Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tambun, Jubilate Edward Iruanto
"Latar Belakang: Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif untuk melakukan tugas-tugas eksekutif yang kompleks dengan baik dalam mencapai tujuan sehingga berhubungan erat juga dengan aspek perilaku. Setiap orang termasuk anak, memiliki kapasitas fungsi eksekutif yang berbeda dan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh status sosial maupun ekonomi. Gangguan fungsi eksekutif pada anak SD cukup tinggi. Defisit fungsi eksekutif dapat menyebabkan masalah yang serius pada anak. Pada anak usia sekolah dasar (SD), defisit fungsi eksekutif yang tidak teridentifikasi dapat meningkatkan risiko seorang anak mengalami hambatan dalam perilaku sehari-hari dan performa akademik sehingga menimbulkan kebingungan dan kecemasan pada orang tua dan guru. Anak dengan fungsi eksekutif rendah cenderung kesulitan mengenali tanda-tanda sosial, kesulitan mengatur perilaku, dan bermasalah pada kemampuan belajar. Oleh karena itu, intervensi terhadap fungsi eksekutif pada anak menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan. Intervensi berupa pelatihan fungsi eksekutif menggunakan gim berbasis komputer merupakan intervensi yang banyak dikembangkan belakangan ini. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas intervensi prototipe gim berbasis komputer Indonesia terhadap peningkatan fungsi eksekutif anak SD.
Metode: Penelitian ini berbentuk kuasi-eksperimental yang menggunakan desain penelitian time series. Subjek penelitian akan dilakukan penilaian menggunakan BRIEF-BI format guru sebanyak 4 kali, yaitu pre-intervensi, post 5 sesi intervensi, post 10 sesi intervensi, dan 1 bulan pasca intervensi. Analisis statistik dilakukan dengan uji non-parametrik Friedman dilanjutkan dengan analisis post-hoc dengan uji Bonferroni.
Hasil: Subjek penelitian ini berjumlah 14 orang anak SD berusia 11-12 tahun. Dari hasil analisis didapatkan peningkatan di seluruh ranah fungsi eksekutif yang diukur dengan membandingkan skor BRIEF sebelum dan sesudah intervensi. Perubahan skor GEC setelah intervensi (p<0,001), skala inhibisi (p<0,001), skala adaptasi (p<0,001), skala kontrol emosional (p=0,003), skala inisiasi (p<0,001), skala memori kerja (p<0,001), skala perencanaan (p<0,001), pengorganisasian material (p<0,001), dan monitor (p<0,001). Hasil analisis post-hoc menunjukkan bahwa peningkatan fungsi eksekutif secara umum terjadi setelah 10 sesi intervensi dan tetap bertahan pada pengukuran satu bulan setelah selesai intervensi.
Simpulan: Pelatihan dengan intervensi Prototipe Gim Berbasis Komputer Indonesia dapat meningkatkan fungsi eksekutif anak SD yang bukan GPPH pada seluruh ranah fungsi eksekutif yang dinilai dengan BRIEF-BI format guru. Peningkatan fungsi eksekutif pada anak SD bertahan setelah satu bulan pasca pelatihan.

Background: Executive function is the cognitive ability to perform complex executive tasks well in order to achieve a goal, so that it is also closely related to behavioral aspects. Every person, including children, has a different capacity of executive functions and is not entirely affected by social or economic status. Impaired executive functions in elementary school children remain high. Executive function deficits can cause a serious problem in children. In elementary school-aged children, an unidentified executive function deficit can increase the risk of hindrance in daily behavior and academic performance, causing confusion and anxiety in parents and teachers. Children with weak executive functions tend to have difficulties in recognizing social signs, controling behavior, and have problems with learning abilities. Therefore, intervention on executive function in children is important to be performed. Inteventions in the form of executive function training using computer-based games have been developed recently. This study aims to determine the effectivity of Indonesian computer-based game protoype intervention in improving the executive function of elementary school children.
