Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karolina Margareta Margono
"Pendahuluan: Nyeri kronik merupakan fenomena biopsikososial yang kompleks yang berlangsung lebih dari 3 hingga 6 bulan dengan intensitas nyeri yang persisten. Merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar di dunia.. Hasil penelitian multisenter 14 Rumah Sakit pendidikan yang dilakukan Pokdi Nyeri PERDOSSI tahun 2002 didapatkan 4.456 kasus nyeri dimana 9,5% diantaranya adalah nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik dikenal sebagai salah satu kumpulan gejala yang sulit diidentifikasi dengan tatalaksana yang suboptimal.
Tujuan: Didapatkannya instrumen kuesioner painDETECT versi Indonesia yang valid dan reliabel.
Metode: Penelitian dengan menggunakan studi validasi transkultural ISPOR disertai analisis validasi kriteria dan uji reliabilitas konsistensi internal dan tes retes secara guided interview menggunakan kuesioner painDETECT.
Hasil: Didapatkan 150 sampel dengan nyeri kronik berdasarkan skor kuesioner painDETECT versi Indonesia, 75 pasien dengan nyeri nosiseptif, 42 pasein dengan nyeri campuran dan 33 pasien dengan nyeri neuropatik. Pada analisis validasi kriteria didapatkan korelasi tinggi dengan instrumen standar emas LANSS (r= 0,082,p<0,001), AUC 85,5%, sensitivitas 78,3% dan spesifisitas 78,7% dengan titik potong optimal ≥17. Pada uji reliabilitas konsistensi internal didapatkan nilai Alpha Cronbach 0,710 dan nilai reliabilitas tes retes 0,96.
Simpulan: Didapatkannya kuesioner painDETECT versi Indonesia yang valid dan reliabel dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam menapis komponen nyeri neuropatik.

Background: Chronic pain is a complex biospsychosocial phenomena. Pain that lasting more than 3 to 6 months with persistence intensity. Representing one of the biggest health problem in the world. Based on the results of a multicentre study in 14 Education Hospital, PERDOSSI Pain Study Group conducted in 2002 found 4,456 pain cases in which 9.5% were neuropathic pain. Whereas neuropathic pain is known as one of the hardest to overcome which are often missed identified and causing a suboptimal treatment.
Objective: To develop an Indonesian version of PainDETECT Questionnaire (PDQ-Ina) and assess its validity and reliability.
Methode: Using ISPOR transcultural validation study and criteria validation analysis followed with reliability internal consistency test and test retest based on PDQ guided interview.
Result: There were 150 subjects with chronic pain. Divided in to 3 types of group based on Indonesian version PDQ scoring, 75 patients having nociceptive pain, 42 were mixed pain and 33 patients having neuropathic pain. Within validation criteria analysis there were high correlation between PDQ-Ina with LANSS instrument as gold standard (r= 0,082,p<0,001), AUC 85,5%, sensitivity 78,3% and specificity 78,7% with the optimal cut off point ≥17. The reliability of internal consistency Cronbach’s Alpha value were 0,710 and the test retest realibility were 0,96.
Conclusion: The Indonesian version of the PDQ is a valid and reliable scale and have a good sensitivity and specificity to be used to determine neuropathic component of chronic pain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Septiar
"Latar Belakang. Apnea tidur obstruktif (ATO) banyak tidak disadari oleh klinisi dan prevalensinya di Indonesia cukup tinggi. Stroke merupakan penyebab kematian ke-2 di dunia dan Indonesia. ATO meningkatkan risiko kejadian stroke. Karakteristik klinis pasien ATO dengan stroke masih belum banyak diteliti. Tujuan. Mengetahui karakteristik klinis pasien kecurigaan tinggi ATO dengan stroke di RSCM. Metode. Penelitian potong lintang dengan metode consecutive dilakukan pada bulan Maret - Juni 2019 di RSCM (dari Poliklinik Neurologi dan data pencatatan pasien ATO Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis Departemen Ilmu Penyakit Dalam). Kecurigaan tinggi ATO ditegakkan berdasarkan kuesioner Berlin-ID. Pasien dibedakan menjadi stroke dan bukan stroke. Pasien yang tidak kooperatif atau menolak penelitian dieksklusi dari penelitian. Usia, jenis kelamin, Indeks Massa Tubuh (IMT), tekanan darah, kadar HbA1c, dan lingkar leher dinilai pada setiap pasien. Ketebalan tunika intima media arteri karotis (CIMT) dinilai pada 23 subyek. Analisis data dilakukan dengan SPSS 24. Hasil Utama. Sebanyak 103 pasien kecurigaan tinggi ATO diikutsertakan dalam penelitian (34 dengan stroke dan 69 bukan stroke). Proporsi pasien kecurigaan tinggi ATO dengan stroke di RSCM adalah 33%. Pasien kecurigaan tinggi ATO dengan stroke dan bukan stroke di RSCM memiliki rerata usia 58,5 dan 57 tahun, 82,4% dan 94,2% mengalami gangguan mendengkur, 61,8% dan 36,2% laki-laki, 20,6% dan 10,1% overweight, 61,8% dan 63,8% obese, 58,8% dan 49,3% hipertensi (80% dan 85,3% tidak terkontrol), rerata CIMT kanan-kiri 0,66-0,71 mm dan 0,59-0,66 mm, 26,5% dan 34,8% diabetes melitus/DM (77,8% dan 64,7% memiliki HbA1c terkontrol), dan median lingkar leher 35,5 dan 34 cm (laki-laki 38 dan 39 cm, perempuan 33,5 dan 35 cm). Simpulan. Proporsi pasien stroke pada kecurigaan tinggi ATO di RSCM adalah 33%. Dibandingkan dengan bukan stroke, pasien kecurigaan tinggi ATO dengan stroke di RSCM memiliki rerata usia yang lebih tinggi, proporsi overweight lebih tinggi, proporsi hipertensi lebih tinggi, rerata CIMT lebih tinggi, proporsi DM dalam terapi dengan HbA1c terkontrol lebih tinggi, dan median lingkar leher lebih tinggi.

