Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shabrina Rizky Putri
Abstrak :

Pendahuluan: Karsinoma rongga mulut adalah keganasan tersering ke-6 di Asia. Mayoritas pasien karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) di RSCM datang dalam kondisi lanjut. Namun belum ada studi yang meneliti mengenai kesintasan penyakit ini di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesintasan KSSRM di RSCM berdasarkan stadium klinis AJCC ke-8.

Metode: dilakukan studi analisis kesintasan secara retrospektif dengan menggunakan data pasien KSSRM yang didiagnosis di Divisi Bedah Onkologi RSCM pada tahun 2014-2018. Luaran pasien didapatkan dari rekam medis dan menghubungi pasien via telepon. Data dianalisis menggunakan metode Kaplan-Meier.

Hasil: Mayoritas pasien adalah laki-laki (perbandingan laki-laki:perempuan adalah 1,03:1) dengan rerata usia  51,12±13,821 tahun. Tumor ditemukan paling banyak di daerah lidah (72,8%) dan kebanyakan pasien didiagnosis pertama kali pada stadium IV (83,4%). Kesintasan keseluruhan satu dan dua tahun adalah 58,6% dan 43,1%, dengan kesintasan spesifik-penyakit adalah 66,9%. Kesintasan satu dan dua tahun terendah adalah pada kelompok stadium IV (53,5% dan 36,1% secara berurutan). Namun tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara kesintasan dan stadium klinis pada studi ini.

Simpulan:  Kesintasan KSSRM yang rendah di RSCM menunjukan tingginya patient delay. Penapisan dan edukasi mengenai penyakit ini dibutuhkan untuk meningkatkan angka kesintasan.

 


Introduction: Oral cancer carcinoma is the 6th most frequent malignancy in Asia. In Cipto Mangunkusumo Hospital, most patient comes in late stage. Yet, there is no survival study available for this disease in our country.

Objectives: This study aims on revealing the survival rate oral squamous cell carcinoma (OSCC) patients in Cipto Mangunkusumo based on the 8th AJCC staging.

Methods: We performed a retrospective survival analysis study from a database of OSCC patients diagnosed at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2014-2018. Follow-up details were updated from medical record and by phone calls. Data was analysed using the Kaplan-Meier method.

Results: Majority of the patients were male (male-to-female ratio was 1.03:1) with the mean age was 51,12±13,821 years old. Tumors occurred mostly in the tongue (72,8%), and most patients were initially diagnosed as stage IV (83,4%). The one and two year overall survival rate were 58,6% and 43,1%, with a disease-specific survival rate was 66,9%. The worst one and two year survival rate was found constantly in the stage IV group (53,5% and 36,1%, consecutively). Though there was no statistically significant association between overall survival and clinical staging in this study (p>0,05).

