Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kenneth Gad Liempy
"Latar belakang: Core biopsy transtorakal merupakan metode biopsi tumor intratorakal yang digunakan untuk mendapatkan sampel histopatologi demi menentukan penatalaksanaan. Core biopsy dipandu gambar pindaian CT toraks di ruang operasi dilakukan terutama bagi pasien yang tidak mampu berbaring, namun belum ada studi akurasi diagnostik baik di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui akurasi diagnostik core biopsy transtorakal dipandu gambar pindaian CT toraks di ruang operasi untuk tumor intratorakal.
Metode: Uji diagnostik dengan studi potong lintang pada semua pasien yang menjalani core biopsy transtorakal di ruang operasi di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan sejak Januari 2016-Desember 2019. Tindakan dipandu gambar pindaian CT toraks, menggunakan jarum core 18G, hasil dikelompokan menjadi ganas, jinak, dan non-diagnostik. Nilai sensitivitas, spesifisitas, akurasi, nilai duga positif, dan nilai duga negatif sebagai luaran untuk menilai akurasi diagnostik.
Hasil: Penelitian melibatkan 105 subjek dengan hasil akurasi diagnostik 86,7%, sensitivitas 83,1%, spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 71% dalam mendiagnosis keganasan tumor intratorakal. Komplikasi pneumotoraks 4,8%, hemotoraks 1%, tidak ada hemoptisis maupun mortalitas.
Kesimpulan: Core biopsy transtorakal dipandu gambar pindaian CT toraks di ruang operasi memperlihatkan akurasi diagnostik 86,7% pada tumor intratorakal dan relatif aman.

Background: Transthoracic needle core biopsy is one of biopsy method of intrathoracic tumors to gain histopathology sample for treatment decision. We performed CT image-guided transthoracic core biopsy in operation theatre for patient who are not able to/tolerate lie down position. Unfortunately, there are still no diagnostic accuracy study in Indonesia.
Objective: to aim diagnostic accuracy of CT image-guided transthoracic needle core biopsy in operating theatre for intrathoracic tumors.
Methods: All patients underwent CT image-guided transthoracic needle core biopsy since January 201-December 2019 are review retrospectively. Eighteen gauge automated core devices were used, and guided by CT image, core biopsy results were divide in to malignant, non-malignant, and non-diagnostic. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, and accuracy are main outcome to describe diagnostic accuracies.
Results: This study enrolled 105 subjects which had sensitivity of 83,1%, specificity of 100%, positive predictive value of 100%, negative predictive value of 71%, and diagnostic accuracy of 86,7% for intrathoracic malignancies. Complications of pneumothorax are 4,8% and hemothorax are 1%. No mortality was reported.
Conclusion: CT image-guided transthoracic needle core biopsy in operating theatre for intrathoracic tumors had 86,7% of diagnostic accuracy, and a relatively safe procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisa Imaduddin
"Latar Belakang : Coronavirus disease 2019 (COVID-19) menjadi pandemi pada Maret 2020. Luaran penyakit ini sangat bervariasi, hingga mengakibatkan kematian. Mortalitas COVID-19 dipengaruhi oleh banyak faktor. Pemeriksaan radiografi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada COVID-19 untuk skrining, diagnosis, menentukan derajat keparahan penyakit dan memantau respons pengobatan. Foto toraks merupakan modalitas yang banyak tersedia di berbagai fasilitas layanan kesehatan, murah, mudah, dan dapat dilakukan di tempat tidur pasien. Skor Brixia merupakan salah satu sistem penilaian derajat keparahan foto toraks yang mudah dan cepat.
Metode : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medik awat inap RSUP Persahabatan yang dipilih secara acak sistematis. Subjek penelitian adalah pasien COVID-19 yang dirawat pada Maret hingga Agustus 2020. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : Pada penelitian ini didapatkan total 313 subjek dengan pasien yang memiliki luaran meninggal sebanyak 65 subjek dan yang hidup sebanyak 248 subjek. Nilai tengah skor Brixia 8 dengan nilai paling rendah 0 dan paling tinggi 18. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 185 subjek (59,1%). Sebanyak 79 subjek (25,2%) merupakan pasien berusia lanjut (> 60 tahun). Status gizi subjek terdiri atas gizi cukup (53,7%), gizi lebih (42,5%), dan gizi kurang (3,8%). Pasien yang memiliki komorbid sebanyak 143 subjek (45,7%) dengan jenis komorbid terbanyak adalah hipertensi dan diabetes melitus. Pada titik potong 7,5, skor Brixia memiliki nilai sensitivitas 61,5% dan spesifisitas 50%. Terdapat hubungan bermakna skor Brixia dengan status gizi (p < 0,001) dan ada tidaknya komorbid (p 0,002). Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia (p 0,420), jumlah komorbid (p 0,223) dan mortalitas (p 0,121) dengan skor Brixia. Skor Brixia 16-18 memiliki risiko mortalitas 3,29 kali lebih besar daripada skor Brixia 0-6.

