Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chantiqa Shakira Dewi
"Lembaga Konsinyasi merupakan Lembaga hukum yang disediakan undang-undang sebagai salah satu cara hapusnya perikatan melalui tindakan penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan. Yang menjadi dasar hukum adanya Lembaga ini adalah Pasal 1381 dan Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Lembaga Konsinyasi juga diterapkan dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah demi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU No. 2 Tahun 2012). Dalam Lembaga Konsinyasi, terdapat dua aspek yang menjadi syarat sah keabsahannya, yakni penawaran pembayaran dan penitipan atau penyimpanan di pengadilan. Pada kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Lembaga Konsinyasi tidak hanya digunakan untuk memberikan ganti kerugian kepada pihak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian. Ketentuan-ketentuan inilah yang digunakan sebagai dasar permohonan penitipan ganti kerugian oleh Pemohon dalam Penetapan Nomor 01/Pdt.P/2012/PN.Tjg dan Penetepan Nomor 19/Pdt.P/2016/PN.Kag.

Consignment Institution is a legal institution provided by law as a way to terminate an agreement through an act of offering cash payment followed by safekeeping. The legal basis of this institution is regulated on Article 1381 and Article 1404 until Article 1412 of the Civil Code. Consignment institution is also applicable on land acquisition matters based on public interest according to the Law Number 2 of 2012 regarding Land Procurement for Development in the Public Interest (Law No. 2 of 2012). In the Consignment Institute, there are two aspects that become legal requirements, which consist of the offer of payment and safekeeping in court. On the matters of land procurement in the public interest, the Consignment Institutions does not only applicable on providing compensation itself. These provisions are used as a basis for the application on safekeeping of the damages by the Applicant on Court Decision No. 01/Pdt.P/2012 PN.Tjg and Court Decision No. 19/Pdt.P/2016/PN.Kag."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dwitazara
"Penelitian ini membahas mengenai rangkaian perbuatan seperti apa yang dapat dikatakan dengan Penipuan dengan membahas definisi Penipuan menurut para ahli dan pertimbangan hakim. Penipuan dalam perjanjian sering terjadi dan menjadi permasalahan hukum antara dua pihak yang saling mengikatkan diri namun adanya fakta yang telah disembunyikan sehingga mempengaruhi keputusan untuk mengikatkan diri dalam perjanjian. Tujuan khusus dari penulisan ini untuk mengklarifikasi rangkaian perbuatan yang dapat dikatakan sebagai penipuan berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana serta menganalisa putusan putusan pengadilan mengenai perbuatan perbuatan salah satu pihak yang didalilkan melakukan penipuan dan bagaimana hakim mempertimbangkan suatu penipuan perjanjian tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dan tipe penelitian yang dilakukan dengan menggunakan deskriptif analitis. Kesimpulan dari penulisan ini menjabarkan bahwa penipuan memiliki definisi yang beragam karena dibahas dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Penipuan menurut Common Law, dan penipuan menurut para ahli. Rangkaian perbuatan penipuan adalah perbuatan yang dapat menggerakkan orang lain/ membujuk orang lain dengan alat penggerak seperti akal/ tipu muslihat, karangan perkataan bohong, nama palsu dan keadaan palsu. Serta adanya macam macam pertimbangan hakim mengenai pembuktian dan definisi dari penipuan. Penerapn definisi penipuan dalam hubungan kontraktual dapat diterapkan dalam rancangan Kitab Undang Undang Hukum perdata dan pengadilan dapat memiliki konsep dan pemahaman yang sama mengenai definisi penipuan dan rangkaian perbuatan penipuan.