Conclusion: The low OSCC survival rate in Cipto Mangunkusumo Hospital indicated a high level of patient delay. Screening and education regarding this disease are needed to increase the survival rate.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiffany Christina Thaher
Abstrak :
Latar Belakang: Karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) menempati urutan keenam dari keganasan yang paling sering terjadi di Asia. Kebanyakan pasien datang berobat dalam kondisi stadium lanjut sehingga KSSRM memiliki mortalitas yang tinggi. Angka kesintasan KSSRM satu tahun dan dua tahun di RSCM adalah 58,6% dan 43,1%; angka kesintasan spesifik penyakit adalah 66,9%. Studi ini bertujuan untuk mencari faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan KSSRM. Metode: Studi ini merupakan kohort retrospektif berdasarkan data rekam medis pasien. Variabel yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, lokasi tumor, stadium klinis, derajat diferensiasi sel tumor, derajat invasi tumor, dan batas sayatan. Analisis kesintasan menggunakan Kaplan-Meier dan uji log-rank. Analisis bivariat dan multivariat menggunakan regresi Cox untuk mendapatkan hazard ratio (HR). Hasil: Ada 169 subjek yang menderita KSSRM dan diterapi di RSCM tahun 2014 – 2018. Mayoritas pasien merupakan laki-laki (51,5%) dengan usia di atas 50 tahun (55,6%). Lokasi tumor paling banyak dijumpai di lidah (72,8%) diikuti mukosa bukal (13%). 82,2% pasien datang pada stadium IV, 60,4% memiliki diferensiasi baik, dan 53,8% memiliki grade rendah. Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan bahwa ukuran dan ekstensi tumor (T), keterlibatan kelenjar getah bening regional (N), stadium klinis, dan batas sayatan memengaruhi kesintasan KSSRM (p <0,05). Keterlibatan KGB (HR: 1,212; 95% CI: 0,997-1,474; p <0,05) dan stadium klinis (HR: 1,749; 95% CI: 1,261-2,425; p <0,05) memengaruhi mortalitas secara signifikan. Kesimpulan: Faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan KSSRM adalah stadium klinis dan keterlibatan kelenjar getah bening regional (N). ......Background: Oral squamous cell carcinoma (OSCC) is the sixth most common malignancy in Asia. Most patients were diagnosed in advanced stage; thus, the mortality rate is high. The one-year and two-year overall survival rate in Cipto Mangunkusumo Hospital are 58.6% and 43.1%, the disease-specific survival rate is 66.9%. This study is aimed to investigate the prognostic factors correlated with OSCC. Methods: A retrospective cohort study was done on OSCC patients diagnosed and treated in Cipto Mangunkusumo Hospital from 2014 to 2018. Data regarding age, gender, site of the primary lesion, clinical stage of the disease, tumor differentiation, invasion, and surgical margins were collected. Prognostic variables were identified with bivariate analysis using Kaplan-Meier curves and log-rank testing for comparison. Results: One hundred and sixty nine patients were included. Majority of patients were male (51.5%), age above 50 years old (55.6%). The most prevalent tumor site was the tongue (72.8%) followed by buccal mucosa (13%). 82.2% of patients had advanced (clinical stage IV) disease at diagnosis. Majority of patients had well-differentiated tumor (60.4%) and low-grade tumor (53.8%). Bivariate analysis showed that tumor size (T), nodal status (N), clinical stage, and marginal status significantly affected the overall survival (p <0.05). Nodal status (HR: 1.212; 95% CI: 0.997-1.474; p <0.05) and clinical stage (HR: 1.749; 95% CI: 1.261-2.425; p < 0.05) were independently associated with the risk of death. Conclusion: Clinical stage and lymph node involvement are the most significant prognostic factors of OSCC.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Carmia Pratiwi Santoso
Abstrak :

Pendahuluan: Suatu keadaan ketika karyawan hadir secara fisik di tempat kerja, tetapi mengalami penurunan kinerja dikenal dengan istilah presenteeism. Di Indonesia belum ada penelitian yang memberikan gambaran mengenai stressor kerja yang terjadi pada Polisi yang dihubungkan dengan presenteeism dan dibandingkan dari fungsi tugas nya. Penelitian pada polisi di Swedia berusaha mencari hubungan karakteristik pekerjaan dengan presenteeism dimana didapatkan hasil sebesar 47 % anggota polisi yang dilaporkan mengalami presenteeism. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stressor kerja dengan presenteeism terkait status kesehatan pada polisi dengan memperhatikan perbedaan antara polisi tugas operasional dan pembinaan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang perbandingan (comparative cross-sectional) menyertakan 220 polisi di Polres X sebagai responden yang dipilih dengan convenience sampling. Responden terdiri dari petugas polisi dari departemen administrasi dan departemen operasional dengan jumlah yang sama. Data dikumpulkan dengan menggunakan empat kuesioner yang telah divalidasi. Presenteeism dinilai dengan Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) versi Indonesia, stressor kerja dengan Survei Diagnosis Stres (SDS), stres dengan Self-Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), dan stressor bukan akibat kerja dengan Holmes and Rahe, juga karakteristik sosiodemografi dengan kuesioner Identitas Responden. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Hasil: Proporsi Presenteeism pada anggota polisi di Polres X yang memiliki presenteeism tinggi (high presenteeism) adalah sebesar 65,9%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara fungsi tugas dan presenteeism terkait status kesehatan dengan nilai p <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), juga stressor kerja beban kerja kualitatif dengan nilai p = 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73) yang menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap presenteeism pada polisi. Sedangkan variabel lainnya tidak ditemukan berhubungan.

