Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purnomo Hyaswicaksono
Abstrak :
Latar belakang : Kanker serviks merupakan penyebab ketiga kematian dan morbiditas tertinggi pada wanita di seluruh dunia. Morbiditas dan mortalitas pasien dengan kanker serviks meningkat seiring dengan peningkatan usia dan stadium klinis. Metastasis menuju kelenjar getah bening (KGB) paraaorta merupakan salah satu bentuk metastasis pada kanker serviks stadium lanjut. Tujuan : Mengetahui adakah perbedaan respon klinis pasca radioterapi dan kesintasan 1 tahun pada pasien kanker serviks stadium lanjut dengan pembesaran KGB paraaorta dibandingkan pasien tanpa pembesaran KGB paraaorta. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan menggunakan metode kohort retrospektif. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara conse cutive sampling. Subyek penelitian ini adalah semua wanita dengan diagnosis primer kanker serviks stadium IIB hingga IVB yang datang ke poliklinik Onkologi Ginekologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan menjalani pemeriksaan MRI sebelum dilakukan terapi pada bulan Januari 2016 hingga Mei 2017. Hasil : Dari 76 subjek yang diteliti, didapatkan sebanyak 4 (5,1%) subyek yang mengalami pembesaran KGB paraaorta. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara status pembesaran KGB paraaorta dan usia (p = 0,829), usia hubungan seksual pertama (p = 0,333), paritas (p = 0,642), dan diameter massa (p = 0,777). Diferensiasi buruk memiliki risiko 3,89 lipat (p < 0,0001, IK95% 2,64-5,74) memiliki respon terapi negatif. Pasien dengan pembesaran KGB paraaorta memiliki risiko 2,13 kali lipat (p = 0,02, OR 2,13, IK95% 1,12-4,07) memiliki risiko respon terapi negatif. Tidak terdapat perbedaan kesintasan 1 tahun antara pembesaran KGB paraaorta dan tidak (median 201 vs. 293, p = 0,072. Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan karakteristik sosiodemografis, dan kesintasan 1 tahun antara pasien kanker serviks stadium lanjut dengan pembesaran KGB dan tanpa pembesaran KGB. Pasien dengan diferensiasi kanker buruk dan pembesaran KGB paraaorta memiliki risiko lebih tinggi mengalami respon radioterapi negatif. (p < 0,05). ......Background : Cervical cancer is the third leading cause of death and highest morbidity in women worldwide. Morbidity and mortality of patients with cervical cancer increases along with age and clinical stage. Metastasis to the paraaortic lymph node (PALN) is a form of metastasis in advanced cervical cancer. Objective : To determine whether there are differences in clinical response after radiotherapy and 1 year survival in patients with advanced cervical cancer with enlargement of PALN compared to patients without enlargement of PALN. Method : This study was an observational analytic study using a retrospective cohort method. Sampling was done by consecutive sampling. The subjects of this study were all women with a primary diagnosis of stages IIB to IVB cervical caner who came to the gynecological oncology clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital and underwent MRI examination before being treated in January 2016 to May 2017. Result : From 76 subjects studied, there were 4 (5.1%) subjects who had enlarged PALN. There were no significant differences between the enlargement status of PALN and age (p = 0.829), age of first sexual intercourse (p = 0.33), parity (p = 0.642), mass diameter (p = 0.777). Badly differentiated mass has 3.89 times risk of having negative radiotherapy outcome (p < 0.0001, CI95% 2.64-5.74). Patients with PALN enlargement have 2.13 times risk of having negative radiotherapy outcome (p = 0.02, OR 2.13, CI95% 1.12 – 4.07). There was no difference in 1-year survival between patients with and without enlargement of PALN (median 201 vs. 293, p = 0.072). Conclusion : There were no differences in sociodemographic characteristics and 1 year survival between patients with advanced cervical cancer with enlargement PALN. Patients with badly differentiated mass and PALN enlargement have increased risk of having negative radiotherapy outcome (p < 0.05).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Indah Pratiwi
Abstrak :

Tujuan: Penelitian ini membandingkan efikasi dan keamanan radioterapi tubuh stereotaktik (SBRT) dengan atau tanpa kemoembolisasi transarterial (TACE) untuk pasien dengan karsinoma hepatoselular (KHS) stadium BCLC B dan C yang tidak memenuhi syarat untuk reseksi atau ablasi. Metode: Dari Januari 2016 hingga Maret 2019, sebanyak 33 pasien KHS dengan stadium BCLC B dan C, menjalani SBRT+TACE (n = 22) atau SBRT saja (n=11) di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. Kesintasan hidup keseluruhan (OS), kesintasan hidup bebas progresifitas (PFS), kontrol lokal (LC), dan toksisitas, dianalisis secara retrospektif. Hasil: Usia rerata adalah 56,5 tahun, dengan mayoritas pasien datang dengan CTP A (81,8%), BCLC stadium B (60,6%). Sebagian besar pasien memiliki tumor dengan PVT (75,8%), ukuran tumor >10 cm (66,7%), dengan rerata diameter terbesar 12,3 cm. Dosis radiasi bervariasi antara 27,5-50 Gy dalam 4-10 fraksi, dengan median EQD2 48 (35-, 5-72) Gy dan median BED10 57,6 Gy (42,6-86,4) Gy. Waktu follow-up rerata adalah 41 minggu untuk semua pasien. Pasien yang diterapi dengan SBRT+TACE menunjukkan peningkatan OS yang signifikan (46 bulan vs 23 bulan, p=0,008). Tingkat OS 1, 2, dan 3 tahun adalah 51%, 37%, dan 27% untuk kelompok SBRT+TACE; dan 18%, 9%, dan 0% untuk kelompok SBRT, masing-masing (p=0,008). Tingkat PFS 1, 2, dan 3 tahun adalah 31%, 19%, dan 13% untuk kelompok SBRT+TACE; dan 10%, 10%, dan 0% untuk kelompok SBRT, masing-masing (p=0,114). Tingkat LC 3, 6, dan 12 bulan adalah 88,9%, 92,9%, dan 75%. Tidak ada perbedaan toksisitas akut dan lanjut antara dua kelompok. Kesimpulan: Kombinasi SBRT+TACE menunjukkan tingkat OS yang lebih baik daripada SBRT saja pada pasien dengan KHS BCLC Stadium B dan C.