Methods: This study was conducted using a quasi-experimental design with time-series analysis. Research subjects was assessed using BRIEF-BI teacher format in a total of 4 times, including pre-intevention, post-5 intervention sessions, post-10 intervention sessions, and 1-month post-intervention. Statistical analysis was performed using Friedman non-parametric test followed by post-hoc analysis with Bonferroni test.
Results: The subjects of this study were 14 children in elementary school aged 11-12 years old. Results from the analysis showed improvement in all areas of executive function measured by comparing BRIEF score before and after the intervention. Changes in GEC score after intervention (p<0.001), the inhibit scale (p<0.001), the shift scale (p<0.001), the emotional control scale (p=0.003), the initiate scale (p<0.001), the working memory scale (p<0.001), the plan/organize scale (p<0.001), the organization of materials scale (p<0.001), and the monitor scale (p<0.001). Results of the post-hoc analysis showed that the improvement of executive function generally occured after 10 intervention sessions and persisted in the measurement of one month after the intervention has been completed.
Conclusion: Training with the intervention of Indonesian computer-based game prototype can improve the executive function of elementary school children without ADHD in all areas of executive function measured by the BRIEF-BI teacher format. The improvement of executive function in elementary school children persisted after one month post-intervention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahusilawane, Elvina Katerin
"Latar Belakang. Penyalahgunaan zat merupakan masalah global yang berkembang dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi. Undang undang no 35 tahun 2009 mewajibkan semua penyalahguna zat untuk mengikuti rehabilitasi, namun terdapat perbedaan pendapat terkait efektifitas terapi berdasarkan keinginan untuk mengikuti rehabilitasi. Faktor yang turut berperan dalam keberhasilan rehabilitasi adalah tingkat kesiapan untuk berubah yang terlihat dari motivasinya. Implikasi UU no 35 dapat dilihat melalui perbedaan tingkat motivasi dan hubungannya dengan karakteristik serta mekanisme koping dari individu yang telah menjalani rehabilitasi berdasarkan keinginannya. Metode. Potong lintang melibatkan 100 orang penyalahguna zat yang telah mengikuti rehabilitasi selama periode bulan Juli-September 2014 di Balai Besar Rehabilitasi BNN. Pengukuran tingkat motivasi dengan instrumen University of Rhode Island Change Assessment Scale (URICA) dan mekanisme koping diukur dengan instrumen Brief-Coping Orientation to Problem Experienced (Brief-COPE). Hasil. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada tingkat motivasi antara penyalahguna zat yang mengikuti rehabilitasi secara sukarela dengan yang tidak sukarela setelah mengikuti proses terapi rehabilitasi. Terdapat hubungan antara tingkat motivasi dengan mekanisme koping (nilai p 0.001). Mekanisme koping yang digunakan pada subyek dalam penelitian berupa emotion-focus koping dan skor mekanisme koping yang terbanyak pada tingkat sedang. Simpulan. Tidak terdapat perbedaan tingkat motivasi pada penyalahguna zat yang telah menjalani rehabilitasi berdasarkan keinginan.
