good correlation between components instrument to total score instruments (p<0,001). The study proved the validity and reliability instrumentnt for rating the severity of crisis for light and mild crisis case, but still needs carefully attention in rating severe crisis case.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayinda Raumanen
Abstrak :
Latar belakang. Ketaatan pengobatan merupakan faktor penting untuk memberikan luaran yang baik pada ODGJ. ODGJ yang taat dengan pengobatan baik taat akan medikasi maupun perjanjian kontrol dapat mengalami pengurangan gejala psikopatologi, penurunan tingkat admisi rumah sakit, dan menurunnya tingkat kekambuhan gejala. Banyak faktor yang memengaruhi ketaatan pengobatan yang berasal dari ODGJ dan keluarga, tenaga kesehatan, dan layanan kesehatan. Faktor layanan kesehatan yang dimaksud adalah kompleksitas regimen obat, pembiayaan, akses, dan sistem rujukan pada layanan kesehatan. Sebagai rumah sakit rujukan nasional, kasus di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo cenderung kompleks dan jenis obat yang terdapat pada rumah sakit ini lebih bervariasi dibandingkan fasilitas kesehatan lain. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor layanan kesehatan dengan ketaatan pengobatan di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Metode. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed methods, pendekatan kuantitatif ditujukan untuk melihat hubungan regimen pengobatan dengan ketaatan pengobatan dan kualitatif untuk melihat pengaruh pembiayaan, akses, dan sistem rujukan pada ketaatan pengobatan ODGJ di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Desain yang digunakan untuk metode kuantitatif adalah repeated measures, data ketaatan pengobatan ODGJ diambil tiap bulan dengan menggunakan instrumen self-report MARS selama 3 bulan berturut-turut dan jenis obat yang digunakan diambil dari catatan rekam medis. Selanjutnya dilakukan analisis perbandingan rerata skor MARS dan rerata skor MARS per domain antara regimen obat I (antipsikotik tunggal maupun kombinasi antipsikotik) dan regimen obat II (antipsikotik kombinasi dengan psikotropika lainnya). Penelitian kualitatif pada penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam dengan subjek yang sudah menyelesaikan pengambilan data MARS selama 3 bulan. Data yang diperoleh kemudian dibuat transkrip dan dimasukkan ke dalam matriks. Matriks yang dibuat kemudian divalidasi dengan metode triangulasi isi, metode, maupun investigator. Hasil. Pada penelitian kuantitatif ditemukan ODGJ dengan regimen obat II dalam 3 bulan cenderung memiliki skor MARS lebih tinggi dibandingkan dengan regimen I meskipun secara statistik tidak bermakna. Akan tetapi, pada analisis domain MARS terdapat hubungan bermakna antara skor sikap bulan II dan III pada regimen obat I (p=0,03). Pada penelitian kualitatif ditemukan bahwa biaya pengobatan, biaya transportasi, biaya kebutuhan non medis, akses, jarak, waktu, motivasi, dan penolakan ke layanan kesehatan dapatmemengaruhi ketaatan pengobatan ODGJ di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Simpulan. Regimen pengobatan memengaruhi sikap ODGJ pengobatan. Demikian pula biaya untuk pengobatan, dan non-pengobatan, akses, jarak, waktu, motivasi, dan penolakan ke fasilitas kesehatan memengaruhi ketaatan pengobatan ODGJ. ......Background. Adherence to treatment is an important factor to provide good outcomes in people living with mental disorder (PLWMD). PLWMD who are adherent to both medication and doctor’s appointment can experience a reduction in psychopathological symptoms, decreased hospital admissions, and decreased rates of symptom recurrence. Factors influencing adherence to treatment originate from PLWMD and their families, health workers, and health services. The health service factors that can affect adherence include the complexity of drug regimen, cost, access, and the referral system of health services. As a national referral hospital, case at RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo tends to be complex and the types of drugs available at this hospital are more varied than other health facilities. This