Purpose: This study compared the efficacy and safety of stereotactic body radiation therapy (SBRT) with or without transcatheter arterial chemoembolization (TACE) for patients with BCLC stage B and C hepatocellular carcinoma (HCC) who were ineligible for resection or ablation therapies. Methods and materials: From January 2016 to March 2019, 33 patients with BCLC stage B and C HCC, underwent either SBRT+TACE (n = 22) or SBRT only (n =11) in RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. The overall survival (OS), progression free survival (PFS), local control (LC), and toxicities were analyzed retrospectively. Results: The mean age was 56.5 years, with the majority of patients presenting with CTP A (81.8%), BCLC stage B (60.6%). Most patients had tumor with PVT (75.8%), tumor size >10 cm (66.7%), with the mean of largest diameter of tumor was 12.3 cm. The radiation dose varies between 27.5-50 Gy in 4-10 fractions, with a median of EQD2 is 48 (35-, 5-72) Gy and a median of BED10 is 57.6 Gy (42.6-86.4) Gy. The median follow-up time was 41 weeks for all patients. Patients treated with SBRT+TACE showed significantly improved OS (46.0 months vs. 23 months, p = 0.008).  The 1-, 2-, and 3-year OS was 51%, 37%, and 27% for the SBRT+TACE group; and 18%, 9%, and  0% for the SBRT group, respectively (p=0,008). The 1-, 2-, and 3-year PFS was 31%, 19%, and 13% for the SBRT+TACE group; and 10%, 10%, and  0% for the SBRT group, respectively (p=0,114). The 3, 6, and 12 month LC was 88,9%, 92,9%, dan 75%. However, there was no difference in acute and late toxicities between two groups. Conclusions: SBRT+TACE had better OS rates than SBRT only in patients with BCLC stage B and C HCC.

 

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bulan Arini Eska
Abstrak :
Pendahuluan : Infeksi dengue merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia yang berdampak pada kematian akibat renjatan, apabila diagnosis dan penatalaksanaan tidak dilakukan secara dini. Kendala yang dihadapi dalam protokol deteksi kebocoran plasma selama ini adalah faktor yang menyebabkan negatif palsu, waktu yang di perlukan relatif lama, serta waktu terjadinya kebocoran plasma yang tidak dapat dipastikan. Ultrasonografi abdomen menjadi alat diagnostik potensial untuk menilai kebocoran plasma dan menjadi indikator prognostik. Tujuan : Menghitung nilai sensitivitas dan spesifisitas ultrasonografi abdomen dalam mendeteksi kebocoran plasma pada infeksi dengue dewasa berdasarkan pemeriksaan albumin darah, serta mendapatkan karakteristik efusi pleura, asites dan penebalan dinding kandung empedu dalam ultrasonografi abdomen pada infeksi dengue. Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang ( cross sectional study ) serial dengan menggunakan data primer. Hasil : Pada hari ke 3 sampai hari ke 5 demam, ultrasonografi abdomen memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%, sedangkan pada hari ke 6 didapatkan sensitivitas 100% dan spesifisitas 83,3% dibandingkan pemeriksaan albumin darah sebagai standar baku emas. Kesimpulan : Ultrasonografi abdomen dapat dimasukkan ke dalam protokol diagnostik infeksi dengue sebagai alternatif pemeriksaan albumin darah. ...... Introduction : Dengue infection has been the major health issue in Indonesia, which may lead to death because of shock. The protocol in detecting plasma leakage have several problems that can make false negative. Abdominal ultrasound is a potential diagnostic modality in detecting this condition. There were no spesific studies to determine the role of ultrasound in dengue infection. Objective : to asses the sensitivity and specificity of abdominal ultrasound in detecting plasma leakage of dengue infection compared to serum albumin and also to determine the characteristic of pleural effusion, ascites and thickening of gall bladder wall. Method : This study is using serial cross sectional design with primary data. Result : At third until fifth day of fever, the sensitivity and specificity of abdominal ultrasound is both 100%. At sixth day of fever, the sensitivity is 100% and the specificity is 83,3% compared to serum albumin. Conclusion: Abdominal ultrasound can be implemented to diagnostic protocol of dengue infection as an alternative examination in detecting plasma leakage and should be performed at fourth and fifth day of fever.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bennadi Adiandrian