Background : Coronavirus disease 2019 (COVID-19) became a pandemic in March 2020. The outcome of this disease varies widely, including death. There are many risk fators for mortality in COVID-19. Imaging is one of the supporting examinations that can be performed on COVID-19 for screening, diagnosis, determining the severity of the disease and monitoring response to treatment. Chest X-ray is a modality that is widely available in various health care facilities, is cheap, easy, and can be done bedside patient. The Brixia score is an easy and fast chest radiograph severity rating system.
Methods : The design of this study was a retrospective cohort using medical records of inpatients at Persahabatan General Hospital which were selected systematically random sampling. The research subjects were COVID-19 patients who hospitalized from March to August 2020. The study subjects were selected according to the inclusion and exclusion criteria.
Results : In this study, a total of 313 subjects were obtained with 65 died and 249 survived. The median of Brixia score was 8 with the lowest score 0 and the highest score 18. The male population was 185 subjects (59.1%). Total of 79 subjects (25.2%) were elderly patients (> 60 years). The subjects are grouped into three categories nutritional status based on body mass index. There were normal (53.7%), overweight (42.5%), and malnutrition (3.8%). Patients who had comorbidities were 143 subjects (45.7%). The most frequent comorbidities were hypertension and diabetes mellitus. At the cut point of 7.5, the Brixia score has a sensitivity value 61.5% and a specificity 50%. There is a significant relationship between the Brixia score and nutritional status (p < 0.001) and the presence or absence of comorbidities (p 0.002). There was no significant relationship between age (p 0.420), number of comorbidities (p 0.223) and mortality (p 0.121) with the Brixia score. Brixia score of 16-18 has a mortality risk 3.29 times higher than Brixia score of 0-6.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Febriandri
"Latar belakang: Pasien bekas TB yang telah diobati akan mengalami perubahan struktur anatomi paru permanen sehingga dapat meningkatkan risiko kejadian gejala sisa. Gejala sisa yang terjadi dapat meninggalkan lesi di paru dan ekstra paru. Pada lesi paru biasanya diawali dengan perubahan struktur bronkial dan parenkim paru seperti distorsi bronkovaskuler, bronkietaksis, emfisematus dan fibrosis. Fungsi paru pada pasien 6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan TB kategori I ditemukan nilai tes fungsi paru cenderung lebih rendah walapun sudah menyelesaikan obat anti tuberculosis (OAT) selama 6 bulan.
Metode: penelitian menggunakan metode potong lintang pada 65 pasien yang mendapatkan OAT lini I di Poli Paru RSUP persahabatan. Subjek penelitian akan menjalani pemeriksaan spirometri, DLCO, darah rutin dan HRCT toraks.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median usia subjek 45 tahun dengan usia paling muda 18 tahun dan usia paling tua 60 tahun. Jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan laki-laki sebanyak 33 subjek (51%). Sebanyak 66% subjek terdapat kelainan spirometri. Hasil spirometri dengan kelainan terbanyak yaitu gangguan restriksi dan obstruksi (campuran) pada 29 (44%) subjek, gangguan restriksi sebanyak 13 (21%) subjek, satu (1%) subjek gangguan obstruksi dan 22 (33%) subjek tidak ditemukan kelainan. Derajat lesi pada HRCT toraks menggunakan modifikasi Goddard score didapatkan derajat lesi ringan sebanyak 33 (51%), sedang 20 (31%), berat 8 (12%) subjek. Karakteristik lesi terbanyak pada parenkim paru secara berurutan fibrosis, kalsifikasi, bullae, retikuler opasitas, ground glass opacity (GGO), nodul, konsolidasi dan jamur. Lesi saluran napas yang terbanyak secara berurutan yaitu bronkietaksis, ateletaksis, dilatasi trakea. Gangguan kapasitas difusi terbanyak yaitu derajat ringan 25 (38%), moderate 22 (33%) dan berat 3 (5%). Pada penelitian ini ditemukan perbedaan bermakna antara derajat kelainan kapasitas difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks dan terdapat risiko 8,68 kali (IK 95% 2,3-32,72)..