Background. Substance abuse is a growing global problem at a fairly high recurrence rate. Indonesia narcotics law no 35 in 2009 requires compulsory treatment for people with drug dependence, nevertheless there are many differences in opinions regarding the effectiveness of therapy based on the willingness to participate. Factors that contribute to the outcomes of rehabilitation s the readiness to change seen by motivation. The implications of the Law No. 35 can be seen through motivational level differences and its relationship with the characteristics and coping mechanisms of substance abusers who have undergone a rehabilitation based on the willingness to be rehabilitated. Method. A crosssectional involving 100 substance abusers who have undergone a rehabilitation program during the period July-September 2014 at BNN rehabilitation center. Motivation level measurement by University of Rhode Island Change Assessment Scale (URICA) instrument and coping mechanism by Brief-Coping Orientation to Problems Experienced (Brief-COPE) instrument. Result. There is no significant differences of motivational level between voluntary and compulsary substance abuser. There is a relationship between the level of motivation with coping mechanisms (p-value 0.001). Coping mechanisms used by the subject is emotionfocused coping with the highest score is at moderate level. Conclusion.There is no difference of motivational level among substance abusers who have undergone a rehabilitation program based on the willingness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Aditya
"Latar belakang: Teori attachment telah terbukti menjadi suatu dasar dalam mempelajari regulasi emosi dan kesehatan jiwa. Pola attachment yang tidak aman merupakan suatu keadaan yang berisiko dan rentan untuk terjadi gangguan jiwa, sedangkan peningkatan keamanan dalam attachment memberikan dampak perbaikan terhadap psikopatologi yang dimiliki seseorang. Pengenalan terhadap pola attachment ini penting untuk menentukan intervensi yang tepat untuk pasien. Pengenalan ini dapat dilakukan dengan melakukan wawancara psikiatri yang mendalam atau dengan menggunakan kuesioner. Menilai pola attachment menggunakan kuesioner membantu psikiater mengetahui pola attachment pasien lebih cepat.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan instrumen Relationship Questionnaire RQ versi Bahasa Indonesia serta menguji kesahihan dan keandalan instrumen Relationship Questionnaire dalam Bahasa Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain uji validitas isi dan uji validitas konstruksi. Uji reliabilitas yang dilakukan adalah reliabilitas konsistensi internal dengan mengukur koefisien korelasi dengan nilai Cronbach's ?.
Hasil: Koefisian validitas isi instrumen RQ versi Bahasa Indonesia adalah 1.00. Keandalan instrumen Relationship Questionnaire versi Bahasa Indonesia menurut nilai Cronbach's ? untuk keseluruhan butir instrumen adalah 0,577. Nilai Cronbach's ? untuk pola A secure adalah 0,279; untuk pola B preoccupied adalah 0,619, untuk pola C fearful adalah 0,659, dan untuk pola D dismissing adalah 0,615.
Simpulan: Instrumen RQ versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan yang baik dan dinilai cukup andal.

Background: Attachment theory has proven as one basic to learn emotional regulation and mental health. Insecure attachment styles were risky and vulnerable condition to grow become mental illness, meanwhile attachment security improvement have good healing effect in psychopathology. Detection for someone's attachment styles is important so a psychiatrist can decide which intervention fit the best for the patients. We can know someone's attachment styles through detail psychiatic interview or use an instrument. Using an instrument can help psychiatrist to know the patients'attachment styles faster.
Aims: We did this research to get and to evaluate validity and reliability of Relationship Questionnaire in Bahasa Indonesian version.
Methods: This research use content validity test and construct validity test to evaluate validity of the questionnaire and use Cronbach's to evaluate the reliability.
Results: Construct validity coefisien of the RQ in Bahasa Indonesia version is 1.00. The reliability according to Cronbanch's values for whole item is 0,577 for secure attachment is 0,279 for preoccupied attachment 0,619, for fearful attachment is 0,659, and for dismissing attachment is 0,615.
Conclusion: Relationship Questionnaire in Bahasa Indonesia version have good validity dan reliability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Carlamia H. Lusikooy
"ABSTRAK
Penggunaan rokok elektrik di Indonesia dan kekhawatiran terhadap kesehatan masyarakat kian
meningkat seiring dengan bertambahnya pengguna rokok elektrik. Upaya pencegahan cukup
terbatas karena akses terhadap perangkat rokok elektrik cenderung mudah, dan studi preliminer
telah menemukan bahwa rokok elektrik memiliki potensi untuk penggunaan zat psikoaktif
lainnya. Dengan demikian, tujuan studi ini adalah melihat jika ada hubungan antara
karakteristik demografi dan pola penggunaan rokok elektrik terhadap NAPZA lain dalam
sampel Jakarta (n=422) melalui survei elektronik atau online dari Februari hingga Mei 2019.
