Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sandra Listiarini
Abstrak :
Latar Belakang: Pertumbuhan janin terhambat (PJT) merupakan suatu kondisi dimana pertumbuhan janin tidak mencapai potensi genetiknya. Diagnosis PJT dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) serial, namun pemeriksaan USG memiliki beberapa keterbatasan. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) plasenta terutama MRI difusi, yaitu Diffusion Weighted Image (DWI) dan Apparent Diffusion Coefficient (ADC), merupakan modalitas pemeriksaan yang dapat mengatasi keterbatasan dari pemeriksaan USG dengan melihat perubahan di level mikrostruktural secara tidak langsung. Tujuan: Melihat peran nilai ADC plasenta dalam mendiagnosis PJT. Metode: Pencarian sistematis menggunakan data dasar Scopus dan PubMed dilakukan pada September 2021. Studi yang membandingkan pemeriksaan MRI DWI-ADC plasenta antara pasien yang memiliki kehamilan normal dan PJT atau insufisiensi plasenta di suia kehamilan trimester kedua dan ketiga dengan pemeriksaan USG dan atau kondisi bayi saat dilahirkan sebagai referensi baku, diidentifikasi. Analisis statistik dari nilai ADC plasenta antara pasien normal dan PJT diuji. Hasil: Empat studi diidentifikasi. Didapatkan nilai rerata ADC plasenta pada janin PJT dan/atau insufisiensi plasenta lebih rendah dibandingkan dengan janin normal. Namun, batas nilai rerata ADC plasenta pada janin dengan PJT dan janin normal sulit untuk ditentukan, karena hasil yang tumpang tindih antara janin dengan PJT dan janin normal. Kualitas bukti sedang. Kesimpulan: Penurunan nilai rerata ADC plasenta dapat membantu dalam mendiagnosis adanya PJT pada kehamilan trimester kedua dan ketiga. ......Background: Intrauterine growth retardation (IUGR) is a condition in which the growth of the fetus does not reach its genetic potential. The diagnosis of IUGR is made by serial ultrasonography (USG), but ultrasound examination has some limitations. Magnetic resonance imaging (MRI) of the placenta, especially diffusion MRI, which are Diffusion Weighted Image (DWI) and Apparent Diffusion Coefficient (ADC), is an examination modality that can overcome the limitations of ultrasound examination by looking at changes in the microstructural level indirectly.  Objectives: To evaluate the role of placental ADC values ​​in diagnosing IUGR. Methods: A systematic search of Scopus and PubMed database were performed through September 2021. Studies comparing DWI-ADC MRI of the placenta between patients who had a normal pregnancy and IUGR or placental insufficiency in the second and third trimesters of pregnancy with ultrasound examination and/or the condition of the baby at birth as a standard reference, were identified. Statistical analysis of placental ADC values ​​between normal and IUGR patients was tested. Results: Four studies were identified. The mean value of placental ADC in IUGR and/or placental insufficiency was lower than in normal fetuses. However, the cut-off values of mean placental ADC ​​in IUGR and normal fetuses are difficult to determine, because of the overlapping results between IUGR and normal fetuses. The quality of evidence was moderate.  Conclusion: Decreased mean placental ADC values can help in diagnosing the presence of IUGR in the second and third trimesters of pregnancy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Sunny
Abstrak :
Latar belakang: MRCP merupakan teknik pencitraan tidak invasif untuk mengevaluasi anatomi dan mendeteksi kelainan sistem bilier. Cairan di saluran bilier akan memperlihatkan sinyal yang tinggi pada MRCP. Salah satu keterbatasan pemeriksaan MRCP ialah cairan di saluran gastrointestinal juga memberikan sinyal tinggi yang dapat mengganggu evaluasi saluran bilier. Sari buah nanas dapat menjadi kontras oral negatif untuk menurunkan sinyal di gastrointestinal. Belum terdapat penelitian penggunaan sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP di Indonesia dan belum terdapat penelitian yang menilai visualisasi cabang-cabang duktus intrahepatikus setelah pemberian sari buah nanas. Tujuan: Mengukur perbedaan SNR gaster dan duodenum serta perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sesudah pemberian sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP. Metode: Dilakukan pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas pada subjek penelitian. Mengukur perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum serta mengukur perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan perubahan tingkat visualisasi dianalisis dengan uji McNemar untuk menilai diskordans. Hasil: Didapatkan 25 subjek penelitian yang menjalani pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Terdapat penurunan bermakna SNR gaster dan duodenum setelah pemberian sari buah nanas, 127,1 (18,7-1194,6) menjadi 42.2 (4,2-377,1) untuk gaster dan 64,1 (3,8-613.4) menjadi 44,6 (6,5-310,3) untuk duodenum (p < 0,05). Terdapat perubahan bermakna tingkat visualisasi duktus bilier intrahepatikus (p < 0,05, diskordans >50%) dengan peningkatan tingkat visualisasi duktus intrahepatikus kanan segmen anterior pada 66% pengamatan, duktus intrahepatikus kanan segmen posterior pada 58% pengamatan, dan 70% pengamatan untuk duktus intrahepatikus kiri. Simpulan: Pemberian sari buah nanas dapat menurunkan sinyal gaster dan duodenum pada pemeriksaan MRCP dan mempengaruhi tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus.