Background. Obstructive sleep apnea (OSA) is not recognized by clinicians and its prevalence in Indonesia is quite high. Stroke is the second leading cause of death in the world and Indonesia. OSA increases the risk of stroke events. The clinical characteristics of OSA patients with stroke have not been widely studied. Objective. To know the clinical characteristics of high suspicious OSA patients with stroke in RSCM.. Method. A cross-sectional study using the consecutive method was carried out in March - June 2019 at RSCM (from Neurology Polyclinic and OSA patient record data of Respirology and Critical Illness Division of Internal Medicine Department). High suspicious OSA was diagnosed based on Berlin-ID questionnaire. Subjects were divided into stroke and not stroke. Subjects who were not cooperative or refuse the study were excluded. Age, gender, Body Mass Index, blood pressure, HbA1c levels, and neck circumference were assessed in each patient. The thickness of the carotid artery tunica intima (CIMT) was assessed in 23 subjects. Data analysis was performed with SPSS 24. Result. A total of 103 high suspicious OSA patients were included in the study (34 with stroke, 69 not stroke). The proportion of high suspicious OSA patients with stroke is 33%. Patients with high suspicious OSA with stroke and non-stroke in RSCM had an average age of 58.5 and 57 years, 82.4% and 94.2% experienced snoring disorders, 61.8% and 36.2% men, 20.6 % and 10.1% overweight, 61.8% and 63.8% obese, 58.8% and 49.3% hypertension (80% and 85.3% uncontrolled), mean right-left CIMT 0.66- 0.71 mm and 0.59-0.66 mm, 26.5% and 34.8% diabetes mellitus/DM (77.8% and 64.7% had controlled HbA1c), and the median neck circumferences were 35.5 and 34 cm (males 38 and 39 cm, females 33.5 and 35 cm). Conclusion. The proportion of stroke in high suspicious OSA patients is 33%. Compared with non-stroke, high suspicious OSA patients with stroke in RSCM had a higher mean age, higher overweight proportion, higher hypertension proportion, higher CIMT mean, higher DM in therapy with controlled HbA1c proportion, and higher median neck circumference."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58837
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winnugroho Wiratman
"Latar Belakang. Sebagian besar pasien kanker akan mengalami neuropati. Gejala
neuropatik yang muncul akibat kemoterapi dapat menghambat proses terapi.
Cisplatin merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan dalam terapi
kanker nasofaring (KNF) dan banyak menyebabkan neuropati perifer. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui gambaran neuropati pada pasien KNF yang
mendapat kemoterapi di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Metode. Subyek penelitian ini adalah pasien KNF yang dikemoterapi dengan
cisplatin kurang dari 6 bulan sebelum pemeriksaan, baik tunggal, sebagai
kemoadjuvant maupun kombinasi dengan kemoterapi lain yang tidak
menyebabkan neuropati perifer. Pasien Diabetes Mellitus serta gangguan
neurologis sebelumnya disingkirkan dari penelitian. Dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis, dan elektroneurografi (ENG). Penelitian dilakukan
dengan menggunakan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Februari hingga Mei 2013.
Hasil. Sebanyak 100 subyek penelitian yang terdiri dari 81 subjek laki-laki dan 19
subyek perempuan diikutsertakan dalam penelitian ini. Usia dari subjek penelitian
berkisar antara 30-60 tahun. Didapatkan 76% subjek mengalami neuropati, 51
subjek diantaranya mengalami neuropati ENG, 25 subjek mengalami neuropati
secara klinis dan ENG. Didapatkan neuropati sensorik 82.89%, neuropati motorik
80,26%, dan 51,32% mengalami neuropati otonom. Berdsarkan tipenya 89,47%
mengalami degenerasi aksonal dan tidak satupun mengalami yang mengalami
demielinisasi murni. Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara usia
dan dosis dengan kejadia neuropati secara klinis (masing-masing p < 0,05).
Kesimpulan. Telah didapatkan yang mendapat kemoterapi cisplatin di RSUPN
Cipto Mangunkusumo termasuk tinggi yaitu sebesar 76%, dan hanya 25% yang
mengalami gejala neuropati secara klinis. Lebih dari setengah (51%) pasien
mengalami neuropati subklinis prevalensi neuropati perifer. Neuropati sensorik
merupakan neropati paling banyak terjadi. Hampir semua pasien yang mendapat
kemoterapi cisplatin mengalami neuropati aksonal. Usia lebih tua dan dosis total
yang lebih besar merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi neuropati pada
pasien KNF yang mendapat kemoterapi cisplatin

