Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Yaniarti Hasanah
"Latar Belakang : Disfungsi diastolik ventrikel kiri DDVK subklinis seringterjadi dan dianggap sebagai prediktor penting gagal jantung dan kematian jangkapanjang. Deteksi dini adanya DDVK pada pasien hipertensi sangat pentingdilakukan dan memiliki makna klinis yang sangat diperlukan dalam aspektatalaksana yang tepat, sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitaspasien. Setyawan dkk mengembangkan suatu sistem skor diagnostik DDVK studiDSS pada pasien hipertensi di RSUD Tarakan Kalimantan Timur. Sistem skordiagnostik ini memiliki daya kalibrasi dan diskriminasi yang baik. Sampai saat inibelum ada validasi eksternal pada studi DSS tersebut, sehingga perlu dilakukanuntuk dapat selanjutnya diimplementasikan secara klinis.
Tujuan : Memvalidasi secara eksternal Diastolic Dysfuction Scoring System DSS untuk mendiagnosis DDVK pada pasien hipertensi.
Metode : Penelitian merupakan studi potong lintang dengan metode validasieksternal penuh yang dilakukan di Desa Gunungsari, Kecamatan Pamijahan,Bogor menggunakan data primer Januari 2017 hingga Februari 2017, yangdiambil secara total sampling. Analisis data ditujukan untuk mendapatkan nilaikalibrasi dan diskriminasi.
Hasil : Sampel akhir studi validasi ini berjumlah 100, kejadian DDVK pada studiini 41 . Setelah dilakukan penghitungan skor DSS pada semua sampel studi,didapatkan nilai kalibrasi yang baik menggunakan uji Hosmer Lemeshow p =0,999 ; nilai hasil uji baik bila p>0,05 , sementara nilai diskriminasi didapatkanAUC yang kurang baik AUC = 0,594; 95 CI = 0,480 ndash; 0,708. Didapatkanobserved/expected sebesar 2,56, sensitivitas kurang 22 , dan spesifitas yangbaik 88.
Kesimpulan : Studi DSS secara eksternal mempunyai kalibrasi yang baik dandiskriminasi yang kurang untuk memprediksi kejadian DDVK pada populasihipertensi di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Bogor.

Background : Subclinical left ventricular diastolic dysfunction is considered asimportant progression predictor and mortality due to heart failure. Diastolicdysfunction occurred before heart failure in hypertensive patients with preservedejection fraction, so that early diagnosis of diastolic dysfunction diagnosis is veryimportant. Several factors has been known related with left ventricular diastolicdys function. Setyawan dkk in 2016 developed Diastolic Dysfuction ScoringSytem DSS with good calibration and discrimination. However this score neverbeen externally validated.
Objective : To validate externally DSS study to diagnose left ventricular diastolicdysfunction in hypertensive population.
Methods : This is a cross sectional study with fully external validation methodthat performed at Gunungsari village, Pamijahan, Bogor using primary data fromJanuary 2017 until February 2017, which taken by total sampling method. Dataanalysis is intended to develop the calibration and discrimination level.
Results : The final samples were 100, with 41 sample have diastolicdysfunction. Callibration value with Hosmer Lemeshow showed good result withp 0.99 and poor discrimination AUC 0,594 95 CI 0,480 ndash 0,708 . We gotobserved expected ratio 2,56, fair sensitivity 22 , and good specificity 88.
Conclusion : DSS study externally have good callibration and poordiscrimination to diagnose left ventricle diastolic dysfunction in hypertensivepopulation in Gunung Sari village, Pamijahan, Bogor
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Munthe, Mailis Suyanti
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih tingginya pengembalian berkas klaim Inacbg’s Rawat Inap di RS Kanker “Dharmais” dimana pengembalian tertinggi disebabkan oleh konfirmasi koding dan resume medis. Hal ini berpotensi menimbulkan kerugan bagi RS akibat pembayaran klaim yang tertunda. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kelengkapan dan ketepatan komponen diagnosis, prosedur dan koding terhadap besaran tarif klaim INA-CBG’s rawat inap di RS Kanker “Dharmais”. Studi kasus ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dan telaah resume medis pasien kanker payudara yang mendapatkan kemoterapi selama bulan Maret 2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaklengkapan pengisian resume medis tertinggi dalam pengisian indikasi masuk rawat 41%, pemeriksaan fisik 20%, dan pemeriksaan penunjang 4% dari total 45 kasus yang ditelaah. Angka ketidaksesuaian penulisan diagnosis sekunder dan prosedur berturut-turut sebesar 40% dan 37.8%. Namun penulisan diagnosis utama sudah sesuai antara rekam medis dan resume medis. Ketidaktepatan koding diagnosis utama masih ditemukan yaitu sebesar 17.8%. Akibat dari ketidaktepatan koding diagnosis utama, ketidaksesuaian diagnosis sekunder dan ketidaksesuaian prosedur/tindakan terdapat selisih negatif sebesar Rp. 142.763.800. Untuk itu komitmen dari manajemen RS Kanker “Dharmais” yaitu tim yang terlibat dalam koding final yang merupakan tim internal rumah sakit perlu diperkuat dalam rangka meningkatkan kualitas berkas klaim dari aspek kelengkapan dan ketepatan diagnosis, prosedur dan koding sehingga didapatkan nilai klaim INA-CBG’s yang tepat.