This thesis discussed about a series of fraudulent acts that define as a misrepresentation by defining definition according to the experts and judges considerations. Misrepresentation in agreements often occurs and becomes a legal problem between two parties that mutually binding but there are facts that has been hidden which affect the decision to binding themselves in agreement. The specific purpose of this thesis is to clarify a series of fraudulent acts that can be regarded as a misrepresentation according to the Civil Code and Criminal Law and analysed court decisions which discussed about one of the parties that perform a series of fraudulent acts and how the judges considered a fraud agreement. This research was conducted using the form of normative juridical research and the type of research carried out using analytical descriptive. The conclusion of this thesis was, misrepresentation has a many definitions because it is discussed in the Civil Code, Criminal Code, Fraud based on Common Law, and Fraud based on experts. A series of fraudulent acts are actions that can persuade others with false statement of fact, false representations, false names and false conditions. Moreover, there were a various kinds of judges' considerations regarding proof and definition of misrepresentation. The use of misrepresentation definition in contractual relationships can be applied in the draft Civil Code. Therefore, the court can have the same concept and understanding of the misrepresentation definition and a series of fraudulent acts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zarra Nur Alyani
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana pandangan hakim dalam putusan-putusan pengadilan mengenai pembeli beritikad baik, terutama tentang ada atau tidaknya kewajiban dari pembeli untuk memeriksa/mengecek objek jual beli terlebih dahulu sebelum dilaksanakannya jual beli. Disusun dengan menggunakan metode yuridis normatif, pembahasan dalam skripsi ini dilakukan dengan menjabarkan teori-teori dasar dari perjanjian jual beli seperti pengertian, objek, saat terjadinya, kewajiban para pihak dalam jual beli serta bagaimana jual beli atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai itikad baik selanjutnya dibahas dalam lingkup sejarah dan perkembangannya, pengertian, kedudukan itikad baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan fungsinya dalam perjanjian.
Pada penelitian ini, Penulis menganalisis bagaimana para hakim di pengadilan baik tingkat pertama maupun tingkat kasasi menafsirkan seseorang yang dikatakan sebagai pembeli beritikad baik. Hasil dari analisis dimuat dalam tabel yang dikategorikan berdasarkan objek jual beli yaitu benda bergerak berwujud, benda bergerak tidak berwujud, dan benda tidak bergerak. Adapun hasil dari penelitian ini merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk membuat suatu pengaturan atau pedoman yang jelas dan terperinci mengenai asas itikad baik di Indonesia, terutama dalam mengukur pembeli beritikad baik.

This thesis discusses about judge’s standpoint in court verdicts regarding the good faith purchaser, particularly whether there is an obligation of the buyer to check the object first before purchasing or not. Formulated using a normative juridical method, the study is carried out by elaborating the fundamental theories of a sale and purchase agreement such as the definition, objects, time of occurrence, obligations of both parties, and the legal basis of trade of movable and immovable goods. For the good faith principle also discussed from the historical scope, definition, the arrangement of good faith in Indonesian Civil Code, and its function in the agreement.
The author will analyze how the judges at the first level court and the cassation level decipher about people who is being categorized as the good faith purchaser. The result of the analysis will be consisting of tables that are categorized by type of objects, which are tangible movable objects, intangible movable objects, and immovable objects. For the result of this research are to recommend the Indonesian Government to make a clear and detailed arrangement or guideline of the good faith principle in Indonesia, especially in identifying the good faith purchaser.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farsya Zahrayanti
"Dalam pembangunan infrastruktur, aspek pembiayaan berperan penting untuk memastikan kelancaran pembangunan dan beroperasinya fasilitas tersebut. Hal ini terutama jika proyek tersebut dibangun untuk kepentingan publik. Kereta Cepat Jakarta Bandung merupakan fasilitas transportasi publik yang dibangun oleh pemerintah pada tahun 2016 dan beroperasi pada tahun 2023. Dalam proses pembangunannya, terdapat banyak kendala dimulai dari permasalahan sosial hingga finansial. Permasalahan finansial timbul dimana awalnya pembangunan proyek ini dibangun menggunakan skema business-to-business dengan BUMN China, hingga pada akhirnya menjadi skema KPBU dengan adanya pemberian penjaminan pemerintah. Hal ini ditimbulkan oleh besarnya cost overrun yang dialami oleh PT KCIC sebagai pelaksana proyek tersebut. Penjaminan pemerintah diberikan pada tahun 2021 berdasarkan Peraturan Presiden No. 91 Tahun 2023. Dengan adanya penjaminan pemerintah, maka pemerintah muncul sebagai penjamin, dalam teori perdata dikenal sebagai penanggung atau borg. Penanggungan yang juga disebut dengan borgtocht merupakan konsep penanggungan hutang dimana pihak ketiga mengikatkan diri untuk menjamin debitur dalam perjanjian utang-piutang dengan kreditur akan memenuhi kewajibannya. Skema penanggungan ini merupakan perjanjian accessoir yang menimbulkan hak dan kewajiban baru terhadap penanggung dan debitur. Penulisan ini meneliti terkait batasan hak dan kewajiban pemerintah dalam pemberian penjaminan pemerintah terhadap proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung. Prosedur pemberian jaminan tersebut juga akan diteliti dalam penulisan ini.

