Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulianto Santoso Kurniawan
Abstrak :
Indonesia mengalami peningkatan obesitas yaitu 12,2% (2007) menjadi 14% (2010). Indeks massa tubuh (IMT) tidak membedakan massa lemak dan massa bukan lemak. Tujuan: Mengetahui obesitas dan korelasi antara massa lemak tubuh dan IMT pada anak 7-12 tahun di Jakarta Pusat. Metode: Penelitian potong lintang analitik cluster random sampling antara Jan-Mar 2016. Hasil: Total subjek adalah 1.333 anak. Obesitas menurut massa lemak subyek lelaki sebesar 21,3%, subyek perempuan sebesar 13,1%. Median massa lemak lelaki 7-12 tahun berturut-turut 18,8,18,6,18,1,18,4,18,6,16,1%. Median massa lemak perempuan 7-12 tahun berturut-turut 23,6,24,23,8,23,7,24,4,25,4%. Korelasi IMT dan massa lemak subyek lelaki r=0,848-0,903, p<0,05, korelasi pada subyek perempuan r=0,717-0,846, p<0,05. Sensitivitas IMT terhadap massa lemak subyek lelaki 90,5%, spesifisitas 96,6%, kappa 0,879, sensitivitas IMT terhadap massa lemak subyek perempuan 88,2%, spesifisitas 92,4%, kappa 0,787 menggunakan P85 dan P95 hasil penelitian. Simpulan: Obesitas menurut massa lemak lelaki adalah 21,3% dan perempuan 13,1%, korelasi IMT dan massa lemak lelaki sangat kuat dan kuat pada subyek perempuan. ......Background: Obesity in Indonesia has increased in number from 12.2% (2007) to 14% (2010). Body mass index does not differentiate between fat mass and non-fat mass. Aim: To determine the obesity profile and correlation between fat mass and body mass index in children aged 7-12 years old in Central Jakarta. Methods: A cross sectional analytic study. Subjects were recruited from Jan - March 2016 through cluster random sampling. Result: A total of 1,333 children were recruited. Obesity by fat mass in male was 21.3% and 13.1% in female. Fat mass median in male aged 7,8,9,10,11,and 12 years consecutively were 18.8,18.6,18.1,18.4,18.6, 16.1%. Fat mass median in female aged 7,8,9,10,11,and 12 years consecutively were 23.6,24, 23.8,23.7,24.4,25.4%. Correlation between BMI and fat mass in male r=0.848-0.903, p<0.05, females r=0.717-0.846, p<0.05. Body mass index sensitivity for fat mass in male was 90,5% and 96.6% specificity with kappa value 0,879, in female sensitivity was 88.2% and 92.4% specificity with kappa value 0.787 using new reference percentile generate from this study (P85 and P95 BMI). Conclusion: The obesity profile determined by fat mass is 21.3% in males and 13.1% in females and with very strong correlation between BMI and fat mass for males and strong correlation in females.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mazdar Helmy
Abstrak :
Latar Belakang. Terapi pembedahan telah menjadi baku emas dalam penutupan defek septum atrium (DSA) sekundum. Prosedur pembedahan mempunyai morbiditas yang terkait dengan torakotomi, pintasan jantung paru, komplikasi prosedur, jaringan parut bekas operasi, dan trauma psikologis. Oleh karena itu, timbul usaha pendekatan transkateter untuk menutup DSA yang bersifat relatif kurang invasif, salah satunya dengan alat Amplatzer septal occluder (ASO). Tujuan. Mengetahui perbandingan hasil penutupan DSA sekundum, komplikasi prosedur, lama rawat di rumah sakit, dan total biaya prosedur antara prosedur transkateter menggunakan ASO dengan prosedur pembedahan. Metode. Penelitian bersifat retrospektif analitik dengan sumber data berupa rekam medis pasien anak dengan DSA sekundum yang datang berobat ke Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo dan dilakukan penutupan defek dengan salah satu prosedur dalam periode Januari 2005-Desember 2011. Hasil. Sebanyak 112 kasus anak dengan DSA sekundum masuk dalam penelitian, terdiri dari 70 kasus dengan prosedur pembedahan dan 42 kasus dengan prosedur transkateter. Prosedur pembedahan dan prosedur transkateter mempunyai