Kesimpulan: Polisi dengan fungsi tugas operasional memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami presenteeism dibandingkan dengan polisi fungsi tugas pembinaan. Polisi dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori sedang-berat memiliki risiko lebih tinggi menjadi presenteeism dibandingkan dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori ringan.

Pendahuluan: Suatu keadaan ketika karyawan hadir secara fisik di tempat kerja, tetapi mengalami penurunan kinerja dikenal dengan istilah presenteeism. Di Indonesia belum ada penelitian yang memberikan gambaran mengenai stressor kerja yang terjadi pada Polisi yang dihubungkan dengan presenteeism dan dibandingkan dari fungsi tugas nya. Penelitian pada polisi di Swedia berusaha mencari hubungan karakteristik pekerjaan dengan presenteeism dimana didapatkan hasil sebesar 47 % anggota polisi yang dilaporkan mengalami presenteeism. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stressor kerja dengan presenteeism terkait status kesehatan pada polisi dengan memperhatikan perbedaan antara polisi tugas operasional dan pembinaan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang perbandingan (comparative cross-sectional) menyertakan 220 polisi di Polres X sebagai responden yang dipilih dengan convenience sampling. Responden terdiri dari petugas polisi dari departemen administrasi dan departemen operasional dengan jumlah yang sama. Data dikumpulkan dengan menggunakan empat kuesioner yang telah divalidasi. Presenteeism dinilai dengan Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) versi Indonesia, stressor kerja dengan Survei Diagnosis Stres (SDS), stres dengan Self-Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), dan stressor bukan akibat kerja dengan Holmes and Rahe, juga karakteristik sosiodemografi dengan kuesioner Identitas Responden. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Hasil: Proporsi Presenteeism pada anggota polisi di Polres X yang memiliki presenteeism tinggi (high presenteeism) adalah sebesar 65,9%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara fungsi tugas dan presenteeism terkait status kesehatan dengan nilai p <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), juga stressor kerja beban kerja kualitatif dengan nilai p = 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73) yang menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap presenteeism pada polisi. Sedangkan variabel lainnya tidak ditemukan berhubungan.

Kesimpulan: Polisi dengan fungsi tugas operasional memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami presenteeism dibandingkan dengan polisi fungsi tugas pembinaan. Polisi dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori sedang-berat memiliki risiko lebih tinggi menjadi presenteeism dibandingkan dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori ringan.


Introduction: A situation when an employee is physically present at work, but has decreased work performance is known as presenteeism. In Indonesia there are no studies that provide an overview of work stressor that occur in police related to presenteeism and compared to their task function. Research among Swedish police officer in 2011 found a relationship between job characteristics and presenteeism in which 47% of police officer reportedly experienced presenteeism.This study was aimed to know the relationship between work stressor and presenteeism related to health status of police by observing the difference between operational and administrative police.

Method: This research used a comparative cross sectional design with 220 police officer from a District Police Office as respondents selected by convenience sampling. The respondents consisted of the same number of the police officer from Administrative and Operational Department. Four validated questionnaires were used. Presenteeism was identified using with Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) Indonesian version, work stressor with Survey Diagnostic Stress (SDS), stress with Self Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), and non work stressor with Holmes and Rahe, as well as sociodemographic characteristics with questionnaire of respondents. The statistical test used was Chi-Square with a multivariate analysis using logistic regression test.

Result: The proportion of high presenteeism among the police was 65,9 %. This study show statistically significant relationship between operational task function with presenteeism related to health status with the result of p-value is <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), so does qualitative workload work stressor with the result of p-value is 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73). It showed a statistically significant related to presenteeism among the police. Meanwhile, other variables were not significantly related to presenteeism.

