"Artikel ini bertujuan untuk melihat bagaimana orang menilai kulitnya, apakah dinilai cantik atau jelek. Hingga saat ini, cantik masih diasosiasikan dengan kulit putih, salah satunya menurut orang-orang Indonesia. Hal ini menjadi penting karena bagaimana kita merepresentasikan diri sendiri berkaitan dengan identitas kita− siapa kita dan bagaimana kita ingin dilihat. Perilaku orang kulit hitam entah percaya diri dengan kulitnya ataupun tidak, adalah cara mereka untuk merepresentasikan dirinya yang didapatkan dari negosiasi identitas. Tetapi diantara orang kulit hitam, ada yang secara percaya diri merepresentasikan dirinya melawan diskursus tentang kecantikan atau counter-discourse.
Literatur terdahulu menjelaskan ada dua alasan terjadinya hal tersebut, yaitu: rekognisi dan negosiasi. Rekognisi adalah saat aktor berjuang melawan diskursus, sementara negosiasi adalah saat aktor menegosiasikan apa yang ia miliki. Argumen dalam penelitian ini adalah perempuan bisa menolak diskursus karena negosiasi, mereka memiliki pilihan dan otonomi atas tubuhnya. Mereka juga bisa menolak diskursus karena memiliki kekuatan, yaitu melalui kekuatan tawar menawar.
Artikel ini menggunakan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap sembilan informan. Informan yang masuk dalam kriteria adalah perempuan dengan usia 16 - 24 tahun karena rentang usia tersebut adalah rentang usia dengan penggunaan internet yang besar. Klasifikasi warna kulit untuk pemilihan informan didasarkan dengan skala warna kulit Fitzpatrick.
Hasil penelitian menemukan tujuh dari sembilan informan telah menolak diskursus kecantikan. Informan juga menjelaskan bagaimana kepribadian atau kemampuan mereka bisa menjadi kekuatan tukar menukar mereka yang mempermudah untuk menolak diskursus kecantikan. Selain itu, informan telah melakukan negosiasi identitas dari menerima diskursus tentang warna kulit yang diinginkan hingga menolaknya. Hal ini bukanlah proses secara tiba-tiba, tetapi dibutuhkan peran dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kesadaran diri sendiri tentang cantik, sementara faktor eksternal berasal dari sosialisasi keluarga, teman atau media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016