Ditemukan hanya beberapa hubungan signifikan antara demografi responden (jenis kelamin,
status kerja, tingkat pendidikan) dan penggunaan rokok elektrik (alasan menggunakan,
frekuensi menggunakan) terhadap penggunaan alkohol (p>0.05) namun tidak pada NAPZA
lainnya. Pembahasan dilakukan dengan fokus kepada berbagai keterbatasan metode dan
literatur dalam studi ini, sehingga terdapat acuan untuk penelitian selanjutnya.

ABSTRACT
The use of electronic cigarettes (e-cigarettes) in Indonesia along with public health concerns
continues to rise with increasing reports of electronic cigarette users. Prevention attempts are
limited due to easy access of electronic cigarette devices, and a premilinary has found that
electronic cigarettes potentiate the use of other psychoactive substances. This study aims to see
whether an association exists between demographic characteristics and e-cigarette use patterns
toward risk of drug use in a Jakarta sample (n=422) through an electronic or online survey from
February to May 2019. The study found only several significant associations between
demographic variables (gender, work status, education level) and e-cigarette use pattern
(reason and frequency of use) towards risk of alcohol use (p>0.05). A discussion is made based
on this study's methodical and literary limitations, to provide guidelines for future studies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59128
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Kristiane
"ABSTRAK
Latar Belakang. Efavirenz adalah salah satu obat antiretroviral lini pertama dalam tatalaksana infeksi HIV. Namun, penelitian dari beberapa negara menunjukkan sekitar 50% pengguna efavirenz mengalami efek samping psikiatrik, seperti gangguan tidur, mimpi buruk, insomnia, cemas, depresi sampai gangguan kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi psikopatologi pada ODHA yang mendapatkan terapi efavirenz, serta faktor yang berhubungan, seperti faktor demografik, mekanisme koping, dan stigma.
Metode. Studi potong lintang ini menggunakan kuesioner yang diberikan pada pasien HIV di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo yang menggunakan efavirenz. Psikopatologi diukur menggunakan SCL-90, mekanisme koping dengan Brief COPE, dan stigma dengan Berger HIV Stigma Scale. Selain itu, faktor demografik seperti usia, jenis
kelamin, riwayat gangguan jiwa, riwayat penggunaan narkotika, dan stadium HIV.
Hasil. Prevalensi psikopatologi pada pasien HIV yang diterapi dengan EFV sebesar 50 dari 112 subjek penelitian (44,6 %). Gejala psikopatologi terbanyak yang didapatkan adalah depresi 25.0% diikuti oleh gejala obsesif kompulsif 17.9%. Faktor yang menunjukkan hubungan signifikan dengan adanya psikopatologi adalah usia (p=0,01), stigma (p=0,01), dan riwayat penggunaan alkohol/zat psikoaktif lainnya (p=0,02).
Kesimpulan. Depresi merupakan psikopatologi yang paling banyak didapatkan pada penelitian ini. Faktor usia, stigma, dan riwayat penggunaan alkohol/zat psikoaktif lainnya mempunyai hubungan yang bermakna terhadap munculnya gejala psikopatologi pada pasien yang mendapatkan terapi EFV.

ABSTRACT
Background. Efavirenz is one of the first-line antiretroviral drugs in the management of HIV infection. However, research from several countries shows that about 50% of efavirenz users experience psychiatric side effects, such as sleep disorders, nightmares, insomnia, anxiety, depression to cognitive disorders. This study aims to determine the
prevalence of psychopathology in HIV patients who received efavirenz therapy, as well as related factors, such as demographic factors, coping mechanisms, and stigma.
Method. This cross-sectional design used a questionnaire given to HIV patients at UPT HIV Cipto Mangunkusumo General Hospital who used efavirenz. Psychopathology was measured using SCL-90, coping mechanism with COPE Brief, and stigma with Berger HIV Stigma Scale. In addition, demographic factors such as age, sex, history of mental
disorders, history of drug use, and stage of HIV.