Conclusion: The police with operational task function has a lower risk for presenteeism compared to the police with administrative task function. The police with moderate-severe category work stressor qualitative workload has a higher risk for presenteeism compared to mild category work stressor qualitative workload.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Martha Landauw
Abstrak :
Pendahuluan: Pemilu 2019 di Indonesia merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan serentak dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus menyelesaikan penghitungan suara di hari yang sama dengan penambahan kertas suara. Keadaan ini menyebabkan petugas KPPS meninggal dan sakit diduga akibat stres dan kelelahan akibat beban kerja yang berlebihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan respon stres pada petugas KPPS Pemilu 2019.   Metode: Desain studi potong lintang menggunakan data sekunder dilakukan terhadap masalah yang diteliti meliputi 80 data petugas KPPS di TPS di Jakarta, Banten, dan Yogyakarta. Stresor kerja dan respons stres dinilai dengan NBJSQ bahasa Indonesia. Beberapa model regresi logistik digunakan untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang terkait dengan respons stres. Hasil: Stresor pekerjaan yang paling dirasakan oleh petugas KPPS Pemilu 2019 dalam penelitian ini adalah kelebihan beban kerja kuantitatif (47,5). Respon stres yang paling banyak terjadi pada petugas KPPS Pemilu 2019 dalam penelitian ini adalah kelelahan (17,5%). Tidak ada hubungan antara stresor pekerjaan dan faktor individu dengan respon stres (p>0,05). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa kelebihan beban kerja kuantitatif merupakan stresor kerja utama di kalangan petugas KPPS pada pemilihan umum 2019. Stresor tersebut dapat memicu kejadian serangan jantung pada individu yang memiliki predisposisi. ......Introduction: The 2019 general election in Indonesia was the first general election to be held simultaneously and election officers (KPPS) had to complete the vote count on the same day with additional ballot papers. This situation caused high mortality and morbidity among KPPS officers due to stress and fatigue caused by job overload. This study was aimed to explore the factors related stress response in 2019 election KPPS officers. Methods: A cross-sectional study design was conducted to the issue under the study included 80 data of KPPS officers at Polling Station (TPS) in Jakarta, Banten, and Yogyakarta. Occupational stressor and stress response was assesed with NBJSQ bahasa Indonesia. Multiple logistic regression models were used to explore factors associated with stress response. Results: The most perceived occupational stressor experienced by the 2019 General Election KPPS officers in this study were quantitative job overload (47,5%).The stress response that occurred in the 2019 General Election KPPS officers in this study was fatigue (17.5%). There was no relationship between occupational stressor and individual factors with stress response (p>0.05). The stressor can trigger the incidence of heart attacks in predisposed individuals.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Rizqy Soeratman
Abstrak :

Introduksi: Relaparotomi dini pascatransplantasi hati donor hidup pada anak kerap dihadapkan pada luaran yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien pascatransplantasi hati yang tidak memerlukan relaparotomy dini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan relaparotomi dini pascatransplantasi donor hidup pada anak

Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan seluruh resipien anak pascatransplantasi donor hidup di RSCM. Berdasarkan data rekam medis, setiap pasien dinilai skor PELD, lama operasi, jumlah perdarahan intraoperasi, warm ischemic time, dan cold ischemic time. Keempat faktor tersebut kemudian dianalisis hubungannya dengan kejadian relaparotomi dini.

Hasil: Terdapat 50 resipien anak pascatransplantasi donor hidup di RSCM dengan median usia subjek 17 bulan (5-61 bulan). Dari 50 subjek, 14 diantaranya memerlukan relaparotomi pascatransplantasi. Setelah dilakukan analisis, dari keempat faktor yang dinilai, hanya jumlah perdarahan intraoperasi yang bermakna secara statistik berhubungan dengan kejadian relaparotomi (p= 0.014).

Konklusi: Perdarahan intraoperasi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kejadian relaparotomi dini pada pasien anak dengan transplantasi hati donor hidup. Akan tetapi perlu diperhatikan faktor lain seperti power penelitian yang dapat memengaruhi hasil dan masih perlu ditingkatkan pada studi ini.


Introduction: Early relaparotomy post living donor liver transplant in children usually faced with poor outcome compare to liver transplant patient without early relaparotomy. This study aims to identify factors associated with early relaparotomy in children undergone living donor liver transplant.

Methods: This is a cross sectional study including all of the children recipient of living donor liver transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). Using the medical records, the PELD score, duration of the operation, total intraoperation blood loss, warm ischemic time, and cold ischemic time were measured. All of these factors were analyzed with the incidence of relaparotomy.

