Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahrizka Nurdia Putri Pakaya
"Latar Belakang Kanker serviks menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering terjadi pada wanita Indonesia. Penyakit tersebut umumnya disebabkan oleh infeksi Human papillomavirus (HPV). Temuan kelainan serviks (prakanker dan kanker serviks) dapat dicegah dengan vaksinasi HPV dan deteksi dini kelainan dengan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA). Untuk itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah vaksinasi HPV dan pemeriksaan IVA memiliki hubungan terhadap temuan kelainan serviks pada pasien Poliklinik Ginekologi dan Onkologi RSCM tahun 2021-2022. Metode Desain penelitian ini adalah potong lintang. Data sekunder diambil dari hasil wawancara pasien yang berkunjung ke Poliklinik Ginekologi dan Onkologi RSCM. Hasil Pada penelitian ini, subjek penelitian yang diikutsertakan berjumlah 193 subjek. Pada analisis data, hubungan vaksinasi HPV dengan temuan kelainan serviks (prakanker dan kanker serviks) didapatkan p-value 0,005 (bermakna secara statistik) dengan OR 0,022 (95% CI 0,002 – 0,194). Selanjutnya, hubungan pemeriksaan IVA dan temuan kelainan serviks didapatkan p-value 0,14 (tidak bermakna secara statistik) dengan OR 0,24 (95% CI 0,041 – 1,392). Kesimpulan Vaksinasi HPV ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan temuan kelainan serviks. Sementara itu, pemeriksaan IVA ditemukan tidak memiliki hubungan yang signifikan. Faktor tersebut sebenarnya sangat berperan dalam pencegahan temuan kelainan serviks. Hasil yang tidak signifikan tersebut kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan penelitian, seperti jumlah sampel sedikit dan karakteristik sampel yang homogen.

Introduction Cervical cancer is the second most common cancer in Indonesian women. This disease is generally caused by Human papillomavirus (HPV) infection. Therefore, cervical abnormalities findings (precancerous and cervical cancer) can be prevented by HPV vaccination and early detection of abnormalities with Visual Inspection with Acetic Acid (VIA) screening. For this reason, the purpose of this study was to determine whether HPV vaccination and IVA examination have an association with cervical abnormalities findings in patients at the RSCM Gynecology and Oncology Clinic 2021-2022. Method The design of this study was cross-sectional. Secondary data was collected by interviewing patients who visited the RSCM Gynecology and Oncology Clinic. Results In this study, the total number of research subjects was 193 subjects. In the data analysis, the association between HPV vaccination and cervical abnormalities findings (precancerous and cervical cancer) was found to have a p-value of 0.005 (statistically significant) with an OR of 0,022 (95% CI 0,002 – 0,194). Meanwhile, the association between VIA screening and cervical abnormalities findings was found to have a p-value of 0.14 (not statistically significant) with an OR of 0.24 (95% CI 0.041 – 1.392). Conclusion HPV vaccination were found to have a significant association with cervical abnormalities findings. Meanwhile, VIA screening were not found to have a significant association with cervical abnormalities findings. However, these factors play a very important role in preventing cervical abnormalities. The insignificant results are likely due to the limitations of the study, such as small sample size and homogenous sample characteristics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nafira Audrine
"Kanker serviks merupakan penyebab kematian terbesar kedua dan merupakan salah satu beban biaya kesehatan terbesar di Indonesia. Kanker serviks merupakan kondisi yang disebabkan oleh infeksi HPV. Oleh karena itu, pencegahan infeksi virus dapat dilakukan dengan vaksinasi HPV serta pemeriksaan skrining secara rutin. Desain penelitian ini potong lintang. Penelitian mengambil subjek wanita yang berobat ke Poliklinik Ginekologi dan Onkologi Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM tahun 2021—2022 dan didapatkan total 193 subjek untuk dianalisis. Data yang termasuk dalam analisis adalah usia, pendidikan, jumlah pernikahan, paritas, riwayat keguguran, riwayat KB, riwayat vaksinasi HPV, riwayat skrining dengan tes DNA HPV, dan temuan kelainan serviks. Didapatkan proporsi temuan non-neoplastik dan neoplastik serviks beruturut-turut adalah 3,1% dan 96,9%. Ditemukan hubungan vaksinasi HPV terhadap kejadian kelainan serviks berupa OR 0,022 (IK95% 0,002-0,194; nilai P 0,005), dan hubungan riwayat skrining tes DNA HPV dengan temuan kelainan serviks berupa OR 0,033 (IK95% 0,004-0,252; nilai P 0,008). Riwayat vaksinasi HPV, riwayat skrining kanker serviks, dan tingkat pendidikan berhubungan dengan temuan kelainan serviks (prakanker dan kanker).