Results. The prevalence of psychopathology in HIV patients treated with EFV was 50 out of 112 study subjects (44.6%). The most common psychopathological symptom was depression 25.0% followed by obsessive compulsive symptoms 17.9%. Factors that showed a significant correlation with the prevalence of psychopathology were age (p = 0.01), stigma (p = 0.01), and history of alcohol / other psychoactive substance use (p = 0.02).
Conclusion. Depression is the most commonly obtained psychopathology in this study. Age, stigma, and history of using alcohol / other psychoactive substance use have a significant significant correlation with the prevalence of psychopathological symptoms in patients receiving EFV therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumanggor, Sarah Vanessa Isabel
"Latar Belakang Masalah kesehatan mental dan kelebihan berat badan saling terkait, terutama pada remaja dan dewasa muda. Penelitian ini menilai remaja dan dewasa muda mahasiswa baru Universitas Indonesia tahun 2022 yang mempunyayi masalah kesehatan mental dan kelebihan berat badan menggunakan self-reporting questionnaire (SRQ-20) dan klasifikasi kriteria IMT Asia-Pasifik. Metode Penelitian ini dilakukan pada Mahasiswa baru Universitas Indonesia dengan usia 12-24 tahun yang telah melakukan pemeriksaan kesehatan di Makara Klinik Satelit UI dengan total 9,200 mahasiswa. Masalah kesehatan mental, kota asal, konsumsi makanan cepat saji, aktivitas fisik, dan kelebihan berat badan dievaluasi. Status nutrisi dikategorikan ke dalam kelompok IMT menurut klasifikasi Asia-Pasifik. Hasil Data yang diperoleh dari 9,001 mahasiswa baru Universitas Indonesia 2022 yang memenuhi kriteria inklusi menunjukkan sebagian besar peserta adalah perempuan (59%), dewasa muda (87%), bertempat tinggal atau lahir di kota besar (87.5%), mengonsumsi makanan cepat saji <3 kali per minggu (80.2%), dan melakukan aktivitas fisik (65.3%). Sejumlah 37.9% peserta memiliki berat badan berlebih, sedangkan 26.5% dianggap memiliki masalah kesehatan mental. Hubungan dapat ditemukan antara kedua variabel dengan analisis univariat (- < 0.05). Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara masalah kesehatan mental dan kelebihan berat badan. Beberapa faktor yang terkait dengan kelebihan berat badan meliputi jenis kelamin, kelompok usia, tempat asal, dan aktivitas fisik. Sebaliknya, faktor yang terkait dengan masalah kesehatan mental meliputi jenis kelamin, pengonsumsian makanan cepat saji, dan aktivitas fisik. Faktor-faktor tersebut menunjukkan signifikansi jika dibandingkan dengan kelebihan berat badan dan masalah kesehatan mental.