Results: Fifty children recipient of living donor liver transplant in RSCM were included in this study. The median age of the subject was 17 months old (5-61 months old). From 50 subjects, 14 of them were undergone relaparotomy post liver transplant. The total intraoperation blood loss has statistically significant associated with the incidence of relaparotomy (p= 0.014)

Conclusion: Intraoperation blood loss is one of the factors associated with the incidence of relaporotomy in children recipient of living donor liver transplant. Other factors associated with early relaparotomy still need to be explored to improve the power of this study.

 

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ciputra Linardy
Abstrak :

Introduksi: Rekonstruksi mandibula pada kasus-kasus tumor mandibula menggunakan flap fibula bebas merupakan hal penting untuk mengembalikan fungsi dan estetik pada defek pascareseksi. Penelitian ini ditujukan untuk menilai hubungan karakteristik klinis dengan fungsi menelan, fungsi bicara, fungsi makan, dan kualitas hidup pada pasien yang dilakukan rekonstruksi mandibula menggunakan flap fibula bebas pascamandibulektomi.

Metode: Dilakukan studi dengan desain potong lintang dan survei mengikutsertakan pasien yang dilakukan rekonstruksi mandibula menggunakan flap fibula bebas pascamandibulektomi di RSCM pada tahun 2014-2019. Dilakukan penilaian terhadap kelas defek mandibula, panjang defek, jumlah subunit mandibula, ekstensi defek, jumlah segmen tulang, selanjutnya dilakukan penilaian fungsi melalui wawancara menggunakan European Organization for Research and Treatment of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-H&N35).

Hasil: Tercatat 63 pasien dengan mandibulektomi dan dilakukan rekonstruksi. Hanya 14 dapat dinilai. Hanya panjang defek dan ekstensi defek yang memiliki hubungan bermakna dengan fungsi. Panjang defek mandibula memiliki korelasi positif dengan gangguan pada fungsi menelan (p = 0,032), fungsi bicara (p = 0,020), dan kualitas hidup (p = 0,032). Ekstensi defek intraoral dan ekstraoral menyebabkan gangguan fungsi menelan (p = 0,035).

Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi menelan, fungsi bicara, dan kualitas hidup tergantung defek pascamandibulektomi.

 


Introduction: Mandibular reconstruction utilizing free fibula flap is essential in restoring the function, and aesthetics outcomes post mandibular tumor resection. This study looks into the association of clinical characteristics with functional outcomes such as swallowing, speaking, eating, and quality of life on patients undergoing post-mandibulectomy mandibular reconstruction using free fibula flap.

Methods: We performed a cross-sectional study that includes patients who underwent post-mandibulectomy mandibular reconstruction using free fibula flap at RSCM in 2014-2019. Mandibula defect class, defect length, the number of mandibula subunits, defect extension, and the number of osteotomy segments was evaluated. The functional outcomes were assessed using the European Organization for Research and Treatment of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-H&N35).

Results: 63 patients underwent mandibulectomy and reconstruction using free fibula flap. Only 14 were included in the study. Defect length and extension are significantly associated with functional outcomes. Mandibula defect length has positive correlation with problems in swallowing function (p = 0.032), speaking function (p = 0.020), and quality of life (p = 0.032). Both intraoral and extraoral defect extension causes swallowing function problem (p = 0.035).

Conclusion: This study discovered that swallowing function, speaking function, and quality of life are associated with post-mandibulectomy defect.

 

