Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sophia Rebecca Adventa
"Latar Belakang: Status kebersihan rongga mulut yang buruk ditandai dengan biofilm dalam jumlah banyak. Biofilm terbentuk dari perlekatan bakteri ke permukaan padat dan dengan bakteri lain. Bakteri later colonizers patogen periodontitis di biofilm seperti Treponema denticola bergantung pada early colonizers seperti Veillonella parvula. Protein VtaA dan Msp berperan dalam fungsi perlekatan Veillonella parvula dan Treponema denticola. Akumulasi biofilm dapat menyebabkan periodontitis. Akan tetapi periodontitis tidak umum dibahas pada anak. Tujuan: Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan jumlah Veillonella parvula dan Treponema denticola, serta ekspresi gen VtaA dan Msp spesifik tiap bakteri dari saliva anak terhadap status rongga mulut. Metode: Penelitian ini menggunakan 40 sampel saliva anak yang dikelompokkan berdasarkan kategori OHI-S. Ekstraksi RNA untuk analisis ekspresi gen dan DNA untuk jumlah bakteri target dari sampel menggunakan GeneZol Kit. Konversi RNA menjadi cDNA menggunakan SensiFast cDNA Kit. Ekstrak DNA dan cDNA diuji dengan Real-time PCR. Analisis jumlah bakteri menggunakan kuantifikasi absolut dan tingkat ekspresi gen menggunakan kuantifikasi relatif. Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna antara jumlah kedua bakteri maupun tingkat kedua ekspresi gen di antara kategori OHI-S. Jumlah Veillonella parvula cenderung menurun dan Treponema denticola cenderung meningkat seiring memburuknya skor OHI-S. Kesimpulan: Deteksi peningkatan jumlah Veillonella parvula tidak dapat menjadi bioindikator inisiasi penyakit periodontal. Ekspresi gen VtaA dan Msp tidak dapat digunakan sebagai bioindikator pembentukan biofilm dalam jumlah tinggi.

Backgrounds: Poor oral hygiene status is marked by large amount of biofilms. Biofilms are made from bacterial adhesion to solid surfaces and to other bacteria. Later colonizers periodontitis pathogenic bacteria in biofilms like Treponema denticola, depend on early colonizers such as Veillonella parvula. VtaA and Msp are proteins that function in adhesion of Veillonella parvula and Treponema denticola. Biofilms accumulation can cause periodontitis. However, periodontitis is not a common discussion on children. Objectives: This research aims to analyze the correlation between the quantity of Veillonella parvula and Treponema denticola, also VtaA and Msp gene expression with oral status from children’s saliva. Methods: This study uses 40 samples of children’s saliva which has been grouped according to OHI-S category. RNA extraction to analyze gene expression and DNA extraction to quantify target bacteria from samples using GeneZol Kit. RNA conversion to cDNA uses SensiFast cDNA Kit. DNA extract and cDNA are tested using Real-time PCR Analysis of bacteria quantity with absolute quantification dan gene expression levels with relative quantification. Results: There is no significant difference between target bacteria quantity also gene expression levels between the OHI-S categories. Veillonella parvula’s quantity tends to decrease and Treponema denticola tends to increase as OHI-S scores worsens. Conclusions: Detection of increasing quantity of Veillonella parvula cannot be used as a bioindicator of periodontal disease initiation. VtaA and Msp gene expression cannot be used as a bioindicator of high rates of biofilm’s formation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Astasari Hadi
"Belakang: Polimorfisme gen MMP-9 berperan dalam degradasi kolagenase tipe IV pada matriks ekstraselular yang memicu terjadinya destruksi tulang pada periodontitis.
Tujuan: Untuk membandingkan distribusi polimorfisme gen MMP-9 -1562 C/T rs3918242 pada penyakit periodontitis dengan kontrol.
Metode: Polimorfisme gen MMP-9 -1562 C/T di analisis menggunakan metode PCR-RFLP dengan enzim restriksi SphI.
Hasil: Mayoritas frekuensi alel T ditemukan pada sampel periodontitis 11 dibandingkan dengan sampel kontrol 2. Sedangkan untuk frekuensi genotipe CT pada sampel periodontitis 22 ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan sampel kontrol 4.
