Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dini Daniaty
Abstrak :
Latar belakang: Hampir sebagian besar pasien kanker akan memiliki keluhan kulit, rambut, dan kuku (KRK) terkait efek samping kemoterapi yang diberikan. Antrasiklin merupakan kemoterapi yang banyak digunakan pada pasien kanker. Meskipun jarang mengancam nyawa, kelainan KRK dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Berbagai faktor risiko berpengaruh terhadap kelainan tersebut. Waktu timbulnya manifestasi kelainan KRK pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin juga beragam munculnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, ECOG, dan anemia dengan manifestasi klinis KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan kohort prospektif yang diikuti dalam dua siklus pertama kemoterapi berbasis antrasiklin. Sebesar 65 pasien kanker berusia di atas 18 tahun yang mendapatkan kemoterapi siklus pertama berbasis antrasiklin di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Semua SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan dermatovenereologikus, dan dokumentasi klinis sampai sebelum kemoterapi siklus ke-3. Pencatatan faktor risiko, jenis, dan waktu timbulnya kelainan dilakukan apabila ditemukan manifestasi KRK. Hasil: Kelainan kulit terbanyak berupa xerosis dan hiperpigmentasi. Anagen effluvium ditemukan pada 89,2% pasien kemoterapi. Melanonikia dan xanthonikia ditemukan pada 87,7% pasien. Xerosis ditemukan dengan median (minimum-maximum) 7 (2-56) hari, anagen effluvium timbul dalam median (minimum-maximum) 13(1-27 hari), dan melanonikia dengan median (minimum-maximum) 23(1-65) hari. Tidak terdapat hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin. Kesimpulan: Semua pasien memiliki kelainan KRK. Kelainan yang paling cepat timbul adalah xerosis, diikuti anagen effluvium, dan melanonikia. Tidak ditemukan hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin. ......Background: Nearly most cancer patients experience skin, hair, and nail complaints due to chemotherapy side effects. Anthracycline-based chemotherapy is widely utilized in cancer care. While rarely life-threatening, cutaneous, hair, and nail alterations can significantly impact quality of life. Several risk factors influence these disorders. The onset timing of skin, hair, and nail manifestations varies among cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy. This study analyses the association between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with clinical manifestations of skin, hair, and nails in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy. Methods: This is an analytical descriptive study involving a prospective cohort followed during the first two cycles of anthracycline-based chemotherapy. A total of 65 cancer patients aged above 18, receiving the first cycle of anthracycline-based chemotherapy at RSUPN dr. Ciptomangunkusumo, were enrolled. All subjects underwent anamnesis, dermatovenereological examination, and clinical documentation before the third chemotherapy cycle. Risk factors, type, and onset time of abnormalities were recorded upon detection of skin, hair, and nail manifestations. Results: All patients presented with skin, hair, or nail abnormalities. The most rapidly occurring abnormalities were xerosis, followed by anagen effluvium and melanonychia. No correlation was found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy. Conclusions: The most frequent skin abnormalities observed were xerosis and hyperpigmentation. Anagen effluvium was detected in 89.2% of chemotherapy patients. Melanonychia and xanthonychia were found in 87.7% of patients. Xerosis had a median (min-max) onset of 7 (2-56) days, anagen effluvium manifested within a median (min- max) of 13 (1-27) days, and melanonychia with a median (min-max) onset of 23 (1-65) days. There was no association found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arinia Kholis Putri
Abstrak :