Background. The majority of cancer patients will experience neuropathy.
Neuropathic symptoms arising from chemotherapy can inhibit the therapeutic
process. Cisplatin is the most widely used chemotherapy in the treatment of
nasopharyngeal cancer (NPC) and the many causes of peripheral neuropathy. This
study aims to describe the neuropathy in NPC patients who received
chemotherapy in Cipto Mangunkusumo and the factors that influence it.
Method. The study subjects were NPC patients whose chemotherapy with
cisplatin less than 6 months before the examination, whether single, as
kemoadjuvant or in combination with other chemotherapy that does not cause
peripheral neuropathy. Diabetes Mellitus and patients with neurological disorders
previously excluded from the study. Anamnesis, neurological physical
examination, and elektroneurografi (ENG) were done. The study was conducted
using a cross-sectional design. The data was collected between February and May
2013.
Results. A total of 100 study subjects consisted of 81 male subjects and 19 female
subjects were included in this study. Age of study subjects ranged from 30-60
years. There were 76% of the subjects had neuropathy, 51 subjects had
neuropathy based on ENG only, 25 subjects based on clinical and ENG. There
were 82.89% had sensory neuropathy, 80.26% had motor neuropathy, and 51.32%
had autonomic neuropathy. Most (89.47%) had axonal degeneration and none had
the experience of pure demyelination. There is a statistically significant
relationship between age and dose with the incidence of clinical neuropathy (each
p <0,05).
Conclusion. The prevalence of neuropathy in cisplatin chemotherapy in NPC
patients in Cipto Mangunkusumo was as high as 76%, and only 25% who
experienced clinical symptoms. More than half (51%) patients had subclinical
neuropathy of peripheral neuropathy. Older age and greater total doses are all
factors that influence the KNF neuropathy in patients receiving cisplatin
chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismi Adhanisa Hamdani
"ABSTRAK
Tujuan: Menentukan prevalensi excessive daytime sleepiness (EDS) pada pasien
dengan epilepsi dan faktor-faktor yang berhubungan di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Studi potong lintang deskriptif ini menggunakan kuesioner Epworth
Sleepiness Scale (ESS) pada pasien epilepsi yang diambil secara konsekutif di
poliklinik neurologi RSCM, pada bulan Oktober-November 2015. Faktor-faktor
yang dianalisis meliputi usia, jenis kelamin, jenis bangkitan, sindrom epilepsi,
etiologi epilepsi, frekuensi bangkitan, bangkitan nokturnal, risiko Obstructive
Sleep Apnea (OSA), depresi mayor, gangguan cemas menyeluruh, obat anti
epilepsi, dan potensial resistensi obat. EDS ditentukan jika skor ESS > 10. Risiko
OSA ditetapkan dengan kuesioner STOP-Bang; depresi mayor ditentukan dengan
kuesioner Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E)
versi Indonesia; gangguan cemas menyeluruh ditentukan dengan kuesioner Mini
International Neuropsychiatric Interview for International Classification of
Diseases-10 (MINI ICD-10).
Hasil: Diantara 93 pasien epilepsi, prevalensi EDS adalah sebanyak 32.3%;
wanita lebih banyak dari pria. Faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan
dengan EDS adalah usia kurang dari 35 tahun, frekuensi bangkitan dalam 1 tahun
lebih dari sama dengan 8 kali, depresi mayor, dan potensial resisten obat. Dari
analisis multivariat, terdapat 2 faktor independen yang berhubungan dengan EDS
yaitu depresi mayor dan potensial resisten obat.
Kesimpulan: EDS umum dijumpai pada pasien epilepsi dengan prevalensi
32.3%. Depresi mayor dan potensial resistensi obat merupakan faktor yang
berhubungan dengan EDS pada pasien epilepsi ABSTRACT
Purpose: To determine the prevalence of excessive daytime sleepiness (EDS) in
epilepsy patients and its related factors at Cipto Mangunkusumo Hospital
Jakarta, Indonesia.
Materials and Method: This cross-sectional descriptive study using Epworth
Sleepiness Scale (ESS) questionnaire to identify EDS in epilepsy patients visited
our neurology clinic during October-November 2015 consecutively. Related
factors that had been analyzed were age, sex, seizure type, epilepsy syndrome,
etiology, seizure frequency, nocturnal seizures, risk of Obstructive Sleep Apnea
(OSA), major depression, general anxiety disorder, anti epileptic drug, and
potentially drug resistant epilepsy (DRE). EDS was determined if ESS score > 10.
Risk of OSA was assessed by STOP-Bang questionnaire; major depression was
assessed by Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E)
Indonesian version; general anxiety disorder was assessed by Mini International
Neuropsychiatric Interview for International Classification of Diseases-10 (MINI
ICD-10). Data analysis was done using SPSS 17.0.
Results: Among 93 subjects, prevalence of EDS was 32.3%; female was more
common than male. Related factors that significantly influenced to EDS were age
< 35 years old, seizure frequency within 1 year >8 times, major depression and
potentially DRE. From multivariate analysis, there were 2 independent factors
that related to EDS that were major depression and potentially DRE.