Abstrak :
Latar Belakang: Obesitas merupakan suatu keadaan terdapatnya jaringan lemak dalam tubuh yang berlebihan. Kondisi ini berhubungan dengan penyakit kardiovaskular, salah satunya adalah aterosklerosis. Aterosklerosis pada sistem pembuluh darah karotis hingga saat ini merupakan penyebab terbesar stroke iskemik di dunia dengan jumlah kasus terbanyak pada rentang usia 45-64 tahun. Dengan menggunakan teknik single slice CT-scan dapat dihitung komposisi lemak viseral (VAT) maupun lemak subkutan (SAT) tubuh dengan baik. Sedangkan USG merupakan modalitas radiologi yang baik untuk skrining aterosklerosis pada arteri karotis komunis dengan mengukur ­Intima-Media Thickness (IMT). Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi lemak yang berhubungan terhadap aterosklerosis karotis komunis dan lingkar pinggang. Metode: Sebanyak 32 subjek penelitian yang melakukan pemeriksaan CT-scan regio abdomen, dilakukan penghitungan luas penampang VAT, SAT dan rasio VAT/SAT dengan menggunakan software volumetri SyngoTM, pengukuran IMT arteri karotis komunis kanan dan kiri menggunakan USG yang dilengkapi dengan software auto-IMT, dan pengukuran lingkar pinggang. Kemudian dilakukan analisa korelasi antara VAT, SAT, dan rasio VAT/SAT terhadap IMT karotis serta lingkar pinggang (WC). Hasil: Terdapat korelasi lemah antara luas penampang VAT terhadap IMT karotis komunis (ρ = 0,21 ; p = 0,248), antara luas penampang SAT terhadap IMT karotis komunis (ρ = 0,37 ; p = 0,036) dan korelasi negatif lemah antara rasio VAT/SAT terhadap IMT karotis komunis (ρ = -0,24 ; p = 0,193). Selain itu didapatkan korelasi kuat antara VAT terhadap lingkar pinggang (ρ = 0,73 ; p < 0,05), korelasi positif sangat kuat antara SAT terhadap lingkar pinggang (ρ = 0,87 ; p < 0,05), dan korelasi negatif lemah antara rasio VAT/SAT terhadap lingkar pinggang (ρ = -0,37 ; p = 0,038). Kesimpulan: Luas penampang VAT dan SAT berkorelasi lemah terhadap IMT karotis komunis. Luas penampang VAT berkorelasi kuat terhadap lingkar pinggang, luas penampang SAT berkorelasi sangat kuat terhadap lingkar pinggang. Rasio VAT/SAT memiliki korelasi negatif lemah terhadap IMT karotis komunis dan lingkar pinggang. Pengukuran lingkar pinggang dapat digunakan unuk memprediksi volume VAT dan SAT. ......Backgorund: Obesity is a condition with high level of fat deposition in the body. This condition is related to cardiovacular diseases including atherosclerosis. Carotid athersclerosis until now is known as the main cause of ischemic stroke in the world with the most cases ranged between 45-64 years old. With single slice CT-scan technique, we can estimate the composition of visceral adipose tissue (VAT) and subcutaneous adipose tissue (SAT) very well. USG is the best modality for carotid atherosclerosis screnning by measuring ­Intima-Media Thickness (IMT) of the common carotid artery. Purpose: of this study is to determine which one of these fat is correlated to carotid atherosclerosis and waist circumference (WC). Methods: Thirty two subjects that underwent an abdominal CT-scanning were calculated for their area of VAT, SAT, dan VAT/SAT ratio using SyngoTM volumetric software. Measurement of the IMT was done by using auto-IMT software in USG. Their waist circumference were also measured. Correlational analysis were done between VAT, SAT, VAT/SAT ratio with carotid IMT and waist circumference (WC). Result: There was a low correlation between VAT and common carotid IMT (ρ = 0,21 ; p = 0,248), SAT and common carotid IMT (ρ = 0,37 ; p = 0,036). Low negative correlation was shown between VAT/SAT ratio and carotid IMT (ρ = -0,24 ; p = 0,193). This study also showed a strong correlation between VAT and waist circumference (ρ = 0,73 ; p < 0,05), very strong correlation between SAT and waist circumference (ρ = 0,87 ; p < 0,05), also low negative correlation between VAT/SAT ratio and waist circumference (ρ = -0,37 ; p = 0,038). Conclusion: There are low correlation between VAT and SAT and common carotid IMT. There is strong correlation between VAT and waist circufmerence, very strong correlation between SAT and waist circumference. There is low inverse correlation between VAT/SAT ratio and waist circumference. Therefore the measurement of waist circumference can be used to predict VAT and SAT volume.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Paramitha Adriyati