tingkat keberhasilan yang serupa (98,6% vs 95,2%, p=0,555). Namun prosedur pembedahan mempunyai komplikasi yang lebih banyak dibandingkan prosedur transkateter (60% vs 28,6%, p=0,001, OR 1,61;95%IK,1,19-2,18). Prosedur pembedahan juga mempunyai lama rawat di rumah sakit yang lebih panjang dibandingkan prosedur transkateter (6 hari vs 2 hari, p<0,0001), dan semua prosedur pembedahan membutuhkan perawatan di ruang rawat intensif. Secara keseluruhan prosedur transkateter mempunyai total biaya prosedur yang lebih tinggi dibandingkan prosedur pembedahan (Rp.52.731.680,06 vs Rp.46.994.745,26, p<0,0001), dan biaya pengadaan alat ASO mempunyai porsi sekitar 58% dari total biaya prosedur. Analisis total biaya prosedur tanpa memperhitungkan biaya alat ASO menunjukkan prosedur transkateter mempunyai total biaya yang lebih rendah dibandingkan prosedur pembedahan. Simpulan. Prosedur transkateter dengan ASO mempunyai efektivitas yang sama dengan prosedur pembedahan dalam penutupan DSA sekundum dan mempunyai komplikasi yang lebih sedikit serta lama rawat di rumah sakit yang lebih pendek. Total biaya prosedur transkateter dengan ASO masih lebih tinggi dibandingkan prosedur pembedahan. ...... Background. Surgery has become standard therapy for secundum atrial septal defect (ASD) closure, but it has significant morbidity related to sternotomy, cardiopulmonary bypass, complication, residual scar, and trauma. Non-surgical and less invasive approaches with transcatheter device were developed to occlude ASD. Amplatzer septal occluder (ASO) is one of the commonly used devices in transcatheter closure. Objectives. This study sought to compare efficacy, complication, length of hospital stay, and total cost of secundum ASD closure procedure between transcatheter closure using ASO with surgery. Methods. A retrospective analysis was performed on children with secundum ASD admitted to Cardiology Center of Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2005-December 2011. The patients received transcatheter closure with ASO or surgical closure. Data were obtained from medical record. Results. A total of 112 secundum ASD cases were included in study, consisted of 42 cases underwent transcatheter closure and 70 cases underwent surgical closure. The efficacy of both procedur were not statistically different (98.6% vs 95.2%, p=0.555). However, surgery procedure had more complication than transcatheter closure (60% vs 28.6%, p=0.001, OR 1.61;95%CI 1.19 to 2.18). Hospital stay were also significantly longer for surgery procedure than transcatheter closure (6 days vs 2 days, p<0.0001), and all surgical subjects requiring intensive care. Transcatheter closure had mean total cost Rp.52,731,680.06 as compared with Rp.46,994,745.26 for surgery procedure (p<0.0001), and cost of ASO represents 58% of the total cost of transcatheter closure. Mean total cost of transcatheter closure without including cost of device is less costly than surgery procedure. Conclusion. Transcatheter closure using ASO had similar efficacy with surgical closure, complication rate was lower, and the length of hospital stay was shorter. However, transcatheter closure costs were higher compared with surgery procedure.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31683
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Herwasto Kuncoroyakti Jatmiko