Latar belakang: Keratosis seboroik (KS) merupakan salah satu tumor jinak epidermis yang paling sering ditemukan. Pada penelitian baru mengenai KS, vitamin D berperan melalui banyak mekanisme nongenomik, termasuk ekspresi protein dan mutasi gen FGFR3. Defisiensi vitamin D mengakibatkan gangguan proliferasi dan diferensiasi, sehingga mempengaruhi jumlah dan ukuran lesi KS. Di sisi lain pajanan matahari juga merupakan faktor yang mempengaruhi baik kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) maupun terhadap munculnya lesi KS. Pengukuran pajanan sinar matahari dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan sun index. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan antara kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran lesi KS. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar serum 25-Hydroxyvitamin D dan sun index (indeks pajanan matahari) dengan jumlah dan ukuran lesi keratosis seboroik pada wajah di Poliklinik Kulit dan Kelamin, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 50 pasien KS yang direkrut secara consecutive sampling pada bulan Desember 2018 hingga Mei 2019. Pasien yang memenuhi kriteria akan dilakukan anamnesis dan pengisian kuesioner sun index, pemeriksaan fisis, penilaian jumlah dan ukuran terbesar lesi KS di wajah dengan FotoFinder® dan dermoskopi, serta pemeriksaan laboratorium kadar serum 25(OH)D. Dilakukan analisis data untuk mengetahui korelasi kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah dengan uji Pearson jika sebaran data normal atau uji Spearman jika sebaran data tidak normal. Hasil: Median kadar serum 25(OH)D SP sebesar 10,3 (3,9-24,2) ng/mL. Median nilai sun index adalah 1,3 (0,3-16,2). 94% SP mengalami defisiensi kadar serum 25(OH)D dan 6% mengalami insufisiensi kadar serum 25(OH)D. Terdapat korelasi bermakna dengan kekuatan sedang antara kadar serum 25(OH)D dengan sun index (p=0,009, r=0,367). Median jumlah lesi KS pada wajah sebesar 28 (8-87) lesi dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Median ukuran terbesar lesi KS sebesar 3,5(1-9,5) mm dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Tidak terdapat korelasi antara kadar serum 25(OH)D dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p=0,178, r=0,194 dan p=0,164, r=0,2). Terdapat korelasi bermakna antara sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p<0,001, r=0,517 dan p<0,001, r=0,451) Kesimpulan: Kadar serum 25(OH)D ditemukan di bawah nilai normal (defisiensi dan insufisiensi) pada seluruh SP. Hasil penelitian membuktikan bahwa semakin tinggi kadar serum 25(OH)D, tidak menyebabkan semakin sedikit jumlah dan semakin kecil ukuran lesi KS di wajah. Namun semakin tinggi nilai sun index, maka akan menyebabkan semakin banyak jumlah dan semakin besar ukuran lesi KS di wajah ......Background: Seborrheic keratoses (SK) is one of the most common benign epidermal tumors. Recent study on SK, vitamin D is involved through many nongenomic interactions, including changes in protein and mutations in the FGFR3 gene. Decreased on vitamin D causes disorder of proliferation and differentiation, thus affecting the number and size of SK lesions. On the other hand, sun exposure is also a factor that affects the levels of 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) as well as the SK lesions. Measurement of sunlight exposure can be done in various ways, one of them is by using the sun index. Until now there has been no research on the relationship between 25(OH)D serum and sun index with the number and size of SK lesions. Objective: To assess the relationship of 25-hydroxyvitamin D levels and sun index (sun exposure index) with number and size of seborrheic keratoses lesions on the face in Dermatovenereology Clinic , Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Methods: This cross-sectional study involved 50 SK patients that recruited by consecutive sampling in December 2018 to May 2019. Patients who met the criteria will be analyzed and filled in with the sun index questionnaire, physical examination, assessment of the number and size of SK lesions on the face with FotoFinder® and dermoscopy, and laboratory tests for 25(OH)D serum levels. Data analysis was performed to determine the correlation of serum 25 (OH) D and sun index levels with the number and size of SK lesions on the face with Pearson test if the data distribution is normal or Spearman test if the data distribution is not normal. Result: The median 25(OH)D serum level is 10.3 (3.9-24.2) ng/mL. The median sun index value is 1.3 (0.3-16.2). 