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara derajat gangguan difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks. Penurunan fungsi paru setelah menyelesaikan pengobatan TB dapat terjadi sehingga diperlukan pemeriksaan fungsi paru dan HRCT toraks secara berkala.

Background: Former TB infection patients will experienced changes in anatomical structure of the lung. Hence, it wil increased risk of sequelae. Sequelae can occur in extra pulmonary. Lung lesions changes in the structure of the bronchial and lung parenchyma such as bronchovascular distortion, bronchietacsis, emphysema and fibrosis. Lung functions in patients 6 months after completing TB treatment found that lung function test tend to be lower even after completing treatment for 6 months.
Methods: This studi used a cross-sectional method on 65 patients whom received anti tuberculosis drugs at Lung Polyclinic, Persahabatan Hospital. Research subjects will undergo spirometry, DLCO, blood test and HRCT thorax.
Results: In this study median age of subjects was 45 years. The youngest was 18 years and oldest was 60 years. Male population was 33 (51%) subjects. Total 66% subjects have lung function impairment. Resulst of spirometry showed mixed disorder in 29 (44%) subjects, restriction disorder in 12 (19%) subjects, one subjects with obstructive disorders and 22 (33%) subjects are normal. Based on Goddard modificaion score showed mild degree in 33 (51%) subects, moderate 20 (31%) dan severe 8 (12%) subjects. The most characteristic lesions in the lung parenchymal were fibrosis, calcification, bullae, reticular opacity, GGO, nodules, consolidation and fungi. The most common airway lesions were bronchietacsis, atelectasis and trachel dilatation. The most common lung diffusion impairment is mild 25 (38%), moderate 22 (33%) and severe 3 (5%). In this study found that there was a significant difference among lung diffusion impairment and degree of lesion based on HRCT thorax with OR 8.68 (CI 95% 2.3- 32.72).
Conclusion: There was significant relationship between lung diffusion impairment and degree of lesions based on HRCT thorax. Decrease lung function after completing TB treatment can occur so that routine lung function test and HRCT thorax imaging are recommended.
"
2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Agustio Zulhadji
"Latar belakang : Berbagai penelitian menunjukkan bahwa setelah pengobatan tuberkulosis (TB) selesai dan dinyatakan sembuh, sebagian besar penyintas TB masih mengalami gejala sisa. Saat ini program penanggulangan TB sudah berjalan dengan baik, tetapi tindakan rehabilitasi pada pasien yang masih mengalami keterbatasan kapasitas fungsional dan faal paru pasca tuberkulosis masih belum menjadi prioritas program nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mencari apakah terdapat hubungan antara luas lesi pada foto toraks yang sudah menjadi standar pemeriksaan pada pasien dengan pengobatan TB dengan kapasitas fungsional lewat pemeriksaan uji latih jantung paru (ULJP) dan faal paru lewat pemeriksaan spirometri, sehingga bisa menjadi alat skrining pasien yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Metode : Desain penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan metode potong lintang untuk mengetahui luas lesi foto toraks, uji latih jantung paru dan spirometri pada pasien bekas TB paru sensitif obat di RSUP Persahabatan. Hasil : Didapatkan 45 subjek penelitian yang memenuhi kriteria dan bersedia ikut penelitian. Terdapat korelasi negatif bermakna antara luas lesi foto toraks dengan parameter ULJP yaitu VO2 Max (r = −0,389) dan Minute Ventilation (r = −0,435), dengan nilai p masing-masing 0,008 dan 0,003. Terdapat korelasi negatif bermakna antara luas lesi foto toraks dengan parameter spirometri yaitu VEP1 (r = −0,489) dan KVP (r = −0,578), dengan nilai p masing-masing 0,001 dan <0,001, Variabel perancu yang berpengaruh adalah diabetes mellitus dengan koefisien regresi -9,756 terhadap peak minute ventilation dengan nilai p = 0,023. Kesimpulan : Terdapat hubungan antara luas lesi foto toraks dengan ULJP dan spirometri.