Conclusions: EDS is common in epilepsy patients (32.3%). Major depression and
potentially DRE were related factors of EDS in epilepsy patients.
;Purpose: To determine the prevalence of excessive daytime sleepiness (EDS) in
epilepsy patients and its related factors at Cipto Mangunkusumo Hospital
Jakarta, Indonesia.
Materials and Method: This cross-sectional descriptive study using Epworth
Sleepiness Scale (ESS) questionnaire to identify EDS in epilepsy patients visited
our neurology clinic during October-November 2015 consecutively. Related
factors that had been analyzed were age, sex, seizure type, epilepsy syndrome,
etiology, seizure frequency, nocturnal seizures, risk of Obstructive Sleep Apnea
(OSA), major depression, general anxiety disorder, anti epileptic drug, and
potentially drug resistant epilepsy (DRE). EDS was determined if ESS score > 10.
Risk of OSA was assessed by STOP-Bang questionnaire; major depression was
assessed by Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E)
Indonesian version; general anxiety disorder was assessed by Mini International
Neuropsychiatric Interview for International Classification of Diseases-10 (MINI
ICD-10). Data analysis was done using SPSS 17.0.
Results: Among 93 subjects, prevalence of EDS was 32.3%; female was more
common than male. Related factors that significantly influenced to EDS were age
< 35 years old, seizure frequency within 1 year >8 times, major depression and
potentially DRE. From multivariate analysis, there were 2 independent factors
that related to EDS that were major depression and potentially DRE.
Conclusions: EDS is common in epilepsy patients (32.3%). Major depression and
potentially DRE were related factors of EDS in epilepsy patients.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maula N. Gaharu
"ABSTRAK
Tujuan: Untuk menilai pemanjangan Iatensi Event-Related Potential P300 auditorik pada
penderita lupus eritematosus sistemik (LES) berdasarkan beberapa variabel seperti umur, durasi penggunaan steroid, aktifitas penyakit dan depresi.
Metode: Penelitian potong lintang pada populasi penderita LES yang terdaftar di Yayasan Lupus Indonesia dan berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek) serta memenuhi kriteria inlusi.
Hasil: Didapatkan 55 penderita LES dan terutama perempuan kelompok usia 30-40 tahun (rerata 33,54 SD 8.41). Abnormalitas latensi P300 didapatkan pada 32 orang (58.2%) dan terdapat kemaknaan berdasarkan umur (p=0.000), aktifitas penyakit (p=0.015) dan fungsi kognitif (p=0.020). Kelompok usia muda dan derajat aktifitas penyakit pada analisa multivariat merupakan penentu abnormlitas latensi P300. Komponen gelombang lain seperti P200, N200 and P200 daiam batas normal baik latensi dan amplitudo.
Kesimpulan: P300 dapat digunakan untuk evaluasi aspek kognitif sebagai manifestasi sistim saraf pusat pada penderita LES."
2007
T21340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairunnisa
"Latar Belakang. Multipel sklerosis merupakan penyakit kronik progresif dimana selain dari berbagai gejala neurologis yang ada, gangguan tidur merupakan masalah yang juga memiliki dampak terhadap penyandang penyakit multipel skeloris. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan tidur ditemukan lebih tinggi pada penyandang penyakit multipel skeloris dibandingkan populasi normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi serta pola gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel sklerosis di Indonesia.
Metode. Penelitian ini merupakan studi deskritptif potong lintang. Populasi penelitian merupakan pasien dengan penyakit multiple sklerosis yang berobat di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data klinis dan pengambilan sampel dengan mengisi kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Assessment (PSQI) dan STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, serta The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI ICD-10). Data yang didapat kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data.
Hasil. Dari empat puluh dua subjek MS yang diikutsertakan pada penelitian ini, 32 (76,2%) subjek berusia kurang dari 35 tahun, 34 (81,0%) berjenis kelamin perempuan, 23 (54,8%) subjek tidak bekerja, 9 (21,4%) mengalami depresi, dan 9 (21,4%) memiliki EDSS 6 ke atas. Insomnia ditemukan pada 32 (76,2%) subjek, dengan proporsi yang lebih besar ditemukan pada subjek berusia 35 tahun ke atas (80% vs 75%, p=0,556), berjenis kelamin laki-laki (87,5% vs 73,5%, p=0,374), kelompok yang tidak bekerja (78,3% vs 73,7%, p=0,504), kelompok dengan depresi (77,8% vs 75,8%, p=0,638), dan kelompok dengan EDSS lebih dari sama dengan 6 (77,8% vs 75,8%, p=0,638). Seluruh subjek memiliki risiko OSA dengan 39 (92,9%) subjek memiliki risiko ringan-sedang dan 3 (7,1%) subjek memiliki risiko berat. Hanya laki-laki yang memiliki risiko terhadap kejadian OSA (37,5% vs 0%, p=0,005), tetapi tidak berkaitan terhadap kejadian insomnia.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel skeloris di Indonesia sangat tingi. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi dan pemeriksaan lebih lanjut guna menunjang diagnosis.

