Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Untung Nugroho
Abstrak :
Proses pemberian independensi bank sentral di Indonesia dimulai dengan ditandatanganinya letter of intent kepada IMF tanggal 15 Januari 1998 oleh Presiden Soeharto. Langkah ini kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keppres No.23/1998 tentang pemberian kewenangan kepada Bank Indonesia 031) yang memberikan kebebasan dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan di bidang pengendalian moneter, penentuan suku bunga, kurs, dan kebijakan devisa. Langkah itu diikuti dengan keputusan untuk tidak lagi memasukkan Gubernur BI di dalam Kabinet Reforrnasi Presiden Habibie, akhir Mei 1998. Akhirnya pada bulan Mei 1999 dikeluarkan UU No.23 Tahun 1999 tentang BI yang secara resmi memberikan status BI sebagai lembaga yang independen. Pemberian status independen kepada BI ternyata menimbulkan kontroversi karena independensi BI dinilai berlebihan bahkan muncul pendapat keberadaan BI seperti negara dalam negara. Gleh karena itu karya akhir ini berupaya untuk menjelaskan seberapa besar tingkat independensi BI saat ini (berdasarkan UU No.23 Tahun 1999) dibandingkan dengan independensi BI di masa lalu (berdasarkan UU No.13 Tahun 1968) serta membandingkannya dengan independensi bank sentral negara-negara lain. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, karya akhir ini akan melakukan pengujian terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa tingkat independensi BI berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 lebih besar dibandingkan dengan tingkat independensi BI berdasarkan UU No.13 Tahun 1968. Metode yang akan digunakan dalam pengukuran tingkat independensi BI adalah metode Cukiennan, yaitu dengan melakukan penilaian terhadap 16 variabel dari 4 aspek independensi yang terkandung dalam UU BI yaitu aspek : (1) prosedur pengangkatan dan masa jabatan dewan gubernur; (2) formulasi kebijakan dan anggaran; (3) tujuan bank sentral; dan (4) pembatasan pemberian kredit kepada pemerintah. Masing-masing variabel akan dinilai dari angka 0 sampai dengan angka 1, semakin besar nilai variabel menunjukkan adanya tingkat independensi yang semakin tinggi. Cukierman mengakui bahwa penggunaan independensi legal saja sebagai indikator tingkat independensi bank sentral memiliki kelemalian yaitu, pertama, independensi legal tidak lengkap dan tidak dapat menjelaskan kondisi riil batasan wewenang antara bank sentral dan penguasa politik di suatu negara, kedua, apabila independensi legal menjelaskan cukup tegas dalam prakteknya mungkin berbeda. Namun demikian independensi legal dapat digunakan sebagai indikator yang panting dengan alasan, pertama, independensi legal mengindikasikan tingkat independensi yang diberikan legislatif kepada bank sentral, kedua, hampir semua penelitian sistematis mengenai independensi bank sentral yang telah dilakukan para ahli mempercayakan semata-mata pada indikator independensi legal. Selain pengukuran secara kuantitatif, karya akhir ini juga akan menganalisis secara kualitatif terhadap beberapa variabel independensi BI berdasarkan UU No.23 Tabun 1999 dengan menggunakan, pertama, pendekatan teoritis yang digunakan oleh Amtenbrink yaitu dengan menganalisis independensi bank sentral dari 4 (empat) aspek yaitu aspek institusional, fungsional, organisasional, dan keuangan. Kedua, interpretasi secara sistematis terhadap beberapa issue dalam UU BI yang menjadi bahan perdebatan publik. Berdasarkan hasil pengukuran dengan metode Cukierman, tingkat independensi BI berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 memperoleh nilai 0.67 sedangkan berdasarkan UU No.13 Tahun 1968 hanya memperoleh nilai 0.21. Kenaikan tingkat independensi yang signifikan terutama disebabkan adanya peningkatan independensi dalam penentuan kebijakan moneter dan independensi dewan gubernur BI. Tingkat independensi BI berdasarkan UU No.13 Tahun 1968 relatif rendah dibandingkan negara berkembang atau negara maju Iainnya. Bahkan urutan Indonesia masih di bawah Philipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Namun demikian berdasarkan UU No.23 Tahun 1999, tingkat independensi BI hampir sama dengan tingkat independensi negara Jarman dan melampaui tingkat independensi negara Amerika Serikat yang dianggap negara pelopor dalam independensi bank sentralnya. Kenaikan independensi yang sangat signifikan dalam penentuan kebijakan moneter tercantum dalam Pasal 10 UU No.23 Tahun 1999 yang menyatakan bawwa BI menentukan laju inflasi sebagai sasaran kestabilan nilai rupiah. Sasaran ini harus diumumkan dan kemudian menjadi goal untuk dicapai. Menurut penjelasannya, sasaran ini ditentukan secara tahunan menurut