Abstrak :
Latar belakang: Karsinoma sel hati (KSH) merupakan salah satu kanker dan penyebab kematian akibat kanker tersering. Magnetic resonance imaging (MRI) abdomen multifase adalah modalitas pilihan untuk diagnosis KSH, karena dapat menggambarkan perubahan patofisiologi selama hepatokarsinogenesis melalui sekuens dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) dengan chemical shift imaging, T2- weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), peta apparent diffusion coefficient (ADC), serta fase hepatobilier. Alpha fetoprotein (AFP) sebagai penanda serologis KSH terkait surveilans, diagnostik, dan prognostik, juga berperan dalam hepatokarsinogenesis dengan menunjukkan perbedaan agresivitas tumor. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara temuan morfologi dan karakteristik KSH pada MRI dengan kadar serum AFP. Metode: Studi retrospektif ini dilakukan pada pasien KSH yang menjalani MRI abdomen multifase kontras spesifik hepatobilier dan kadar serum AFP di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, serta belum menjalani prosedur pengobatan apapun. Dilakukan analisis menggunakan uji Chi Square atau uji Mutlak Fisher antara temuan morfologis dan karakteristik KSH pada MRI, serta menggunakan uji Mann-Whitney antara nilai rerata apparent diffusion coefficient (ADC) dengan kadar serum AFP. Hasil: Diperoleh 82 subyek dengan usia rerata subyek 58 tahun, diameter tumor >5cm (58,5%) dan tumor multipel (59,8%) paling banyak ditemukan, serta memiliki perbedaan proporsi yang bermakna dengan kadar serum AFP (nilai p = 0,030 dan p = 0,000). Vaskularisasi tumor, kapsul tumor, lemak intratumoral, tumor hiperintens T2, restriksi difusi, dan tumor hipointens fase hepatobilier lebih banyak ditemukan pada kadar serum AFP ≥ 100ng/mL, namun tidak ditemukan perbedaan proporsi bermakna. Terdapat perbedaan bermakna nilai rerata ADC antara 39 subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL dan 43 subyek dengan AFP ³ 100ng/mL. Median nilai rerata ADC 1,19 (0,71 – 2,20) pada subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL, median 0,97 (0,72 – 1,77) pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL, dan nilai p = 0,003. Simpulan: Proporsi tumor berdiameter > 5cm dan tumor multipel pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih tinggi dibandingkan pada subyek dengan AFP < 100ng/mL. Nilai rerata ADC pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih rendah dibandingkan AFP < 100ng/mL. Sehingga nilai rerata ADC dapat membantu memprediksi kadar serum AFP pada pasien KSH. ......Background: Hepatocellular carcinoma (HCC) is one of the most common cancers and cancer-related death. Multiphase contrast-enhanced abdominal magnetic resonance imaging (MRI) is the modality of choice for the diagnosis of KSH, as it can depict pathophysiologic changes during hepatocarcinogenesis through sequences: dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) with chemical shift imaging, T2-weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), apparent diffusion coefficient (ADC) maps, and hepatobiliary phase. Alpha fetoprotein (AFP) as a serological marker of HCC related to surveillance, diagnostics, and prognostics, also plays a role in hepatocarcinogenesis by showing differences in tumor aggressiveness. This study aims to analyze the relationship between morphological findings and characteristics of HCC on MRI with serum AFP levels. Methods: This retrospective study was conducted on HCC patients who underwent hepatobiliary-specific contrast-enhanced multiphase abdominal MRI and serum AFP levels at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, had not undergone any treatment procedures. Chi Square or Fisher's exact test between morphological findings and characteristics of HCC on MRI, and Mann-Whitney test between mean apparent diffusion coefficient (ADC) values and serum AFP levels were analyzed. Results: There were 82 subjects with a mean age of 58 years, tumor size >5cm (58.5%) and multiple tumors (59.8%) were more common, had a significant difference in proportion with AFP serum levels (p value = 0.030 and p = 0.000). Tumor vascularization, tumor capsule, intratumoral fat, T2 hyperintense tumor, diffusion restriction, and hepatobiliary