Background. Multiple sclerosis (MS) is a chronic progressive disease in which sleep disorder, besides various neurologic manifestations, highly impacts the patients but is often neglected in clinical settings. Several studies had discovered that sleep disorder was more prevalent in MS than general population. This study aimed to investigate the prevalence and characteristics of sleep disorder in MS patients in Indonesia.
Methods. A descriptive cross-sectional study involving MS patients was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta. In addition to clinicodemographic data collection, data regarding sleep quality, obstructive sleep apnea (OSA), and depression state were assessed using Indonesian previously-validated Pittsburgh Sleep Quality Index, STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, and The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10, respectively.
Results. Of forty MS participants included in this study, 29 (72.5%) aged less than 35 years, 32 (80.0%) were women, 20 (50.0%) were unemployed, 10 (25.0%) had depression, and 10 (25.0%) had Expanded Disability Scoring Scale (EDSS) of ≥6. Insomnia was found in 33 (82.5%) participants, of which larger proportion were male (100.0% vs 78.1%, p=0.309. Three (7,1%) participants had moderate risk of OSA. Only male had significant risk of OSA (moderate risk 25.0% vs 0%, p=0.036), but it did not associate with insomnia.
Conclusion. Sleep disorder in MS patients in Indonesia is prevalent. There was potencies of the risk of OSA in MS, especially in male. Detection of insomnia and risk OSA is important in MS comprehensive care."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Putra
"Latar Belakang. Kuesioner Boston Carpal Tunnel Syndrome (BCTQ) merupakan kuesioner yang dikembangkan untuk menilai keluhan pasien sindrom terowongan karpal dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji validasi dan reliabilitas kuesioner BCTQ ke dalam bahasa Indonesia. Metode. Melakukan adaptasi dan translasi transkultural, kemudian dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner BCTQ versi bahasa Indonesia. Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien dewasa dengan sindrom terowongan karpal yang datang ke Poliklinik Neurologi RSUPNCM yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil. Tiga puluh lima pasien memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar adalah perempuan (88,6%). Usia berkisar antara 45 tahun sampai 71 tahun, dengan prevalensi tertingi > 50 tahun (91,4%), pekerjaan sebagian besar subjek adalah sebagai ibu rumah tangga (77,1%). Pada uji validitas domain derajat keparahan gejala pada uji pertama memiliki nilai antara 0,484-0,781, pada retes didapatkan nilai 0,482 sampai 0,760, untuk domain status fungsional didapatkan nilai antara 0,495 sampai 0,825, dan nilai 0,615 sampai 0,783 pada retes. Hasil uji reliabilitas domain derajat keparahan gejala 0,876 pada uji pertama dan 0,874 pada uji kedua, untuk uji reabilitas domain status fungsional pada uji pertama sebesar 0,857 dan pada retes 0,854. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kuesioner oleh semua subjek kurang dari 10 menit, Kesimpulan. Kuesioner BCTQ versi Bahasa Indonesia valid dan reliabel dalam mengevaluasi keluhan serta gejala pada pasien dengan sindrom terowongan karpal.