94% of SP had deficiencies and 6% experienced insufficiency of serum 25(OH)D levels. There was a significant correlation with moderate strength between 25(OH)D serum levels and sun index (p = 0.009, r = 0.367). The median number of SK lesions on the face was 28 (8-87) lesions and increased according to the increase in age groups. The median largest size of SK lesions was 3.5 (1-9.5) mm and increased according to the increase in age groups. There is no correlation between 25(OH)D serum levels and the largest number and size of SK lesions on the face (p = 0.178, r = 0.194 and p = 0.164, r = 0.2). There is a significant correlation between the sun index and the largest number and size of SK lesions on the face (p <0.001, r = 0.517 and p <0.001, r = 0.451) Conclusion: 25(OH)D serum levels were found below normal (deficiency and insufficiency) in all subject. The results showed that the higher 25(OH)D serum levels did not cause the smaller the number and the smaller the size of KS lesions on the face. But higher sun index value correlate on the number and size of SK lesions on the face.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidwina Anissa
Abstrak :
Latar belakang: Skabies adalah penyakit kulit akibat infestasi ektoparasit berupa tungau Sarcoptes scabiei var hominis. Transmisi terjadi melalui kontak kulit secara langsung dan kontak dengan fomite. Risiko penularan skabies tinggi di komunitas yang tinggal bersama, contohnya asrama, pondok pesantren, panti jompo, dll. Prinsip tata laksana skabies meliputi penggunaan skabisid untuk pasien dan narakontak secara serempak. Sediaan permetrin merupakan pilihan utama, dengan tingkat kesembuhan 61,1% pada hari ketujuh. Blacksoap® adalah produk sabun yang diakui sebagai pendamping terapi skabies. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai efektivitas dan efek samping penggunaan Blacksoap®. Tujuan: Membandingkan proporsi kesembuhan skabies dan efek samping pada kelompok yang mendapatkan kombinasi krim permetrin dan Blacksoap® dan kelompok yang mendapatkan kombinasi krim permetrin dan sabun bayi; membandingkan skor VAS gatal dan TEWL sebelum dan sesudah pemberian terapi pada kedua kelompok. Metode: Sebuah uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan di Pondok Pesantren Al Islami, Cibinong, Bogor pada September hingga Oktober 2018. Terdapat 78 orang santri yang memenuhi kriteria penelitian, tetapi hanya 69 subjek penelitian (SP) menyelesaikan penelitian. Alokasi kelompok dilakukan secara cluster randomization berdasar tempat tinggal. Kelompok intervensi mendapatkan krim permetrin 5% dan Blacksoap®, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan krim permetrin 5% dan sabun bayi. Dilakukan pemeriksaan kerokan kulit, skor VAS gatal dan TEWL. Subjek penelitian kemudian di follow-up pada minggu ke-1 dan minggu ke-4 untuk menilai kesembuhan, skor VAS gatal, TEWL, dan efek samping pengobatan.  Hasil: a minggu pertama lebih rendah dibanding kelompok kontrol (75% vs. 81,1%), proporsi kesembuhan kelompok intervensi pada minggu ke-4 lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (96,9% vs. 91,9%). Tidak terdapat perbedaan bermakna skor VAS gatal pada kelompok intervensi dan kontrol pada minggu ke-1 (p=0,793) dan minggu ke-4 (p=0,123). Tidak terdapat perbedaan bermakna median dan perubahan skor TEWL pada kelompok kontrol dan intervensi pada minggu ke-1 dan minggu ke-4.  Tidak terdapat perbedaan efek samping bermakna pada kedua kelompok. Kesimpulan: Efektivitas pengobatan skabies sebanding antara penambahan atau tanpa Blacksoap®. Perbaikan skor VAS dan TEWL, serta efek samping penambahan Blacksoap® sebanding dengan tanpa Blacksoap®. ......Background: Scabies is a skin disease due to ectoparasitic infestation in the form of Sarcoptes scabiei var hominis. Transmission occurs through direct skin contact and contact with fomite. The transmission risk is high among communities living together, such as dormitories, boarding schools, nursing homes, etc. The principles of scabies management include the use of scabicide for patients and close contact simultaneously. Permethrin cream is the first line therapy, with a cure rate of 61.1% on the seventh day. Blacksoap® is a soap product which is recognized as an adjuvant to scabies therapy. Until now there has been no research on the effectiveness and side effects of using Blacksoap®. Objectives: To compare the cure rate of scabies treatment with standard therapy with and without Blacksoap®, to compare itch intensity using visual analogue scale (VAS) score and transepidermal water loss (TEWL) score before and after