The background of this research is the highest return of inpatient Inacbg’s claim in Dharmais Cancer Center because of confirmation of coding and medical resume. This would potentially become hospital loss of payment due to pending claims payments. The study was aiming to analyzing the completeness and accuracy of diagnosis, procedure and coding against amount of INA-CBG’s inpatient claim rate in Dharmais National Cancer Center. This case study research was using a qualitative approach by doing the indeph interview and analyzing the medical resume of breast cancer patients who received chemotherapy during March 2018. The result revealed that the incompleteness of the medical resume written was high in certain component e.a indication of admission (41%), physical examination (20%), supporting investigation(4%) of total 45 cases reviewed. Incorrect written of secondary diagnosis and procedure was 40% and 37.8%. Primary diagnosis is found match between medical record and medical resume. However, inaccuracy of primary diagnosis coding was found in the amount of 17.8%. Due to incompleteness and inaccuracy of claim have potentially effect hospital loss approximately by Rp. 142.763.800. Therefore, hospital should empowered the internal team tahat involve in the process of final coding in order to improve the quality of claim document started from the aspect of completeness and accuracy of diagnosis, procedure and coding to obtain the right claim value of INACBG’s.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiowati
"ABSTRAK
Latar Belakang. Jaringan parut fibrosis pasca infark berpotensi menyebabkan aritmia fatal, iskemia berulang, gagal jantung, dan kematian jantung mendadak. Deteksi jaringan parut akan menentukan strategi tatalaksana selanjutnya yang menguntungkan setiap pasien. Resonansi magnetik jantung (RMJ) merupakan alat diagnostik baku emas yang tidak dapat diterapkan pada semua pasien. EKG 12 sadapan dapat menjadi pilihan alternatif. Rasio initial dan terminal ventricular activation velocity (vi/vt) pada EKG membandingkan kecepatan impuls listrik pada awal (vi) dan akhir (vt) kompleks QRS. Jaringan parut akan mempunyai vi/vt yang berbeda dari jaringan normal karena kondisi iskemia mengubah aktivitas elektrik dan penjalaran impuls listrik akibat remodeling kanal ion dan proses transport ion.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang, mengikutsertakan subyek yang menjalani RMJ di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita selama Januari 2013-Agustus 2014 yang diambil secara konsekutif. Penilaian jaringan parut miokardium pada RMJ dilakukan dengan teknik late gadolinium enhancement yang dinilai secara kualitatif. Vi/vt diukur secara manual pada EKG 12 sadapan kemudian diambil reratanya pada tiap sadapan bersuaian.
Hasil. Sebanyak 113 subyek laki-laki dengan rerata umur 55.7±9.7 tahun diikutsertakan dalam analisis. Mayoritas subyek mempunyai jaringan parut ≥1 teritori dan melibatkan teritori yang diperdarahi arteri left anterior descending (LAD). Analisis vi/vt secara umum di tiap sadapan menunjukkan nilai vi/vt yang lebih kecil secara signifikan terhadap keberadaan jaringan parut miokardium dengan nilai p<0.001 untuk sadapan V1-V5, p=0.006 untuk sadapan I, aVL, V6 dan p=0.004 untuk sadapan II, III, aVF. Analisis secara spesifik nilai vi/vt sadapan V1-V5 bermakna terhadap teritori LAD yang isolated maupun mixed, sedangkan sadapan I, aVL, V6 dan sadapan II, III, aVF hanya bermakna terhadap jaringan parut yang mixed. Dari analisis ROC didapatkan nilai ambang batas vi/vt ≤1.35 mV di sadapan V1-V5 dengan sensitivitas 71.4% dan spesifisitas 75%. Nilai ambang batas vi/vt di sadapan II, III, aVF adalah ≤1.20 mV dengan sensitivitas 69.4% dan spesifisitas 66.7%.
Kesimpulan. Vi/vt pada EKG 12 sadapan memiliki hubungan dengan lokasi dan keberadaan jaringan parut miokardium. Nilai vi/vt 1.20-1.35 mV berhubungan dengan keberadaan jaringan parut miokardium di teritori LAD dan RCA dengan sensitivitas 69.4-71.4% dan spesifisitas 66.7-75%.

ABSTRACT
Background. Fibrotic scar tissue post infarction may potentially lead to fatal arrhythmias, recurrent ischaemia, heart failure, and sudden cardiac death (SCD). Detecting myocardial scar will guide further treatment which has the most advantages for each patient. Cardiac magnetic resonance (CMR) is still a gold standard which cannot be applied to every patient. A 12-leads ECG might be an alternative. Initial and terminal ventricular activation velocity ratio on surface ECG is comparing elecrical conduction at the beginning (vi) and at the end (vt) of the QRS complex. Myocardial scar tissue will have a different vi/vt than a normal tissue because ischaemia change cellular electrical activity and impulse propagation due to remodelling of intracellular ion channels and transport processes.