Kesimpulan: Ditemukan gambaran polimorfisme Gen MMP-9 ndash;1562 C/T pada penyakit periodontitis dan terdapat hubungan bermakna antara distribusi polimorfisme gen tersebut pada penyakit periodontitis dan individu sehat p = 0,018.

Background: MMP 9 gene polymorphism is involved in degradation of type IV collagenases in the extracellular matrix ECM that leads to bone destruction in periodontitis.
Objectives: To compare the distribution of the MMP 9 1562 C T rs3918242 polymorphism in Indonesian males with and without periodontitis.
Methods: The MMP 9 1562 C T polymorphism was investigated by the PCR ndash RFLP method with SphI restriction enzyme digestion.
Results: The T allele in periodontitis sample 11 are higher than the healthy controls 2 . As well as the CT genotype, was found higher in periodontitis sample 22 than the healthy controls 4.
Conclusion: MMP 9 1562 C T gene polymorphism was found in this study and significantly associated with periodontitis p 0.018.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Layli Pinaringaning Gusti
"Latar Belakang: Estimasi usia penting dilakukan sebagai pembuktian hukum dalam kasus criminal contohnya pemalsuan identitas, pernikahan, dan lain lain. Tooth Coronal Index Khoman (2015) merupakan metode estimasi usia yang sederhana dan dapat diterapkan pada gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar. Namun, metode ini perlu dibandingkan dengan metode Nolla yang telah teruji keakuratannya di dunia.
Tujuan: Membandingkan hasil estimasi usia menggunakan metode TCI Khoman pada gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar dengan metode Nolla pada rentang usia 8-17 tahun.
Metode: Perbandingan hasil estimasi usia menggunakan metode TCI Khoman dengan metode Nolla pada 83 sampel radiograf panoramik.
Hasil: Rumus TCI Khoman dapat menggunakan radiograf periapikal maupun panoramik. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil estimasi usia pada laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil estimasi usia menggunakan TCI Khoman dengan metode Nolla pada gigi insisivus, premolar, dan molar namun terdapat perbedaan bermakna pada gigi kaninus.
Kesimpulan: Metode: Tooth Coronal Index Khoman pada gigi insisivus, premolar, dan molar serta metode Nolla dapat digunakan untuk estimasi usia individu rentang usia 8-17 tahun. Sedangkan metode TCI Khoman pada gigi kaninus tidak dapat digunakan untuk estimasi usia individu rentang usia 8-17 tahun.

Background: Age estimation has become increasingly important in living people for a variety of reasons, including identifying criminal and legal responsibility, marriage, etc. Khoman Tooth Coronal Index method are simple, non-destructive, and can be applied to incisives, canines, premolars, and molars. However, this method needs to be proven its validity in Indonesia with Nolla method.
Objective: To analyse the validity of Khoman Tooth Coronal Index formula on incisivus, canine, premolar, and molar compared to the Nolla method on the age of 8-17 year.
Methods: Comparing the age estimation using Khoman TCI method and Nolla method of the 83 samples of panoramic radiograph.
Result: Khoman TCI can be use on both periapical and panoramic radiograph. There was no significant difference between age estimation of Khoman TCI method using incisives, premolars, and molars and Nolla Method but there was a significant difference between TCI method using canines.
Conclusion: Khoman TCI method using insisives, premolar, molar and Nolla method can be used for age estimation of the age of 8-17 years in Indonesia, except Khoman TCI method using canines.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahfina Farahmida Aljogja
"ABSTRAK
Pendahuluan: Bernapas melalui mulut merupakan suatu kebiasaan buruk yang berdampak terhadap tumbuh kembang dentokraniofasial anak serta menyebabkan masalah lain pada rongga mulut, seperti kebersihan rongga mulut yang buruk dan bau mulut. Bau mulut dihasilkan oleh hasil produk akhir bakteri anaerob proteolitik. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai parameter biologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Tujuan: Mengetahui prevalensi bakteri Treponema denticola dan Porphyromonas gingivalis pada anak bernapas melalui mulut. Metode: Jumlah seluruh subjek pada penelitian ini adalah 60 subjek dan telah dilakukan uji bernapas melalui mulut (19 subjek bernapas melalui mulut dan 41 subjek bernapas melalui hidung). Setelah itu, subjek diklasifikasikan berdasarkan skor organoleptik dan status kebersihan mulut. Identifikasi bakteri Treponema denticola dan Porphyromonas gingivalis pada plak supragingiva dan mukosa bukal subjek dilakukan menggunakan metode PCR konvensional. Hasil: Korelasi antara skor OHI-S dan organoleptik pada kelompok bernapas melalui mulut merupakan korelasi positif (r=0.001), sedangkan pada kelompok bernapas melalui hidung merupakan korelasi negatif (r= -0.046). Prevalensi bakteri Treponema denticola dan Porphyromonas gingivalis pada anak yang bernapas melalui mulut dan hidung tidak berbeda signifikan. Demikian pula nilai signifikansi terhadap prevalensi bakteri berdasarkan parameter klinis yang tidak menunjukkan perbedaan. Kesimpulan: Pada penelitian ini, prevalensi Treponema denticola dan Porphyromonas gingivalis tidak dapat dijadikan sebagai indikator biologis pada subjek bernapas melalui mulut.