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang: Epidemi infeksi human immunodeficiency virus (HIV) masih terus berlangsung di seluruh dunia. Infeksi HIV telah diketahui memengaruhi berbagai sistem organ termasuk jantung. Komplikasi jantung akibat infeksi HIV bersifat multifaktorial dan berperan pada morbiditas dan mortalitas anak. Seiring peningkatan ketersediaan anti retroviral therapy (ART), angka kesintasan pasien juga meningkat. ART selain mempunyai efek kardioprotektif melalui mekanisme penekanan replikasi virus, juga mempunyai efek kardiotoksik. Hingga saat ini belum ada studi pada anak yang membandingkan antara kelompok pasien yang belum mendapatkan terapi (ART-naïve) dan yang telah mendapatkan terapi (ART-exposed).Tujuan: Mendapatkan data prevalens komplikasi jantung pada anak dengan infeksi HIV, baik ART-naïve maupun ART-exposed. Komplikasi jantung yang diteliti antara lain kardiomiopati dilatasi, hipertensi pulmonal, efusi perikardial, dan kelainan elektrokardiografi (EKG). Metode: Penelitian studi potong lintang dilakukan pada 106 anak dengan infeksi HIV usia 1-18 tahun yang datang ke Poliklinik Alergi dan Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari penelitian kohort berjudul ''Cardiovascular Consequences of Paediatric HIV infection: Early Life Cardiovascular Risk and Immediate Cardiac Complications'' yang dilakukan dari bulan Juni 2013 hingga September 2015. Hasil: Komplikasi jantung ditemukan pada 75 (70,8%) anak dengan infeksi HIV, dengan 34 (68%) anak dari kelompok ART-naive dan 41 (73,2%) dari kelompok ART-exposed. Prevalens kardiomiopati dilatasi dan efusi perikardial lebih tinggi secara bermakna pada kelompok ART-naïve (p=0,024; p=0,002), sedangkan prevalens hipertensi pulmonal lebih tinggi secara bemakna pada kelompok ART-exposed (p=0,004). Tidak ditemukan perbedaan bermakna prevalens kelainan EKG antara dua kelompok tersebut. Simpulan: Prevalens komplikasi jantung pada anak dengan infeksi HIV adalah 70,8% dengan prevalens pada anak ART-naive sebesar 68% sedangkan pada anak ART-exposed sebesar 73,2%.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R. Adhi Teguh Perma Iskandar
Abstrak :
Latar Belakang : Tingkat konsumsi susu formula bubuk di kalangan bayi masih tinggi sementara sosialisasi   petunjuk WHO terkait penyiapan, penyajian dan penyimpanan susu formula bubuk  formula masih sangat kurang. Susu formula bubuk walau diproduksi dengan teknologi termutakhir sekalipun,  masih belum terbebas dari kontaminasi bakteri E. Sakazakii. Kedua hal tersebut membuat morbiditas bayi terkait konsumsi susu formula bubuk akibat kontaminasi intrinsik maupun ekstrinsik seperti sepsis, enterokolitis dan meningitis tetap tidak bisa berkurang.  Tujuan : Mengetahui derajat pengetahuan dan perilaku ibu dalam menyiapkan, menyajikan dan menyimpan susu formula bubuk dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di  Kelurahan Pisangan Timur Kecamatan Pulogadung Jakarta Timur. Metode : Penelitian bersifat deskriptif potong lintang dengan pengumpulan data dilakukan secara survei dan observasi pada bulan Juli hingga Oktober 2012. Subyek penelitian adalah ibu yang memiliki anak berusia 0-12 bulan, tinggal di Kelurahan Pisangan Timur Kecamatan Pulogadung yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Data kemudian ditabulasi untuk mendapatkan derajat pengetahuan dan perilaku ibu tekait penyiapan, penyajian dan penyimpanan susu formula. Analisis statistik dilakukan untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan dangan pengetahuan dan perilaku ibu terkait penyiapan, penyajian dan penyimpanan susu formula dengan cara uji kai kuardat (analisis bivariat) dan uji regresi logistik (analisis multivariat). Hasil : Dari 248 ibu yang mengikuti penelitian, pengetahuan kurang dalam menyiapkan, menyajikan dan menyimpan susu formula masing-masing didapati pada 68,1%, 26,2%, 87,5% ibu.  Perilaku buruk dalam menyiapkan, menyajikan dan menyimpan susu formula masing-masing didapati pada  69%, 60,9%, 84,3% ibu. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan ibu dalam menyiapkan, menyajikan dan menyimpan susu formula adalah usia ibu, tingkat pendidikan, status ekonomi, status pekerjaan ibu.Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu terkait perilaku menyiapkan, menyajikan dan menyimpan susu formula adalah usia ibu, status pendidikan, status ekonomi dan sumber air minum.  Hubungan pengetahuan dengan perilaku ibu dalam menyiapkan, menyajikan dan menyimpan susu formula  berturut-turut adalah kuat (r= 0,68), sedang (r= 0,52) dan kuat (r= 0,73 ) Simpulan : Masih rendahnya derajat pengetahuan dan perilaku ibu dalam penyiapan, penyajian dan penyimpanan susu formula di Kelurahan Pisangan Timur membutuhkan intervensi penyuluhan dan sosialisasi lebih gencar mengenai anjuran WHO terkait penyiapan, penyajian dan penyimpanan susu formula terutama pada ibu-ibu dari golongan berusia kurang dari 25 tahun, pendidikan rendah, ekonomi kurang, tidak bekerja dan mengkonsumsi bukan air mineral kemasan. Produsen susu formula harus memperbaiki lembar informasi terkait penyiapan penyajian dan penyimpanan susu formula yang tertera pada kemasann susu formula agar lebih jelas, lengkap dan mudah dimengerti oleh ibu. ......Background: Until to day, the consumption rate of powdered infant formula is still high, neverthenless socialization of WHO’s guidance related to the preparation, serving and storage of powdered infant formula are very limited. Eventhought manufacturend by the latest technology, powder infant formula, cannot be free from E. Sakazakii contamination, hence the potential risk for infant morbidity caused by intrinsic or extrinsic contamination such as sepsis, enterocolitis and meningitis never been low . Objective: To know the degree of mother’s knowledge and behavior in preparing, serving and storing powdered infant formula and their related factors in Pisangan Timur Village, Pulogadung District, East Jakarta. Methods: The study was a crossectional-observation data survey which conducted fom July until October 2012. Subjects were mothers of children aged 0-12 months, living in Pisangan Timur Village, Pulogadung District which selected by purposive sampling technique. The data was then tabulated and calculated to meassure the degree of knowledge and maternal behavior about preparation, serving and storage of infant formul., Chi Square (bivariat) and logistic regression (multivariates) analysis was performed to elaborate factors that related to mother’s knowledge and behaviour in preparation, serving and storage of infant formula. Results: The study was conducted on 248 mothers. Lack of knowledge in preparing, serving and storing infant formula, was found in 68.1%, 26.2%, 87.5% mothers respectively. Unappropriate behavior regarding to WHO guidance in preparing, serving and storing infant formula was found in 69%, 60.9%, 84.3% mothers respectively. Factors related to maternal knowledge in preparing, serving and storing infant formula were the mother's age, education level, economic status, employment status. Factors related to maternal behavior in preparing, serving and storing infant formula were educational level, economic status and source of drinking water. The relationship between mothers’s knowledge to mother’s behavior in preparing, serving and storing infant formula respectively were strong (r= 0,68 ), moderate (r= 0,52 ) and strong (r= 0,73 ). Conclusion The lack of mother’s knowledge and inapproriate mother’s behavior in the preparation, serving and storage of infant formula in the Pisangan Timur Village requires intervention, counseling and socialization of WHO’s recommendation about preparation, serving and storage of infant formula more intensively, especially to the mothers that less than 25 years, low education level, low economic’s status , jobless and not consume bottled mineral water whoose giving their baby infant formula. Manufactures should changed and standardized their instruction so it can be easily understand by mother.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library