tahun kalender dan dapat berbeda dengan asumsi laju inflasi yang digunakan pemerintah dalam menyusun rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Di sini dapat menimbulkan masalah bagaimana kalau terjadi perbedaan tingkat inflasi yang dijadikan sasaran kebijakan moneter BI dengan asumsi pemerintah. Perbedaan ini dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan dunia usaha serta menambah ketidakpastian pasar yang justru harus dijaga. Selain hal tersebut di atas, sistem yang memberikan kebebasan bank sentral menentukan sendiri sasaran yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapainya juga mengandung kelemahan yaitu dapat mengurangi rasa tanggung jawab bank sentral dan membuka kemungkinan kurang cermatnya lembaga tersebut rnenentukan sasarannya. Bank sentral dapat saja menentukan sasaran yang gampang dicapai, akan tetapi belum tentu sasaran yang ditentukan itu relevan bagi pasar. Alternatif yang terbuka adalah bahwa sasaran laju inflasi ditentukan oleh pemerintah. Ini tidak menghilangkan independensi BI hanya saja independensinya bukan dalam penentuan sasaran tetapi dalam cara atau teknik mencapai sasaran termasuk menentukan sasaran antara dan pemilihan sarana (instrumen moneter) yang digunakan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Jadi BI bebas menentukan sasaran antara dan teknik bagaimana mencapai sasaran laju inflasi yang telah ditentukan pemerintah. Sistem ini telah diterapkan di Selandia Baru. Blinder mengatakan bahwa independensi bank sentral berarti bahwa lembaga ini bebas menentukan bagaimana cara mencapai sasaran yang telah ditentukan, dan keputusan-keputusan yang sudah dibuatnya sangat sukar bagi lembaga lain di dalam pemerintahan untuk mengubahnya. Akan tetapi kebebasan menentukan cara mencapai sasaran tidak berarti bank sentral menentukan sendiri sasaran tersebut. Sasaran ini ditentukan dalam sistem demokrasi oleh pejabat yang dipilih rakyat dan bank sentral menundukkan diri pada keinginan publik. Dalam sistem yang berlaku di Indonesia, presiden yang dipilih rakyat yang menentukan sasaran inflasi. Sistem penentuan sasaran moneter oleh presiden tetap memberikan kedudukan independen kepada bank sentral. Kebebasan yang diberikan kepada bank sentral bukan dalam menentukan sasaran moneter, tetapi dalam menentukan bagaimana cara mencapai sasaran tersebut. Fischer menyebutkan posisi bank sentral yang dernikian disebut sebagai instrument independence tetapi bukan goal independence. Dalam menentukan sasaran tunggal laju inflasi tersebut hendaknya BI dan pemerintah secara tegas menerapkan kerangka .kerja inflation targeting framework. Hal ini terutama untuk menciptakan kredibilitas bank sentral dengan mengumumkan target inflasi secara eksplisit dan diumumkan kepada publik sehingga masyarakat akan mengetahui sejauh mana usaha bank sentral mencapai target yang sudah diumumkan tersebut. Kredibilitas bank sentral ini penting karena akan mempengaruhi publik dalam membuat ekspektasi inflasi. Jika publik percaya bahwa bank sentral akan memegang janjinya untuk mencapai target inflasi, publik akan mengkalkulasi kegiatan usahanya berdasarkan tingkat inflasi yang sudah dijanjikan yang pada gilirannya akan membantu usaha bank sentral untuk menjaga kestabilan harga.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T4981
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurwati
Abstrak :
Desentralisasi bertujuan memberi peluang dan kesempatan yang lebih besar kepada daerah menuju otonomi daerah yang mandiri dan bertanggung jawab dalam rangka memberi pelayanan dan perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat serta pemberdayaan (empowering) masyarakat. Dalam upaya pelaksanaan desentralisasi, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tabun 2000 tentang Kewenangaan Pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Dalam peraturan tersebut kewenangan pemerintah pusat lebih kepada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standard, kriteria dan prosedur, sedangkan kewenangan pelaksanaan hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan antara lain untuk mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara serta menjamin kualitas pelayanan umum yang berskala nasional. Untuk mengetahui seberapa besar berubahan yang telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah, dilakukan suatu evaluasi yang membandingkan program-program Departemen Kesehatan pada masa sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tabun 2000 dan masa diberlakukannya peraturan tersebut sehingga dapat terjawab pertanyaan-pertanyaan berikut; Seberapa jauh perbedaan anggaran kesehatan sebelum dan saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000? Bagaimanakah proporsi anggaran pada masing-masing program sebelum dan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000? Seberapa besar perubahan anggaran sebelum dan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 untuk setiap program? Bagaimanakah implikasi kebijakan publik yang sebaiknya diambil oleh Departemen Kesehatan? Untuk menganalisis permasalahannya digunakan metode pengukuran efisiensi anggaran belanja Departemen Kesehatan, dengan melihat proporsi anggaran belanja rutin dan belanja pembangunan yang dilakukan terhadap data tahun 1997/1998 - 2000 sebagai masa pra desentralisasi dan tahun 2001- 2002 sebagai era desentralisasi. Analisa statistik dilakukan dengan bantuan program Exel-for window untuk menggambarkan proporsi masing-masing variable. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) tidak ada perbedaan anggaran kesehatan yang mencolok pada masa pra dan pasta desentralisasi; (2) meningkatnya pengeluaran pemerintah tidak selalu diikuti dengan meningkatnya anggaran kesehatan; (3) porsi anggaran belanja rutin Departemen Kesehatan selalu lebih besar dari anggaran pembangunan; (4) Belanja Pegawai selalu memiliki porsi terbesar dari anggaran belanja rutin baik pada masa pra desentralisasi maupun era desentralisasi. Walaupun ada perubahan pengelompokan program kesehatan pada masa desentralisasi, dan telah adanya paradigma sehat yang lebih mengutamakan kegiatan promotif dan preventif namun dari analisis kegiatan menunjukkan bahwa program pelayanan kesehatan tetap menduduki prioritas pertama baik pada masa pra desentralisasi maupun era desentralisasi hanya terjadi sedikit pergeseran proporsi pada program kesehatan lainnya. Selain itu masih banyak kegiatan yang berdasar peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, masih dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, dan hanya ada sedikit pergeseran proporsi dari program. Kesimpulan dari analisis ini adalah pelaksanaan desentralisasi belum sepenuhnya dilaksanakan di Departemen Kesehatan, terbukti dengan masih banyaknya kewenangan daerah yang masih dilakukan oleh pemerintah pusat dan masih sedikitnya produk kebijakan/pedoman/standard yang mendorong pelaksanaan desentralisasi di daerah dimana justru hal tersebut yang sangat dibutuhkan oleh daerah. Saran yang disampaikan adalah agar Departemen Kesehatan melakukan pengkajian tentang program-program/kegiatan-kegiatan yang menjadi kewenangan pusat, propinsi dan Kabupaten/Kota dan melakukan prioritas program yang mendukung pembangunan kesehatan secara makro sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Kepustakaan : 40 (1986 - 2001).
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T11450
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Sawalina
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk "melihat seberapa besar pengeluaran pembangunan mempengaruhi perekonomian khususnya indikator-indikator ekonomi makro pada model ekonomi makro triwulanan di Indonesia". Metode analisis yang digunakan adalah model ekonometri, yaitu model persamaan simultan, dengan 8 persamaan (yang terdiri dari persamaan identitas dan persamaan tingkah laku). Hipotesa yang ingin dibuktikan adalah: 1. PDB=Cg+Cp+PMTB +CIS+X-M 2. CP =ao+a₁PDB+a2 CP­ ₁+e₁ PDB dan CP­ ₁ mempunyai hubungan positif dengan CP, artinya bahwa jika PDB dan CP­ ₁ naik maka Konsumsi swasta akan naik, dan begitu juga sebaliknya. 3. CG =bο+b1 PDB+b2 CG­ ₁ +e2 PDB dan CG­ ₁ berhubungan positif dengan CG, artinya bahwa jika PDB dan CG­ ₁ naik maka Konsumsi pemerintah akan naik, dan sebaliknya jika CG turun. 4. PMTB = cο+c1 PDB-c2 KI +c3GDE+c4FDI +c5 PMTB + e3 Hubungan antara PDB, GDE dan FDI serta PMTB­ ₁ dengan PMTB adalah positif yang berarti bahwa jika PDB, GDE, dan FDI naik maka nilai PMTB akan naik dan sebaliknya jika PMTB turun, sedangkan hubungan PMTB dengan KI adalah negatif artinya jika KI naik, maka akan menurunkan PMTB. 5. X =dQ+dY PDB+d2 XCR-d3 EXPTAX+d4 X+e4 Hubungan antara PDB, XCR Ekspor periode sebelumnya dengan Ekspor adalah positif yang menunjukkan bahwa jika PDB, XCR, dan X­ ₁, naik maka nilai ekspor barang dan jasa akan naik dan begitu juga sebaliknya, sedangkan hubungan X dengan EXPTAX adalah negatif artinya jika pajak ekspor naik, maka akan menurunkan ekspor. 6. M =f0+f1 PDB-f2 XCR- f3 IMPTAX +f4 M+es Hubungan antara PDB dan M­ ₁ dengan Impor adalah positif yang menunjukkan bahwa jika PDB dan M­ ₁ naik maka nilai impor barang dan jasa akan naik dan begitu juga sebaliknya, sedangkan hubungan M dengan XCR dan IMPTAX adalah negatif artinya jika nilai tukar rupiah menguat dan pajak impor naik, maka akan menurunkan impor. 