Methods. This is a cross-sectional study. A consecutive subjects who underwent CMR in National Cardiac Centre Harapan Kita during January 2013 and August 2014 were included. Myocardial scar were analyzed visually using late gadolinium enhancement CMR. Vi/vt on 12-leads ECG were measured manually on each lead and mean of each contiguous leads were included into analysis.
Results. A total of 113 male subjects with average age of 55.7±9.7 years old were enrolled. Myocardial scar were located in 1 territory or more in most of subjects and left anterior descending (LAD) territory as the most common territory. General analysis of vi/vt in each contiguous leads shows significantly smaller vi/vt value in myocardial scar presence with p value <0.001 in V1-V5 leads, p=0.006 in I, aVL, V6 leads, and p=0.004 in II, III, aVF leads. Specific analysis of vi/vt in V1-V5 leads show significant difference of vi/vt in isolated and mixed scar in LAD territory, meanwhile vi/vt in I, aVL, V6 and II, III, aVF leads show significant difference of vi/vt only in mixed scar in each territory according to contiguous leads. A cut-off value ≤1.35 mV of vi/vt in V1-V5 leads with 71.4% sensitivity and 75% specificity and a cut-off value ≤1.20 mV of vi/vt in II, III, aVF leads with 69.4% sensitivity and 66.7% specificity were obtained by ROC analysis.
Conclusion. Vi/vt on 12-leads ECG associated with myocardial scar presence and location. A value of vi/vt 1.20-1.35 mV associated with myocardial scar presence in LAD territory and RCA territory with 69.4-71.4% sensitivity and 66.7-75% specificity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dindin Hardiono Hadim
"ABSTRAK
Analisis Rasio Rujukan Kasus Rawat Jalan Non-Spesialistik RRNS ndash; HubunganFaktor Fasilitas Kesehatan dan Dokter pemberi layanan terhadap RRNS di WilayahKerja BPJS-Kesehatan Kantor Cabang Batam tahun 2016.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara faktor fasilitaskesehatan dan faktor kualitas tenaga dokter terhadap Rasio Rujukan Rawat Jalan KasusNon Spesialistik RRNS di Wilayah Kerja BPJS Kesehatan Kantor Cabang Batam Tahun2016. Penelitian dilakukan di FKTP yang bekerjasama dengan BPJS-Kesehatan KC.Batam. Sampel penelitian terdiri dari 17 FKTP yang mempunyai angka RRNS > 7 sebagai kriteria inklusi. Teknik pengumpulan data adalah observasi/pengamatan sertakuesioner/angket dan kelompok diskusi terarah. Analisis Statistik yang dipakai adalahAnalisis Parametrik Product Moment Person.Terdapat hubungan positif antarakelengkapan sarana-prasarana, farmasi-alat kesehatan, kompetensi dokter serta bebankerja dokter terhadap RRNS tetapi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.Walaupun uji statistik tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap RRNS, akantetapi diperoleh fakta bahwa sebagian besar FKTP di wilayah kerja BPJS-Kesehatan KCBatam belum terstandar sesuai peraturan yang berlaku baik dalam hal kelengkapan saranaprasarana,farmasi-alat kesehatan dan tingkat kompetensi dokternya. Lebih banyakditemukan Dokter di FKTP dengan Kategori Beban kerja berlebih dan angka RRNSnyatinggi. Kredensialing sebaiknya dilaksanakan secara terpadu oleh Dinas Kesehatan,Organisasi Profesi serta Asosiasi Klinik dan BPJS-Kesehatan dengan mengacu kepadaperaturan yang ada agar diperoleh FKTP yang terstandar dengan baik. Selanjutnyapengawasan dan pembinaan oleh Dinas Kesehatan dan Asosiasi Faskes harus dilakukansecara berkala guna menjaga kualitas mutu layanan. Disamping itu PKB juga merupakanhal yang penting untuk memelihara kompetensi tenaga dokter sehingga pada akhirnyaFKTP dapat berfungsi sebagai gatekeeper dalam pelayanan kesehatan di era JKN ini.Kata kunci : RRNS, Faskes, Dokter, BPJS-Kesehatan.

