Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Umar Abdul Hamiid
"Introduksi: Gagal jantung (GJ) adalah kondisi dimana jantung tidak mampu secara optimal memompa darah untuk konsumsi tubuh. Walaupun dalam tingkat global prevalansi GJ itu tinggi, studi mengenai hubungan status New York Heart Association (NYHA) dan IMT dari pasien GJ masih minim. Sebagai tambahan, tidak seperti di negara lain, studi mengenai profil pasien GJ di Indonesia sudah tua. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai karakteristik klinik pasien GJ di RSCM dan mengidentifikasi jika adanya korelasi signifikan diantara IMT dan status NYHA pasien GJ.
Metode: Ini adalah studi penampang lintang data sekunder yang dilakukan pada tahun 2021. Data dari pasien GJ yang memiliki indikator IMT dan NYHA jelas dari rekam medis PJT dan pusat RSCM dikumpulkan. Semua data berasal dari kunjungan pertama pasien ke RSCM. Data tersebut dianalisa menggunakan SPSS, dimana frekuensi, median, dan interquartile range dari variabel ditelusuri. Hubungan antara IMT dan NYHA diobservasi melalui ANOVA dan regresi logistik. Hasil: 224 data pasien dari RSCM berhasil terkumpulkan. Median usia pasien GJ di RSCM adalah 57 tahun (IQR=13.75). Populasi pria melebihi dibandingkan wanita (66.1%). Pasien obesitas meliputi sepertiga (39.7) dari total populasi. NYHA 2 adalah status NYHA yang paling kerap muncul dalam populasi sample (62.1%). Gejala yang paling sering ditemukan adalah sesak nafas (75.0%), sedangkan sejarah medis yang paling acap adalah gejala jantung iskemik (69.2%). Semua tanda vital dalam jarak normal. Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah ronkhi (36.80%). Pola ECG yang paling sering ditemukan adalah irama sinus normal (61.50%). Kebanyakan pasien memiliki ejeksi fraksi berkurang (58%). Semua indikator lab normal, terkecuali untuk biomarker renal yang tinggi. Terapi farmakologi teradministrasi paling sering adalah B-Blocker dan Antagonis Aldosterone (64.6% dan 66.5%). One way ANOV A menunjukan adanya perbedaan rata rata IMT signifikan (! (2,211) = 7.964, " = <.001, #2 = .06). Konklusi: Profil pasien studi ini sesuai ekspektasi dari kondisi rujukan awal pasien GJ. Profil pasien sample ini dengan studi lain dari Indonesia, akan tetapi menemukan beberapa perbedaan dengan studi dari negara lain. IMT dan NYHA juga ditemukan mempunyai korelasi linear, dengan catatan ada faktor eksternal yang menentukan progresi menuju NYHA 4.