phase hypointense tumor were more common in serum AFP level ≥ 100ng/mL, but there was no significant difference in proportion. There was a significant difference in mean ADC between 39 subjects with serum AFP level < 100ng/mL and 43 subjects with AFP 100ng/mL. The median ADC score was 1.19 (0.71 – 2.20) in subjects with serum AFP level < 100ng/mL, median 0.97 (0.72 – 1.77) in subjects with AFP ≥ 100ng/mL, and p value is 0.003. Conclusion: The proportion of tumors > 5cm in diameter and multiple tumors in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly higher than that in subjects with AFP < 100ng/mL. The mean value of ADC in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly lower than AFP < 100ng/mL. So that the mean value of ADC can help predict serum AFP levels in patients with HCC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hafidz Muhammad Prodjokusumo
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker hati adalah penyebab paling umum kedua kematian akibat kanker di seluruh dunia, dan kejadian keganasan hati 'primer' telah meningkat secara signifikan, terutama Hepatocellular Carcinoma/ HCC. Karakteristik jaringan pada keganasan biasanya lebih padat/ kaku dibandingkan jaringan normal. Ultrasonografi dengan teknologi shear wave (gelombang geser) adalah metode perhitungan kekakuan jaringan, saat ini terdapat dua tipe; elastografi gelombang geser titik (pSWE) dan elastografi gelombang geser dua dimensi (2D-SWE). Belum ada studi yang menggunakan dua tipe gelombang geser tersebut pada lesi HCC yang sama untuk melihat kesesuaian antara nilai keduanya. Tujuan: Mengetahui derajat korelasi antara nilai USG pSWE dan nilai USG 2D-SWE pada HCC. Metode: Sebanyak 17 subjek penelitian dengan diagnosis HCC dilakukan pemeriksaan USG pSWE dan dilanjutkan dengan 2D-SWE (pada hari yang sama atau maksimal tujuh hari setelahnya) pada lesi HCC untuk menentukan nilai kekakuan jaringan (dalam satuan kPa dan m/s). Setelah itu dilakukan analisis korelasi antara nilai USG pSWE dengan USG 2D-SWE, dan dilanjutkan dengan mencari formula regresi di antara kedua nilai tersebut. Hasil: Pada lesi HCC terdapat korelasi positif kuat yang signifikan antara hasil USG pSWE dengan 2D-SWE pada perhitungan dengan kPa (R = 0,882 / p < 0,01) dan m/s (R = 0,875 / p < 0,01) , didapatkan pula formula regresi nilai kPa pSWE = 2,99 + 0,75 x kPa 2D-SWE dan nilai m/s pSWE = 0,31 + 0,82 x m/s 2D-SWE. Kesimpulan: Pada lesi HCC, dapat dilakukan pemeriksaan nilai kekakuan jaringan menggunakan pSWE maupun 2D-SWE, baik menggunakan satuan kPa maupun m/s dengan hasil yang setara. ......Background: Liver cancer is the second most common cause of cancer death worldwide, and the incidence of 'primary' liver malignancies has increased significantly, particularly Hepatocellular Carcinoma / HCC. Characteristics of tissue in malignancy are usually denser / stiffer than normal tissue. Ultrasound with shear wave technology is a method of calculating tissue stiffness, currently there are two types; point shear wave elastography (pSWE) and two-dimensional shear wave elastography (2D-SWE). There have not been studies using these two types of shear waves in the same HCC lesions to see the congruence between the two values. Objective: To determine the degree of correlation between the USG pSWE value and the 2D-SWE USG value on HCC. Methods: A total of 17 study subjects with a diagnosis of HCC were subjected to pSWE ultrasound examination and followed by 2D-SWE (on the same day or a maximum of seven days thereafter) on HCC lesions to determine the value of tissue stiffness (in kPa and m/s units). After that, a correlation analysis was carried out between the USG pSWE and USG 2D-SWE values, and continued by looking for the regression formula between the two values. Results: In HCC lesions, there was a significant positive correlation between pSWE ultrasound results and 2D-SWE in the calculation with kPa (R = 0.882 / p <0.01) and m / s (R ​​= 0.875 / p <0.01), also obtained the regression formula for the kPa pSWE value = 2.99 + 0.75 x kPa 2D-SWE and the m/s pSWE value = 0.31 + 0.82 xm / s 2D-SWE. Conclusion: In HCC lesions, tissue stiffness values ​​can be examined using pSWE and 2D-SWE, using either kPa or m / s units with equivalent results.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Meitri A. R. P.