7. KI =go+g1 PDB+g2RSBI -g3 NM +e₆ Hubungan antara PDB dan RSBI dengan Suku bunga kredit investasi adalah positif yang menunjukkan bahwa jika PDB dan RSBI naik maka KI akan naik dan jika RSBI turun maka akan menurunkan KI, sedangkan hubungan NM dengan KI adalah negatif artinya jlka jumlah uang beredar (Ml) naik, maka akan menurunkan KI. 8. FDI = ha + hl PDB + h2 XCR + h3 KI + e₇ Hubungan antara PDB dan XCR dengan KI adalah positif yang menunjukkan bahwa jika PDB, Kurs, dan KI naik maka Penanaman Modal Asing akan naik, begitu juga sebaliknya. Hasil simulasi dengan model persamaan di atas, adalah: 1. Kebijakan pengeluaran pembangunan mempengaruhi beberapa indikator ekonomi makro tersebut yaitu: PDB, PMTB (Investasi), Penanaman Modal Asing, Konsumsi Pemerintah dan Swtasta, Ekspor dan Impor Barang dan Jasa, serta Suku Bunga Kredit Investasi. 2. Skenario 1 yang merupakan modifikasi dari Propenas merupakan skenario terbaik karena menambah persentase pengeluaran pembangunan terhadap PDB dengan bertahap.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T12039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iswan Ramdana
Abstrak :
Penerimaan pemerintah berperan sangat penting bagi keberhasilan pembangunan nasional mengingat kebutuhan pengeluaran rutin dan pembangunan Pemerintah selalu meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai ilustrasi, total pengeluaran Pemerintah pada tahun fiskal 1985/1986 yang baru mencapai Rp. 22,8 trilyun telah melonjak menjadi Ro. 354,6 trilyun pada tahun fiskal 2001 atau mengalami pertumbuhan rata-rata 19,5 % per tahun. Kebutuhan anggaran tersebut semakin membengkak pada tahun-tahun terakhir akibat berbagai faktor yang saling berkaitan, mulai dari merosotnya nilai mata uang rupiah, likuidasi dan restrukturisasi perbankan, bencana alam banjir dan kekeringan, serta konflik sosial dan politik, yang kemudian berujung pada krisis multidimensional. Pada masa krisis ekonomi, alokasi pengeluaran pemerintah semakin meningkat tajam guna mengakoniodasi berbagai program untuk mengatasi dampak krisis, seperti kebijakan subsidi, perlindungan terhadap masyarakat miskin, dan pemberian stimulus fiskal bagi pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Upaya pemulihan dan perlindungan terhadap masyakat tersebut akhirnya belum dapat dilakukan secara maksimal berkaitan dengan keterbatasan yang dihadapi pada sisi penerimaan negara. Dalam perencanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, penerimaan dalam negeri yang berupa hasil minyak bumi dan gas, pajak dan non pajak terutama digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah yang meliputi: belanja pegawai, belanja barang, subsidi. daerah otonom, bunga dan cicilan utang. Sedangkan untuk pengeluaran pembangunan dibiayai oleh surplus penerimaan dalam negeri yang dikenal sebagai tabungan pemerintah dan penerimaan dari pinjaman luar negeri. Namun yang perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah pinjaman luar negeri Pemerintah telah mencapai US$ 70 milliar, sedangkan pinjaman pihak swasta mencapai US$ 80 milliar pada tahun 1999. Sementara itu cicilan bunga dan utang luar negeri pemerintah untuk tahun anggaran 1999/2000 telah mencapai Rp. 44,4 trilyun atau sekitar 31,2°k dari penerimaan dalam negeri yang berjumlah Rp. 142,2 trilyun. Untuk itu maka penerimaan dalam negeri.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12052
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suherman
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi pengaruh variabel pendapatan nil, suku bunga dan nilai tukar Rupiah terhadap permintaan uang kartal di Indonesia. Data yang digunakan dalam kajian empiris ini merupakan data runtun waktu triwulanan periode 1990:I sampai dengan 2002:IV atau 52 pengamatan yang diperoleh dari berbagai sumber penerbitan. Alat analisis yang digunakan Kointegrasi dan Model Koreksi Kesalahan teknik Two Step Procedure. Estimasi persamaan jangka panjang terhadap permintaan uang dibagi dalam tiga periode yaitu pertama, periode 1990:1 - 2002:IV, kedua, periode 1990:I - 1997:11, dan ketiga, periode 1997:I11 - 2002:IV. Hasil estimasi untuk ketiga periode tersebut di atas hanya periode pertama yaitu 1990:I - 2002:IV yang layak dijadikan persamaan jangka panjang permintaan uang Indonesia karena tanda yang dihasilkan sesuai dengan hipotesis yang diajukan, di samping residual yang dihasilkan memenuhi syarat teknik "Two Step Procedure" yaitu residual harus stasioner atau stabil pada level I(0). Hasil estimasi Model Koreksi Kesalahan memberikan informasi bahwa seluruh variabel yang digunakan menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap permintaan uang. Nilai t statistik koefisien Error Correction Term (Residual) signifikan dengan tanda negatif. Hal ini membuktikan bahwa spesifikasi model koreksi kesalahan sudah layak. Koefisien ECT sebesar -0.4245 dapat diinterpretasikan bahwa pelaku ekonomi menentukan berapa besar uang kartal yang dipegang dalam jangka panjang, berdasarkan kebutuhan transaksi, namun dalam jangka pendek, mereka menyesuaikan kebutuhannya sekitar 42% terhadap deviasi keseimbangan triwulan lalu. Uji diagnostik yang dilakukan terhadap model koreksi kesalahan yaitu uji korelasi serial, uji heteroskedastisitas dan uji multikolinieritas menunjukkan bahwa model koreksi kesalahan tidak terdapat korelasi serial di antara residual, mempunyai varians yang sama atau homoskedastisitas dan tidak terdapat multikolinieritas antar variabel independen. Dad penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel yang digunakan untuk menjelaskan permintaan uang kartal Indonesia stabil pada first difference I(1) dan berkointegrasi atau terdapat hubungan keseimbangan yang erat dalam jangka panjang.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Perdi
Abstrak :
Sejak diberlakukannya UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, peranan Bank Indonesia semakin lebih fokus terhadap pelaksanaan tugas sebagai bank sentral/otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan operasi pengendalian moneter melalui piranti-piranti moneter untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dalam rangka menjaga kestabilan nilai rupiah yang tercermin dari laju inflasi (barang dan jasa) serta dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Pelaksanaan atas kebijakan moneter dan perekonomian telah menunjukkan perkembangan yang cukup kondusif dan terkendali. Diantaranya telah terjaga stabilitas moneter dari keuangan yang ditunjukkan oleh indikator-indikator makro perekonomian Indonesia diantaranya nilai tukar, inflasi dan ekspor telah menunjukkan perbaikan, sehingga dapat lebih selaras dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Walaupun kepercayaan terhadap perekonomian tersebut telah diraih, namun masih banyak permasalahan yang harus dihadapi diantaranya fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih terlihat dari penyaluran kredit perbankan dan penyerapan sektor riil belum sepenuhnya berlangsung. Oleh sebab itu dana lebih banyak berputar di sektor keuangan. Hal ini mengakibatkan adanya tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi sehingga fungsi Bank Indonesia menjaga kestabilan nilai tukar mengalami tekanan. Sesuai dengan kondisi perekonomian tersebut diatas, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sejak tahun 1999 mengambil langkah kebijakan moneter kontraktif (penyerapan likuiditas), melalui piranti moneter yang dimilikinya melalui pengaturan jumlah uang beredar yang berdampak pada tingginya biaya pengendalian moneter. Dalam tahun 2003 biaya perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter mencapai Rp. 14,4 triliun termasuk pengeluaran untuk diskonto SBI sebesar Rp. 13,9 triliun. Besarnya biaya pengendalian moneter tersebut menyebabkan penurunan kondisi keuangan Bank Indonesia sehingga dalam tahun-tahun mendatang diperkirakan akan mengalami defisit dan apabila kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan dapat menggerogoti permodalan, sehingga dapat menurunkan kredibilitas dan indenpendensi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Untuk itu menjaga sustainable permodalan sangatlah penting agar peranan dan fungsi Bank Indonesia yang cukup stategis dalam perekonomian Indonesia dapat terlaksana dengan baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum berlakunya Undang Undang No. 23 tahun 1999 yakni periode 1996/97 s.d. 1998/99 permodalan Bank Indonesia dapat memenuhi ketentuan permodalan bahkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan keuntungan (surplus) yang diperolehnya. Namun setelah tahun 1999 permodalan Bank Indonesia mulai dipermasalahkan oleh para stakeholder sehubungan dengan peningkatan biaya pengendalian moneter, namun dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan ratio permodalan Bank Indonesia periode 1999 s.d. 2003 dapat terpenuhi bahkan selalu memoeroleh keuntungan (surplus), walaupun secara operasional pada tahun 1999 dan 2003, Bank Indonesia telah mengalami defisit masing-masing sebesar Rp. 5,442 triliun dan Rp. 6,491 triliun, namun dengan dilakukannya revaluasi asset dan penilaian kembali aktiva valuta asing yang dimiliki oleh Bank Indonesia pada tahun 1999 mengakibatkan adanya tambahan pendapatan atas penilaian aktiva valuta asing sebesar Rp. 14,628 triliun sehingga Bank Indonesia dapat membukukan keuntungan sebesar Rp. 9,186 triliun tahun 