Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sellyana
Abstrak :
ABSTRAK
Untuk membuktikan keberadaan bentuk aseksual jamur Sarawakus succisus Rifai di alam telah dilakukan isolasi askospora tunggal jamur tersebut dan isolasi dari tanah di sekitar beberapa rumpun bambu Dendrocalamus giganteus Munro di Kebun Raya Bogor. Hasil isolasi ditumbuhkan pada medium kultur TEA dan diinkubasi dilabotarium pada suhu ruang (24-25C). Dengan membandingkan hasil kultur. Akospora tunggal dengan hasil kultur isolat dari tanah berasil dibuktikan bahwa bentuk aseksual jamur Sarawakus succisus bertahan di tanah. Dilakukan pula studi II teratur untuk membandingkan Sarawakus succisus dan Sorwakus lyccgaloides untuk memperkuat status jenis Sarawakus SUCCISUS sebagai jenis baru. Dari peitelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) bentuk aseksual jamur Sarwakus succisus ditemukan di tanah sekitar rumpun bambu Dendrocalamus giganteus diKebunRaya Bogor: (2) informasi baru yang didapat mengenai keberadaan jenis jamur ini di alam melengkapi informasi taksonomi mengenainya.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jana Tjahjana Anggadiredja
Abstrak :
Tesis ini merupakan gabungan dua makalah hasil penelitian mengenai keanekaragaman jenis rumput laut dan pemanfaatannya oleh masyarakat secara tradisional. Rumput laut atau dikenal dengan nama lain seaweed adalah alga makro yang tumbuh di laut dan digolongkan ke dalam tiga kelas yaitu; Chlorophyceae (alga hijau), Rhodophyceae (alga merah) dan Phaeophyceae (alga coklat). Penelitian keanekaragaman jenis dilakukan di perairan pantai Warambadi dan penelitian pemanfaatan rumput laut dilakukan khusunya di lingkungan masyarakat Suku Sumba dan Sabu di Kampung Warambadi dan sekitarnya, Kabupaten Sumba Timur, mulai bulan April 1997 sampai dengan bulan Maret 1998. Makalah pertama berjudul Keanekaragaman Rumput Laut di Pantai Warambadi : Fenomena Substrat dan Musim. Penelitian ini didasarkan pada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput taut, yang antara lain adalah substrat, salinitas, temperatur, arus dan gelombang serta intensitas cahaya. Sedangkan salinitas, temperatur dan arus dipengaruhi oleh musim yang terjadi. Bahkan untuk beberapa kasus tertentu, kondisi substrat dipengaruhi pula oleh perubahan musim. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman rumput laut di lokasi penelitian melalui pengukuran indeks keragaman jenis, dengan memperhatikan substrat pasir dan batu karang serta musim kemarau dan musim hujan. Dari pengamatan diperoleh catatan bahwa pada kedua musim dan di kedua substrat, rumput taut yang tumbuh di lokasi penelitian berjumlah 79 jenis Bari 23 genus, yang teridiri dari : 37 jenis alga hijau dari 9 genus, 22 jenis alga merah dad 8 genus dan 20 jenis alga coklat dari 6 genus. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis pada substrat pasir dan batu karang pada musim hujan maupun kemarau tidak berbeda. Demikian pula sebaliknya bahwa indeks keanekaragaman jenis pada musim hujan dan kemarau pada substrat pasir maupun batu karang tidak berbeda. Hasil analisis menunjukkan pula bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis dan jumlah jenis alga tidak dipengaruhi oleh perbedaan tipe substrat dan musim, tetapi sangat dipengaruhi oleh interaksi antara substrat dan musim. Adapun hasil analisis terhadap masing-masing kelas menunjukkan, bahwa indeks keanekaragaman jenis alga hijau dipengaruhi oleh tipe substrat dan musim, tetapi tidak oleh interaksi keduanya. Untuk alga merah, indeks keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh musim dan interaksi antara substrat dengan musim, akan tetapi tidak dipengaruhi oleh tipe substrat. Sedangkan indeks keanekaragaman jenis alga coklat dipengaruhi oleh tipe substrat dan musim, tetapi tidak oleh interaksi keduanya. Hasil analisis menunjukkan pula, bahwa jumlah jenis alga hijau, alga merah dan alga coklat dipengaruhi oleh tipe substrat dan musim serta oleh interaksi keduanya. Makalah kedua berjudul Studi Etnobotani : Pemanfaatan Rumput Laut di daerah Warambadi - Panguhalodo, Sumba Timur. Makalah ini sebagai hasiI dari penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan masyarakat setempat, khususnya Suku Sumba dan Sabu mengenai pemanfaatan rumput laut. Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 55 jenis yang telah dimanfaatkan secara turun temurun sebagai makanan dan/atau obat tradisonal, dan 32 jenis di antaranya adalah jenis yang baru diinformasikan sebagai makanan dan obat. 54 jenis dari 19 genus telah terbiasa dimanfaatkan sebagai makanan, khususnya oleh masyarakat keturunan Suku Sumba dan Sabu. Jenis alga tersebut terdiri dari 17 jenis alga hijau, 17 jenis alga merah dan 20 jenis alga coklat. Diketahui pula bahwa 38 jenis dari 18 genus temyata sudah biasa pula dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh masayarakat, dan terdiri dari 7 jenis alga hijau, 13 jenis alga merah, 18 jenis alga coklat. Rumput laut dikonsumsi secara tradisional dalam berbagai bentuk antara lain; mentah sebagai lalap dan sayur, dibuat acar dengan bumbu rempah dan cuka, dibuat sayur dengan air santan, ditumis dengan minyak kelapa, dimasak dengan air kelapa dan gula dibuat puding atau penganan. Sebagai obat tradisional rumput laut digunakan untuk: kosmetika tradisional (dalam bentuk puderlbedak atau lotion), penurun panas, antiseptik, obat cacingan, obat batuk dan asma, mimisan dan bisul, bawasir, GAKI, gangguan lambung dan pencernaan serta gangguan saluran air kemih. Pengetahuan pemanfaatan rumput laut sebagai makanan dan obat tradisional, sampai saat ini ternyata masih dimiliki oleh masyarakat di daerah Warambadi, Desa Mburukulu Kecamatan Panguhalodo, Kabupaten Sumba Timur, khususnya Suku Sumba dan Sabu. Dengan tidak diketahui asal mulanya, pengetahuan ini telah dimanfaatkan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu dan dari basil wawancara ternyata diketahui pula, bahwa pengetahuan ini berkurang secara gradual sejalan dengan perubahan sosial, ekonomi dan budaya serta kondisi lokasi.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhartati M. Natsir
Abstrak :
Penelitian foraminifera bentik telah dilakukan tanggal 19 November - 3 Desember 1995 di Delta Solo dan Porong Jawa Timur untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan foraminifera bentik dan untuk mengetahui foraminifera aglutinin di Delta Solo dan Porong. Untuk itu telah diambil sampel sedimen dengan menggunakan Van Veen grab di 15 stasiun pada masing-masing delta, kemudian dianalisis di laboratorium.Untuk mengetahui keterkaitan antara komunitas foraminifera bentik dan beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh dalam kehidupan biota ini, maka dilakukan juga pengukuran terhadap sifat fisik perairan seperti kedalaman , salinitas, PH dan turbiditas. Hasil analisa laboratorium kemudian dibagi ke dalam 3 kategori yaitu melimpah, umum dan jarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan foraminifera bentik dan untuk mengetahui foraminifera aglutinin di Delta Solo dan Porong. Hasil analisis menunjukkan terdapat 53 spesies foraminifera bentik dengan jumlah individu 7288 yang termasuk dalam 10 famili di Delta Solo dan 37 spesies dengan jumlah individu 6223 yang termasuk dalam 9 famili di Delta Porong. Seluruh spesies yang dijumpai di dua delta tersebut termasuk dalam subordo Rotaliina, 1VIilioliina dan Textulariina. Spesies yang melimpah di Delta Solo adalah Ammonia beccarii dan Asterorotala trispinosa yang dijumpai di semua stasion penelitian. Terdapat 35 spesies yang termasuk kategori umum dan 16 species pada kategori jarang. Di Delta Porong dijumpai 6 spesies dalam kategori melimpah yaitu Ammonia beccarii, Asterorotalia trispinosa, Ammobcculites agglutinans, Haplophragmoides canariensis, Textularia pseudogramen dan Trochammina amnicola. Sedangkan spesies yang umum 16 species dan 15 species yang tergolong jarang. Sebaran dan kelimpahan foraminifera bentik di Delta Solo dan Porong dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan terutama jenis substrat, pH dan turbiditas. Hasil pengamatan terhadap foraminifera aglutinin menunjukkan keadaan sebaliknya dan hasil foraminifera bentik secara umum, yaitu Delta Porong lebih kaya akan species dibandingkan dengan Delta Solo. Di Delta Solo di jumpai 5 species yang hanya dijumpai di II stasiun, sedangkan di Delta Porong dijumpai 6 jenis yang dijumpai di semua stasiun penelitian. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan dan keadaan delta tersebut.