Introduction: Heart failure is a condition where the heart cannot pump blood for the body. Even though it is high on prevalence globally, the relationship between the presenting New York Heart Association (NYHA) and patients' BMI is still minimally studied. Additionally, HF patients' profile in Indonesia is significantly outdated. This study aims to provide a clinical characteristic of HF patients in RSCM and identify the relationship between BMI and present NYHA status. Methods: This study is a cross sectional secondary data study conducted on 2021. Data of HF patients from PJT and central RSCM medical records with a clear indicator of BMI and NYHA were collected. All data came from the patient's first visit to RSCM. Data were then analyzed using SPSS, where the frequency, median, interquartile range of variables was explored. The relationship between BMI and NYHA was observed using ANOVA and logistic regression. Results: 224 data were collected on this study. The median age of HF patients in RSCM was 57 years old (IQR=13.75). Compared to females, males are more frequent (66.1%). Obese patients comprise one third (39.7%) of the population. NYHA 2 is the most common presenting NYHA, which constitutes half the sample (62.1%). The most common symptom is dyspnea (75.0%), while the most common medical history is previous ischemic heart disease diagnosis (69.2%). All vital signs are within normal range upon inspection. The most common physical manifestation is Ronchi (36.80%). ECG pattern most commonly found is normal sinus rhythm (61.50%). Most patients have reduced ejection fraction (58%). Lab indicators are within the normal range, except for renal biomarkers, which is mainly elevated. Most common medication administered is B- Blocker and Aldosterone Antagonist (64.6% and 66.5%). ANOVA test found significant mean differences between severe NYHA and BMI (! (2,211) = 7.964, " = <.001, #2 = .06) Conclusion: In conclusion, patients from this study are more common to have NYHA 2. Additionally, BMI and NYHA is linear correlated, where other factors apart from BMI may be a significant cause of progression to NYHA 4."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fazlines
"Latar belakang : Peningkatan prevalensi penyakit arteri perifer (PAP) sejalan dengan peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Strategi pencegahan komplikasi salah satunya berfokus pada pengendalian faktor risiko dan deteksi dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan PAP pada pasien DMT2 di tingkat layanan kesehatan primer.
Metode : Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DMT2 berusia 20-65 tahun yang berobat di sepuluh Puskesmas DKI Jakarta pada bulan Agustus 2020 – Juni 2021. Pasien yang dapat dilakukan pemeriksaan ABI dengan menggunakan USG doppler handheld pada salah satu atau kedua tungkai, dengan atau tanpa riwayat PAP sebelumnya, akan dimasukkan sebagai subjek penelitian dan dilakukan pencatatan data dasar usia, jenis kelamin, durasi penyakit diabetes, tekanan darah, kadar kolesterol total, K-HDL, K-LDL dan trigliserida serta riwayat merokok, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh dan lingkar pinggang. Dianggap PAP bila nilai ABI £0,9 atau >1,3 pada masing-masing tungkai.
Hasil : Dari 188 pasien DMT2 yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 27 (14,4%) pasien mengalami komplikasi PAP dan 24 pasien diantaranya adalah perempuan. Proporsi masing-masing untuk PAP ringan, sedang dan berat adalah 56%, 18% dan 26%. Analisis bivariat menunjukkan perempuan 3-4 kali lebih berisiko mendapatkan PAP (IK 95% 1,099-13,253, p=0,024), sementara usia, durasi diabetes, dislipidemia, hipertensi, obesitas, obesitas sentral dan merokok tidak dijumpai adanya perbedaan signifikan. Namun, setelah disesuaikan dengan durasi diabetes dan merokok pada analisis regresi logistik, jenis kelamin perempuan menunjukkan hasil tidak signifikan.
Simpulan : Tidak dijumpai adanya hubungan bermakna antara usia ≥50 tahun, jenis kelamin perempuan, durasi diabetes ≥10 tahun, hipertensi, dislipidemia, kebiasaan merokok, obesitas dan obesitas sentral terhadap PAP pada pasien DMT2.