Introduction. Boston Carpal Tunnel Syndrome Questionnaire (BCTQ) is a questionnaire developed to assess complaints and symptoms of carpal tunnel syndrome patients in carrying out daily activities. Aim of this study is to gain a valid and reliable Indonesian version of BCTQ. Methods. Trancultural adaptation and translation from the original version to Indonesian version, then validation and reliability test are carried out. The population of this study was adult patients with carpal tunnel syndrome who came to the neurology department RSUPNCM and met the inclusion criteria. Thirty-five patients met the inclusion criteria, majority are women (88,6%). Age ranged from 45-71 years, with the highest prevalence >50 years old. Most of the subjects were housewife. The value of symptoms severity scale domain between 0,484-0,781 for first test, 0,482-0,760 on the retest. For domain functional status 0,495-0,825 in the first tests, and 0,615-0,783 for the retest. The reliability test for symptoms severity scale domain for the first test is 0,876 and 0,874 for the retest. The realiability test value for functional status 0,857 for the first test and 0,854 for the retest. The time needed to complete the questionnaire is under 10 minutes. Conclusion. Indonesian version of BCTQ is a valid and reliable instrument to be used as instrument in evaluate complaint and symptoms in patients with carpal tunnel syndrome."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bazzar Ari Mighra
"

Latar belakang : Penegakan miastenia gravis (MG) didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sampai saat ini belum ada pemeriksaan yang menjadi standar utama dalam penegakan MG. Pemeriksaaan dalam penegakan MG yang hasilnya cepat, tidak invasif dan mudah dilakukan serta biayanya murah yaitu ice pack test (IPT) dan Repetitive Nerve Stimulation (RNS).