research was conducted to determine the relationship between health service factors and medication adherence in RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Method. This study used a mixed-methods approach. A quantitative approach aimed at seeing the relationship between treatment regimens and adherence and a qualitative approach to see the effect of cost, access, and referral systems on PLWMD treatment adherence at RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. The design used for the quantitative method was repeated measurements. Treatment adherence was taken monthly using the MARS self-report instrument for 3 consecutive months and the types of drugs used were taken from medical records. Furthermore, a comparative analysis of the MARS score’s mean per domain was carried out between drug regimen I (single antipsychotic or combination antipsychotic) and drug regimen II (combination antipsychotic with other psychotropic drugs). Qualitative research in this study used in-depth interviews with subjects who have completed the MARS data collection for 3 months. The obtained data were transcribed and entered into a matrix. The matrix was validated using the content, method, and investigator triangulation. Results. In the quantitative study, it was found that PLWMD with drug regimen II within 3 months tended to have a higher MARS score than regimen I although it was not statistically significant. However, in the MARS domain analysis, there was a significant relationship between month II and III attitude scores on drug regimen I (p = 0.03). In qualitative research, it was found that medical costs, transportation costs, costs for non-medical needs, access, distance, time, motivation, and refusal to health services could affect compliance with PLWMD treatment at RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Conclusion. The treatment regimen influences attitudes towards treatment of PLWMD. Likewise, costs for treatment and non-treatment, access, distance, time, motivation, and refusal to go to health facilities affect compliance of PLWMD.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahira Khansa Nabilah
Abstrak :
Pendahuluan: Skizofrenia dapat mengganggu interpretasi ekspresi wajah sehingga berdampak negatif terhadap kehidupan pasien. Interpretasi ekspresi emosi wajah dipengaruhi oleh etnis dan budaya. Belum tersedia instrument interpretasi ekspresi wajah berdasarkan budaya Indonesia. Penelitian ini bertujuan melakukan standardisasi Instrumen Ekspresi Emosi Wajah Versi Indonesia di antara orang sehat. Metode: Mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia yang memenuhi kriteria inklusi diminta untuk memilih jenis, valensi, dan arousal emosi dari 69 foto wajah yang divalidasi oleh psikiater. Foto wajah merupakan foto wajah dari sepuluh aktor yang menampilkan secara acak 7 jenis emosi dasar (netral, bahagia, sedih, marah, terkejut, jijik, takut). Hasil: Seratus enam mahasiswa kedokteran dengan rerata usia adalah 20 (18-22) tahun memiliki skor BAI (Beck Anxiety Inventory) yaitu 16.18±9.3 dan skor BDI (Beck Depression Inventory) yaitu 16 menginterpretasikan ekspresi emosi wajah dari 69 foto wajah untuk memperoleh nilai standar (rerata konsistensi, skor valensi dan arousal) dan confusion matrix Instrumen Ekspresi Emosi Wajah Versi Indonesia. Rerata konsistensi tiap jenis emosi yaitu senang (86.5%), terkejut (84.2%), marah (76.5%), netral (75.9%), jijik (71.6%), sedih (58.4%), dan takut (50%). Skor valensi tiap jenis emosi yaitu senang (4±0.4), netral (3±0.3), terkejut (2.7±0.2), jijik (2.2±0.1), sedih (2.1±0.2), marah (2.1±0.2), dan takut (2). Skor arousal tiap jenis emosi yaitu senang (3.6±0.3), takut (3.5), sedih (3.4±0.2), marah (3.4±0.2), terkejut dan jijik (3.3±0.2), netral (2.9±0.4). selain itu, berdasarkan confusion matrix, jenis emosi yang sering membuat partisipan bingung adalah takut 50% dan jijik (32.1%). Kesimpulan: Instrumen Ekspresi Emosi Wajah Versi Indonesia memiliki nilai standar berupa rerata konsistensi, valensi, dan arousal; dan confusion matrix dari 7 emosi dasar yaitu netral, senang, sedih, marah, terkejut, jijik, dan takut.