Background: The increasing prevalence of peripheral arterial disease (PAD) is in line with that of type 2 diabetes mellitus (T2DM). To prevent diabetes complications needs focuses on controlling risk factors and early detection. The aims of the study were to determine the prevalence and predictors of PAD in diabetic patients at the primary care setting.
Method: A cross sectional study of 188 diabetic patients aged 20-65 years old who attended ten community health centers in Jakarta from August 2020 until June 2021. Patients were performed for ABI using handheld doppler ultrasound on one or both limbs, with or without a previous history of PAD, were included. Baseline data such as age, gender, duration of diabetes, blood pressure, total cholesterol levels, c-HDL levels, c-LDL levels, triglyceride levels, smoking history, weight, height, body mass index and waist circumference were recorded. PAD was defined as the ABI value £0.9 or >1.3 in each limb.
Result: Of the 188 T2DM patients who met the inclusion criteria, 27 (14.4%) patients experienced PAD and 24 of them were female. The proportions for mild, moderate and severe PAD were 56%, 18% and 26%, respectively. Bivariate analysis showed that female were 3-4 times at risk of PAP (95% CI 1.099-13.253, p=0.024), while there were no significant differences in age, duration of diabetes, dyslipidemia, hypertension, obesity, central obesity and smoking. However, after adjusting for duration of diabetes and smoking in logistic regression analysis, female had no statistically significant.
Conclusion: No significant relationship was found among age, gender, duration of diabetes, dyslipidemia, hypertension, obesity, central obesity, smoking and PAP in T2DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rendra Hadi
"Latar belakang: DM masih menjadi masalah besar bidang kesehatan global, dengan beban yang sangat besar akibat dari penyakitnya secara langsung dan komplikasinya, terutama komplikasi kardiovaskular. Komplikasi tersebut dipengaruhi gangguan neuropati autonom, yang dapat dinilai dengan HRV. Gangguan autonom dipikirkan akan menurunkan fungsi jantung, yang secara dini mungkin dapat diprediksi dengan melihat global longitudinal strain. Hubungan antara HRV dan GLS belum banyak diteliti Tujuan: Mengetahui korelasi antara fungsi autonom kardiak dengan fungsi ventrikel kiri pada pasien DM Tipe 2 Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau Pasien DM tipe 2 berusia dewasa yang tinggal di DKI Jakarta pada bulan Desember 2020. Parameter HRV terdiri dari interval RR, standard deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive difference (RMSSD), low frequency (LF), high frequency (HF) dan rasio LF/HF dan Global longitudinal strain dianalisis menggunakan ekokardiografi Hasil: Dilakukan analisis pada 167 sampel. rerata GLS didapatkan -20,30 (±1,57). Tidak terdapat korelasi antara interval RR dengan GLS (r = -0,07, p = 0,377), tidak terdapat korelasi antara SDNN dengan GLS (r = -0,10, p = 0,189), tidak terdapat korelasi antara RMSSD dengan GLS (r = -0,12, p = 0,098), tidak terdapat korelasi antara LF dengan GLS (r = -0,003, p = 0,968), tidak terdapat korelasi antara HF dengan GLS (r = -0,09, p = 0,21), tidak terdapat korelasi antara LF/HF dengan GLS (r = -0,10, p = 0,189). Tidak terdapat faktor perancu yang berhubungan pada penelitian ini Kesimpulan: Tidak Terdapat korelasi antara heart rate variability dengan global longitudinal strain pada pasien DM Tipe 2.

Background: Diabetes Mellitus (DM) remains a major global health issue due to its direct consequences and complications, particularly cardiovascular complications. These complications are influenced by autonomic neuropathy, which can be assessed by Heart Rate Variability (HRV). Autonomic dysfunction is thought to impair heart function, which can potentially be predicted early by observing global longitudinal strain (GLS). The relationship between HRV and GLS has not been extensively studied. Objective: To determine the correlation between cardiac autonomic function and left ventricular function in Type 2 DM patients. Methods: A cross-sectional study with a population of adult Type 2 DM patients residing in Jakarta in December 2020. HRV parameters included RR interval, standard deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive difference (RMSSD), low frequency (LF), high frequency (HF), and LF/HF ratio. Global longitudinal strain was analyzed using echocardiography. Results: Analysis was conducted on 167 samples. The average GLS was -20.30 (±1.57). There was no correlation between RR interval and GLS (r = -0.07, p = 0.377), no correlation between SDNN and GLS (r = -0.10, p = 0.189), no correlation between RMSSD and GLS (r = -0.12, p = 0.098), no correlation between LF and GLS (r = -0.003, p = 0.968), no correlation between HF and GLS (r = -0.09, p = 0.21), and no correlation between LF/HF ratio and GLS (r = -0.10, p = 0.189). There were no confounding factors associated with this study. Conclusion: There is no correlation between heart rate variability and global longitudinal strain in Type 2 DM patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Angela
"Objektif: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian dan pengaruh latihan aerobik selama delapan minggu terhadap perbaikan kualitas hidup menggunakan kuesioner Minnesota Living with Heart Failure (MLHF). Metode: Penelitian ini adalah studi pre dan post latihan aerobik pada pasien gagal jantung kronik stabil. Subjek penelitian melakukan latihan berjalan tiga kali seminggu dengan intensitas sesuai Rating of Perceived Exertion 12-13, durasi latihan dimulai selama 10 menit dengan penambahan jarak 100-200 meter per sesi latihan berdasarkan toleransi subjek selama delapan minggu dan penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner Minnesota Living with Heart Failure dan uji jalan enam menit sebelum dan sesudah latihan aerobik selama delapan minggu. Hasil: Jumlah subjek penelitian sebesar 20 subjek (15 laki-laki dan 5 perempuan). Subjek penelitian didominasi oleh lanjut usia (10 orang), sudah menikah (16 orang), riwayat pendidikan DIII/S1 (10 orang), status bekerja (11 orang), obesitas tingkat I (7 orang), kelas fungsional NYHA II (19 orang), kondisi penyerta berupa hipertensi (16 orang) dan gaya hidup sedenter (18 orang). Perbandingan skor kuesioner MLHF sebelum dan sesudah latihan aerobik mengalami perbaikan bermakna secara statistik (p < 0.001), dimana skor domain fisik dan domain emosional mengalami perbaikan yang bermakna secara statistik (p < 0,001). Perbandingan delta domain fisik dengan delta domain emosional didapatkan bermakna secara statistik (p < 0,001). Perbandingan uji jalan enam menit sebelum dan sesudah latihan aerobik bermakna secara statistik (p< 0,001). Didapatkan hubungan bermakna secara statistik antara usia (p= 0,009) dan status pernikahan (p= 0,037) terhadap skor MLHF. Kesimpulan: Terdapat perbaikan kualitas hidup pada gagal jantung kronik stabil setelah latihan aerobik fase II selama delapan minggu. Terdapat hubungan pada usia dan status pernikahan terhadap skor MLHF.