Metode: Disain penelitian potong lintang menggunakan data primer dan rekam medis pasien yang dicuriga MG dengan ptosis di Poliklinik Saraf, Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan Ruang Rawat Inap di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak Juli 2019 – November 2019.

Hasil: Dari 38 subjek penelitian dengan ptosis, didapatkan 35 subjek terkonfirmasi MG (SF-EMG/Achr antibodi/respon terapi), 19 di antaranya (54,29%) MG jenis okular dan 16 (45,71%) MG jenis general. Hasil ice pack test positif pada 29 subjek (76,3%). Hasil uji diagnostik pemeriksaan ice pack test diperoleh sensitivitas 80%, spesifisitas 66,67%, nilai AUC 73,3%; Hasil uji diagnostik pemeriksaan RNS diperoleh sensitivitas 60%, spesifisitas 100%, nilai AUC 80%; Sedangkan uji diagnostik kombinasi pemeriksaan diperoleh sensitivitas 94,28%, spesifisitas 66,67%, nilai AUC 80,5%.

Kesimpulan: Kombinasi pemeriksaan Ice Pack Test dan Repetitive Nerve Stimulation (RNS) memiliki nilai diagnostik yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis MG di RSUPN Cipto Mangunkusumo.

 


Background: Diagnosis of myasthenia gravis (MG) is based on clinical symptoms, physical examination and supporting examination, so far there has been no examination that has become the main standard in the enforcement of MGSupporting  examination of MG that are fast, non-invasive and easy to do are ice pack test (IPT) and Repetitive Nerve Stimulation (RNS).

Methods: This study was conducted with cross-sectional design using primary data and medical records of suspicious MG patients with ptosis in Cipto Mangunkusumo General Hospital between july-november 2019.

Results: Of the 38  subjects with ptosis, 35 subjects were confirmed MG with SF-EMG/AChR antibodies/respon therapy, 19 (54,29 %) ocular type and 16 (45,71%) general type. The ice pack test was positive in 29 subjects (76,3 %). The diagnostic test results of the ice pack test has sensitivity 80%, Specificity 66,67%, AUC(area under the curve)  value 73,3%; the RNS has sensitivity 60%, Specificity 100%, AUC value 80%; while the combination test has sensitivity 94,28%, Specificity 66,67% and AUC(area under the curve) value 80,5%

Conclusions: The combination of IPT and RNS has good diagnostic value, so that it can be used as a supporting examination to diagnosis of MG in Cipto mangunkusumo general hospital.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Katarin Adiarsih
"Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui prevalensi nyeri bahu kronik dan faktor-faktor yang berhubungan pada perawat di Rumah Sakit H Jakarta Timur. Penelitian dilakukan secara potong lintang. Data dikumpulkan dengan kuesioner, wawancara dan pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan Lingkup Gerak Sendi dan Skala Analogue Visual. Total responden adalah 114 orang diambil berdasarkan sampel berstrata proporsional.
Hasil Prevalensi nyeri bahu kronik adalah 19,3 %. Pada analisis multivariat dengan mengambil p < 0,1 , terdapat hubungan bermakna antara nyeri bahu kronik dengan umur di mana umur > 40 tahun meningkatkan risiko keluhan nyeri bahu kronik lima kali lebih banyak dibandingkan dengan umur < 40 tahun (p=0,034), terdapat hubungan bermakna antara nyeri bahu kronik dengan panjang jangkauan tangan di mana perawat dengan panjang jangkauan tangan pendek (pada perempuan < 69,0 em dan pada laki-laki < 72,9 em) berisiko empat kali lebih banyak mengalarni keluban nyeri bahu kronik dibandingkan dengan panjang jangkauan tangan panjang (pada perempuan < 69,0 em dan pada laki-laki < 72,9 em). ( p 0,016) serta terdapat hubungan bermakna antara faktor skor tugas perawat dengan keluban nyeri bebu kronik di mana perawat dengan skor tugas berat mempnyai risiko untuk mengalami keluhan nyeri bahu kronik sebanyak tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan perawat dengan skor tugas ringan/sedang ( F0,40l). Pada kedua analisis tidak terdapat hubungan bermakna antara keluhan nyeri bebu kronik dengan stres kerja.
Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan hubungan bermakna antara keluhan nyeri bahu kronik dengan factor umur 40 tahun, panjang jangkauan tangan pendek (perawat perempuan <69,0 cm dan perawat laki-laki <72,9 cm) serta skor tugas perawat berat (>144,06).