receiving therapy between two groups, and to evaluate the side effects of the therapy. Methods: A single-blind randomized controlled trial was conducted in Cibinong, Bogor, from September to October 2018. A total of 78 students were eligible for the study's criteria. In the end, there were only 69 samples finished the study. Cluster randomization was done to allocate the samples. Intervention group obtained standard therapy and Blacksoap®, meanwhile control group obtained standard therapy and baby soap. Skin scrapings, pruritus VAS score and TEWL score were assessed. Follow up was done on 1st and 4th week to assess the cure rate, pruritus VAS score, TEWL score and the side effect of therapy. Results: The cure rate of intervention group was lower compared to that of control group on the first week (75% vs. 81,1%). The cure rate of intervention group is higher compared to that of control group on the fourth week (96,9% vs. 91,9%).  There is no significant difference of pruritus VAS score and TEWL score between two groups on the first and fourth week. There is no significant difference of side effects between two group on the first and forth week. Conclusion: The effectiveness of scabies treatment was similar between standard therapy with or without Blacksoap®. Decrease of VAS, TEWL score and side effects were similar between two groups on the first and fourth week.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Izzah Aulia
Abstrak :
Keratosis Seboroik (KS) merupakan salah satu tumor jinak epidermis dengan faktor risiko utama pajanan matahari yang berlebihan. Selain pajanan matahari, defisiensi vitamin D diduga berperan pada patogenesis KS. Defisiensi vitamin D dapat disebabkan pajanan matahari yang kurang maupun kurangnya asupan vitamin D. Daerah pesisir memiliki karakteristik pajanan matahari yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang menilai hubungan kadar vitamin D (kalsidiol serum) pasien KS di daerah pesisir dengan pajanan matahari (sun index) dan asupan vitamin D. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner sun index, food frequency questionnaire semikuantitatif vitamin D, pemeriksaan fisis dan dermoskopi untuk menilai ukuran terbesar lesi KS, serta pengukuran kadar kalsidiol serum pada 39 individu usia 19-59 tahun di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Median ukuran lesi KS adalah 2 mm; median nilai sun index adalah 3,95; median kadar kalsidiol serum sebesar 14,3 ng/ml, dan median asupan vitamin D adalah 4,3 mcg/hari. Tidak ditemukan korelasi yang bermakna antara sun index dan kadar kalsidiol dengan ukuran lesi KS, serta sun index dan asupan vitamin D dengan kadar kalsidiol pada masyarakat pesisir tersebut. ......Seborrheic keratosis (SK) is a benign epidermal tumor with high sun exposure as a major risk factor. In addition, vitamin D deficiency is thought to play a role in the pathogenesis of SK. Vitamin D deficiency can be caused by insufficient sun exposure or a lack of vitamin D intake. Coastal areas are characterized by high sun exposure. Therefore, research assessing the relationship of vitamin D levels of SK patients living in a coastal area with sun exposure and vitamin D intake needs to be done. This is an analytic-descriptive cross-sectional study. We performed interview using sun index questionnaire; semi quantitative food frequency questionnaire for vitamin D; physical examination and dermoscopy to determine the largest diameter of SK lesions; and measurement of serum calcidiol levels in 39 individuals with 19-59 years age living in Cilincing District, North Jakarta. The Spearman correlation test was used to assess the relationship between variables. Median of the largest SK lesions size, sun index, serum calcidiol, and vitamin D intake were 2 mm, 3.95, 14.3 ng/ml, and 4.3 mcg/day, respectively. There were no significant correlations between sun index and calcidiol level with SK lesion size, as well as sun index and vitamin D intake with calcidiol level in this coastal population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Gandha
Abstrak :