Cervical cancer is the second leading cause of death and one of the biggest health cost burdens in Indonesia. Cervical cancer is a condition caused by HPV infection. Therefore, prevention of viral infection can be done with HPV vaccination as well as regular screening examinations. The design of this study was cross-sectional. The study took female subjects who sought treatment at the Gynecology and Oncology Polyclinic of the Department of Obstetrics and Gynecology of RSCM in 2021-2022 and obtained a total of 193 subjects for analysis. Data included in the analysis were age, education, number of marriages, parity, history of abortion, history of contraception, history of HPV vaccination, history of screening with HPV DNA test, and findings of cervical abnormalities. The proportions of cervical non-neoplastic and neoplastic findings were 3.1% and 96.9%, respectively. The association of HPV vaccination with the incidence of cervical abnormalities was OR 0.022 (95% CI 0.002-0.194; P value 0.005), and the association of HPV DNA test screening history with cervical abnormalities was OR 0.033 (95% CI 0.004-0.252; P value 0.008). HPV vaccination history, cervical cancer screening history, and education level are associated with findings of cervical abnormalities (precancerous and cancerous)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hansel Tengara Widjaja
"ABSTRACT
Merokok merupakan salah satu faktor risiko dari berbagai penyakit tidak menular, yang mencakup sekitar 71 persen penyebab kematian di Indonesia. Salah satu cara untuk mencegah penyakit tidak menular adalah dengan menjaga kebugaran jasmani yang prima. Petugas keamanan merupakan kelompok populasi yang memerlukan kebugaran jasmani yang lebih prima dibandingkan masyarakat biasa. Kemampuan fisik tersebut diukur salah satunya dengan cara tes lari dua belas menit (tes Cooper). Namun, belum ada studi yang meneliti mengenai kebugaran jasmani maupun derajat konsumsi rokok pada petugas keamanan, demikian juga dengan hubungan antara keduanya. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian mengenai hubingan kebiasaan merokok dengan hasil jarak tempuh tes Cooper pada petugas keamanan. Untuk mengetahui hubingan antara Indeks Brinkman dengan hasil jarak tempuh tes Cooper pada petugas keamanan. Sebanyak minimal 35 orang petugas keamanan yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dilibatkan dalam penelitian. Kemudian, peneliti menanyakan beberapa hal mengenai konsumsi rokok (lampiran 2), dan mendapatkan data hasil jarak tempuh tes Cooper dari K3L FKUI. Data penelitian dianalisis dengan SPSS versi 20, dengan uji Pearson.

ABSTRACT
Smoking is one of the risk factors of non-communicable diseases, which include about 71 percent deaths causes in Indonesia. One of the measures to prevent non-communicable diseases is to maintain physical fitness. Security Personnels need to have higher physical performance than general public. One way to measure the physical performance is 12 minute run test, known as Cooper test. However, only few studies have explored about physical performance in security personnels or military and also smoking among them. Moreover, there have not been any single study conducted in Indonesia to explore them. Therefore, we would like to know the relationship between smoking behaviour and Cooper test result in security personnel. To find the correlation between smoking behaviour and Cooper test result in security personnel. A minimum sample of 35 security personnels who fulfilled the inclusion and exclusion criteria are included in this research. Then, we asked them to fill the information about their smoking habits as in the quitionaire Appendix 1, whereas the Cooper test data is provided by the K3L unit. The data are then analysed by using SPSS version 20 with pearson correlation test. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyner Arden
"