Depok: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amita Pradhani
Abstrak :
Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap gangguan kejiwaan pada mahasiswa tergolong rendah, walaupun prevalensinya masih tinggi. Penelitian ini ingin membandingkan pola sintaksis antara mahasiswa dengan gejala depresi dan tanpa gejala depresi dengan mengukur rerata jumlah pronomina persona orang pertama tunggal. Machine learning digunakan dalam analisis pola sintaksis agar jumlah pronomina persona orang pertama tunggal dapat menjadi penanda biologis yang objektif dari gejala depresi untuk kepentingan skrining dan pencegahan dini. Studi potong lintang dilakukan pada mahasiswa S1 Universitas Indonesia yang berlokasi di Depok dan diperoleh 121 responden dengan data yang mencukupi untuk dianalisis. Hasil pengukuran kuesioner DASS-21 menemukan 37 mahasiswa dengan gejala depresi dan 84 mahasiswa tanpa gejala depresi. Aplikasi berbasis machine learning “StethoSoul” dimanfaatkan dalam proses ekstraksi dan deteksi fitur linguistik dari responden. Mann-Whitney U test dilakukan untuk melihat korelasi antara jumlah pronomina persona orang pertama tunggal dengan gejala depresi. Penelitian ini tidak menemukan korelasi yang signifikan antara kedua variabel yang diteliti. Penemuan ini berkontradiksi dengan hasil dari banyak penelitian yang mendahului. Meskipun hasil tidak signifikan secara statistik, terdapat peningkatan jumlah pronomina persona orang pertama tunggal pada mahasiswa dengan gejala depresi. Dengan demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tidak berhubungan karena berbagai faktor keterbatasan pada studi ini. ......Although the prevalence of depression on university students is high, awareness regarding their mental health in Indonesia remains underestimated. This research compared the syntax pattern between undergraduates with and without depression symptoms by measuring the average sum of first-person singular personal pronouns. Syntax pattern was analysed with the assistance of machine learning so that first-person singular personal pronouns can become an objective biomarker of depression symptoms for future screening and preventive measures. A cross-sectional study was conducted on undergraduate students at University of Indonesia in Depok. A total of 121 respondents who fulfilled the criteria were analyzed. Based on DASS-21 measurement, 37 students displayed depression symptoms while 84 others did not. “StethoSoul”, a machine-based learning application, was utilized to extract and detect linguistic features of the respondents. Mann-Whitney U test was done and showed no statistically significant correlation between the two variables being studied. This finding contradicts the outcomes of numerous prior studies. However, an increase in the number of first-person singular personal pronouns of undergraduates with depression symptoms was evident. Therefore, it cannot be concluded that the variables under investigation do not exhibit any correlation due to the limitations inherent in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Angelin
Abstrak :
Latar Belakang Gangguan kecemasan lebih banyak terjadi pada saat seseorang memasuki fase dewasa muda. Kecemasan merupakan salah satu faktor risiko dalam perilaku bunuh diri di dunia dan penyebab kematian kedua yang terjadi di kalangan mahasiswa atau dewasa muda. Saat ini, perkembangan AI dalam bentuk aplikasi berbasis machine learning telah banyak digunakan dalam berbagai bidang. Akan tetapi, penggunaan aplikasi berbasis machine learning di dunia medis, khususnya dalam mendeteksi dini gangguan kecemasan di Indonesia masih terbatas. Metode Studi ini menggunakan desain studi cross-sectional, dengan metode pengambilan sampel purposive sampling. Data terkait gejala kecemasan akan diambil dari hasil pengisian kuesioner STAI, sedangkan perseverasi akan dihitung melalui hasil transkrip perekaman suara pada aplikasi “StethoSoul”. Karakteristik studi akan ditampilkan dalam bentuk data deskriptif. Analisis statistik menggunakan uji alternatif Mann-Whitney, dengan hasil yang dianggap signifikan adalah p<0,05. Hasil Dalam penelitian ini terdapat total sebanyak data dari 121 mahasiswa yang memadai untuk dianalisis. Berdasarkan hasil analisis statistik, ditemukan adanya perbedaan yang signifikan pada komponen SAI (p=0.007), sedangkan pada komponen TAI, tidak ditunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p=0.480) antara perseverasi dengan kelompok gejala kecemasan. Kesimpulan Hipotesis nol penelitian ini ditolak karena pada kedua komponen ditemukan adanya perbedaan perseverasi antara kelompok dengan gejala kecemasan sedang dan gejala kecemasan berat. ......Introduction Anxiety disorders are becoming increasingly prevalent throughout the adolescent years. It is also a major risk factor for suicide behavior and the second leading cause of death among university students and adolescents. AI is now being used in a variety of fields as a machine learning-based application. However, its use in medicine, particularly for the early detection of anxiety disorders, is yet unknown in Indonesia. Method Purposive sampling was used in this cross-sectional study. Data regarding anxiety symptoms are obtained from STAI questionnaire, while perseveration was count from the recording transcript in the “StethoSoul” applicaiton. Study characteristics were shown as a descriptive data. Mann-Whitney test was applied in this study, with the findings considered significant if p<0,05. Results A total of 121 samples are eligible for analysis. Statistical analysis revealed a significant difference between perseveration and anxiety symptoms on the SAI component (p=0.007) but no significant difference on the TAI component (p=0.480). Conclusion The null hypothesis was rejected because there is difference between perseveration in moderate anxiety symptoms and high anxiety symptoms group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>