ABSTRACT
Analysis of Non Specialistic Outpatient Ratio Case Ratio RRNS Relation ofHealth Facility Factor and Doctor Service Provider to RRNS in Work Area of BPJSKesehatanBatam Branch Office 2016.This study aims to determine whether there is a correlation between health facilityfactor and physician quality factor to Non Specialistic Radiation Coverage Ratio RRNS in Work Area of BPJS Kesehatan Batam Branch Office 2016. The research was conductedin FKTP in collaboration with BPJS Kesehatan KC . Batam. The study sample consisted of17 FKTPs having RRNS 7 as inclusion criteria. Data collection techniques areobservation observation as well as questionnaire questionnaire and focus groupdiscussion. Statistical Analysis used is Parametric Product Moment Person Analysis. Thereis a positive relationship between the completeness of infrastructure, pharmacy healthequipment, physician competence and physician 39 s workload to RRNS but it does not showany significant relationship. Although statistical tests do not show a significant relationshipto RRNS, the fact remains that most FKTPs in the working area of BPJS Health KC Batamhave not been standardized in accordance with the regulations applicable both in terms ofcompleteness of facilities, pharmacy health equipment and the level of competence of theirdoctors. More Doctors found in FKTP with Category Excessive workload and high RRNSnumbers. Credentials should be implemented in an integrated manner by the Department ofHealth, Professional Organizations and Clinical Associations and BPJS Kesehatan byreferring to existing regulations in order to obtain a well standardized FKTP. Furthersupervision and guidance by the Health Office and Faskes Association should beconducted periodically to maintain the quality of service quality. Besides, PKB is also animportant thing to maintain the competence of doctors so that FKTP can eventuallyfunction as a gatekeeper in health service in this JKN era.Keywords BPJS Kesehatan, Medical Doctor, Primary Clinic, RRNS"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Mhd Indra Gunawan
"Salah satu permasalahan sistem rujukan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit dalam permasalahan kesehatan hal ini juga terjadi juga di kota Batam. Untuk mengatasi hal tersebut sistem pelayanan kesehatan di era BPJS Kesehatan mengutamakan optimalisasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), seperti Puskesmas, klinik pratama, maupun dokter praktek perorangan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dalam menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat. Namun masih sering kita temui masalah rujukan pelayanan rumah sakit yang terjadia ketidak tepatan dalam rujukan yang dialami oleh IGD Rumah Sakit dan Klinik-klinik di Batam. Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahuai penyebab ketidak tepatan atau penyimpangan dalam rujukan FKTP yang terjadi di kota Batam.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa BPJS selalu menghimbau pimpinan dan dokter klinik untuk menahan laju rujukan yang relatif tinggi (berdasarkan asumsi yang banyak beredar di kalangan klinik dan tenaga medis baik di rumah sakit dan klinik). Dan rujukan non spesialistik yang rationya tidak lebih boleh lebih dari 15% agar tidak berdampak pada turunnya jumlah kapitasi (pasien kepesertaan BPJS kesehatan dalam tiap bulannya) yang dimiliki klinik. Disarankan Saran yang dapat disampaikan sehubungan dengan hasil penelitian merupakan peningkatkan kualitas atau mutu tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan, mengadakan sosialisasi terhadap aturan-aturan kebijakan secara berkesinambungan mengingat agar terhindari dari konflik dalam pelayanan, peningkatan kompetensi tenaga kesehatan. Dan perlu adanya edukasi akan sebuah sistem dan aturan pelayanan untuk mengatasi masalah rujukan dan mengembalikan peran dokter umum sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan tingkat primer.

One of the problems of the health referral system that regulates the delegation of tasks and responsibilities on a reciprocal basis, as well as the structural and functional aspects of illness in health problems is also happening in the city of Batam. To overcome this the health care system in the era of BPJS Health prioritizes the optimization in first-rate health facilities (FKTP), such as health centers, clinics, and individual practice physicians in collaboration with BPJS Health in providing health services for the community. But still we often encounter the problem of hospital service referral that happened inaccurate in the references experienced by IGD Hospital and Clinics in Batam. The purpose of this research is to know the cause of inaccuracy or deviation in FKTP reference that occurred in Batam city.
The results found that BPJS always appealed to clinical leaders and clinicians to withhold relatively high referral rates (based on widely circulated assumptions among clinics and medical personnel in hospitals and clinics). And non-specialist referrals whose ration is no more than 15% in order not to affect the decrease in the number of capitals (monthly health membership BPJS patients) owned by the clinic. Suggested suggestions that can be submitted in relation to the results of the study is to improve the quality or quality of health personnel in health services, socialization of policy rules continuously in order to avoid the conflict in service, increasing the competence of health workers. And there is need for education of a system and rules of service to overcome the problem of referrals and return the role of general practitioners as the spearhead of primary health care."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T49258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Wendy Marmalata
"Latar Belakang: Pasien yang menjalani bedah katup mitral cenderung mengalami penurunan fungsi ventrikel kanan Vka pasca pembedahan katup. Disfungsi Vka pasca pembedahan katup dapat menetap ataupun mengalami perbaikan di kemudian hari. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perbaikan fungsi Vka pasca operasi. Namun, belum ada studi yang menilai faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor perbaikan fungsi Vka pasca operasi katup mitral dalam suatu studi multivariat.
Tujuan: Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi prediktor perbaikan fungsi Vka pada pasien dengan penyakit katup mitral yang mengalami disfungsi Vka segera setelah pembedahan katup mitral.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK . Subjek penelitian adalah pasien yang menjalani operasi katup mitral di RSJPDHK sejak Januari 2016 sampai dengan Februari 2017. Data yang diambil yakni karakteristik dasar, data operasi, data obat-obatan pasca operasi, pemeriksaan ekokardiografi sebelum, segera sebelum lepas rawat, dan enam bulan pasca operasi.