This study aim to identify the prevalence of Persisten Shoulder pain and factors related among H hospital nurses at East Jakarta. This study used a cross sectional design, data were collected by using questionnaire , anamnesis and Physical examination, Range of motion and Visual Analogue Scale. Demography and life style factor were collected by questionnaire. A total ll4 subjects were selected by using stratified proportional sampling.
Results Prevalence of persisten shoulder pain among H hospital nurses is 19,3 %. Multivariate analysis shown significancy about age > 40th to persistent shoulder pain, the risk is fifth times ( p>=0,034), significancy about length of ann short ( < 69,0 em at female and < 72,9 em at male), the risk is fourth times (p= 0,016), significancy about score heavy task at work to persisten shoulder pain, the risk is three times. (p = 0,080). Psikosocial factors was not related with persistent shoulder pain.
Conclusion this study shown significancy about persisten shoulder pain and Age that age > 40 th increased risk of persistent shoulder pain, significancy ahout persisten Shoulder pain and Length of arm short(< 69,0 em to female < 72,9 em to male) increased the risk of persistent shoulder pain, significancy about score heavy task at work that score heavy task increased risk of persistent shoulder pain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T20874
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rehatta Linda
"ABSTRAK
Latar belakang Sindrom Terowongan Karpal merupakan salah satu penyehab timbulnya kelainan tangan yang paling cepat pada pekerja yang menyebabkan penurunan produktivitas den peningkatan biaya pengobatan pekerja. Pekelja call center menggunakan komputer sebagai sarana bekerja diperkirakan menderita Sindrom Terowongan Karpal cukap besar, angka pasti belum didapatkan karena hal ini kurang mendapat perhatian. Metode Penelitian ini menggunekan metode Potong lintang , deta diambil dari pekerja call Canter PTX, pengambilan deta selamat bulan febmari-maret 2009. menggunakan total sampel, didepatkan 153 pekerja, 9 tidek bersedia menjadi responden dan 27 dieksekusi sehingga didapatkan jumlah responden 117 pekerja. Hasn dan kesimpulan penelltian Diperoleh bahwa prevalensi STK call center sebesar 5,9%, umur 21-30 tahun sebesar 96.6%, jenis kelamin perempuan sebesar 62,4%, pendidikan Sl sebesar 65o/o, IMT normal sebesar 52,9''/o, masa kerja >2 tahun sehasar 60,7%, tidak pernah mengikuti pelatihan K3 sebesar 96,6 o/o, tidak menggunakan APD sebesar 98,3, tidak melakukan stretching sebesar 88,9%, ditemukan hubungan yang bermakna antara STK dengan pelatihan K3 {jF0,033) dengan OR 0,002 (CI 95%= 0,0- 0,6 ).

Abstract
Background Carpal Tunnel Syndrome is one of the fastest causes of hand dysfunction among workers which is causing decrease in productivities and increase in worker's costs therapy. call centers workers are using computers as an occupational instruments are estimated to suffer carpal Tunnel Syndrome in big number, the exact number is not yet known because the lack of attention. Methods The study used the cross-sectional method, from cal! center PT.X , data was taken from PT X call center workers during February -march 2009. used total sample methode, found 153 workers, 9 workers refused from being respondence, and 27 workers were exculuded, 117 workers were found as the total respondence. Results and conclusion
The study show that CTS call center prevalence was 5,9"A. , The Age group of 21-30 years was 96,6%, female were 62,4%, 65% bed bachelor degree, 52,9% had none BMI, 60,7% had worked over 2 years, 96,6% had never followed occupational health and safety training, 98,3% found never used PPE, 88,9"-4 bad never done streching activities, significant association was found between CTS with occupational health and safety training (p=Q,033) dengan OR 0,00 2 (CI 95o/o= 0,0- 0,6 )."
2009
T32832
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>