 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Ilhami Akbar
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Risk Adjusted Classification for Congenital Heart Surgery (RACHS-1) merupakan sistem stratifikasi risiko terbaru yang dikembangkan sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas pascoperasi penyakit jantung bawaan (PJB), namun belum pernah divalidasi di populasi Indonesia. Tujuan: Melakukan validasi eksternal RACHS-1 pada populasi Indonesia sebagai prediktor mortalitas pascoperasi PJB. Metode: Uji validasi dengan studi kohort, menggunakan data retrospektif dari bank data bagian bedah jantung anak dan kongenital Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari Januari 2015-Desember 2019. Uji diagnostik memperlihatkan nilai sensitivitas, spesifisitas dan area under curve-receiving operator characteristic (AUC-ROC) sebagai luaran utama dalam menilai kemampuan prediksi luaran mortalitas. Hasil: Penelitian melibatkan 4139 subjek dengan mortalitas pada 230 subjek (5,6%). RACHS-1 category memiliki sensitivitas 71% dengan spesifisitas 60% dalam memprediksi mortalitas. Kemampuan diskriminasi memperlihatkan hasil yang kurang baik dalam prediksi mortalitas (AUC-ROC 0,673). Kesimpulan: RACHS-1 memiliki kemampuan diskriminasi yang kurang baik sebagai prediktor mortalitas di Indonesia dengan nilai AUC-ROC 0,673.
ABSTRACT
Background: Risk Adjusted Classification for Congenital Heart Surgery (RACHS-1) were the latest risk stratification methods for congenital heart disease (CHD) surgery that were developed to predict mortality and morbidity outcome, it hasn't been validated in Indonesian population. Objectives: To validate RACHS-1 category as a predictor of mortality in Indonesia. Methods: A Retrospective Cohort study using the database Pediatric and Congenital Heart Surgery Department of National Cardiovascular Harapan Kita Database from January 2015-December 2019. Statistical analysis was done using area under curve-receiving operator characteristic (AUC-ROC) to determine the predictive discrimination of mortality. Results: This study enrolled 4139 subjects with mortality rate of 230 subjects (5.4%). The RACHS-1 category have the sensitiviy of 71% with specificity of 60% to predict mortality. Both of the methods showed a fine discrimination to predict mortality (AUC-ROC 0.673). Conclusion: RACHS-1 has a poor discrimination ability as a predictor of mortality in Indonesia with an AUC-ROC value of 0.673.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiansyah
Abstrak :
Latar belakang: Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab gagal jantung. Terapi yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya mampu memperbaiki kerusakan otot jantung yang telah terjadi. Terapi sel punca baik injeksi maupun patch juga masih belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Penggunaan patch jantung dihadapkan pada masalah seperti rendahnya viabilitas sel yang dihasilkan. Hipotermia pada suhu 4°C yang digunakan untuk isolasi kardiomiosit selama ini dikaitkan dengan gangguan aktivitas sel yang menyebabkan penurunan jumlah sel viabel yang dihasilkan. Suhu 37°C yang merupakan suhu fisiologis tubuh dinilai mampu menghasilkan viabilitas sel lebih baik. Metode: Studi ekperimental in vitro dilakukan di Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PJT-RSCM) dan Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam periode Desember 2019 hingga November 2020 dengan mengikutsertakan subjek pasien yang menjalani operasi total koreksi tetralogy of Fallot. Jaringan reseksi otot infundibulum jantung diambil kemudian dilakukan isolasi untuk menilai viabilitas sel dan ekspresi genetik. Hasil: Delapan subjek ((n = 4) ± 95% C.I) kelompok suhu 37°C secara signifikan menghasilkan jumlah sel viabel yang lebih banyak (mean: 2675sel/mg) dibandingkan suhu 4°C (mean: 970 sel/mg) dengan (p <0,05). Ekspresi gen yang mengekspresikan sel kardiomiosit secara flowsitometer terlihat kelompok medium transpor 37°C secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 4°C. Simpulan: Isolasi kardiomiosit menggunakan medium transpor suhu fisiologis (37⁰C) menghasilkan jumlah sel viable yang lebih banyak dibandingkan medium konvensional (4⁰C). ......Background: Coronary heart disease is one of the main causes of death in developing countries, including Indonesia. This disease is one of the causes of heart failure. The therapy that has been implemented has not able to repair the damage of the heart muscles that have occurred. Stem cell therapy, either injection or patch, has not succeeded satisfactorily. The use of the cardiac patch is exposed to many problems such as low viability of the cells produced. Hypothermia at 4°C, which is used for isolation of cardiomyocytes related with activity disturbance which causes a decrease in the number of viable cells