Abstrak :
Latar belakang: Angka kematian akibat kanker ovarium mencapai 54%. Hal ini dikarenakan sebagian besar kasus kanker ovarium datang pada stadium lanjut dan membutuhkan kualitas pembedahan prima untuk mencapai sitoreduksi optimal. Prediksi luaran operasi menjadi penting sebagai bahan pertimbangan antara benefit operasi dan morbiditas perioperatifnya. Salah satu model yang memprediksi luaran operasi dikembangkan oleh Suidan dkk. Skor prediksi ini melibatkan berbagai senter ginekologi onkologi, dilakukan secara prospektif dengan akurasi 75.8%. Untuk itu, dibutuhkan validasi terhadap model prediksi ini. Tujuan: Menilai sensitivitas dan spesifisitas skor prediksi luaran operasi yang dikembangkan oleh Suidan dkk. pada pasien-pasien dengan kanker ovarium stadium III dan IV dengan cut-off point 9 dan beberapa cut-off point lainnya. Metode: Penelitian observasional non-eksperimental dilakukan secara kohort (prospektif Januari 2018 - Mei 2019 dan retrospektif Januari 2015 - Desember 2017) di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta-Indonesia. Subjek penelitian adalah pasien-pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut (stadium FIGO III dan IV) yang dilakukan operasi debulking primer. Validasi eksternal dilakukan pada skor Suidan yang menggunakan 3 parameter klinis dan 8 parameter hasil CT-Scan. Selain itu, 3 kriteria klinis dan 5 gambaran CT-Scan/MRI yang juga dicatat sebagai data tambahan. Hasil: Diperoleh 57 subjek, terdiri dari 28 operasi suboptimal dan 29 operasi optimal. Skor dengan cut-off point 7 memiliki nilai sensitivitas 60,71% dan spresifisitas 75,68% (OR 4,86; 95% CI 1,55-15,18) dan akurasi 68,42%. Cut-off point ini lebih baik dibandingkan cut-off point 9 pada penelitian aslinya (sensitivitas 53,56% dan spresifisitas 75,68% dan akurasi 64.91%). Berdasarkan analisis bivariat dan multivariat dikembangkan skor lokal menggunakan beberapa parameter; kadar albumin darah < 3,5 g/dL (skor 2), gambaran massa pada porta hepatis atau kantung empedu (skor 1), lesi pada subkapsular hepar atau intraparenkim hepar (skor 4), dan omental cake yang luas (skor 4). Hasil signifikan tampak pada analisis mean skor yang lebih tinggi pada operasi suboptimal (7,61 ± 3,19) dan nilai akurasi 86%. Pada cut-off point 7, sensitivitas dan spesifisitas yang dihasilkan adalah 85,71% dan 72,22% dengan akurasi 77,19%. Simpulan: Skor Suidan dkk. belum dapat diterapkan di RSCM karena sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah. Skor lokal dengan cut-off point 7 pada penelitian ini dapat dikembangkan untuk penggunaannya lebih lanjut. ......Background: Optimal cytoreduction operation and chemotherapy are the cornerstone management of advanced stage ovarian cancer. The mortality of ovarian cancer is as high as 54%. Ovarian cancer is mostly present at late stage and in need of excellent cytoreductive surgery if not extensive surgery to reach optimal debulking. Prediction of cytoreduction outcome is necessary to be incorporated in advanced ovarian cancer management to aim for optimal cytoreduction with minimal morbidity. One of the predictive models established by Suidan et. al. (multicenter prospective trial with accuracy 75.8%) could act as an alternative non-invasive model and should be validated. Objectives: To determine sensitivity and specificity score developed by Suidan et.al. on patients with stage III and IV ovarian cancer. Methods: Observation non-experimental study was conducted (prospectively January 2018 – May 2019 and restrospectively January 2015 – December 2017) at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta-Indonesia after ethical clearance. Subjects are patients with ovarian cancer FIGO stage III and IV who underwent primary debulking surgery. External validation was performed for Suidan’s score which used 3 clinical parameters and 8 CT-scan parameters. Moreover, three other clinical features and five other advanced imaging results were included. Results: Fifty-seven subjects were included, consist of 28 suboptimal debulking and 29 optimal debulking. Score with cut-off point 7 has sensitivity value 60.71% and specificity of 75.68% (OR 4.86; 95% CI 1.55-15.18) with accuracy 68.42%. They were better than original cut-off points 9 (sensitivity 53.56%, specificity 75,68%, and accuracy 64.91%). Based on bivariate and multivariate results, local score was developed and established with several parameters; blood albumin < 3.5 g/dL (score 2), image of mass on porta hepatis and gall bladder (score 1), lesion of subcapsular and intraparenchymal liver, and vast omental cake (score 4). Mean of the score was significantly higher on suboptimal debulking (7.61 ± 3.19) with accuracy 86%. Cut-off points 7 showed sensitivity value of 86.71% and specificity 0f 72.22% (accuracy 77.19%). Conclusion: The Suidan’s prediction score could not provide good sensitivity and specificity to be used at RSCM. Local score should be developed to be used at RSCM, the local score in this study could be sat as a beginning.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Yanuar Amal
Abstrak :