Objective: This study aims to determine the characteristics of study subjects and the impact of aerobic exercise over eight weeks on the improvement of quality of life using the Minnesota Living with Heart Failure (MLHF) questionnaire. Method: This is a pre and post-aerobic exercise study on stable chronic heart failure patients. Study subjects engaged in walking exercises three times a week with an intensity based on the Rating of Perceived Exertion of 12-13. Exercise duration started at 10 minutes with an addition of 100-200 meters per exercise session based on the subject's tolerance over eight weeks. Assessment of quality of life was conducted using the Minnesota Living with Heart Failure questionnaire and six-minute walking test before and after aerobic exercise for eight weeks. Result: The total number of study subjects was 20 (15 males and 5 females). Study subjects were predominantly elderly (10 individuals), married (16 individuals), with a Diploma/Bachelor education background (10 individuals), employed (11 individuals), categorized as class I obesity (7 individuals), NYHA functional class II (19 individuals), having hypertension comorbidity (16 individuals), and leading a sedentary lifestyle (18 individuals). Comparison of MLHF questionnaire scores before and after aerobic exercise showed a statistically significant improvement (p < 0.001), with significant improvements in both physical and emotional domains (p < 0.001). Comparison of the delta in the physical domain and the emotional domain was also statistically significant (p < 0.001). Comparison of the six-minute walking test before and after aerobic exercise was statistically significant (p < 0.001). There was a statistically significant association between age (p= 0.009) and marital status (p= 0.037) with MLHF scores. Conclusion: There was an improvement of quality of life in stable chronic heart failure patients after aerobic exercise in phase II for eight weeks. There was a significant association between age and marital status with MLHF scores."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Puspitasari Nachrowi
"ABSTRAK
Latar Belakang. Takiaritmia ventrikel meningkatkan risiko mortalitas pasien infark miokard akut. Salah satu perangkat non invasif untuk stratifikasi risiko aritmia ventrikel pada pasien pasca infark miokard adalah mendeteksi late potentials (LP) pada Signal averaged-electrocardiography (SA-ECG).
Tujuan. Mengetahui prevalensi LP pada pasien infark miokard akut di Indonesia. Mengetahui hubungan antara hipertrofi ventrikel kiri, diabetes mellitus, penurunan eGFR (estimated glomerular filtration rate), penurunan LVEF (left ventricle ejection fraction), riwayat infark miokard sebelumnya, dan ketidakseimbangan elektrolit dengan LP pada pasien infark miokard akut.
Metode. Penelitian dilakukan secara cross sectional di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo selama Desember 2019-April 2020. Semua pasien infark miokard akut dengan segmen QRS <120 ms tanpa anemia gravis, sepsis, penyakit autoimun, keganasan diikutsertakan dalam penelitian. Dilakukan pengambilan rekaman SA-ECG pada 48 jam pertama dan hari ke 5 dari onset nyeri dada. Data hipertrofi ventrikel kiri, diabetes mellitus, penurunan eGFR, penurunan EF, riwayat infark miokard sebelumnya, dan ketidakseimbangan elektrolit diambil dari data rekam medis selama perawatan.
Hasil. Dari 53 subjek, didapatkan prevalensi LP sebesar 34%. Proporsi LP lebih tinggi pada subjek dengan riwayat infark miokard sebelumnya (50% vs 30,2%; p=0,205), hipertrofi ventrikel kiri (37,5% vs 31,0%; p=0,621), diabetes mellitus (35,3% vs 33,3%; p=0,563), penurunan eGFR (40% vs 31,6%; p=0,560), hipokalemia (28,6% vs 15,6%; p=0,555), hiperkalemia (100% vs 31,4%; p=0,111); hipomagnesemia (100% vs 30%; p=0,035), hipokalsemia (41,5% vs 15,4%; p=0,095); dan hipertensi (83,3% vs 19,2%; p=0,026). Pada analisa bivariat, didapatkan perbedaan proporsi LP yang bermakna pada kelompok dengan hipertensi dan kelompok dengan hipomagnesemia. Pada analisa multivariat, didapatkan hipertensi berhubungan dengan late potentials pada pasien dengan infark miokard akut (p=0,031; OR=3,900; IK95%=1,136-13,387).
"
2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Tasrif Mansur
"Latar Belakang: Hingga saat ini belum ada publikasi yang melakukan pembahasan mengenai sistem stratifikasi risiko pasien STEMI pada populasi dewasa muda. Selain itu rokok dan riwayat PJK dini dalam keluarga yang merupakan faktor risiko utama kejadian STEMI pada dewasa muda juga belum terlihat perannya dalam sistem stratifikasi risiko manapun. Skor TIMI yang paling banyak digunakan dalam menilai prognosis pasien STEMI juga masih dipertanyakan keakuratannya pada kelompok dewasa muda.