Background: MRCP is a non-invasive imaging technique for evaluating anatomy and detecting abnormalities of the biliary system. Fluid in biliary tract will show high signal on MRCP. One of the limitations of MRCP is high signal in gastrointestinal fluid which can interfere biliary tract evaluation. Pineapple juice as negative oral contrast can reduce signal in gastrointestinal tract. There have been no studies on the use of pineapple juice for MRCP in Indonesia, and no studies assessed the visualization of intrahepatic ductal branches after administration of pineapple juice. Objective: Measuring difference in gastric and duodenal SNR and changes of visualization of intrahepatic biliary ductal branches after administration of pineapple juice on MRCP. Methods: MRCP before and after administration of pineapple juice were performed on subjects. Gastric and duodenal SNR mean difference were measured, and analysis were done with Wilcoxon test. Level of visualization of intrahepatic biliary ductal branches were also measured and analysed with McNemar test for discordances. Results: There were 25 subjects underwent MRCP. Gastric and duodenal SNR were statistically decreased after administration of pineapple juice, 127.1 (18.7-1194.6) vs 42.2 (4.2-377.1) and 64.1 (3.8-613.4) vs 44.6 (6.5-310.3) respectively (p <0.05). Statistically significant difference was observed in visualization of intrahepatic ductal branches (p<0,05), discordance >50%) with increase in visualization of right duct anterior segment in 66% observation, right duct posterior segment in 58% observation, and 70% observation in left intrahepatic bile duct. Conclusion: Use of pineapple juice as negative oral contrast significantly reduce gastric and duodenal signal in MRCP also affect visualization of the intrahepatic biliary duct branches.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nane Siti Nurhasanah
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang dan tujuan: Karsinoma pankreas merupakan keganasan gastrointestinal kedua terbanyak dan merupakan salah satu tumor dengan angka kematian tinggi. Operasi reseksi merupakan satu-satunya terapi kuratif. Kegagalan dalam evaluasi preoperatif dari menyebabkan resiko operasi, terlambatnya pasien mendapat terapi paliatif serta meningkatkan biaya pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penilaian resektabilitas karsinoma pankreas pada CT-scan abdomen dibandingkan penemuan operasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Dilakukan pembacaan ulang CT scan pasien karsinoma pankreas pada sistem PACS Departemen Radiologi RSCM dan dibandingkan dengan laporan operasi pada rekam medis. Hasil: Uji statistik McNemar dari hubungan CT-scan dan operasi n=21 menunjukan p > 0,99, dengan nilai R = 0,52 p = 0,017 . Uji McNemar dari hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan teknik pemeriksaan CT-scan p > 0,05.Uji McNemar hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan interval CT-scan dan operasi p > 0,99. Uji McNemar hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan lama sakit p > 0,05. Kesimpulan: Terdapat kesesuaian antara gambaran CT-scan abdomen dengan penemuan saat operasi terhadap keterlibatan vaskuler pada karsinoma pankreas. Lama sakit, interval CT-scan dan operasi serta teknik pemeriksaan CT-scan memperlihatkan kecenderungan tidak berhubungan.Kata Kunci: CT-scan abdomen; karsinoma pankreas; laparatomi; resektabilitas ABSTRACT
Background and Objective : Pancreatic carcinoma is malignancy in gastrointestinal with high mortality. Surgery is the only curative therapy. Failure evaluation prior to surgery leads to the risk of non-curative surgery, delayed palliative and increased treatment costs. This study aims to evaluate the resectability assessment of pancreatic carcinoma in preoperatif CT-scan compared to surgical findings and the factors that influence it. Methods : Patients with pancreatic carcinoma whose CT scans were in the PACS system of the Radiology Department RSCM reevaluated and compared with surgical reports. Results : McNemar 39;s analysis of the preoperative CT-scan and surgical findings n=21 p>0.99, with R=0.52 p=0.017 . The McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT scan and surgical findings with CT-scan technique p>0.05. McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT-scan and surgical findings with CT-scan interval and surgery p> ?? ??0.99. McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT-scan and surgical findings with prolonged illness p> ?? ??0.05. Conclusion : There is a suitability between preoperative abdominal CT-scan and the surgical findings of vascular involvement in pancreatic carcinoma. Length of prolonged illness, interval between CT-scan and surgery as well as CT-scan technique showed a tendency not to correlate.