Introduction Mental health problems and excess weight are associated, especially among adolescents and young adults. The present study assessed adolescents and young adults in Universitas Indonesia’s freshmen 2022 with mental health problems and excess weight using the selfreporting questionnaire (SRQ-20) and Asia-Pacific BMI classification. Method Universitas Indonesia’s freshmen aged 12-24 who did the medical checkup in the Makara UI Satellite Clinic were selected for this study. There were 9,200 students. Gender, age group, place of origin, fast food consumption, physical activity, excess body weight, and mental health problems were evaluated. Nutrition status was categorized into different BMI groups according to the Asian-Pacific classification. Result Out of the 9,001 Universitas Indonesia’s freshmen in 2022 that met inclusion criteria, most of the participants were women (59%), young adults (87%), resided or were born in big cities (87.5%), consumed fast food <3 times per week (80.2%), and does physical activities (65.3%). 37.9% of the participants have excess body weight, whereas 26.5% are considered to have mental health problems. An association was found between the two variables after undergoing a univariate analysis (- < 0.05). Conclusion The association between mental health problems and excess body weight was significant in this study. Factors associated with excess body weight include gender, age group, place of origin, and physical activities. Contrastingly, factors associated with mental health problems include gender, fast food consumption, and physical activities. These factors show significance when compared to excess body weight and mental health problems."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Princessa
"Pendahuluan: Adiksi internet merupakan masalah kesehatan yang terus meningkat. Kelompok usia dewasa dan remaja, yang merupakan kelompok usia pada mahasiswa kedokteran, adalah populasi yang paling rentan mengalami adiksi internet. Masalah emosi dan depresi sering ditemukan bersama dengan adiksi internet. Metode: Penelitian ini dilakukan secara potong lintang dengan menyebarkan kuesioner Self-Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20), Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9), dan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) kepada seluruh mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) secara daring dengan menggunakan Google Forms. Setelah itu, dilakukan uji statistik dengan SPSS edisi 25 untuk menemukan hubungan antara masalah emosi, depresi, dan adiksi internet. Hasil Penelitian: Didapatkan 153 responden penelitian dari mahasiswa preklinik FKUI. Prevalensi adiksi internet pada mahasiswa FKUI adalah 20,26%, sedangkan prevalensi masalah emosi adalah 26,79%. Ditemukan bahwa tingkat kejadian masalah emosi lebih tinggi secara signifikan pada populasi adiksi (61,3%) dibandingkan tidak adiksi (18,0%) dan terdapat hubungan signifikan antara masalah emosi dan adiksi internet (p<0,001; OR (95% CI) = 7,2 (3,05–16,97)). Depresi juga lebih banyak ditemukan pada kelompok adiksi (58,1%) dibandingkan yang tidak adiksi dan ditemukan hubungan yang signifikan antara keduanya (p<0,001; OR (95% CI) = 9,17 (3,78-22,25)). Kesimpulan: Masalah emosi dan depresi ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan adiksi internet.
Introduction: Internet addiction is an ever increasing health problem. Teenagers and young adults, which are the age groups of medical students, are populations most prone to internet addiction. Emotional problems and depression are often found alongside internet addiction. Methods: This cross-sectional study was done with the Self-Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20), Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9), and Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) given out to preclinical medical students at Faculty of Medicine, Universitas Indonesia online via Google Forms. Statistical tests were done with SPSS 25th edition to assess the relationship between emotional problems, depression, and internet addiction. Results: A total of 153 preclinical medical students at Faculty of Medicine, Universitas Indonesia were involved in this study. The prevalance of internet addiction was found to be 20,26%, while the prevalance of emotional problems was 26,8%. The prevalance of emotional problem was found to be greater in students with internet addiction (61,3%) than students without internet addiction (18,0%) and a significant relationship was found between emotional problems and internet addiction (p<0,001; OR (95% CI) = 7,2 (3,05–16,97)).  The prevalance of depression was also found to be greater in students with internet addiction (58,1%) than students without internet addiction and a significant relationship was found between emotional problems and internet addiction (p<0,001; OR (95% CI) = 9,17 (3,78-22,25)). Conclusion: Emotional problems and depression was found to be significantly associated with internet addiction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Laksmi Maharani
"Latar Belakang Pandemi COVID-19 telah membawa dampak signifikan di seluruh dunia, termasuk sistem pendidikan di Indonesia yang mengadopsi sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ). Mahasiswa kedokteran tingkat preklinik, kelompok yang rentan mengalami masalah kesehatan mental, juga terdampak. Meskipun terdapat perubahan akibat pandemi COVID-19, institusi pendidikan perlahan mulai kembali ke pembelajaran tatap muka. Hal ini menciptakan kemungkinan alterasi kualitas tidur mahasiswa kedokteran tingkat preklinik pada dua fase tersebut. Dengan demikian, kualitas tidur mahasiswa kedokteran tingkat preklinik di fase puncak dan pascapuncak pandemi COVID-19 perlu diselidiki. Metode Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang. Kuesioner PSQI yang sudah diterjemahkan dan divalidasi disebarkan pada dua periode, yaitu bulan Juli—Oktober 2021 untuk data puncak dan April 2022—Maret 2023 untuk data pascapuncak. Sebanyak 246 mahasiswa kedokteran diikutsertakan dalam penelitian ini yang kemudian akan diuji menggunakan Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan kualitas tidur saat puncak dengan pascapuncak pandemi. Faktor yang dianalisis antara lain jenis kelamin, usia, dan tingkat preklinik. Hasil Uji Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan kualitas tidur yang signifikan antara fase puncak dengan pascapuncak pandemi (p > 0,05). Dalam aspek komponen PSQI, ada perbedaan yang signifikan antara durasi tidur dan gangguan tidur saat puncak dengan pascapuncak (p < 0,05). Rata-rata durasi tidur adalah 6—7 jam. Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan kualitas tidur yang signifikan antara saat puncak dengan pascapuncak pandemi pada mahasiswa kedokteran tingkat preklinik.