Latar Belakang:Kanker prostat merupakan keganasan ketiga yang paling sering ditemukan di Indonesia. Sekitar 90-95% kanker prostat adalah adenokarsinoma asinar. Prognosis kanker prostat dan strategi tatalaksana didasarkan pada derajat keganasan. Tujuan penelitian ini untuk evaluasi rasio ADC dalam menentukan agresivitas kanker prostat. Metode:Sebanyak 32 sampel kanker prostat dari zona perifer yang terbukti dengan biopsi dan telah dilakukan pemeriksaan MRI 1,5T dengan body coil. Rasio ADC dihitung menggunakan nilai ADC tumor dengan urin di vesika urinaria, otot obturator, dan ramus pubis sebagai referensi. Analisis rasio ADC dengan hasil histopatologi grade group <2 dan >3 menggunakan student t. Kurva ROC digunakan untuk akurasi diagnostik rasio ADC dalam menentukan grade group. Hasil:Terdapat 12 dan 20 sampel grade group <2 dan >3. Rasio ADC tumor-urin 0,24, tumor-obturator internus 0,64, dan tumor-ramus pubis 0,85, lebih rendah dan bermakna pada pasien dengan grade group >3 (p <0,005). AUC dihitung menggunakan rasio ADC tumor-urin menunjukkan hasil tertinggi (0,988) di antara rasio ADC tumor-obturator internus (0,887) dan tumor-ramus pubis (0,783).Kesimpulan:Ketiga rasio ADC berbeda bermakna dalam membedakan grade group<2 dan grade group>3, serta merupakan prediktor signifikan dari kanker prostatgrade group >3. ......Background: Prostate cancer is the third most common malignancy in Indonesia. Approximately 90-95% of prostate cancers are adenocarcinoma acinar. Prostate cancer prognosis and treatment strategies are based on degree of malignancy. Objective of this study was to evaluate the ADC ratio in determining the aggressiveness of prostate cancer. Method: Thirty two prostate cancer samples from peripheral zones were proven by biopsy and 1.5T MRI examination was performed with body coil. ADC ratio was calculated using ADC value of tumor with urine in bladder, obturator muscle, and pubic ramus as a reference. Analysis ADC ratio with grade group <2 and >3 using a student T-test. The ROC curve is used for the accuracy of ADC ratio in determining the grade group. Results: Twelve and 20 samples of grade group <2 and >3. Three ADC ratio (0.24, 0.64, and 0.85, respecively) lower in grade group >3 (p <0.002). AUC was calculated, ratio ADC tumor-urine show the highest results (0.988) among tumor-internal obturator (0.887) and tumor-pubic ramus (0.783). Conclusion: Three ADC ratio have differed significantly in distinguishing grade group <2 and >3, and were a significant predictor of grade group >3 prostate cancer.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Albertha
Abstrak :
Latar Belakang: Karsinoma endometrium adalah keganasan pada organ reproduksi wanita yang terjadi umumnya pada wanita pasca menopase. Pemeriksaan radiologi khususnya MRI merupakan penunjang penting dalam menentukan staging dan keterlibatan organ organ rongga panggulyang akan menentukan pilihan terapi. Perkembangan teknik fungsional MRI yakni diffusion weighted imaging (DWI) dan apparent diffusion coefficient (ADC)digunakan untuk membedakan lesi jinak dengan ganas, grading disertai dengan perluasannya, tetapi sayangnya teknik inimemiliki keterbatasanyakni nilai yang dihasilkan pada setiap alat MRI heterogen. Saat ini berkembang teknik baru yang membandingkan nilai ADC jaringan lesi dengan nilai ADC jaringan sehat dengan hasil nilai yang lebih homogen. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah membuktikan nilai rerata rasio ADC memilikihasil lebih homogen dibandingkan dengan nilai rerata ADC. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif potong lintang menggunakan data sekunder. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2018 hingga Maret 2019, dengan jumlah sampel sebanyak 21 sampel. Hasil: Median nilai ADC tumor endometrium, urin, dan miometrium adalah 0,58 mm2/s, 3,26 mm2/s, dan 1,52 mm2/s. Berdasarkan coefficient of variation (COV) nilai rasio ADC lebih homogen dibandingkan dengan nilai ADC tumor (nilairasio ADC tumor-urine 35,1%, tumor-miometrium 41,7%, dan ADC tumor 42,2%). Kesimpulan: Nilai rasio ADC memiliki nilai yang lebih homogen dibandingkan dengan nilai ADC, sehingga dapat digunakan sebagai parameter non-invasif dalam mengevaluasi tumor. ...... Background: Endometrial carcinoma is most common gynecologic malignancy that occurs usually in postmenopausal women. Imaging examination, especially MRI, is important in determining the staging and involvement of intrapelvic organs, which will determine the therapy for the patient. Diffusion weighted imaging (DWI) and apparent diffusion coefficient (ADC) can be used to help distinguish benign or malignant lesions, grading and expansion of the lesion, but unfortunately this technique produced heterogeneous values. Currently a new technique is developing that compares the tissue ADC value of lesions with healthy tissue, resulting more homogeneous values. Purpose: The purpose of this study is to prove the average value of the ADC ratio has more homogeneous results than the average value of the ADC. Methods: This study uses a cross-sectional descriptive design, using secondary data. The study was conducted from December 2018 to March 2019, with a total sample of 21. Result: The median ADC value of endometrial, urine, and myometrial tumors was 0.58 mm2 / s, 3.26 mm2 / s, and 1.52 mm2 / s. Based on coefficient of variation (COV) the ADC ratio value is more homogeneous compared to the tumor ADC value (tumor-urine ADC ratio value is 35.1%, myometrial tumor 41.7%, and tumor ADC 42.2%). Conclusion: The ADC ratio value has a more homogeneous value than the ADC value, so it can be used as a non-invasive parameter in evaluating tumors.