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Gema Ramadhan
Abstrak :
Latar belakang:Atresia bilier merupakan salah satu penyebab ikterus pada neonatus yang patologis. Tatalaksana primer pada atresia bilier adalah prosedur portoenterostomi (Kasai). Tanpa tatalaksana yang adekuat, bayi dengan atresia bilier dengan cepat mengalami fibrosis dan sirosis hepar. Penelitian sebelumnya menunjukkan potensi ultrasonografi shearwave elastography (SWE) sebagai metode penilaian derajat fibrosis hepar secara kuantitatif dan cepat. Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara penilaian SWE dengan keberhasilan prosedur Kasai. Metode : Dilakukan studi kasus kontrol untuk menilai hasil SWE pada 23 pasien atresia bilier (11 berhasil, 12 tidak berhasil) yang menjalani prosedur Kasai di RS Cipto Mangunkusumo. Kemudian dicari rerata nilai tiap kelompok dan ditentukan titik potong SWE untuk memprediksi keberhasilan prosedur Kasai. Dilakukan juga analisis multivariat regresi logistik  pada variabel yang signifikan secara statistik, disajikan dalam bentuk odds ratio (OR). Hasil : Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada variabel nilai SWE (p=0,003) dan nilai bilirubin praoperasi (p=0,005). Didapatkan nilai titik potong SWE untuk menentukan keberhasilan prosedur Kasai sebesar 2,2 m/s atau 14,3 kPa (sensitivitas 75% dan spesifisitas 82%). Pada analisis multivariat didapatkan nilai OR=13,50 (p=0,011) untuk variabel nilai SWE. Dari analisis multivariat dapat ditentukan probabilitas keberhasilan prosedur Kasai dengan nilai SWE di bawah 2,2 m/s sebesar 78%. Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan SWE dapat digunakan sebagai salah satu prediktor keberhasilan prosedur Kasai pada pasien atresia bilier. ......Background: Biliary atresia is one of the many etiologies of pathological jaundice in neonates. Primary treatment for biliary atresia is Kasai procedure. Without adequate treatment, biliary atresia often progresses into fibrotic and cirrhosis of the liver. Earlier studies show the ability of shearwave elastography (SWE) as a method to quantify the degree of liver fibrosis. This study aims to search a correlation between SWE result and the success of Kasai Procedure. Method : This is a case-control study, assessing the SWE value of 23 patients with biliary atresia (11 successful, 12 unsuccessful) who underwent Kasai procedure in Cipto Mangunkusumo general hospital. We determined the average of SWE value of each group and established a cutoff value to predict the success of Kasai procedure. Results : There are statistically different values between two groups, such as SWE value (p=0,003) and bilirubin value before procedure (p=0,005). The optimal cutoff point of SWE value to predict the success of Kasai procedure is 2,2 m/s or 14,3 kPa (sensitivity 75%, specificity 82%). Multivariate analysis reveals the usefulness of SWE in predicting the success of Kasai procedure, with OR=13,50 (p=0,011). The probability of successful Kasai procedure in subjects with SWE value less than 2,2 m/s is 78%. Conclusion : This study shows SWE can be used as a predicting factor for the success of the Kasai procedure in biliary atresia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudha Sulistiana
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker serviks merupakan keganasan yang sering ditemukan diberbagai negara pada wanita setelah kanker payudara. Kanker serviks berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. FIGO merekomendasikan penggunaan MRI sebagai alat diagnosis dan prognosis. Tingkat proliferasi tumor berhubungan dengan respon terapi yang dapat diketahui dengan nilai signal intensitas sekuens T2WI. Saat ini belum ada penelitian yang menilai perbedaan nilai SI sekuens T2WI dengan respon terapi radiasi pada kanker serviks tipe karsinoma sel skuamosa. Tujuan: Memperoleh perbedaan nilai rasio sekuens T2WI pada pasien kanker serviks karsinoma sel skuamosa yang mengalami respon dan tidak respon terapi. Metode: Sebanyak 39 subjek penelitian dilakukan pemeriksaan MRI pelvis sebelum dan setelah terapi radiasi. Data penelitian diambil menggunakan sekuens T2WI dan data histologi berasal dari EHR RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Dilakukan analisis data menggunakan uji normalitas