Introduction The COVID-19 pandemic has had a significant impact worldwide, including on the educational system in Indonesia, which adopted remote learning (PJJ). Pre-clinical medical students, a group vulnerable to mental health issues, were also affected. Despite the changes brought about by the COVID-19 pandemic, educational institutions are gradually returning to in-person learning. This presents the risk of alterations in the quality of sleep of pre-clinical medical students during these two phases. Therefore, the sleep quality of pre-clinical medical students during the peak and post-peak phases of the COVID-19 pandemic needs to be examined. Method The research design used was cross-sectional. The PSQI questionnaire, which had been translated and validated, was administered during two periods: July to October 2021 for peak data and April 2022 to March 2023 for post-peak data. A total of 246 medical students participated in this study and were tested using the Mann-Whitney test to determine differences in sleep quality during the peak and post-peak phases of the pandemic. Factors analysed included gender, age, and pre-clinical level. Results Mann-Whitney test revealed no significant difference in sleep quality between the peak and post-peak phases of the pandemic (p > 0,05). In terms of PSQI componentes, there were significant differences in sleep duration and sleep disturbances between the peak and post-peak phases (p < 0,05). The average sleep duration was 6—7 hours. Conclusion There was no significant difference in sleep quality between the peak and post-peak phases of the pandemic among pre-clinical medical students."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Saraswati Sanjaya
"Latar belakang: Di Indonesia, merokok merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar akibat masih tingginya tingkat penggunaan rokok. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, persentase perokok usia di atas 15 tahun di Indonesia adalah 33,8%, perokok laki-laki sebesar 62,9%, dan perempuan sebesar 4,8%. Nikotin dalam rokok dapat memberikan berbagai efek positif terhadap kognitif dan suasana hati, namun penggunaan nikotin secara terus menerus dapat menyebabkan desensitisasi terhadap reseptor kolinergik nikotin (nAChRs) yang kemudian dapat menyebabkan kondisi ketergantungan dan adiksi. Adiksi nikotin diketahui memiliki prevalensi yang cukup tinggi pada pasien dengan gangguan psikiatri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi adiksi nikotin di Poli Jiwa Dewasa RSCM. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang pada pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM. Penelitian dilakukan dengan cara wawancara kepada 87 pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM menggunakan kusioner yang telah disiapkan peneliti untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi adiksi nikotin, serta kuesioner Cigarette Dependance Scale (CDS) untuk mengukur tingkat ketergantungan rokok. Hasil kuesioner akan dianalisis secara bivariat untuk melihat perbedaan rerata setiap komponen faktor terhadap adiksi nikotin. Hasil: Terdapat perbedaan rerata skor total CDS yang bermakna pada jenis kelamin laki-laki (5.79 ± 5.25; p=0.000), tingkat pendidikan SMA sederajat atau lebih rendah (0.55 ± 8.34; p=0.001), usia mulai merokok ≤ 15 tahun (4.62 ± 5.29; p=0.006), dan diagnosis gangguan jiwa skizofrenia (3.92 ± 7.48; p=0.006). Tidak ditemukan perbedaan bermakna rerata skor total CDS pada kelompok usia yang berbeda (0.09 ± 7.93; p=0.471). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada rerata skor total CDS untuk kelompok jenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan SMA sederajat atau lebih rendah, usia mulai merokok ≤ 15 tahun, dan diagnosis gangguan jiwa skizofrenia pada pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM.