Latar belakang: Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang kronik, ditandai oleh plak eritematosa dan skuama kasar berlapis. Psoriasis dihubungkan dengan berbagai penyakit penyerta. Penyakit perlemakan hati nonalkoholik (PPHNA) merupakan salah satu penyakit penyerta yang sering ditemukan dan dapat memengaruhi derajat keparahan psoriasis, begitu pula sebaliknya. Penelitian untuk mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan perlemakan hati nonalkoholik (PHNA) belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan derajat PHNA. Metode: Studi potong lintang ini dilakukan terhadap pasien psoriasis dewasa di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017-Februari 2018. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mendapatkan nilai derajat keparahan psoriasis (psoriasis area and severity index; PASI) dan dicatat pula nilai body surface area (BSA). Penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan derajat PHNA pada semua pasien dengan menggunakan controlled attenuation parameter (CAP). Hasil: Didapatkan total 36 subjek dengan rerata umur 49,08 tahun (+15,52 tahun). Proporsi psoriasis derajat ringan, sedang, dan berat berturut-turut adalah 50%, 27,8%, dan 22,2%. Median PASI 6,1 (2-38,4) dan median BSA 7,5 (2-93). Proporsi PPHNA berdasarkan CAP adalah 77,8%. Rerata skor CAP 250,03+45,64. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA berdasarkan CAP (r=0,258; p=0,128). Namun bila digunakan BSA pada penilaian derajat keparahan psoriasis, didapatkan hasil korelasi yang bermakna (r=0,382; p=0,021). Ditemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut berkorelasi positif secara bermakna dengan skor CAP (berturut-turut r=0,448, p=0,006 dan r=0,485, p=0,003). Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA. Namun ditemukan korelasi yang bermakna antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan BSA dengan derajat PHNA. Luas lesi kulit psoriasis berpengaruh terhadap derajat PHNA. Selain itu terdapat beberapa faktor, misalnya IMT dan lingkar perut, yang dapat memengaruhi derajat keparahan PHNA pada pasien psoriasis.
Background: Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease, characterized by erythematous plaques and thick scales. Psoriasis is associated with various comorbidities. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) is one of the most common comorbidities that can affect the severity of psoriasis, vice versa. Research regarding the correlation of the severity of psoriasis and nonalcoholic fatty liver (NAFL) has never been done. Objective: To measure the correlation of the severity of psoriasis and the degree of NAFL. Methods: A cross-sectional study of adult patients with psoriasis was conducted in Dermatovenereology outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from December 2017 through February 2018. Psoriasis severity (psoriasis area and severity index; PASI) and body surface area (BSA) were recorded and compared with NAFL severity by controlled attenuation parameter (CAP). Results: A total of 36 subjects were enrolled with an average age of 49.08 years (+15.52 years). The proportions of mild, moderate, and severe psoriasis were 50%, 27.8%, and 22.2%, respectively. Median PASI was 6.1 (2-38.4) and BSA was 7.5 (2-93). The proportion of NAFLD was 77.8%. The mean of CAP score was 250.03+45.64. There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and CAP score (r = 0.258; p = 0.128). However, based on BSA, we found significant correlation (r = 0.382; p = 0,021). The body mass index (BMI) and abdominal circumference were significantly correlated with CAP score (r = 0.448, p = 0.006 and r = 0.485, p = 0.003, respectively). Conclusion: There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and nonalcoholic fatty liver degree, but a statistically significant correlation was found when using BSA in measuring the severity of psoriasis. In psoriasis, the extent of skin lesions may be influential to the degree of nonalcoholic fatty liver. In addition there are several factors, such as BMI and abdominal circumference, which may affect the severity of nonalcoholic fatty liver in psoriasis patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Martha Gerynda Sukma
Abstrak :