In infrastructure development, the financing aspect plays an important role in ensuring the facility's smooth construction and operation. This is especially true if the project is built for the public interest. The Jakarta Bandung High Speed Train is a public transportation facility built by the government in 2016 and operating in 2023. In the development process, many obstacles range from social to financial problems. Financial problems arise where this project was initially built using a business-to-business scheme with Chinese SOEs, until finally, it became a PPP scheme with the provision of government guarantees. This was caused by the large cost overrun experienced by PT KCIC as the project implementer. The government guarantee was provided in 2021 based on Presidential Regulation No. 91 of 2023. With the government guarantee, the government appears as a guarantor, in civil theory known as an insurer or borg. Personal guarantee, which is also called borgtocht, is a debt guarantee concept where a third party binds itself to guarantee the debtor in a debt agreement with the creditor will fulfill its obligations. This coverage scheme is an accessoir agreement that creates new rights and obligations for the insurer and debtor. This paper examines the limitations of the rights and obligations of the government in providing government guarantees for the project."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nikolas Arya Maheswara
"Perjanjian leasing kendaraan bermotor merupakan salah satu transaksi bisnis yang populer dalam industri transportasi, memungkinkan penyewa (lessee) untuk menggunakan kendaraan dengan membayar biaya sewa tanpa perlu membelinya, sementara pihak leasing (lessor) mendapatkan keuntungan dari penghasilan sewa. Namun, perjanjian ini sering menghadapi risiko wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, seperti keterlambatan pembayaran, penggunaan yang tidak sesuai, kerusakan, kehilangan kendaraan, atau ketidakpatuhan terhadap ketentuan perjanjian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum bagi pihak leasing dalam menghadapi risiko-risiko tersebut, dengan fokus pada regulasi yang berlaku di Indonesia, termasuk Pasal 1243, Pasal 1238, dan Pasal 1365 KUHPerdata serta peraturan perundang-undangan lainnya. Melalui analisis terhadap Putusan No. 32/Pdt.G/2019/PN.Btl., yang melibatkan kasus pelanggaran perjanjian leasing kendaraan bermotor, penelitian ini mengeksplorasi langkah-langkah hukum yang dapat diambil oleh pihak leasing, seperti penyusunan klausul yang jelas dalam perjanjian, penilaian risiko yang ketat, dan pengawasan berkala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi yang ketat, transparansi informasi, dan prosedur hukum yang jelas sangat penting untuk menciptakan kepastian hukum dan keseimbangan kepentingan antara pihak yang terlibat. Kesimpulannya, peningkatan regulasi, edukasi masyarakat, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif sangat diperlukan untuk melindungi hak dan kewajiban dalam perjanjian leasing kendaraan bermotor di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandini Leona Agustin
"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terkait dengan perkawinan, maka setiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, hal ini dengan tegas diatur di dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bilamana perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan tidak dicatatkan, maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara atau setidak-tidaknya tidak memiliki kedudukan hukum. Permasalahan hukum yang ditimbulkan dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut tidak hanya terkait dengan tidak diakuinya perkawinan tersebut, tetapi juga mengenai perlindungan hukum terhadap istri, anak, harta benda dan segala sesuatu akibat dari perkawinan termasuk juga jika kedua belah pihak ingin melakukan perceraian.
Terkait dengan hal tersebut di dalam putusan Nomor 541/Pdt.G/2015/Pn.Sgr dan putusan Nomor 49/Pdt.G/2017/PN.Amp majelis hakim yang menangani perkara tersebut mengabulkan gugatan perceraian antara penggugat dan tergugat meskipun perkawinan tersebut sampai gugatan diajukan belum pernah dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Padahal salah satu syarat untuk dapat mengajukan gugatan perceraian di pengadilan adalah harus menyertakan akta perkawinan yang mana tidak dimiliki oleh penggugat karena perkawinannya tidak pernah dicatatkan.