1999. Sedangkan untuk tahun "2003, Bank Indonesia memperoleh tambahan pendapatan sehubungan dengan adanya penyelesaian BLBI (sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia ) sehingga Bank Indonesia memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp. 9,186 triliun, sehingga Bank Indonesia dapat tetap membukukan keuntungan sebesar 2,153 triliun. Penurunan kondisi permodalan Bank Indonesia sejak tahun 1999 disebabkan oleh : 1. Berkurangnya sumber pendapatan Bank Indonesia diantaranya : a. Dihapuskannya SBPU (Surat Berharga Pasar Uang) dan pemberian Kredit Likuiditas, b. Menurunnya pendapatan dari pengelolaan devisa yang disebabkan oleh penurunan tingkat sukubunga internasional. c. Menurunnya kualitas aktiva yang diakibatkan oleh pengalihan tagihan pemerintah menjadi obligasi yang harus dimiliki sampai jatuh tempo dalam jumlah yang sangat significant (24,1 % dari total aktiva tahun 2003). 2. Meningkatnya biaya pengeluaran Bank Indonesia atas beban pengendalian moneter dan tambahan biaya untuk penyisihan aktiva produktif. Mengingat terjadinya penurunan pendapatan dan peningkatan pengeluaran Bank Indonesia setelah diberlakukannya UU No. 23 tahun 1999 akan dapat meningkatkan defisit keuangan dan berdasarkan proyeksi keuangan yang disusun oleh Bank Indonesia pada tahun 2004 mengalami defisit anggaran sebesar Rp. 14,412 triliun akan dapat mengakibatkan penurunan kondisi permodalan Bank Indonesia, terlebih lagi bila kondisi defisit keuangan tersebut berlanjut pada tahun 2005 diproyeksikan bahwa permodalan Bank Indonesia akan lebih kecil dari 3% (3/100) sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku saat ini, pemerintah akan menyediakan anggaran untuk memenuhi ketentuan permodalan Bank Indonesia, hal ini akan membawa dampak yang kurang menggembirakan terhadap kredibilitas dan indenpendensi Bank Indonesia sebagai penyusun dan pelaksana pengendalian kebijakan moneter di Indonesia. Untuk menjaga sustainable permodalan Bank Indonesia diperlukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Kebijakan Umum Bank Indonesia di bidang keuangan hendaknya memprioritaskan pada upaya meningkatkan surplus dengan jalan mengoptimalkan sumber penerimaan dan sebaliknya mengefisienkan setiap pengeluaran sehingga permodalan Bank Indonesia dapat ditingkatkan. 2. Kebijakan Optimalisasi Penerimaan Dalam rangka optimalisasi dan upaya peningkatan penerimaan, maka langkah yang dapat ditempuh terutama dalam : a. Pengelolaan devisa dengan menyempurnakan sistem yang berlaku melalui optimalisasi profit dengan tanpa mengorbankan likuiditas dan keamanan. b. Pengkajian sumber penerimaan lain, berkenaan dengan pencetakan uang rupiah (seignorage). c. Peningkatan kualitas aktiva yang dimiliki termasuk pencarian sumber-sumber penerimaan baru seperti pengenaan biaya transaksi warkat peserta kliring dan distribusi uang. 3. Kebijakan Pengendalian Beban Dalam rangka peningkatan efisiensi dan menekan jumlah beban, maka langkah - langkah yang dapat ditempuh terutama meliputi: a. Perubahan pengendalian moneter dari target base money menjadi pricing target. b. Pengembangan piranti pengendalian moneter selain SBI, misalnya Treasury Bills (T-Bill), dan secara bertahap menggantikan SBI. c. Mencari alternatif pencetakan dan distribusi uang yang lebih efisien dan efektif. 4. Kebijakan pengaturan perbankan Membuat regulasi/ketentuan yang dapat mendukung peningkatan Loan to Deposit Ratio perbankan tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip kehatian-hatian dalam pemberian kredit sehingga dapat mengurangi over likuiditas perbankan yang dapat meningkatkan tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar. 5. Ketentuan Permodalan Mengingat perubahan ketentuan permodalan Bank Indonesia dari jumlah nominal menjadi prosentase tertentu dari kewajiban moneter telah mengakibatkan para stakeholder mempermasalahkan permodalan Bank Indonesia. Untuk itu perlu ditinjau kembali ketentuan permodalan Bank Indonesia agar jumlah modal minimum Bank Indonesia dapat disesuaikan dengan kondisi keuangan Bank Indonesia tanpa mengabaikan pada prinsip-prinsip permodalan minimum bank sentral.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuspradoto Budi Jati
Abstrak :
Kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menanggulangi kemiskinan di Indonesia bukanlah hal bare. Pada masa Orde Lama kebijakan tersebut diintegrasikan ke dalam program Penasbede. Sejak masa Orde Baru kebijakan tersebut dilaksanakan dari penjabaran Trilogi Pembangunan, GBHN, dan Repelita. Krisis ekonomi tahun 1998 telah menyebabkan kemiskinan kembali menjadi fokus perhatian dalam perekonomian Indonesia. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bermaksud untuk mengetahui apakah kinerja ekonomi makro regional telah berperan dalam mengurangi kemiskinan masyarakat di daerah? Oleh karena variabel-variabel ekonomi makro regional yang mempengaruhi kemiskinan bersifat multi dimensi, maka dalam penelitian yang dilakukan variabel ekonomi dibatasi pada pertumbuhan ekonomi (perkembangan PDRB per kapita riil non-tambang dan penggalian), inflasi (Indeks Harga Konsumen), jumlah penduduk, dan pengeluaran pembangunan APBD Tingkat I per kapita di 26 propinsi. Hasil penelitian terhadap variabel pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa di 17 (tujuh belas) propinsi variabel tersebut berpengaruh tehadap penurunan kemiskinan, sedangkan di 9 (sembilan) propinsi perkembangannya didapati tidak berpengaruh. Inflasi (IHK) terbukti meningkatkan kemiskinan di 14 (empat belas) propinsi, sedangkan di 12 (dua belas) propinsi lainnya perkembangan inflasi tidak berpengaruh terhadap meningkatnya kemiskinan. Perkembangan jumlah penduduk di 13 (tiga belas) propinsi telah berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan. Sementara 13 (tiga belas) propinsi lainnya perkembangannya tidak berpengaruh dalam terhadap meningkatnya kemiskinan. Terdapat 17 (tujuh belas) propinsi dimana pengeluaran pembangunan per kapita berdampak pada penurunan kemiskinan. Sedangkan terdapat 9 (sembilan) propinsi pengeluaran pembangunannya tidak berpengaruh dalam menurunkan kemiskinan. Sementara itu, krisis ekonomi berpengaruh terhadap meningkatnya kemiskinan di 21 (dua puluh satu) propinsi, meskipun di 5 (lima) propinsi Iainnya tidak berpengaruh.
Depok: Fakultas Ekonomi Universitas IndonesiaI, 2006
T17133
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Burmalis Ilyas
Abstrak :
On January 1, 1999, The Euro was officially launched. The Euro's mounting on European and world arena is the most significant event in international monetary sistem as well as international relation. Since the collapse of the Bretton Wood sistem. Certainly, the Euro will have a far-reaching influence on the dollar and international monetary system, European and world economic, political and financial framework and on Europe-US relations in particular. From a medium and long term point of view, the introduction of Euro will pose a grave challenge to the US Dollar and have significant impact on Europe-USA relations mainly as follows: Firstly. Euro will undermine the supremacy of the US Dollar in the financial field and take over the mantle of one of the leading international reserve currencies, rivaling the US Dollar. Second. Euro ushers in a breakthrough in the world trade framework which is being monopolized by US dollar, the Euro will come to he a new world trade transaction unit. Thirdly, Euro will break the monopoly of the US Dollar on international bond market. Fourthly, Euro will nibble at US vested interest derived from the US Dollar and thus affect US economy directly. Hence, the US will by no means sit by and watch the US Dollar losing its supremacy and give up the position of the US Dollar to the Euro. The US possibly will take the following measures to counter the challenge of Euro: first US will devalue its Dollar and thus boost the competitiveness of US commercials and in turn stimulate the domestic economic growth, second. US will revise some international economic rules under a favorable environment, third, in order to reduce its deficit US will urging Europe to open its economy, fourth} US will provoke trade war against the EU, fifth the US will take its advantageous position in various major international economic organization and financial institution to contain and retard the rise of Euro. Last but not least, US will provoke currency war, and one of them is Iraqi war. Iraqi war pertain not only to control over reserves of petroleum, control over money creation and credit is an integral part of the process of economic conquest. I use qualitative research and international realation theory as well as economic theory in this thesis. The conclusion of this thesis is that euro absolutely has significant influence to the US Dollar, International Monetary System as well as Trans-Atlantic relation between US and European Union nowadays and in the future.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T18710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan Triwibowo, 1973-
Abstrak :