Latar Belakang: Prevalensi berat badan lebih dan obesitas pada pekerja usia dewasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan perubahan gaya hidup yang terjadi. Kedua hal yang mencerminkan komposisi tubuh yang buruk ini merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit kronik. Sebaliknya, daya tahan kardiorespirasi yang baik dapat memberikan berbagai manfaat kesehatan. Tujuan: Mengetahui pengaruh perubahan daya tahan kardiorespirasi terhadap komposisi tubuh pada pekerja duduk. Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan sumber data sekunder. Sejumlah 82 subjek penelitian yang merupakan pekerja duduk di Jakarta tahun 2018, dibagi menjadi kelompok uji dan kontrol yang masing-masing terdiri dari 41 subjek. Kelompok uji mendapatkan intervensi berupa latihan fisik berbasis tempat kerja selama 12 minggu. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Pearson, Spearman, dan uji T-berpasangan. Hasil: Didapatkan peningkatan rerata nilai Indeks Massa Tubuh sebesar 0,14 kg/m2, peningkatan rerata presentase lemak sebesar 0,56%, penurunan rerata ukuran lingkar pinggang sebesar 2,56 cm, dan peningkatan rerata nilai prediksi daya tahan kardiorespirasi sebesar 1,27 mL/kg/menit pada subjek yang menjalani program latihan fisik berbasis tempat kerja selama 12 minggu, walaupun tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara perubahan pada nilai prediksi daya tahan kardiorespirasi terhadap ketiga komponen komposisi tubuh tersebut. Simpulan: Peningkatan daya tahan kardiorespirasi dengan program latihan fisik berbasis tempat kerja selama 12 minggu memberikan perbaikan secara klinis pada komposisi tubuh pekerja duduk, meskipun tidak menghasilkan perubahan yang signifikan secara statistik. Diperlukan penelitian lanjutan dengan memerhatikan dugaan faktor-faktor yang memengaruhi hasil tersebut.

 



Background: The prevalence of overweight and obesity in adults has increased in recent years in line with lifesyle changes that occur. These two things that reflect poor body composition are risk factors for various chronic disease. Conversely, good cardiorespiratory fitness can provide health benefits. Objective: This research was done to determine the effect of changes in cardiorespirator fitness on body composition in sitting workers. Methods: This study uses a cross-sectional method with a secondary data sources. A total of 82 research subject were sitting workers in Jakarta in 2018, which were divided into test and control groups, each grup consisting of 41 subjects. The test group received an intervention in the form of workplace based physical exercise for 12 weeks. Data analysis was performed using the Pearson and Spearman correlation test, and paired T-test. Results: There was an increase in the mean value of Body Mass Index by 0,14 kg/m2, an increase in the mean value of percentage of body fat by 0,56 percent, a decrease in the mean value of waist circumference by 2,56 cm, and an increase in the mean predicted value of cardiorespiratory fitness by 1,27 mL/kg/minutes in subjects undergoing a workplace based physical exercise program for 12 weeks, although no significant relationship was found between changes in the predicted value of cardiorespiratory endurance on the three components of body composition. Conclusion: Increased cardiorespiratory endurance with a workplace-based physical exercise program for 12 weeks provided a clinical improvement in sitting workers body composition, although it did not produce statistically significant changes . Further research is needed by considering other factor that may influence this result.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Gratia Juliawan
"Latar belakang : Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor penentu kesehatan yang penting untuk dijaga. Tingkat aktivitas fisik seorang individu tentu berpengaruh terhadap kebugaran kardiorespirasi dan kualitas kerja seseorang. Sebagai seseorang yang bertugas untuk menjaga keamanan kampus, seorang petugas keamanan harus memiliki kebugaran kardiorespirasi yang baik. Salah satu cara untuk mengetahui kebugaran kardiorespirasi adalah melalui Tes Cooper, yaitu tes lari selama 12 menit.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara tingkat aktivitas fisik dan hasil tes Cooper yang dapat dicapai oleh petugas keamanan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Metode: 35 orang petugas keamanan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan waktu untuk menjawab kuesioner IPAQ untuk mengetahui tingkat aktivitas fisik tiap orang kemudian dilanjutkan dengan melakukan Tes Cooper. Pada kedua variabel kemudian dilakukan uji normalitas dan uji korelasi dengan menggunakan SPSS versi 20.
Hasil: Rerata tingkat aktivias fisik petugas keamanan adalah 1857 (436,5-6159) METS, sedangkan rerata jarak tempuh Tes Cooper adalah 1771,93 ± 282,1 meter (1675,03-1868,83; IK95%). Tidak ada korelasi yang bermakna antara tingkat aktivitas fisik dan jarak tempuh tes Cooper (p=0,903; r=0.021). Simpulan: Tidak ada korelasi yang bermakna antara tingkat aktivitas fisik dan jarak tempuh Tes Cooper petugas keamanan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Background: Physical activity is one of the important health determinants to be maintained. The level of physical activity of an individual certainly affects the cardiorespiratory fitness and the quality of ones work. As someone in charge of maintaining campus security, a security officer must have good cardiorespiratory fitness. One way to find out cardiorespiratory fitness is through the Cooper Test, which is a 12 minute running test.
Objective: To determine the relationship between the level of physical activity and Cooper test results that can be achieved by security officers at the Faculty of Medicine, University of Indonesia.
Method: 35 security officers who met the inclusion and exclusion criteria were given time to answer the IPAQ questionnaire to determine the level of physical activity of each person then proceed with the Cooper Test. The two variables are then tested for normality and correlation using SPSS version 20.
Results: The average physical safety level of security officers was 1857 (436.5-6159) METS, while the average Cooper Test distance was 1771.93 ± 282.1 meters (1675.03-1868.83; IK95%). There was no significant correlation between physical activity level and Cooper test distance (p = 0.903; r = 0.021). Conclusion: There is no significant correlation between the level of physical activity and the mileage of Cooper Test of security officers at the Faculty of Medicine, University of Indonesia."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Fajarina Safety
"Pekerja duduk termasuk ke dalam kelompok yang rentan mengalami masalah kesehatan karena gaya hidup sedenter yang dimiliki merupakan faktor risiko obesitas. Indikator untuk menentukan obesitas adalah indeks massa tubuh (IMT), persentase lemak, dan ukuran lingkar pinggang. Program latihan fisik berbasis tempat kerja dirancang bagi pekerja duduk untuk mengurangi risiko obesitas pada pekerja duduk. Penelitian ini dilakukan dengan secara potong lintang menggunakan data sekunder penelitian intervensi terhadap pekerja duduk, untuk lebih jauh mengetahui pengaruh kepatuhan melakukan program latihan fisik berbasis tempat kerja selama 12 minggu terhadap perubahan komposisi tubuh (IMT, persentase lemak, dan ukuran lingkar pinggang). Terdapat 41 subjek uji dan 41 subjek kontrol. Hasil yang didapatkan yaitu persentase kepatuhan subjek uji sebesar 39,73%, sebanyak 19 subjek tergolong patuh, dan 22 lainnya tidak patuh. Pada analisis data didapatkan perbedaan tidak bermakna secara statistik antara tingkat kepatuhan dan perubahan komposisi tubuh. Secara klinis, kepatuhan paling berpengaruh terhadap perubahan ukuran lingkar pinggang pada kelompok uji. Analisis data membandingkan perubahan komposisi tubuh antara kelompok uji dan kontrol menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik dan klinis. Hasil pada penelitian ini berbeda jika dibandingkan dengan penelitian lain. Perbedaan diduga karena tidak ada intervensi faktor lain yang memengaruhi komposisi tubuh dan durasi program yang belum optimal.