Tujuan: Studi ini bertujuan mengetahui proporsi mortalitas pasien STEMI dewasa muda yang di RS Cipto Mangunkusumo, melakukan validasi skor TIMI pada pasien dewasa muda, dan mengembangkan sistem stratifikasi risiko untuk pasien STEMI dewasa muda.

Metode: Penelitian ini adalah studi prognosis dengan desain kohort retrospektif menggunakan data rekam medis RSCM pada pasien berusia ≤50 tahun yang dirawat dengan STEMI dari tahun 2018 hingga tahun 2022. Dilakukan analisis univariat untuk mendapatkan data karakteristik subjek dan proporsi mortalitas 30 hari pasien STEMI dewasa muda. Dilakukan analisis bivariat untuk melihat hubungan merokok dan Riwayat PJK dini dalam keluarga dengan mortalitas 30 hari. Dilakukan uji validasi skor TIMI pada subjek penelitian dewasa muda. Dilakukan analisis multivariat untuk mendapatkan model prediksi baru dan dilakukan uji performa diskriminasi dan kalibrasi model modifikasi atau kombinasi baru.

Hasil: Didapatkan 164 subjek penelitian. Pasien yang memiliki faktor risiko merokok adalah sebanyak 107 orang (65,2%). Sementara yang memiliki riwayat PJK dini dalam keluarga adalah sebanyak 39 orang (23,9%). Pasien yang memiliki komorbid hipertensi sebanyak 80 orang (48,8%) dan yang menderita diabetes sebanyak 71 orang (43,3%). Proporsi mortalitas 30 hari pasien dewasa muda sebanyak 7,9% (13 orang). Tidak terdapat korelasi dengan mortalitas 30 hari pasien STEMI dewasa muda untuk riwayat merokok (HR 0,0441 (IK 95% 0,148-1,312) dan nilai p 0,141) dan riwayat PJK dini dalam keluarga (HR 0,567 (IK 95% 0,126-2,559) dan nilai p 0,461). Skor TIMI memperlihatkan kemampuan prediksi mortalitas 30 hari pasien STEMI dewasa muda yang baik, dimana didapatkan nilai AUC 0,836 (IK 95% 0,717-0,956) dengan nilai p <0,0001. Kombinasi skor TIMI dengan variabel riwayat merokok memperlihatkan performa diskriminasi yang baik dalam prediksi mortalitas 30 hari pasien STEMI dewasa muda dengan nilai AUC 0,875 (p<0,0001). Namun ketika dilakukan perbandingan antara nilai AUC skor TIMI dengan skor TIMI dengan tambahan faktor riwayat merokok tidak didapatkan peningkatan akurasi yang bermakna (nilai p 0,2146).

