U. Maman Kh.
Abstrak :
Terdapat dua pemikiran global tentang sistem demokrasi, sekaligus sistem kabinet di Indonesia, yang muncul sejak tahun 1930-an sampai tahun 1950-an, yaitu: yang cenderung menginginkan sistem demokrasi parlementer dan yang tidak menginginkan sistem demokrasi parlementer dan yang tidak menginginkan sistem demikian. Dalam sidang-sidang BPUPKI dan dalam masa peralihan dari RIS ke Negara Kesatuan terjadi perdebatan antara dua kelompok tersebut. Soekarno, Supomo, dan Mansyuni memiliki pendapat yang sama _ atau hampir sama _ dalam hal bentuk kabinet: cenderung non-parlementer. Sementara Hatta dan Syahrir menginginkan sistem parlementer, yaitu system pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen. Mereka _ yang memiliki titik temu pendapat itu _ seringkali berangkat dari kerangka dasar pemikiran yang berbeda. Dalam sidang-sidang BPUPKI, kelompok non- parlementer Nampak mendapat kemenangan. Kemenangan ini ditunjang oleh: Indonesia masih berada di bawah pemerintahan Jepang dan belum membuka hubungan dengan Barat; partai-partai politik yang cenderung ingin memperoleh kekuasaan belum terbentuk; posisi Sukarno dan Supomo sangat efektif untuk memperjuangkan cita-cita politiknya dalam penyusunan UUD 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, keadaan berubah. Pengaruh Barat boleh dikatakan besar, dan RI menunjukkan hasrat ingin berunding dengan Belanda. Keadaan demikian dimanfaatkan oelh Syahrir untuk memperjuangkan cita-cita politiknya dengan alas an untuk menyelamatkan negara dari kesulitan. Titik temu pemikiran antara Hatta dengan Syahrir menyebabkan usaha Syahrir berhasil dengan mudah. Maka, terjadilah sistem demokrasi parlementer walaupun UUD 1945 _ yang menginginkan non-parlementer _ masih tetap berlaku. Sukarno tidak bekeberatan terhadap perubahan ini karena ia menginginkan diplomasi dengan dunia Barat. Perubahan yang diusulkan oelh Syahrir itu menimbulkan akibat yang besar. Yaitu : elit politik Indonesia menjadi terbiasa dengan sistem parlementer; Indonesia mengenal sistem banyak partai. Mereka _ partai-partai politik _ tentunya memiliki kepentingan masing-masing. Dan sistem parlementer melicinkan jalan bagi mereka untuk memperjuangkan kepentingan mereka _ atau berkuasa. Dalam Konferensi Inter-Indonesia dan perundingan RIS-RI, ketika membentuk negara kesatuan, arus parlementer Nampak mengalir dengan derasnya. Tampilnya Hatta sebagai perdana menteri bahkan dianggap menghalangi untuk melaksanakan sistem parlementer secara penuh. Dalam perundingan RIS-RI, Masyumi mencoba menentang arus sistem parlementer tetapi tidak berhasil. Setelah tidak berhasil, Masyumi pun harus memperjuangk.an kepentingan mereka. Oleh karena itu, Natsir -- yang semula tidak setuju terhadap sistem Parlementer -- menerima mandat menjadi formatur kabinet. Dengan denikian, terwujudlah sistem demokrasi parlementer bedasarkan UUDS 1950, yang di awali oleh Kabinet Natsir.
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library