Solo and Porong Deltas, located in East Java, have different morphological forms. The differences in morphological forms are due to the variation in the sediment types. Solo River which flows from Mount Lawu and Mount Merapi in Central Java supplies a large number of sediment to Solo Delta. The type of sediment of Solo Delta is dominated by clay, silt and fine sand. Porong River receives water from Brantas River which originates from Mount Semeru and Mount Arjuno. The type of sediment of Porong Delta is dominated by sand. Benthic foraminiferans, which live and grow at the bottom of the sediment, are sensitive to environmental changes. Distribution and abundance of benthic foraminifera depend on some environmental factors, and that various ecological factors influence each other. From 15 stations observed in Solo Delta and 15 stations in Porong Delta there was a difference either in the species number or in the number of individuals found. The species are belong to 3 subordos, i.e Rotaliina, Milioliina and Textulariina. The main difference between the two deltas was the abundance of species. The number of species found in Solo Delta were 53 and the number of individuals were 7288, while in Porong there were 37 spesies with 6223 individuals. The predominant species found in almost all stations in two deltas were Ammonia beccarii and Aslerorotalia trispinosa. In Solo Delta the common species found were Ammonia umbonata, Amphistegina lessonii, Bucella frigida, Elphidium crispum, E. craticulatum, E. advenum, E. lessonii, Calcarina calcar,Chrysalidinella dimorpha, Quinqueloculina sp, Q.semirrulum, Q. intricata, Nonion sp, Nonion depressulum, Triloculina trio ata, Reuse/la simplex, Pseudorotalia schroeteriana, Spiroloculina communis, Ammobaculites agglutinans, Textularia pseudogramen. The less common species found were Buliminella elegantissima, B. basicostata, Cymbaloporetta squwnmosa, Cibicides lobatum, Hauerina braayi, Heterostegina depressa, Lagena laevis, Lagena grad/lima, Loxostomum lobatum, L. limbatum, Massilina milled, Operculina ammonoides, Triloculina trigonula, Ammotium cassis, Haplophragmoides canariensis and Textularia sagittula. In Porong Delta, besides Ammonia beccarii and Asterorotalia trispinosa other species which were found abundant in almost all of the stations were Ammobaculites agglutinans, Haplophragmoides canariensis, Textularia pseudogramen and Trochammina amnicola. The latest species are agglutinated foraminifera which live well at the sandy sediment dominating Porong Delta.The common species were Adelosina semistriata, Ammotium cassis, Elphidium advenum, E craticulatum, E. lessonii, Pseudorotalia shroeteriana, Heterostegina depressa, Flintina bradyana, Operculina ammonoides, Quinqueloculina seminulum, Q. lamarchiana, Nonion sp, Reusella simplex, Triloculina tricarinata, spiroloculina commis, Textularia sagittula. The rare species found were Amphistegina lessonii, Calcarina calcar, Cibicides praecinctus, Crysalidinella dimorpha, Loxoslomum lobatum, L. limbatum, Miliolinella subrotunda, M sublineata, Nonion depressulum, N. cf asterizans, Qrbitolites duplex, Quinqueloculina cultrata, Q. venusta, Q. granulocostata, Triloculina trigonula. The range of salinity in Solo Delta was 15 - 32 %o and in Porong Delta was 10 - 30 %o. Previous researchers showed that foraminiferan species adapt and produce well at salinity between 15 - 40 %o. That means that the salinity in Solo Delta is probably more suitable for foraminifera than in Porong Delta. The everage pH in Solo Delta was 7,86 while in Porong Delta was 8,20. According to some researchers, foraminiferans were found abundant in lower pH. Turbidity in Solo Delta was between 33,0 - 87,5 NTU, while in Porong Delta areas was between 37,8 - 200 NTIJ. That means that the water in Solo Delta was clearer than in Porong Delta. Water clearance influences penetration of sunlight , and results in decreasing photosynthesis activities of plankton which leads