Simpulan: Proporsi mortalitas 30 hari pasien STEMI dewasa muda adalah sebanyak 7,9%. Skor TIMI memiliki performa diskriminasi dan kalibrasi yang baik dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien STEMI dewasa muda. Skor TIMI dengan penambahan faktor riwayat merokok memiliki performa diskriminasi dan kalibrasi yang lebih baik dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien STEMI dewasa muda dibandingkan skor TIMI murni, namun tidak memiliki signifikansi peningkatan akurasi.


Background: Until now, there have been no publications discussing the risk stratification system for STEMI patients in the young adult population. Additionally, the role of smoking and a family history of early coronary artery disease (CAD) as major risk factors for STEMI in young adults has not been addressed in any risk stratification system. The accuracy of the widely used TIMI score in assessing the prognosis of STEMI patients in the young adult group is also questionable.

Objective: This study aims to determine the proportion of mortality among young adult STEMI patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, validate the TIMI score in young adult patients, and develop a risk stratification system for young adult STEMI patients.

Methods: This research is a retrospective cohort prognosis study using medical record data from Cipto Mangunkusumo Hospital on patients aged ≤50 years who were hospitalized with STEMI from 2018 to 2022. Univariate analysis was conducted to obtain subject characteristics and the proportion of 30-day mortality among young adult STEMI patients. Bivariate analysis was performed to examine the relationship between smoking, a family history of early CAD, and 30-day mortality. The validation of the TIMI score was conducted in the young adult study subjects. Multivariate analysis was conducted to obtain a new prediction model, and performance tests for discrimination and calibration of the modified or combined model were performed.

Results: A total of 164 study subjects were included. There were 107 patients (65.2%) with a smoking risk factor, while 39 patients (23.9%) had a family history of early CAD. The proportion of 30-day mortality among young adult patients was 7.9% (13 individuals). There was no correlation between 30-day mortality in young adult STEMI patients and a history of smoking (HR 0.0441 (95% CI 0.148-1.312) and p-value 0.141) or a family history of early CAD (HR 0.567 (95% CI 0.126-2.559) and p-value 0.461). The TIMI score showed good predictive ability for 30-day mortality in young adult STEMI patients, with an AUC value of 0.836 (95% CI 0.717-0.956) and p-value <0.0001. The combination of the TIMI score with the smoking history variable demonstrated good discriminatory performance in predicting 30-day mortality among young adult STEMI patients, with an AUC value of 0.875 (p<0.0001). However, when comparing the AUC values between the TIMI score and the TIMI score with the addition of the smoking history factor, no significant increase in accuracy was observed (p-value 0.2146).