Sitting workers are vulnerable to various health problems because of their sedentary lifestyle which is one of obesity’s factors. Body mass index (BMI), body-fat percentage, and waist circumference can be used as the indicators of obesity. A workplace-based physical exercise is conducted to reduce the risk of obesity among sitting workers. This is a cross-sectional study using secondary data from an interventional study, for furthermore to evaluate the effect of compliance to 12-weeks workplace-based physical exercise program on body composition (BMI, body-fat percentage, and waist circumference) in sitting workers. There were 41 interventional and 41 control subjects. The subjects’ attendance to exercise program was 39,73%, there were 19 complied, and 22 not complied subjects. Based on analysis data, statistically, there were no significant difference of body composition changes between complied and not complied subjects. However, clinically, the effect of compliance was greater on waist circumference changes. There were no significant difference statistically and clinically of body composition changes between interventional and control subjects. The results in this study are different when compared with other studies. The difference was suspected because there are no interventions on other factors that affect body composition and the duration of the program was not optimal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satryansyah Putra Sadikin
"Latar Belakang Dalam menjalankan pendidikan, stres merupakan hal yang seringkali dialami oleh mahasiswa. Stres sendiri dapat berdampak pada performa akademis mahasiswa. Terdapat berbagai penyebebab dari stres, salah satunya adalah penyesuaian diri. Refleksi diri merupakan suatu hal yang dapat dilakukan untuk menyesuaikan diri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antar refleksi diri dengan tingkat stres pada mahasiswa pre-klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Metode Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross sectional. Pengambilan data dilakukan secara daring dengan membagikan dua kuesioner yaitu Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) dan Medical Student Stressor Questionnaire (MSSQ) kepada 106 responeden. Hasil Berdasarkan hasil penelitian pada 108 responden mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, terdapat 51,9% mahasiswa memiliki kemampuan refleksi tinggi, sedangkan 48,1% mahasiswa memiliki kemampuan refleksi rendah. Penelitian ini menunjukkan 54,6% mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia alami stres berat, diikuti 7,41% stres ringan, 26,85% mahasiswa dengan stres sedang dan 11,11% mahasiswa alami stres sangat berat. Pada penelitian tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kemampuan refleksi diri dengan tingkat stres. Kesimpulan Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan refleksi diri dengan tingkat stres pada mahasiswa pre-klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tidak terdapatnya hubungan dapat disebabkan berbedanya mekanisme koping masing-masing individu. Disarankan penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan variabel yang lebih luas.