to food deficiency. According to previous researchers the population of some foraminiferans decreases at zones with high turbidity. Those above factors might influence the distribution and abundance of the benthic foraminifera, of both deltas. The study of aglutinated foraminiferan was done simultaneously with the study of distribution and abundance of benthic foraminiferans in Solo and Porong Delta. From 15 stations studied in each delta 5 species were found in Solo Delta and 6 species were found in Porong Delta. All species belongs to 3 families, namely Lituoliidae, Textulariidae and Trochanuniniidae. The 5 species found in Solo Delta were Ammobaculites agglutinans, Ammotium cassis, Haplophragmoides carurriensis, Textularia pseudogramen and T. sagittula. In Porong Delta, besides those 5 species, another species, i.e. Throcarnmrna amnicola, was also found. In general, Porong Delta is richer than Solo Delta in number of species and number of individuals of species. This might be due to the differences in types of sediment and water conditions of both deltas.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utari Budihardjo
Abstrak :
Hasil penelitian tentang di Madura yang dilakukan pada bulan Juli 1995 sampai dengan bulan Juli 1996 telah diketemukan empat species Baru di perairan Indonesia, yaitu Solen abbreviatus, Solen comeus, Solen malaccensis dan Solen timorensis. Solen merupakan makanan tambahan untuk lauk pauk, cemilan dan sebagai penyedap (petis). Solen regularis, Solen malaccensis dan Solen leanus mempunyai kandungan protein masing-masing 10,73%;12,34%; 11,29%. Kandungan karbohidrat 4,1%, 5,39% dan 6,66%. Sedangkan kandungan lemak 1,22% dan 1,29 % dan kandungan air sebesar 79,33%, 79,46% dan 75,68%.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djarwanto
Abstrak :
Di alam banyak ditemukan jamur pelapuk kayu yang dapat dimakan. Salah satunya adalah genus Pleuratus (jamur tiram), yang merupakan salah satu perombak utama bahan lignoselulosa di hutan tropis (Kurtzman & Zadrazil, 1982). Jamur tersebut telah diterima masyarakat sebagai sumber bahan makanan tambahan (Suprapti, 1987). Jamur tiram memiliki nilai gizi cukup baik (Crisan & Sand, 1978; Bano & Rajarathnam, 1982, dan Djarwanto & Suprapti, 1992), Selain itu, jamur P. ostrecrrrrs dapat menghambat pertumbuhan tumor pada tikus sebesar 75,3% (Chang, 1993). Kayu akasia (Acacia mangium Willd.), damar (Agathis borneensis Warp.), dan karet (Hevecr brasiliensis Muell. Arg.) merupakan tiga dari beberapa jenis kayu yang dikembangkan sebagai pohon hutan tanaman industri. Di Indonesia, limbah lignoselulosa yang merupakan produk sampingan industri kehutanan terdapat melimpah. Tanpa perlakuan terhadap limbah tersebut maka proses pelapukan secara alami akan memakan waktu yang relatif lama, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Mempertimbangkan bahwa sumber daya kayu dan jamur pelapuk banyak terdapat di Indonesia, maka terbuka peluang untuk memanfaatkannya secara bersamaan sehingga akan diperoleh nilai tambah yang lebih baik dibandingkan apabila dimanfaatkan secara terpisah atau dibiarkan begitu saja. Dengan memanfaatkan kekayaan tersebut secara bijaksana, diharapkan akan mempunyai andil dalam pelestarian sumberdaya alam dan kemungkinan terbukanya lapangan kerja Baru. Ketahanan kayu yaitu daya tahan suatu jenis kayu terhadap beberapa faktor seperti jamur, serangga, dan binatang laut. Di daerah tropis, nilai suatu jenis kayu untuk keperluan konstruksi sangat ditentukan oleh keawetannya, karena kayu yang berkelas kuat satu, tidak akan ada artinya jika kelas awetnya rendah, sehingga kelas pakainya juga rendah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan produktivitas sembilan isolat jamur Pleurolus dalam mengkonversi limbah lignoselulosa menjadi biomasa yang dapat dimakan, dan kemampuan jamur tersebut melapukkan balok tiga jenis kayu hutan tanaman. Jenis jamur yang diteliti yaitu Pleurolus flabellalrrs Berk. & Br., P. oslrealus Jacq. ex