Latar Belakang: Photoaging ditandai dengan perubahan struktur dan fungsi kulit yang terutama disebabkan oleh pajanan sinar ultraviolet (UV). Individu yang tinggal di daerah yang sering terpajan sinar matahari lebih rentan mengalami photoaging, contohnya daerah pesisir. Hingga saat ini, belum ada baku emas yang ditetapkan untuk mengidentifikasi photoaging. Skala penilaian subjektif yang paling banyak digunakan adalah skala Glogau. Dermoscopy Photoaging Scale (DPAS) adalah skala pemeriksaan objektif dan noninvasif untuk mendiagnosis photoaging. Tujuan: Menganalisis korelasi profil photoaging yang dinilai berdasarkan skala Glogau dan DPAS pada populasi daerah pesisir. Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Cilincing, DKI Jakarta pada bulan Oktober 2022. Kriteria inklusi adalah individu yang tinggal di daerah pesisir, berusia ≥ 20 tahun, memiliki kulit tipe Fitzpatrick III – V, memiliki pekerjaan berisiko tinggi photoaging dengan rerata pajanan sinar matahari ≥ 3 jam per hari. Subjek dengan penyakit kulit lain, menggunakan obat yang memengaruhi penuaan kulit dan diskromia dalam 1 bulan terakhir, dan menjalani prosedur estetik medis dalam 6 bulan terakhir dieksklusi. Anamnesis dan pemeriksaan fisis dilakukan untuk menilai profil photoaging berdasarkan skala Glogau. Pemeriksaan dermoskopi dilakukan dengan acuan kriteria DPAS. Uji korelasi Spearman digunakan untuk menilai korelasi antara skala Glogau dan DPAS. Nilai p < 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Hasil: Sejumlah 30 individu dengan rerata usia 41,5 ± 11,45 tahun direkrut menjadi subjek penelitian. Median skor Glogau adalah 3 (2 – 4). Rerata DPAS adalah 28,5 ± 5,59. Pada seluruh SP didapatkan tampilan klinis lentigo, hypo-hyperpigmented macule, telangiectasis, deep wrinkles, dan superficial wrinkles. Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara skala Glogau dan DPAS (r = 0,536; p = 0,002). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara skala Glogau dan DPAS untuk komponen kerutan (r = 0,512; p = 0,004) dan pigmentasi (r = 0,486; p = 0,007). Kesimpulan: Semakin tinggi skor DPAS, semakin tinggi skala Glogau. Korelasi positif sedang bermakna antara skor Glogau dan DPAS ditemukan baik pada komponen kerutan maupun pigmentasi. DPAS dapat menjadi alat bantu diagnosis yang reliabel, mudah, praktis, dan cepat untuk mengidentifikasi proses photoaging. ......Background: Photoaging is characterized by the changes of structures and functions of the skin, which is predominantly caused by ultraviolet (UV) radiation. Individuals who live in the area with high sun exposure are more susceptible to photoaging, for example those living in coastal area. To date, there has been no gold standard for the identification of photoaging. The most commonly used subjective assessment is Glogau scale. Dermoscopy Photoaging Scale (DPAS) is an objective and non-invasive diagnostic tool for photoaging identification. Objective: To analyze the correlation of photoaging profiles based on Glogau scale and DPAS in a coastal population. Methods: This analytic descriptive study with cross-sectional design was conducted at work area of Cilincing Municipal Health Center, DKI Jakarta in October 2022. The inclusion criteria were individuals living in coastal area, aged ≥ 20 years old, having Fitzpatrick skin type III – V, having an occupation with high risk of photoaging and mean duration of sun exposure of ≥ 3 hours per day. Subjects with other skin disorders, using drugs affecting skin aging and dyschromia in the past one month, and undergoing medical esthetic procedure in the last six months were excluded. History taking and physical examination were performed to assess the photoaging scale based on Glogau scale. Dermoscopic examination was performed according to DPAS criteria. Spearman correlation test was used to assess the correlation between Glogau scale and DPAS with p-value < 0.05 considered statistically significant. Results: A total of 30 individuals with mean age of 41.5 ± 11.45 years old were recruited. Median Glogau scale was 3 (2 – 4). Mean DPAS score was 28.5 ± 5.59. Lentigo, hypo-hyperpigmented macule, telangiectasis, deep wrinkles, and superficial wrinkles were identified in all subjects. There was moderate positive correlation between Glogau scale and DPAS (r = 0.536; p = 0.002). There were moderate positive correlations between Glogau scale and DPAS for wrinkle (r = 0.512; p = 0.004) and pigmentation (r = 0.486; p = 0.007) components. Conclusion: The higher DPAS score, the higher Glogau scale. Moderate positive correlations were significant between Glogau scale and DPAS score for both wrinkle and pigmentation components. DPAS can be a reliable, easy, practical, and fast diagnostic tool for photoaging identification.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inadia Putri Chairista