Hasil penelitian: Sebanyak 100 subjek yang dinilai pada penelitian ini. Terdapat 68 68 subjek yang mengalami kenaikan fungsi Vka, dan 32 subjek 32 yang tidak. Median TAPSE sebelum lepas rawat meningkat secara signifikan enam bulan pasca operasi dari 1,1 0,6-1,5 menjadi 1,4 0,7-2,8 dengan nilai p

Background In patients undergoing mitral valve surgery, right ventricular function may decline immediately after the surgical procedure. This condition may sometimes remain, but may also improve later on. Many factors have been proposed to account for this phenomenon. As of yet, there are no studies using multivariate analysis to investigate factors that may be predictors of right ventricular function improvement after mitral surgery.
Objective This study aims to identify factors that may be predictors of right ventricular function improvement in patients with right ventricular dysfunction following mitral valve surgery.
Methods This is a retrospective cohort study, taking place at National Cardiovascular Center Harapan Kita NCCHK , Jakarta, Indonesia. Subjects are patients who underwent mitral valve surgery between January 2016 until February 2017. Data taken include basic characteristics, surgical data, drugs prescribed after surgery, and echocardiography data before surgery, predischarge, and six months after surgery.
Results There are 100 subjects who fulfilled the criteria to participate in this study. There are 68 68 cases of right ventricular function improvement and 32 32 cases without improvement. The median of predischarge TAPSE increases significantly six months after surgery, from 1,1 0,6 1,5 to 1,4 0,7 2,8 with p value.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Istisakinah
"Konsekuensi hemodinamik defek septum atrium sekundum (DSAS) salah satunya adalah hipertensi arterial pulmonal (HAP), yang merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas pascaoperasi. Indeks resistensi vaskular paru (IRVP) merupakan salah satu parameter operabilitas DSAS-HAP. Nilai IRVP < 4 WU.m2(IRVP rendah) dikatakan aman untuk dilakukan penutupan, sedangkan IRVP 4 WU.m2(borderline) berada di area abu-abu dimana mungkin sudah terjadi penyakit vaskular paru. Belum terdapat studi yang membandingkan luaran klinis pasca operasi kedua kelompok IRVP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan IRVP preoperasi terhadap mortalitas dan morbiditas perioperatif pascaoperasi DSAS-HAP. Studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien DSAS-HAP usia 18 tahun yang menjalani operasi penutupan defek. Analisis akhir dilakukan pada 183 pasien (92 kelompok IRVP borderline dan 91 kelompok IRVP rendah). Mayoritas berjenis kelamin perempuan (83,6%) dengan median usia 37 (18-64) tahun. Median IRVP preoperasi adalah 4,3 (0,4-13,5) WU.m2. Nilai IRVP borderline tidak meningkatkan risiko mortalitas pascaoperasi (p = 0,621; OR 0,48, 95% IK 0,04-5,48), namun meningkatkan risiko morbiditas keseluruhan (p= 0,002;  OR 3,28, 95% IK 1,5-6,72). Analisis multivariat memperlihatkan hubungan IRVP borderline (p=0,045; OR 2,63, 95% IK 1,02-6,77) dan tricuspid valve gradient (TVG) preoperasi 64 mmHg (p=0,034; OR 2,77, 95% IK 1,08-7,13) dengan kejadian morbiditas intraperawatan. Tidak terdapat perbedaan kejadian mortalitas pascaoperasi intraperawatan antara pasien IRVP borderline preoperasi dengan IRVP rendah. Nilai IRVP borderline preoperasi dan TVG berkaitan dengan peningkatan morbiditas intraperawatan.