Fr., dan P. sajor-caju (Fr) Sing., masing-masing terdiri dari tiga isolat yang diperoleh dari lapangan di Jawa Barat dan koleksi Puslitbang Hasil Hutan, Bogor. Untuk mengetahui pertumbuhan miselium jamur pada media agar dipergunakan Malt Extract Agar (MEA), dan Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan petri. Media produksi dibuat dari serbuk gergaji kayu akasia, damar, dan karet, masing-masing sebanyak 77,5%, ditambah dengan dedak 20%, gips 1,0%, CaCO3 1,0%, urea 0,5%, dan air suling secukupnya. Masing-masing komposisi dicampur hingga homogen dan dimasukkan ke dalam kantong plastik PVC sebanyak 450 gram, kemudian disterilkan dan diinokulasi dengan isolat jamur tersebut. Efisiensi konversi biologi (EKB) dinyatakan dalam persentase bobot tubuh buah jamur segar terhadap bobot bahan media kering, sesuai dengan penelitian Silverio el al. (1981), Royse (1985), Diable & Royse (1986), dan Madan el al. (1987). Kemampuan jamur dalam melapukkan balok kayu diuji dengan metode Kolleflask sesuai standar DIN 52176. Sebagai pembanding digunakan Schizophyllum commune Fr. Data bobot tubuh buah, jumlah pilaus, frekuensi panen, nilai EKB dan pengurangan berat balok kayu dianalisis dengan menggunakan rancangan faktorial 3x3x3 (jenis kayu, jenis jamur dan isolat) dengan lima ulangan. Hasilnya menunjukkan bahwa miselium jamur Pleurolus dapat tumbuh baik pada media MEA maupun PDA. Laju pertumbuhan miselium pada media agar berkisar antara 5,5-8,8 mm/hari. Laju pertumbuhan yang tinggi ditemukan pada P. ostreatus isolat II, sedangkan yang rendah pada P. flabellatus isolat II. Isolat jamur yang cepat tumbuh untuk masing-masing jenis yaitu P. flabellatus isolat III, P. ostreatus isolat I dan II, dan P. sajor-caju isolat I dan III. Sampai umur tiga minggu setelah inokulasi, pertumbuhan miselium pada permukaan media serbuk gergaji kayu akasia paling cepat. Laju pertumbuhan miselium berturut-turut adalah P. ostreatus, diikuti P. sajor-caju, dan yang paling lambat adalah P. flabellatus. Laju pertumbuhan yang cepat adalah P. ostreatus isolat I & II, dan P. sajor-caju isolat I & III. Permulaan panen jamur tercepat adalah P. flabellatus isolat III, diikuti oleh P. flabellatus isolat II & I, dan yang paling lambat adalah P. sajor-caju isolat II. Frekuensi panen dan jumlah pileus P. flabellatus adalah paling tinggi. Frekuensi panen yang tinggi umumnya pada isolat II, sedangkan jumlah pileus isolat I umumnya paling banyak. Kemampuan jamur Neuron's dalam mengkonversi media yang paling tinggi adalah pada kayu karet, dan yang paling rendah pada kayu damar. Produktivitas dan biokonversi yang tinggi dihasilkan oleh P. ostretus isolat I dan II, P. flabellatus isolat I, sedangkan P. sajor-caju hampir sama untuk masing-masing isolat. P. flabellatus isolat I dan II merupakan strain yang berbeda dengan isolat III, P. ostreatus isolat I adalah satu strain dengan isolat III yang berbeda dengan isolat II, sedangkan P. sajor-caju isolat I dan III memiliki strain yang berbeda dengan isolat II. Pemanfaatan limbah serbuk gergaji tersebut merupakan salah satu upaya mengefisiensikan pemanfaatan sumber daya kayu yang berimplikasi pada konservasi sumber daya alam, karena biokonversi membantu mempertahankan lingkungan dari timbunan sisa bahan organik yang berlebihan, dan memberikan nilai tambah berupa biomassa jamur yang dapat dimakan. Kemampuan P. sajor-caju melapukkan kayu rendah, sedangkan kemampuan P. ostrealus lebih tinggi. Pada umumnya ketiga jenis jamur Pleurotus isolat II dan lII lebih merusak kayu daripada isolat I. Derajat pelapukan kayu akasia oleh jamur Pleurolus tidak berbeda dengan damar, sedangkan pada kayu karet lebih tinggi. Pengurangan berat kayu yang tinggi ditemukan pada kayu karet yang diinokulasi dengan P. ostreatus isolat II dan P. flabelatus isolat III. Kemampuan jamur Pleura's dalam melapukkan contoh uji balok kayu umumnya lebih rendah dibandingkan dengan S. commune.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library