Introduction:In Indonesia, smoking is one of the biggest health problem contributors as the smoking rate in Indonesia is still high. Based on Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) in 2018, the smoker at the age of 15 and above has a percentage of 33,8% in Indonesia, with 62,9% of the smoker being men and 4,8% being women. Nicotine which is found inside the cigarette has a positive effect on cognition and mood, however continuous usage of nicotine results in desensitization of nicotine cholinergic receptors (nAChRs) which can cause nicotine dependence and addiction. Nicotine addiction is known to have a high prevalence in psychiatric patients. This study is aimed to know the factors contributing to nicotine addiction at Adult Psychiatric Ward Cipto Mangungkusumo Hospital. Method:This study uses a cross-sectional design for patients at Adult Psychiatric Ward Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted by interviewing 87 patients in the psychiatric ward. The interview uses a questionnaire that has been prepared by the researcher to find out the factors contributing to nicotine addiction, and Cigarette Dependence Scale (CDS) to measure nicotine dependency. The results will be analyzed using a bivariate study to discover the significance of each factor toward nicotine addiction. Result:There is a significant difference of total CDS score on men (5.79 ± 5.25; p= 0.000), educational level of high school or below (0.55 ± 8.34; p=0.001), age to start smoking ≤15 years old (4.62 ± 5.29; p=0.006), and psychiatric diagnosis of schizophrenia (3.92 ± 7.48; p=0.006). There is no significant difference of total CDS score between different groups of age (0.09 ± 7.93; p=0.471).Conclusion:There is significant difference of total CDS score between male sex group, educational level, the age to start smoking, and psychiatric diagnosis in patients at Adult Psychiatric Ward Cipto Mangunkusumo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahajeng Dewantari
"Ketaatan minum obat dalam penanganan HIV/AIDS dengan pengobatan ARV merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Di Indonesia belum ada data yang menyebutkan angka pasti ketaatan minum obat ARV pada ODHA. Ketaatan minum obat ARV dipengaruhi oleh adanya faktorfaktor psikologis (stigma diri dan fungsi kognitif) dan non psikologis yang terdiri dari faktor demografi (umur, waktu tempuh tempat tinggal ke rumah sakit, akses berobat, tingkat pendidikan, pekerjaan, tinggal sendiri atau bersama orang lain, pembiayaan berobat, penggunaan NAPZA) dan faktor obat dan penyakit (kompleksitas regimen obat, adanya infeksi oportunistik, sumber transmisi HIV).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi ketaatan minum obat ARV pada ODHA yang berobat di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah 67,7%, stigma diri memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV, sedangkan faktor non psikologis yang diteliti dan fungsi kognitif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV.

Adherence to ARV is an important factor in determining the success of HIV/AIDS treatment. There has been no data about adherence to ARV in plwh in indonesia. Adherence to ARV is influenced by psychological factors (self-stigma and cognitive function) and non-psychological factors consisting of demographic (age, travel time between living place and hospital, access to treatment, level of education, occupation, living alone or with others, treatment payment, illicit drugs use), disease and treatment factor (treatment regimen complexity, opportunistic infections, source of HIV transmission).
The result of this study showed that prevalence of adherence to ARV in plwh coming to HIV integrated service unit Cipto Mangunkusumo hospital is 67,7%, that self-stigma had significant relation with adherence to ARV, while psychological factors and cognitive function had no significant relation with adherence to ARV.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>