Saphiro-Wilk dan uji T berpasangan. Hasil: Pada kelompok umur, status pernikahan, status obstetri dan klasifikasi FIGO, didapatkan hasil tidak signifikan (p = 0,19, p = 0,348, p = 0,153, dan p = 0,995; p > 0,05). Begitupun pada kelompok respon dan tidak respon dengan RECIST 1.1, didapat hasil signifkan dengan p = 0,000; p < 0,05) sedangkan pada kelompok perbedaan nilai rasio sekuens T2WI, didapatkan hasil yang tidak signifikan (p = 0,436, p > 0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan nilai rasio sekuens T2WI pada kelompok respon dan tidak respon terapi berdasarkan kriteria RECIST 1.1 pada kanker serviks tipe karsinoma sel skuamosa. ......Background: Cervical cancer is a malignancy that is often found in various countries in women after breast cancer. Cervical cancer is associated with a high mortality rate. FIGO recommends the use of MRI as a diagnostic and prognostic tool. The rate of tumor proliferation is related to the therapeutic response which can be determined by the value of the T2WI sequence intensity signal. Currently, there are no studies that assess the differences in SI values of T2WI sequences and the response to radiation therapy in squamous cell carcinoma type cervical cancer. Objective: Obtain differences in the value of the T2WI sequence ratio in patients with cervical cancer squamous cell carcinoma who experienced and did not respond to therapy. Methods: A total of 39 study subjects were subjected to pelvic MRI examinations before and after radiation therapy. The research data were taken using T2WI sequences and histological data came from EHR RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Data were analyzed using the Saphiro-Wilk normality test and paired T test. Results: In the age group, marital status, obstetric status and FIGO classification, the results were not significant (p = 0.19, p = 0.348, p = 0.153, and p = 0.995; p> 0.05). Likewise in the response dan unresponse group with RECIST 1.1, the results were significant with p = 0.000; p <0.05), while the difference in the value of the T2WI sequence ratio, the results were not significant (p = 0.436, p> 0.05). Conclusion: There is no difference in the value of the T2WI sequence ratio in the response group and no response to therapy based on RECIST 1.1 criteria in squamous cell carcinoma type cervical cancer.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Sunny
Abstrak :
Latar belakang: MRCP merupakan teknik pencitraan tidak invasif untuk mengevaluasi anatomi dan mendeteksi kelainan sistem bilier. Cairan di saluran bilier akan memperlihatkan sinyal yang tinggi pada MRCP. Salah satu keterbatasan pemeriksaan MRCP ialah cairan di saluran gastrointestinal juga memberikan sinyal tinggi yang dapat mengganggu evaluasi saluran bilier. Sari buah nanas dapat menjadi kontras oral negatif untuk menurunkan sinyal di gastrointestinal. Belum terdapat penelitian penggunaan sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP di Indonesia dan belum terdapat penelitian yang menilai visualisasi cabang-cabang duktus intrahepatikus setelah pemberian sari buah nanas. Tujuan: Mengukur perbedaan SNR gaster dan duodenum serta perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sesudah pemberian sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP. Metode: Dilakukan pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas pada subjek penelitian. Mengukur perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum serta mengukur perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan perubahan tingkat visualisasi dianalisis dengan uji McNemar untuk menilai diskordans. Hasil: Didapatkan 25 subjek penelitian yang menjalani pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Terdapat penurunan bermakna SNR gaster dan duodenum setelah pemberian sari buah nanas, 127,1 (18,7-1194,6) menjadi 42.2 (4,2-377,1) untuk gaster dan 64,1 (3,8-613.4) menjadi 44,6 (6,5-310,3) untuk duodenum (p < 0,05). Terdapat perubahan bermakna tingkat visualisasi duktus bilier intrahepatikus (p < 0,05, diskordans >50%) dengan peningkatan tingkat visualisasi duktus intrahepatikus kanan segmen anterior pada 66% pengamatan, duktus intrahepatikus kanan segmen posterior pada 58% pengamatan, dan 70% pengamatan untuk duktus intrahepatikus kiri. Simpulan: Pemberian sari