Abstrak :
Latar Belakang: Skrining kanker kulit dilakukan sebagai salah satu upaya dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan akibat kanker kulit. Karsinoma sel basal (KSB) merupakan salah satu kanker kulit yang paling sering ditemukan. KSB berpigmen seringkali menunjukkan fitur klinis yang menyerupai melanoma, sehingga kriteria klinis ABCDE diduga dapat menjadi salah satu pilihan dalam membantu penegakan diagnosis. Tujuan: Mengevaluasi kriteria klinis ABCDE sebagai alat bantu skrining KSB berpigmen dibandingkan dengan baku emas histopatologik. Metode: Penelitian potong lintang analitik ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2023 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Pasien dengan lesi tumor kulit berpigmen dari tahun 2017 sampai dengan 2022 yang mempunyai data klinis, histopatologis, dan foto dokumentasi yang lengkap direkrut ke dalam penelitian secara konsekutif. Kriteria eksklusi mencakup lesi berukuran lebih dari 2 cm, ras kulit putih (tipe kulit Fitzpatrick 1-3), serta hasil pembacaan histopatologis lesi tumor sesuai dengan penyakit prakanker dan kanker kulit lainnya. Data diolah secara statistik menggunakan perangkat lunak Stata versi 16 (StataCorpTM) dan Medcalc diagnostic evaluation test calculator. Hasil: Sebanyak 84 pasien direkrut ke dalam penelitian dengan total 95 lesi yang mencakup 61 lesi KSB dan 34 lesi non-KSB. Median usia subjek KSB lebih tua dibandingkan dengan usia subjek non-KSB (p<0,001). Median ukuran lesi KSB lebih besar dibandingkan dengan ukuran lesi non-KSB (p<0,001). Lesi pada subjek KSB lebih banyak di wajah dibandingkan dengan subjek non-KSB (p=0,005). Proporsi kepositivan KSB berdasarkan kriteria klinis ABCDE adalah 87,5%. Kriteria klinis ABCDE menunjukkan sensitivitas 57,4% (interval kepercayaan [IK] 95% 44,0%–70,0%); spesifisitas 85,3% (IK 95% 68,9%–95,0%); nilai duga positif 87,5% (IK 95% 75,2%–94,2%); nilai duga negatif 52,7% (IK 95% 44,7%–60,6%); dan akurasi 67,4% (IK 95% 57,0%–76,6%) dalam mendiagnosis KSB berpigmen. Kesimpulan: Kriteria klinis ABCDE secara lengkap mempunyai nilai diagnostik yang kurang baik sebagai alat bantu skrining KSB berpigmen. ......Background: Skin cancer screening is performed as an effort to reduce the morbidity and mortality caused by skin cancer. Basal cell carcinoma (BCC) is one of the most common skin cancers. Pigmented BCC often shows clinical features resembling melanoma, so that ABCDE clinical criteria are thought to be a potential modality to help establishing the diagnosis of pigmented BCC. Objective: To evaluate the ABCDE clinical criteria for the screening of pigmented BCC compared to histopathological examination as the gold standard examination. Method: This analytical cross-sectional study was performed from January to June 2023 in dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital (RSUPNCM). Subjects with pigmented skin lesions visiting RSUPNCM from 2017 to 2022 whose clinical data, histopathological data, and photographs were documented completely were recruited to the study consecutively. Exclusion criteria included lesion’s size more than 2 cm, light skin (Fitzpatrick skin type 1-3), and histopathological diagnosis in line with precancerous lesion or other skin cancer. Data were analyzed with Stata software version 16 (StataCorpTM) and Medcalc diagnostic evaluation test calculator. Results: A total of 84 subjects were recruited to the study with a total of 95 lesions consisting of 61 BCC lesions and 35 non-BCC lesions. Median age of the BCC subjects was older than that of non-BCC subjects (p<0.001). Median lesion’s size of the BCC lesions was larger than that of non-BCC lesions (p<0.001). The lesion location in BCC subjects was significantly prevalent on the face (p=0.005). The proportion of BCC positivity based on ABCDE clinical criteria was 87.5%. ABCDE criteria had sensitivity of 57.4% (95% Confidence Interval [CI] 44.0%–70.0%); specificity of 85.3% (95% CI 68.9%–95.0%); PPV of 87.5% (95% CI 75.2%–94.2%); NPV of 52.7% (95% CI 44.7%–60.6%); and accuracy of 67.4% (95% CI 57.0%–76.6%) in diagnosing pigmented BCC. Conclusion: Fulfilling all ABCDE clinical criteria had poor diagnostic value for the screening of pigmented BCC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library