Background : Multiple studies show that following the completion of tuberculosis (TB) treatment and successful recovery, the majority of TB survivors still experience residual symptoms. While the TB control program is currently well established, the rehabilitation of individuals with diminished functional capacities post-tuberculosis remains a secondary concern within the national program. This study aims to determine whether there were correlation between chest x-ray lesion area which has become a standard examination in patients undergoing TB treatment, with functional capacity as measured by cardiopulmonary exercise testing (CPET) and lung function assessed through spirometry, so it can be a screening tool for patients who require further examination. Methods : The design of this study was descriptive observational with a cross-sectional method to determine chest x-ray lesion area, cardiopulmonary exercise testing and spirometry in post drug susceptible pulmonary TB patients at Persahabatan Hospital. Results : There were 45 subjects who met the criteria and were agree to take part in the research. There was a significant negative correlation between chest x-ray lesion area and CPET parameters VO2 Max (r = −0.389) and Minute Ventilation (r = −0.435), with p values of 0.008 and 0.003, respectively. There was a significant negative correlation between chest x-ray lesion area and spirometry parameters, FEV1 (r = −0.489) and FVC (r = −0.578), with p values of 0.001 and <0.001, respectively. The significant confounding variable is diabetes mellitus with a regression coefficient -9.756 to peak minute ventilation with p value = 0.023. Conclusions : There were negative correlation of chest x-ray lesion area with CPET and spirometry in post drug susceptible pulmonary TB patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marscha Iradyta Ais
"Latar Belakang: Jumlah kasus KPKBSK diperkirakan 85% dari seluruh kasus kanker paru dan 40% diantaranya adalah jenis adenokarsinoma. Sebanyak 10%-30% pasien adenokarsinoma mengalami mutasi EGFR dan mendapatkan terapi EGFR-TKI. Mayoritas pasien KPKBSK memiliki respons dan toleransi baik terhadap terapi EGFR- TKI tetapi sebagian kecil pasien mengalami penyakit paru interstisial akibat EGFR- TKI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gambaran penyakit paru interstisial pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendeketan kohort retrospektif yang dilakukan bulan Januari 2021 hingga Juni 2022. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang mendapatkan terapi EGFR-TKI. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalu data sekunder berupa rekam medis dan hasil CT scan toraks pasien yang kontrol di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 73 subjek penelitian, pasien KPKBSK dengan mutasi EGFR yang mendapatkan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan. Sebanyak 12 dari 73 subjek penelitian mengalami gambaran ILD yang dievaluasi berdasarkan CT scan toraks RECIST I dan II dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki (22,2%), kelompok usia 40-59 tahun (19,4%), perokok (24,1%), indeks brinkman berat (42,9%) dan mendapatkan terapi afatinib (26,1%). Proporsi gambaran ILD pada pasien KBPKBSK dengan terapi EGFR-TKI adalah opasitas retikular (58,3%), parenchymal band (33,3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) dan crazy paving pattern (8,3%). Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, jenis EGFR-TKI, riwayat merokok, indeks brinkman, riwayat penyakit paru dan tampilan status terhadap gambaran ILD.
Kesimpulan: Gambaran ILD pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI meliputi opasitas retikular, parenchymal band, ground-glass opacities, traction bronchiectasis dan crazy paving pattern. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap gambaran ILD.

Background: The number of cases of NSCLC is estimated around 85% of all lung cancer cases and 40% among them are adenocarcinoma. Approximately 10%-30% of adenocarcinoma patients have EGFR mutations and receive EGFR-TKI therapy. The majority of NSCLC patients have a good response and tolerance to EGFR-TKI therapy, but a small group of patients experience EGFR-TKI induced interstitial lung disease. This study aims to determine the proportion of features of interstitial lung disease ini NSCLC patients treated with EGFR-TKI at Persahabatan Hospital.
Methods: This study was an analytic observational with a retrospective cohort approach that was conducted from January 2021 until June 2022. The subject were NSCLC patients who received EGFR-TKI treatment. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data from medical record and chest CT scan results of patients controlled at oncology polyclinic at Persahabatan Hospital.
Result : In this study, there were 73 subjects of NSCLC with EGFR mutations and received EGFR-TKI therapy at Persahabatan Hospital. There were 12 out of 73 subjects had ILD features which were evaluated based on RECIST I and II chest CT scan with predominant of male (22.2%), age group 40-59 years old (19.4%), smokers (24.1%), severe Brinkman index (42.9%) and received afatinib (26.1%). The proportion of ILD features in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy are reticular opacities (58.3%), parenchymal bands (33.3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) and crazy paving pattern (8.3%). The results of bivariate and multivariate analyzes showed that there was no differences between factors such as sex, age, type of GEFR-TKI, smoking history, Brinkman index, history of lung disease and performance status with features of ILD.
Conclusion: Features of ILD in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy include reticular opacities, parenchymal bands, ground-glass opacities, traction bronchiectasis and crazy paving pattern. There is no statistically significa
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library