buah nanas dapat menurunkan sinyal gaster dan duodenum pada pemeriksaan MRCP dan mempengaruhi tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus. ...... Background: MRCP is a non-invasive imaging technique for evaluating anatomy and detecting abnormalities of the biliary system. Fluid in biliary tract will show high signal on MRCP. One of the limitations of MRCP is high signal in gastrointestinal fluid which can interfere biliary tract evaluation. Pineapple juice as negative oral contrast can reduce signal in gastrointestinal tract. There have been no studies on the use of pineapple juice for MRCP in Indonesia, and no studies assessed the visualization of intrahepatic ductal branches after administration of pineapple juice. Objective: Measuring difference in gastric and duodenal SNR and changes of visualization of intrahepatic biliary ductal branches after administration of pineapple juice on MRCP. Methods: MRCP before and after administration of pineapple juice were performed on subjects. Gastric and duodenal SNR mean difference were measured, and analysis were done with Wilcoxon test. Level of visualization of intrahepatic biliary ductal branches were also measured and analysed with McNemar test for discordances. Results: There were 25 subjects underwent MRCP. Gastric and duodenal SNR were statistically decreased after administration of pineapple juice, 127.1 (18.7-1194.6) vs 42.2 (4.2-377.1) and 64.1 (3.8-613.4) vs 44.6 (6.5-310.3) respectively (p <0.05). Statistically significant difference was observed in visualization of intrahepatic ductal branches (p<0,05), discordance >50%) with increase in visualization of right duct anterior segment in 66% observation, right duct posterior segment in 58% observation, and 70% observation in left intrahepatic bile duct. Conclusion: Use of pineapple juice as negative oral contrast significantly reduce gastric and duodenal signal in MRCP also affect visualization of the intrahepatic biliary duct branches.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Sunny
Abstrak :
Latar belakang: MRCP merupakan teknik pencitraan tidak invasif untuk mengevaluasi anatomi dan mendeteksi kelainan sistem bilier. Cairan di saluran bilier akan memperlihatkan sinyal yang tinggi pada MRCP. Salah satu keterbatasan pemeriksaan MRCP ialah cairan di saluran gastrointestinal juga memberikan sinyal tinggi yang dapat mengganggu evaluasi saluran bilier. Sari buah nanas dapat menjadi kontras oral negatif untuk menurunkan sinyal di gastrointestinal. Belum terdapat penelitian penggunaan sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP di Indonesia dan belum terdapat penelitian yang menilai visualisasi cabang-cabang duktus intrahepatikus setelah pemberian sari buah nanas. Tujuan: Mengukur perbedaan SNR gaster dan duodenum serta perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sesudah pemberian sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP. Metode: Dilakukan pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas pada subjek penelitian. Mengukur perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum serta mengukur perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan perubahan tingkat visualisasi dianalisis dengan uji McNemar untuk menilai diskordans. Hasil: Didapatkan 25 subjek penelitian yang menjalani pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Terdapat penurunan bermakna SNR gaster dan duodenum setelah pemberian sari buah nanas, 127,1 (18,7-1194,6) menjadi 42.2 (4,2-377,1) untuk gaster dan 64,1 (3,8-613.4) menjadi 44,6 (6,5-310,3) untuk duodenum (p < 0,05). Terdapat perubahan bermakna tingkat visualisasi duktus bilier intrahepatikus (p < 0,05, diskordans >50%) dengan peningkatan tingkat visualisasi duktus intrahepatikus kanan segmen anterior pada 66% pengamatan, duktus intrahepatikus kanan segmen posterior pada 58% pengamatan, dan 70% pengamatan untuk duktus intrahepatikus kiri. Simpulan: Pemberian sari buah nanas dapat menurunkan sinyal gaster dan duodenum pada pemeriksaan MRCP dan mempengaruhi tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus. ......Background: MRCP is a non-invasive imaging technique for evaluating anatomy and detecting abnormalities of the biliary system. Fluid in biliary tract will show high signal on MRCP. One of the limitations