Introduction In education, stress is frequently experienced by students. Stress itself can impact a student's academic performance. There are various causes of stress, one of which is adaptation. Self-reflection is something that can be done to adapt. The purpose of this study is to ascertain the relationship between self-reflection and the level of stress among pre-clinical students at the Faculty of Medicine, University of Indonesia. Method This research employed a cross-sectional approach. Data collection was conducted online by distributing two questionnaires, namely the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) and the Medical Student Stressor Questionnaire (MSSQ), to 106 respondents. Results Based on the research results involving 108 respondents of pre-clinical students at the Faculty of Medicine, University of Indonesia, it was found that 51,9% of students had high levels of self-reflection ability, while 48,1% had low levels of self-reflection ability. The study indicated that 54.6% of students at the Faculty of Medicine, University of Indonesia experienced severe stress, followed by 7.41% experiencing mild stress, 26.85% with moderate stress, and 11.11% experiencing very severe stress. The research did not find any significant correlation between self-reflection ability and the level of stress. Conclusion There is no significant relationship between self-reflection and stress levels among preclinical students at Faculty of Medicine, University of Indonesia. The absence of a relationship can be caused by differences in the coping mechanisms of each individual. It is recommended that further research consider broader variables."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fika Dwi Sasri
"Latar Belakang: Obesitas menjadi masalah Kesehatan global dengan tren peningkatan populasi yang berlanjut. Keseimbangan energi positif, dimana asupan energi lebih besar dari pengeluaran energi akan menyebabkan penumpukan lemak. Obesitas akibat akumulasi lemak, khusunya lemak viseral merupakan penyebab fator risiko terjadinya penyakit tidak menular, Pegawai kantor berpeluang mengalami obesitas dengan memiliki gaya hidup diet tinggi kalori dan gaya hidup sedenteri. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara asupan energi dan aktivitas fisik dengan lemak viseral pada pegawai kantor yang mengalami obesitas. Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek pegawai kantor yang mengalami obesitas di RSCM. Asupan energi dinilai dengan 3 x 24-h food recall. Aktivitas fisik dinilai dengan kuesioner GPAQ dan lemak viseral dinilai dengan BIA multifrekuensi. Hasil: Sebanyak 85 subjek penelitian dengan rerata usia 41 tahun, dengan sebagian besar perempuan dan temasuk dalam kategori obesitas derajat I. Hampir seluruh subjek memiliki volume lemak viseral tidak normal dengan median 2,95 L (1,3 – 8,5 L). Sebagian besar memiliki asupan energi lebih dengan rerata asupan 2196 ± 467 kkal. Sebagian besar memiliki aktivitas fisik sedang dengan nilai median 1850 MET (120 – 4680 MET). Terdapat korelasi sedang antara asupan energi dengan lemak viseral (r=0,554, p<0,001) dan korelasi lemah antara aktivitas fisik dengan lemak viseral (r=-324, P=0,008). Kesimpulan: Terdapat korelasi sedang antara asupan energi dengan lemak viseral dan korelasi lemah antara aktivitas fisik dengan lemak viseral

Background: Obesity is a global health problem with a continuing trend of increasing population. A positive energy balance, where energy intake is more remarkable than energy expenditure, will cause fat accumulation. Obesity due to the accumulation of fat, especially visceral fat, is a risk factor for non-communicable diseases. Office employees can become obese by having a high-calorie diet and a sedentary lifestyle. This study aims to see the correlation of energy intake and ohysical activity with visceral fat in obese office workers. Method: This cross-sectional study was conducted on obese office staff at RSCM. Energy intake was assessed with 3 x 24-h food recalls. Physical activity was assessed with the GPAQ questionnaire, and visceral fat was assessed with multifrequency BIA. Results: A total of 66 study subjects with an average age of 41 years were women and included in the category of obesity degree I. Almost all subjects had abnormal visceral fat volume with a median of 2.95 L (1.3 – 8.5 L). Most have more energy intake, with an average intake of 2196 ± 467 kcal. Most had a moderate physical activity with a median value of 1850 MET (120 – 4680 MET). There was a moderate correlation between energy intake and visceral fat (r=0.554, p<0.001) and a weak correlation between physical activity and visceral fat (r=-324, P=0.008). Conclusion: There was a moderate correlation between energy intake and visceral fat and a weak correlation between physical activity and visceral fat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library