Marriage is an inner and outer bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family based on the One Godhead. Regarding to marriage, every marriage must be recorded according to the applicable legislation, this is expressly regulated in article 2 paragraph (2) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage.
If the marriage is carried out according to religious law and belief is not recorded, then the marriage is not recognized by the state or at least has no legal standing. The problems that arise from an unregistered marriage are not only related to the non-recognition of the marriage, but also about legal protection of wife, children, property and everything from marriage including if both parties want to divorce.
Related to this matter in the decision Number 541/Pdt.G/2015/Pn.Sgr and the decision Number 49/Pdt.G/2017/PN.Amp the panel of judges who handled the case granted a divorce claim between the Plaintiff and the Defendant even though the marriage was never recorded in the Civil Registry Office. In fact, one of the requirements to be able to file a divorce lawsuit in court is to include a marriage certificate which the Plaintiff does not have because the marriage was never recorded.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aaron Pietter
"Perjanjian secara lisan merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Disetiap momen dalam kehidupan sudah dapat dipastikan bahwa kita sebagai manusia selalu melaksanakan ataupun membuat suatu perjanjian secara lisan baik secara sadar maupun secara tidak sadar. Dalam lingkup persidangan, perjanjian secara lisan pun digunakan sebagai suatu media untuk membuktikan dalil yang disampaikan oleh pihak yang bersengketa agar mencapai pemenuhan hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat dalam perjanjian secara lisan tersebut. Perjanjian secara lisan tersebut memiliki kekuatan dan tingkat efektivitas sendiri dalam menjadi alat bukti dihadapan persidangan apabila dibandingkan dengan alat bukti lainnya yang sah. Untuk meneliti bagaimana penerapan dan tingkat efektivitas suatu perjanjian secara lisan sebagai alat bukti dihadapan persidangan, perlu diteliti bagaimana peraturan dan ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian secara lisan serta perlu dilakukan analisa perbandingan putusan yang telah dipilih oleh Penulis dalam menentukan tingkat efektivitas masing masing perjanjian secara lisan di dalam Putusan tersebut.

Verbal agreement is something that cannot be separated in our daily life. It is confirmed that in every moment we always make a verbal agreement consciously or unconsciously. Within the scope of the court, verbal agreement is also used by the parties to prove their arguments so they can earn their rights and fullfill the other party obligations. Compared to the other type of evidence, verbal agreement have its own power and effectiveness level when being used as a legitive evidence before the court. To observe about the application and effectiveness of a verbal agreement as a legitive evidence before the court, it is necessary to examine how the rules and regulations regulate the verbal agreement and do a comparative analysis about the sentence that the writer have selected in determining the level of effectiveness of the verbal agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariqa Nindya Luana
"Sudah menjadi hak anak untuk diakui dan memperoleh hubungan hukum dengan kedua orang tuanya, terlepas dari dalam keadaan apa pun anak tersebut dilahirkan. Pada dasarnya, pengakuan anak dikenal sebagai suatu lembaga untuk memfasilitasi pengakuan orang tua terutama ayah atas anak yang lahir di luar perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, pengakuan anak lebih dikenal sebagai pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama dan disetujui oleh ibu kandung anak tersebut. Berkaitan dengan pendefinisian tersebut, Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan mengsyaratkan adanya perkawinan antara kedua orang tua anak yang akan diakui untuk melangsungkan perkawinan yang sah secara agama. Hal tersebut menimbulkan kejanggalan tersendiri, sebab ketentuan tersebut seakan menggeser makna “anak luar kawin”, sebab menurut pemahaman umum, anak luar kawin dikenal sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut hukum agama. Selain itu, ketentuan tersebut telah menutup akses hak asasi bagi anak-anak hasil perkawinan adat untuk diakui. Nyatanya dalam keadaan kongkrit, perkawinan adat berdasarkan aliran kepercayaan masih marak dilakukan di Negara Indonesia, mengingat tingkat pluralisme yang sangat tinggi dan kentalnya hukum adat dalam Sebagian titik masyarakat Indonesia. Oleh karenanya dibutuhkan suatu pemahaman komprehensif untuk dapat melaksanakan pengakuan anak hasil perkawinan adat di Negara Indonesia.

It is one of a child's rights to be acknowledged and obtain a legal relationship with his parents, regardless of the kind of situation they were born into. Child acknowledgment is an institution that facilitates parents' acknowledgment, especially fathers, for children born out of wedlock. In the elucidation of Article 49 paragraph (2) of Law Number 24 of 2013 concerning Population Administration, child recognition is better known as a father's confession to his child born from a legal marriage according to religious law and approved by the child's biological mother. In connection with this definition, Article 49 paragraph (2) of Law Number 24 of 2013 concerning Population Administration requires a marriage between the child's two parents to be recognized to carry out a religiously legal marriage. It gives rise to its peculiarity because the provision seems to shift the meaning of "children outside of wedlock." In general understanding, "children out of wedlock," commonly known as children born outside a legal marriage according to religious law. In addition, this provision has closed access to children's rights from customary marriages to be acknowledged. In fact, in concrete circumstances, customary marriages based on beliefs are still prevalent in Indonesia, given the very high level of pluralism and the thickness of customary law in some areas of Indonesian society. Therefore, a comprehensive understanding is needed to acknowledge children born from customary marriages in the State of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library