of MRCP is high signal in gastrointestinal fluid which can interfere biliary tract evaluation. Pineapple juice as negative oral contrast can reduce signal in gastrointestinal tract. There have been no studies on the use of pineapple juice for MRCP in Indonesia, and no studies assessed the visualization of intrahepatic ductal branches after administration of pineapple juice. Objective: Measuring difference in gastric and duodenal SNR and changes of visualization of intrahepatic biliary ductal branches after administration of pineapple juice on MRCP. Methods: MRCP before and after administration of pineapple juice were performed on subjects. Gastric and duodenal SNR mean difference were measured, and analysis were done with Wilcoxon test. Level of visualization of intrahepatic biliary ductal branches were also measured and analysed with McNemar test for discordances. Results: There were 25 subjects underwent MRCP. Gastric and duodenal SNR were statistically decreased after administration of pineapple juice, 127.1 (18.7-1194.6) vs 42.2 (4.2-377.1) and 64.1 (3.8-613.4) vs 44.6 (6.5-310.3) respectively (p <0.05). Statistically significant difference was observed in visualization of intrahepatic ductal branches (p<0,05), discordance >50%) with increase in visualization of right duct anterior segment in 66% observation, right duct posterior segment in 58% observation, and 70% observation in left intrahepatic bile duct. Conclusion: Use of pineapple juice as negative oral contrast significantly reduce gastric and duodenal signal in MRCP also affect visualization of the intrahepatic biliary duct branches.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rhandyka Rafli
Abstrak :
Pendahuluan : Kemoradiasi pada kanker rektum menghasilkan radical oxygen species (ROS) yang dapat memicu kematian sel. ALDH1A1 merupakan antioksidan yang mampu mengurangi ROS dan merupakan marker sel punca kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar ALDH1A1 dengan respon kemoradiasi berdasarkan metode RECIST 1.1 pada pasien kanker rektum stadium lanjut lokal. Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif terhadap 14 pasien kanker rektum stadium lanjut lokal yang memenuhi kriteria inklusi dari januari 2012 sampai januari 2015. ALDH1A1 diperiksa menggunakan metode ELISA dari sampel blok parafin kanker rektum. Respon pengecilan tumor dari CT scan dan MRI dihitung berdasarkan metode RECIST 1.1. Hasil : Didapatkan rerata kadar ALDH1A1 sebesar 9,014 ± 3,3 pg/mL, rerata persentase respon radiasi 7,89 ± 35,7 % dan diklasifikasikan berdasarkan RECIST didapatkan proporsi respon parsial sebesar 28,6 % , respon stabil sebesar 50% dan respon progresif sebesar 21,4%. Terdapat korelasi negatif kuat yang bermakna (r = - 0,890 dan p < 0,001) antara kadar ALDH1A1 dengan respon kemoradiasi berdasarkan RECIST. Kesimpulan : pada penderita kanker rektum stadium lanjut lokal respon kemoradiasi dipengaruhi oleh kadar ALDH1A1 dalam jaringan tumor. Semakin tinggi kadar ALDH1A1 semakin buruk respon kemoradiasi. ...... Introduction : Chemoradiation in rectal cancer produce radical oxygen species (ROS) wich can cause cell death. ALDH1A1 is an antioxidant that can reduce ROS and known as cancer stem cell marker. The purpose of this study is to determine the correlation between ALDH1A1 level with tumor shrinkage using RECIST methode in locally advance rectal cancer. Methode : This is a retrospective study to 14 locally advance rectal cancer patients who meet the inclusion criteria from january 2012 to january 2015. ALDH1A1 level was measured by ELISA from paraffin embeded tissue. Tumor shrinkage was measured from CTscan or MRI using RECIST 1.1 methode. Result : The mean ALDH1A1 level is 9,014 ± 3,3 pg/mL, the mean of tumor shrinkage is 7,89 ± 35,7 %, Partial respond proportion is 28,6 % , Stable dissease proportion is 50% and progressive dissease proportion is 21,4%. There was a significant strong negative correlation (r = -0,890, p < 0,001) between ALDH1A1 with tumor shrinkage. Conclusion : This study showed that tumor shrinkage in locally advanced rectal cancer after chemoradiation is influenced by ALDH1A1 level. The increase od ALDH1A1 level will decrease tumor shrinkage after chemoradiation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library