Conclusion: The proportion of 30-day mortality among young adult STEMI patients is 7.9%. The TIMI score demonstrates good discrimination and calibration in predicting 30-day mortality among young adult STEMI patients. The TIMI score, when combined with the smoking history factor, shows improved discriminatory performance and calibration in predicting 30-day mortality among young adult STEMI patients compared to the pure TIMI score but does not significantly enhance accuracy."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Sardjan
"Latar Belakang: Penyakit kardiovaskular terutama penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian pasien dengan penyakit perlemakan hati non-alkoholik (PPHNA). Pengukuran controlled attenuation parameter (CAP) menilai derajat steatosis hati secara non-invasif dan terukur, sementara skor SYNTAX dapat menggambarkan derajat aterosklerosis koroner dan membantu pemilihan modalitas revaskularisasi koroner (PCI atau CABG). Hingga saat ini, belum diketahui korelasi antara nilai CAP dengan skor SYNTAX pada pasien PJK signifikan. Tujuan: Mengetahui korelasi antara nilai CAP steatosis hati dengan skor SYNTAX lesi koroner pada pasien PJK signifikan. Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau adalah pasien dewasa yang menjalani tindakan angiografi koroner di ruang cathlab Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli hingga Oktober 2023 dan terbukti menderita PJK signifikan. Selanjutnya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, penilaian CAP dengan elastografi transien, dan penghitungan skor SYNTAX. Analisis data dilakukan untuk mencari koefisien korelasi antara nilai CAP dengan skor SYNTAX. Hasil: Didapatkan 124 subjek penelitian dengan dengan rasio laki-laki berbanding perempuan 5:1 dan rerata usia 59,8 ± 11,1 tahun. Rerata IMT 25,6 ± 3,5 kg/m2, dengan 54,8% subjek tergolong obesitas. Sebanyak 94,4% dan 55,6% subjek menderita hipertensi dan DM, dengan tekanan darah dan parameter glikemik relatif terkontrol. Rerata HDL 38,8 ± 10,8 mg/dL dengan 55,6% subjek memiliki HDL rendah, dan median LDL 109,5 mg/dL dengan 89,5% subjek belum mencapai target LDL. Rerata nilai CAP 256,5 ± 47,3 dB/m, dengan 52,5% subjek (IK 95%: 43,3% - 61,5%) menderita steatosis signifikan (nilai CAP ≥ 248 dB/m), Median skor SYNTAX 22. Uji korelasi Spearman menunjukkan korelasi positif dan signifikan antara nilai CAP dengan skor SYNTAX (r = 0,245, p < 0,0001). Kesimpulan: Diantara pasien dengan PJK signifikan, 52,5% diantaranya memiliki steatosis hati non-alkoholik signifikan. Terdapat korelasi positif dan bermakna antara nilai CAP dengan skor SYNTAX pada pasien PJK signifika.

Background: Cardiovascular diseases, particularly coronary artery disease (CAD), is the leading cause of death in patients with non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). The controlled attenuation parameter (CAP) measurement assesses the degree of liver steatosis in a non-invasive and measurable manner, while the SYNTAX score depicts the degree of coronary atherosclerosis and aids in the selection of coronary revascularization modalities (PCI or CABG). To date, the correlation between CAP values and SYNTAX scores in patients with significant CAD remains unknown. Objective: To determine the correlation between controlled attenuation parameter (CAP) value of liver steatosis and SYNTAX score of coronary lesions in patients with significant CAD. Methods: This cross-sectional study was conducted on an accessible population of adult patients who underwent coronary angiography at Cipto Mangunkusumo Hospital catheterization laboratory from July to October 2023, and were proven to have significant CAD. Anamnesis, physical examination, blood tests, CAP assessment with transient elastography, and SYNTAX score calculation were performed. Data analysis was conducted to find the correlation coefficient between CAP values and SYNTAX scores. Results: A total of 124 patients were included in this study, with a mean age of 59.8 ± 11.1 years and 5:1 of male to female ratio. The mean BMI was 25.6 ± 3.5 kg/m2, with 54.8% subjects classified as obese. A total of 94.4% and 55.6% subjects were hypertensive and diabetic with relatively controlled blood pressure and glycemic parameters. The mean HDL was 38.8 ± 10.8 mg/dL with 55.6% of the subjects having low HDL, and a median LDL of 109.5 mg/dL, with 89.5% of the subjects yet to achieve the optimal LDL target. The mean CAP value was 256.5 ± 47.3 dB/m, with 52.5% of the subjects having significant steatosis (CAP value ≥ 248 dB/m). The median SYNTAX score was 22. The Spearman correlation test showed a positive and significant correlation between CAP values and SYNTAX score (r = 0.245, p < 0.0001). Conclusion: Among patients with significant CAD, 52.5% have significant non-alcoholic hepatic steatosis. There is a positive and significant correlation between CAP values and SYNTAX scores in patients with significant CAD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library