produced. The temperature 37°C which is the body's physiological temperature considered can produce better cell viability. Methods: An experimental invitro study was conducted in the Pelayanan Jantung Terpadu Cipto Mangunkusumo (PJT-RSCM) and the Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Faculty of Medicine, University of Indonesia from December 2019 to November 2020 by recruiting patient subjects who underwent total correction of tetralogy of Fallot. The resection of the cardiac infundibulum was taken and then isolated to assess cell viability and gene expression. Results: A total of eight subjects ((n = 4) ± 95% CI) the 37°C group produced significantly more viable cells (mean: 2675 cells/mg) than at 4°C (mean: 970 cells/mg).)) with (p <0.05). The expression of genes expressing cardiomyocytes by flowcitometer showed that the physiological group (37°C) was significantly higher than the conventional group (4°C). Conclusion: Isolation of cardiomyocytes using a physiological temperature transport medium (37⁰C) resulted in a higher number of cells than conventional medium (4⁰C).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Ariyanto Sani
Abstrak :
Latar Belakang: Terdapat perdebatan mengenai strategi operasi modified Fontan/TCPC pada PJB univentrikel yaitu pendekatan primer atau bertahap pada pasien yang memenuhi kriteria operasi untuk memperoleh luaran pascaoperasi yang paling baik. Tujuan: Tinjauan sistematik ini disusun untuk membuktikan bahwa operasi modified Fontan secara bertahap pada pasien PJB dengan fisiologi jantung univentrikel dan memenuhi kriteria operasi memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibandingkan secara primer. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Identifikasi terhadap penelitian yang relevan terhadap tujuan studi dilakukan melalui pencarian literatur pada Cochrane Library, PubMed, dan CINAHL (EBSCO) database. Setiap penelitian dinilai sesuai dengan tingkat bukti klinis sesuai dengan kriteria National Health and Medical Research Council (NHMRC). Hasil: Tiga puluh artikel diikutsertakan dalam tinjauan sistematik ini. Morfologi ventrikel yang dilaporkan dari kelainan jantung univentrikel menunjukkan proporsi malformasi yang lebih besar dengan ventrikel sistemik kiri di sebagian besar studi yang disertakan. Data hemodinamik yang dilaporkan sebelum operasi Fontan menunjukkan distribusi yang hampir sama pada rerata tekanan arteri pulmonal (mean pulmonary arteriolar pressure, mPAP), tekanan diastolik akhir ventrikel sistemik (systemic ventricular end-diastolic pressure, EDPSV), dan tekanan transpulmonal (transpulmonary pressure gradient, TPG). Pendekatan operasi primer telah banyak ditinggalkan. Dijumpai mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang menjalani operasi primer dengan kesintasan jangka panjang yang cukup sebanding. Tromboemboli lebih sering terjadi pada strategi operasi primer dengan insiden sebanyak 5,6% vs. 4,8% dibandingkan dengan operasi secara bertahap Simpulan: Prosedur modified Fontan secara bertahap memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibanding dengan pendekatan primer ......Background: Definitive palliation for univentricular heart usually involves different modifications of Fontan surgery / total cavopulmonary connection (TCPC). However, whether it should be done as a primary or staged procedure with an initial bidirectional Glenn shunt remains an area of debate. Objective: This systematic review has been undertaken to prove that staged TCPC in Fontan candidates delivers better post-surgical results than the primary approach. Method: This study was carried out according to the PRISMA-P protocol. Systematic searches identified studies in the Cochrane Library, PubMed, and CINAHL (EBSCO) database. According to the National Health and Medical Research Council (NHMRC) guideline, each study was critically appraised. Results: A total of 30 studies were included in this systematic review. In most of the included studies, the reported ventricular morphology of univentricular heart defects showed a more significant proportion of the left systemic ventricle malformations. The hemodynamic data before Fontan surgery showed almost the same distribution of mean pulmonary arteriolar pressure (mPAP), systemic ventricular end-diastolic pressure (EDPSV), and transpulmonary pressure gradient (TPG). The primary surgical approach has mostly been abandoned because of its higher mortality rate than staged surgery. Long term survival has been comparable in both strategies. Thromboembolism was more common in the primary approach than in the staged surgery, with an incidence of 5.6% vs. 4.8%, respectively. Conclusion: Staged modified Fontan procedure results in better post-surgical outcomes than the primary approach.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library