One of hemodynamic consequences of secundum atriap septal defect (ASD) is pulmonary arterial hypertension (HAP), which is a predictor of postoperative morbidity and mortality. Pulmonary vascular resistance index (PVRI) is one of operability parameter for SASD with HAP. Pulmonary vascular resistance index < 4 WU.m2(low PVRI) is said to be safe for closure, while PVRI 4 WU.m2(borderline) is in the gray zone where pulmonary vascular disease may have occurred. Studies comparing clinical outcomes of these PVRI group in secundum ASD with HAP do not yet available. This study aims to determine the impact of preoperative PVRI on perioperative morbidity and mortality after surgical closure of secundum ASD with HAP. This study is a retrospective cohort study in secudum ASD with HAP patients age 18 years old undergoing surgical closure. A total of 183 patients were analyzed (92 borderline PVRI group and 91 low PVRI group). Majority of patient is female (83,6%) with median age 37 (18-64) years old. Median preoperative PVRI is 4,3 (0,4-13,5) WU.m2. Borderline PVRI was not associated with increase risk of postoperative mortality (p = 0,621; OR 0,48, 95% CI 0,04-5,48),but increase the risk of overall morbidity in bivariate analysis (p= 0,002;  OR 3,28, 95% CI 1,5-6,72). Multivariate analysis showed the association of PVRI borderline (p=0,045; OR 2,63, 95% CI 1,02-6,77) and preoperative tricuspid valve gradient (TVG) 64 mmHg (p=0,034; OR 2,77, 95% CI 1,08-7,13) with overall morbidity. There was no difference in the incidence of inhospital mortality between preoperative borderline PVRI patients compared to low PVRI patients. Preoperative borderline PVRI and TVG are associated with increase inhospital morbidity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Jessica Putri Natalia
"Latar Belakang : Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering ditemui pada populasi dewasa di seluruh dunia. Penyakit jantung katup, terlepas dari kelainan irama yang menyertai, meningkatkan risiko tromboemboli, dan risiko ini meningkat signifikan dengan adanya fibrilasi atrium. Skor CHA2DS2-VASc sudah divalidasi dan sering dipakai secara umum pada FA tanpa penyakit jantung katup untuk menilai stratifikasi resiko strok, namun kemampuan skor ini kurang baik pada populasi FA dengan penyakit jantung katup. Sampai saat ini, belum terdapat skor untuk memprediksi kejadian strok iskemik pada kelompok baik FA valvular EHRA tipe 1 maupun EHRA tipe 2.
Tujuan : Menilai prediktor klinis dan ekokardiografis yang dapat memprediksi kejadian strok iskemik dan merangkumnya menjadi sistem skor yang dapat digunakan sebagai prediktor kejadian strok iskemik pada pasien FA Valvular EHRA tipe 2.
Metode : Studi ini dilakukan secara kohort retrospektif pada 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Data diambil dari data rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi. Luaran klinis yang dinilai adalah kejadian strok iskemik setelah terdiagnosis selama periode Januari 2015 – Juli 2021.
Hasil : Strok iskemik terjadi pada 67 (9,6%) pasien dari total 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Analisis regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat faktor risiko yang dapat menjadi prediktor kejadian strok iskemik; hipertensi (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), FEVKi <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), dan LFG <15 mL/menit/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123).
Kesimpulan : Dari berbagai variabel (klinis, ekokardiografis, dan laboratoris) yang dinilai, tidak ditemukan variabel yang secara independen dapat menjadi prediktor strok iskemik iskemik pada FA valvular EHRA tipe 2.

Background : Atrial fibrillation (AF) is the most common cardiac arrhythmia in adults. Valvular heart diseases, despite the arrhythmic problems, increase the risk of thromboembolism, and this risk is even higher in those with associated atrial fibrillation. CHA2DS2-VASc has been validated and widely used to guide anticoagulation in non-valvular AF to reduce ischemic stroke risk, however CHA2DS2-VASc is modestly predictive for ischemic stroke in valvular AF. To date, there has been no validated score for stroke prediction in valvular AF, either EHRA type 1 or EHRA type 2.
Objective : To derive clinical and echocardiographic risk factors for ischemic stroke prediction and to formulate scoring system for AF with EHRA type 2 valvular heart disease(VHD).
Methods : This retrospective study enrolled 695 AF patients with EHRA type 2 VHD. The data were collected from medical record which include patients who met the inclusion criteria throughout January 2015 – July 2020. The primary outcome was ischemic stroke throughout observation period between January 2015 – July 2021.
Results : There were 67 ischemic stroke events (9,6%) out of 695 EHRA type 2 VHD AF patients. Logistic regression analysis demonstrated there was no significant risk factor to predict ischemic stroke; hypertension (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), left ventricular ejection fraction (LVEF) <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), and Glomerular Filtration Rate (GFR) <15 mL/min/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123).
Conclusion : From all risk factors (clinical, echocardiographic, laboratory), there is no significant risk factor that is well-predictive for ischemic stroke incidence in EHRA type 2 VHD AF.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vebiona Kartini Prima Putri
"[ABSTRAK
Latar Belakang. Perburukan fungsi ginjal berkaitan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien gagal jantung dekompensasi akut. Karakteristik klinis pada saat pasien masuk ke unit gawat darurat (UGD) dapat menolong untuk identifikasi pasien yang berisiko terhadap kejadian perburukan fungsi ginjal. Tujuan penelitian ini adalah membuat sistem skor untuk mempermudah identifikasi pasien yang berisiko terhadap perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung dekompensasi akut.
Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 614 pasien yang menjalani perawatan karenan gagal jantung dekompensasi akut. Perburukan fungsi ginjal didefinisikan sebagai peningkatan nilai kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL kapanpun selama perawatan atau ≥ 25% dari awal masuk perawatan.
Hasil. Perburukan fungsi ginjal terjadi pada hampir 26% pasien. Prediktor independen terhadap kejadian perburukan fungsi ginjal yang didapat melalui analisis dengan logistik regresi backward selection adalah usia > 75 tahun (p < 0.0001); perempuan (p = 0.034); riwayat hipertensi (p = 0.001); anemia (p = 0.005); dan serum Creatinin saat masuk di UGD > 2.5 mg/dL (p = 0.013). Sistem skor dibuat dari model akhir tersebut. Dilakukan validasi internal dengan metode bootstrap didapatkan hasil optimisme yang baik (0.01088808).