Keberadaan sektor kehutanan sebagai komponen utama green conditionality dalam Program Penyesuaian Struktural di indonesia antara lain disebabkan karena lembaga keuangan multilateral memandang sektor ini sebagai representasi pengelolaan ekonomi yang buruk dari rezim pemerintahan yang tengah berlangsung saat itu. Suatu kondisi yang akan dirombak oleh lembaga keuangan multilateral khususnya IMF dalam masa krisis ekonomi untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap fakto ryang melatarbelakangi penerapan green condionality pada pengeolaan hutan di Indonesia sebagai implementasi Program Penyesuaian Struktural oleh lembaga kreditor multilateran semenjak krisis ekonomi tahun 1997.Serta evaluasi terhadap implementasi green conditionality tersebut dengan menggunakan variabel ownership, fleksibilitas ukurann monitoring, completeness dan consistency conditionality. Juga memberikan rekomendasi bagi pelaksanaan green conditionality antara pemerintah dengan lembaga kreditor multilateral di masa mendatang.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T11908
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erman Suherman
Abstrak :
Tesis dengan judul "Kajian Terhadap Kinerja Keuangan Bank Umum syariah dan Bank Umum Konvensional" ini mencoba melihat perbandingan kinerja keuangan kedua jenis bank yang masing-masing diwakili oleh kelompok bank syariah dan beberapa kelompok bank konvensional. Hasil kajian digunakan sebagai dasar untuk terutama memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan bank sentral tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan bank syariah. Meskipun landasan hukum yang tersedia masih samar-samar, namun pada tahun 1992 telah berdiri sebuah bank syariah (Bank Muamalat Indonesia) yang ditujukan untuk memenuhi tuntutan sebagian masyarakat Islam. Tuntutan sebagian masyarakat Islam tersebut dilandasai oleh suatu keyakinan bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba dan oleh karenanya transaksi dengan bank konvensional sedapat mungkin dihindari. Bank syariah yang prinsip operasionalnya antara lain tidak menerapkan sistem bunga dan menghindari usaha spekulasi valuta asing, pada masa krisis perbankan yang teriadi sejak tahun 1997 terbukti mampu bertahan dari gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga bank konvensional yang tinggi. Hal-hal tersebut, yaitu terdapatnya kebutuhan sebagian rnasyarakat atas pelayanan jasa perbankan syariah dan pengalaman krisis perbankan telah memberikan inspirasi kepada pemerintah dan bank sentral untuk menerapkan dual banking system di Indonesia, yaitu penerapan dua sistem perbankan yang terdiri dari bank konvensional dan bank syariah. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan penyiapan landasan hukum yang lebih tegas bagi pengembangan bank syariah, yaitu diterbitkannya Undang-Undang No.10/1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7/1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Produk hukum pertama berkaitan dengan pemberian ijin kepada suatu bank umum untuk mefakukan pembiayaan dengan prinsip syariah, sedangkan produk hukum kedua, memberikan arnanat kepada Bank Sentral untuk mempersiapkan perangkat peraturan dan fasilitas penunjang untuk mendorong berkembangnya bank syariah di Indonesia. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.10/1998 (UU No.10/1998) tersebut bank syariah, balk dilihat dari sisi kelembagaannya maupun perkembangan volume usahanya, berkembang sangat pesat. Namun demikian, pangsa aset bank syariah dalam total aset perbankan nas!onal masih sangat kecil, yaitu pada pertengahan 2004 baru mencapai sekitar 1%, sehingga perlu usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk mendukung perkembangan bank syariah lebih lanjut. Berdasarkan survey yang dilakukan atas kerjasama Bank Indonesia dengan beberapa perguruan tinggi di beberapa daerah yang mayoritas beragama Islam menunjukkan bahwa meskipun masyarakat mengetahui keberadaan bank syariah akan tetapi tidak mengetahui secara jelas produk-produknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat yang beragama Islam tidak mengetahui secara pasti perbedaan antara produk bank syariah dengan bank konvensional. Dalam kaitan ini sosialisasi bank syariah memegang peranan penting agar masyarakat Islam yang rnerupakan pasar utama bank syariah mengetahui secara lengkap mengenai keberadaan bank syariah dan produk-produknya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perbankan mereka. Strategi dan cakupan sosialisai juga menentukan berhasil tidaknya pengembangan bank syariah di waktu-waktu mendatang. Strategi sosialisasi yang selama dilakukan berdasarkan pendekatan keagamaan (Islam) perlu diperiuas dengan mengemukakan value bank syariah secara ekonomi. Hal ini dimaksudkan untuk lebih banyak menarik simpati calon-calon stake-holder untuk berpartner dengan bank syariah.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T17118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>