[Jakarta, Jakarta]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brian Prima Artha
Abstrak :
Latar belakang: Kanker endometrium merupakan kasus kanker baru terbanyak ke dua pada organ ginekologi setelah kanker serviks. Kanker endometrium dikategorikan menjadi dua: tipe I (estrogen related) dan tipe II (nonestrogen related). Kanker endometrium tipe I merupakan kasus tersering dari kanker endometrium. Manajemen utama untuk kanker endometrium adalah operasi. Tindakan operasi dan terapi adjuvan kasus kanker endometrium tipe I dipengaruhi beberapa variabel yang dapat dinilai preoperasi. Invasi miometrium dan keterlibatan serviks merupakan variabel preoperasi yang penting pada kanker endometrium tipe I. Magnetic resonance diffusion weighted imaging merupakan metode yang menjanjikan dalam menilai invasi miometrium dan keterlibatan serviks. Metode: Penelitian cross-sectional dilakukan untuk menganalisis hasil magnetic resonance diffusion weighted imaging dalam menilai invasi miometrium dan keterlibatan serviks. Penelitian ini melibatkan semua pasien kanker endometrium tipe I di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo dari April 2016 hingga April 2019. Invasi miometrium dan keterlibatan serviks diperiksa menggunakan mesin MRI 1,5 T. Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan histopatologi sebagai standar. Hasil: Sebanyak 34 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Rentang usia pasien berkisar dari 22 hingga 73 tahun. Hasil histopatologi semua pasien yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah kanker endometrium tipe I. Pemeriksaaan menggunakan magnetic resonance diffusion weighted imaging memberiksan hasil 22 pasien (64,7%) dengan kedalaman invasi miometrium lebih dari 50% dan 12 pasien (35,3%) dengan kedalaman invasi miometrium kurang dari 50%; 6 pasien (17,6%) dengan keterlibatan serviks dan 28 pasien (82,4%) tidak ada keterlibatan serviks. Hasil histopatologi menunjukkan 17 pasien (50%) dengan kedalaman invasi miometrium lebih dari 50% maupun kurang dari 50%; 7 pasien (20,6%) dengan keterlibatan serviks dan 27 pasien (79,4%) tidak ada keterlibatan serviks. Sensitivitas dan spesifisitas magnetic resonance diffusion weighted imaging dalam menilai invasi miometrium pada kanker endometrium tipe I adalah 94,12% dan 64,71%, secara berurutan. Sensitivitas dan spesifisitas magnetic resonance diffusion weighted imaging dalam menilai keterlibatan serviks pada kanker endometrium tipe I adalah 57,14% dan 92,59%, secara berurutan. Simpulan: Magnetic resonance diffusion weighted imaging dapat memberikan informasi prognostik yang cukup baik mengenai invasi miometrium dan keterlibatan serviks pada pasien kanker endometrium. ......Background: Endometrial cancer is the second most common new case reproductive organ cancer in the world after cervical cancer. Two different clinicopathologic subtypes of endometrial cancer are categorized: estrogen related (type I) and nonestrogen related (type II). Type I endometrial cancer accounts for approximately 75 percent of all endometrial cancer cases. Primary management for endometrial cancer is surgery. Operation procedure and adjuvant treatment of type I endometrial cancer were affected by some variables assessed preoperatively. Myometrial invasion and cervical involvement are important prognostic variables in type I endometrial cancer. Magnetic resonance diffusion weighted imaging is promising in evaluation of myometrial invasion and cervical involvement. Methods: We conducted a cross-sectional study to analyze the result of magnetic resonance diffusion weighted imaging in evaluating myometrial invasion and cervical involvement. This study involved all type I endometrial cancer patients in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from April 2016 until April 2019. The depth of myometrial invasion and cervical involvement was examined using 1,5-T MR unit. The result was compared to the surgical pathologic findings as the reference standard. Result: 34 patients were enrolled in this study. Patient age was ranged from 22 until 73 years old. All of the patient pathologic findings were type I endometrial cancer. Evaluation using magnetic resonance diffusion weighted imaging showed 22 patients (64,7%) had ≥ 1/2 myometrial invasion and 12 patients (35,3%) had < 1/2 myometrial invasion; 6 patients (17,6%) had cervical involvement and 28 patients (82,4%) had not cervical involvement. Based on surgical pathologic findings, there were 17 patients (50%) had ≥ 1/2 myometrial invasion and also for the patient with < 1/2 myometrial invasion; 7 patients (20,6%) had cervical involvement and 27 patients (79,4%) had not cervical involvement. Sensitivity and specificity of magnetic resonance diffusion weighted imaging to evaluate myometrial invasion in type I endometrial cancer were 94,12% and 64,71%, respectively. Sensitivity and specificity of magnetic resonance diffusion weighted imaging to evaluate cervical involvement in type I endometrial cancer were 57,14% and 92,59%, respectively. Conclusion: Magnetic resonance diffusion weighted imaging can provide reliable prognostic variable information about myometrial invasion and cervical involvement in preoperative preparation of endometrial cancer patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>