Kesimpulan. Sistem skor baru dapat memprediksi kejadian perburukan fungsi ginjal pada pasien gagal jantung dekompensasi akut yang menjalani rawat inap.

ABSTRACT
Background. Worsening renal function (WRF) is associated with worse outcomes among patients who are hospitalized with acute decompensated heart failure (ADHF). Clinical characteristics at admission may help identify patients at increased risk of WRF. The aim of this study was to create in admission scoring system to simplify identification patients at risk of WRF in ADHF setting.
Methods. A retrospective data of 614 patients admitted with ADHF was analyzed. By the definition WRF occurred when serum Creatinin increased at anytime during hospitalization by ≥ 0.3 mg/dL or by ≥ 25% from admission.
Results. Worsening renal function developed in near 26% patients. The independent predictors of WRF analyzed with backward selection logistic regression were: age > 75 years old (p < 0.0001), female (p = 0.034); history of hypertension (p = 0.001); anemia (p = 0.005); and in admission serum Creatinin (p = 0.013). A scoring system was generated from this final model. An internal validation with bootstrap method showed good optimism (0.01088808).
Conclusion. A new scoring system could predict in-hospital worsening renal function among patients hospitalized with acute decompensated heart failure., Background. Worsening renal function (WRF) is associated with worse outcomes
among patients who are hospitalized with acute decompensated heart failure
(ADHF). Clinical characteristics at admission may help identify patients at incresed
risk of WRF. The aim of this study was to create in admission scoring system to
simplify identification patients at risk of WRF in ADHF setting.
Methods. A retrospective data of 614 patients admitted with ADHF was analyzed.
By the definition WRF occurred when serum Creatinin increased at anytime during
hospitalization by ≥ 0.3 mg/dL or by ≥ 25% from admission.
Results. Worsening renal function developed in near 26% patients. The
independent predictors of WRF analyzed with backward selection logistic
regression were: age > 75 years old (p < 0.0001), female (p = 0.034); history of
hypertension (p = 0.001); anemia (p = 0.005); and in admission serum Creatinin (p
= 0.013). A scoring system was generated from this final model. An internal
validation with bootstrap method showed good optimism (0.01088808).
Conclusion. A new scoring system could predict in-hospital worsening renal function among patients hospitalized with acute decompensated heart failure.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ima Ansari Kusuma
"[ABSTRAK
Latar Belakang : Endotelial glikokaliks merupakan bagian penting dalam barrier vaskular. Keadaan inflamasi, hiperglikemia, iskemia, dan hipervolemia dapat menyebabkan kerusakan glikokaliks. Kerusakan glikokaliks menyebabkan cairan terekstravasasi ke interstisial. Pada pasien pasca BPAK terjadi peningkatan syndecan-1 dalam plasma yang merupakan penanda terjadinya kerusakan endotelial glikokaliks. Hipervolemia pasca BPAK juga dapat memperburuk kerusakan glikokaliks dan hipervolemia sendiri berhubungan dengan kejadian komplikasi mayor pasca operasi. Pemilihan jenis cairan yang tepat diperlukan pada kondisi ini.
Tujuan : Mengetahui apakah terdapat perbedaan efek pemberian koloid dan kristaloid terhadap endotelial glikokaliks pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner.
Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan studi intervensi acak pada pasien pasca BPAK dengan pengambilan sampel secara konsekutif. Pasien yang tidak responsif terhadap pemberiaan cairan, memiliki fungsi pompa jantung pre oparasi yang turun, memiliki kelainan fungsi ginjal, atau menggunakan IABP saat operasi akan dieksklusi dari penelitian. Responsivitas terhadap cairan dinilai dengan pemeriksaan Doppler karotis. Pasien kemudian akan diberikan cairan koloid atau kristaloid secara acak. Sampel darah diambil pre dan pasca pemberian cairan. Kadar syndecan-1 diperiksa dengan metode ELISA.
Hasil : Subyek penelitian sebanyak 54 orang dengan 27 orang mendapat cairan koloid dan 27 orang mendapat cairan kristaloid. Hasil pemeriksaan syndecan-1 pre pemberian cairan adalah 1,97 (0,29-14,03) ng/ml pada kelompok yang mendapat Gelofusine dan 2,14 (0,68-11,80) ng/ml pada kelompok Ringer?s lactate (p = 0,736). Syndecan-1 pasca pemberian cairan adalah 1,78 (0,23-10,98) ng/ml pada kelompok Gelofusine dan 2,08 (0,72-12,23) ng/ml pada kelompok Ringer?s lactate (p=0,276). Selisih antara syndecan-1 pre dan pasca pemberian cairan adalah 0,23 (-1,3 - 3,55) ng/ml pada kelompok Gelofusine dan 0,14 (-2,12 - 1,80) ng/ml pada kelompok Ringer?s lactate (p = 0,043). Syndecan-1 turun pada 23 pasien (85,5%) kelompok Gelofusine dan 15 pasien (55,6%) kelompok Ringer?s lactate (p = 0,017). Analisis bivariat pada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi perubahan syndecan-1 menunjukkan bahwa jenis cairan merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh.
Kesimpulan : Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan efek antara pemberian koloid (Gelofusine) dan kristaloid (Ringer?s lactate) terhadap endotelial glikokaliks pada pasien pasca BPAK. Pemberian koloid dapat lebih memperbaiki kerusakan endotelial glikokaliks yang terjadi pasca BPAK.

ABSTRACT
Background : Endothelial glycocalyx is an important part of vascular barrier. Inflammation, hyperglycemia, ischemia, and hypervolemia contribute to shedding of the glycocalyx. Damage to the glycocalyx can make fluid extravasation to interstitial. Increasing syndecan-1 value in plasma as marker of shedding the endothelial glycocalyx can occured in the post CABG patients. Hypervolemia is a worsening factor of the shedding in glycocalyx and hypervolemia contribute to major complication after operation. It is important to choose the appropriate fluid for this patient.
Objective : The aim of this study is to examine the difference effect of colloid and crystalloid administration on endothelial glycocalyx in post CABG patients.
Methods : This is a randomized trial which recruits post CABG patients cosecutively. Non fluid responsive, reduced left ventricle ejection fraction, reduced renal function, or used of IABP during operation are excluded. Fluid responsiveness will be measured by carotis Doppler. Patients then given colloid or crytalloid randomly. Blood sample were taken before and after fluid loading. Syndecan-1 value examined using ELISA method.
Result : The total of 54 subjects with 27 patients received colloid and 27 patients received crystalloid. Syndecan-1 pre loading are 1,97 (0,29-14,03) ng/ml in Gelofusine group vs 2,14 (0,68-11,80) ng/ml in Ringer?s lactate group (p = 0,736). Syndecan-1 post loading are 1,78 (0,23-10,98) ng/ml in Gelofusine group vs 2,08 (0,72-12,23) ng/ml in Ringer?s lactate group (p=0,276). The difference of syndecan-1 value in pre and post fluid loading are 0,23 (-1,3 - 3,55) ng/ml in Gelofusine group and 0,14 (-2,12 - 1,80) ng/ml in Ringer?s lactate group (p = 0,043). Lowering syndecan-1 occured in 23 patients (85,2%) in Gelofusine group and 15 (55,6%) in Ringer?s lactate group (p= 0,017). Bivariat analysis showed that kind of fluid is the only factor can influence the difference of syndecan-1.
Conclusion : There is contrasting effect of colloid and crystalloid administration on endothelial glycocalyx in post CABG patients. Colloid can reduce shedding of the endothelial glycocalyx after CABG., Background : Endothelial glycocalyx is an important part of vascular barrier. Inflammation, hyperglycemia, ischemia, and hypervolemia contribute to shedding of the glycocalyx. Damage to the glycocalyx can make fluid extravasation to interstitial. Increasing syndecan-1 value in plasma as marker of shedding the endothelial glycocalyx can occured in the post CABG patients. Hypervolemia is a worsening factor of the shedding in glycocalyx and hypervolemia contribute to major complication after operation. It is important to choose the appropriate fluid for this patient.
Objective : The aim of this study is to examine the difference effect of colloid and crystalloid administration on endothelial glycocalyx in post CABG patients.
Methods : This is a randomized trial which recruits post CABG patients cosecutively. Non fluid responsive, reduced left ventricle ejection fraction, reduced renal function, or used of IABP during operation are excluded. Fluid responsiveness will be measured by carotis Doppler. Patients then given colloid or crytalloid randomly. Blood sample were taken before and after fluid loading. Syndecan-1 value examined using ELISA method.
Result : The total of 54 subjects with 27 patients received colloid and 27 patients received crystalloid. Syndecan-1 pre loading are 1,97 (0,29-14,03) ng/ml in Gelofusine group vs 2,14 (0,68-11,80) ng/ml in Ringer’s lactate group (p = 0,736). Syndecan-1 post loading are 1,78 (0,23-10,98) ng/ml in Gelofusine group vs 2,08 (0,72-12,23) ng/ml in Ringer’s lactate group (p=0,276). The difference of syndecan-1 value in pre and post fluid loading are 0,23 (-1,3 - 3,55) ng/ml in Gelofusine group and 0,14 (-2,12 - 1,80) ng/ml in Ringer’s lactate group (p = 0,043). Lowering syndecan-1 occured in 23 patients (85,2%) in Gelofusine group and 15 (55,6%) in Ringer’s lactate group (p= 0,017). Bivariat analysis showed that kind of fluid is the only factor can influence the difference of syndecan-1.
Conclusion : There is contrasting effect of colloid and crystalloid administration on endothelial glycocalyx in post CABG patients. Colloid can reduce shedding of the endothelial glycocalyx after CABG.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>