ABSTRACT
Introduction: Mouth breathing is a bad habit that has several impacts on dentocraniofacial growth and development in children and other problems in the oral cavity condition, such as poor oral hygiene and halitosis. Halitosis caused by an anaerobic proteolytic bacteria product. Therefore, a further study about oral cavity microflora associated these conditions is needed. Objective: To determine the prevalence of Treponema denticola and Porphyromonas gingivalis in mouth breathing children. Method: A total number of 60 subjects had a mouth breathing test (19 subjects were diagnosed as mouth breathers and 41 subjects were diagnosed as nose breathers). Then, subjects were classified based on organoleptic score and oral hygiene status. Identification of Treponema denticola and Porphyromonas gingivalis in supragingival plaque and buccal mucosa subjects were used a conventional PCR method. Result: The correlation between OHI-S and organoleptic score in mouth breathers has a positive correlation (r= 0.001), meanwhile in nose breathers has a negative correlation (r= -0.046). Prevalence of Treponema denticola and Porphyromonas gingivalis in mouth and nose breathers have no significant differences. Moreover, significance value of prevalence Treponema denticola and Porphyromonas gingivalis based on clinical parameters have no differences. Conclusion: The prevalence of Treponema denticola and Porphyromonas gingivalis cannot be used as a biomarker in mouth breathers."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fiona Verisqa
"Penelitian ini membahas pengaruh kimia dari xylitol terhadap remineralisasi enamel yang sebelumnya mengalami demineralisasi. Sampel email yang berasal dari gigi yang telah diekstraksi untuk kepentingan perawatan orthodonti didemineralisasi terlebih dahulu dan selanjutnya direndam dalam larutan remineralisasi yang mengandung 20% dan 50% xylitol pada suhu 37⁰C selama dua minggu. Sampel lalu dianalisis menggunakan metode Energy Dispersive Xray (EDX) dan X-ray Diffraction (XRD). Hasil berdasarkan EDX mengindikasikan terdapat peningkatan jumlah kalsium dan fosfor pada sampel yang direndam dalam larutan remineralisasi dengan xylitol 50% dibandingkan dengan sampel yang mengalami demineralisasi tanpa direndam dalam larutan remineralisasi dengan xylitol 50% (p < 0.05). Tidak terdapat peningkatan bermakna dari kalsium dan fosfor pada sampel yang direndam dalam larutan remineralisasi dengan xylitol 20% dibandingkan dengan sampel yang mengalami demineralisasi tanpa direndam dalam larutan remineralisasi dengan xylitol 20% (p > 0.05).
Identifikasi komposisi senyawa kristal dengan metode XRD menunjukkan berbagai macam kristal apatit pada sampel yang berbeda. Hidroksiapatit dan fluorapatit ditemukan ada sampel kontrol yang tidak didemineralisasi. Material amorphous ditemukan pada sampel yang didemineralisasi untuk kontrol perlakuan xylitol 50%. Fluorapatit ditemukan pada sampel yang didemineralisasi untuk kontrol perlakuan xylitol 20%. Fluorapatit juga ditemukan pada sampel yang direndam pada larutan remineralisasi dengan xylitol 20% dan 50%. Hasil ini mengindikasikan bahwa xylitol dapat meningkatkan jumlah kalsium dan fosfor dengan menghambat presipitasi kalsium dan fosfat serta bertindak sebagai calcium carrier. Sifat xylitol tersebut dapat mempengaruhi reaksi kimia dari kalsium dan fosfor pada plak, saliva, dan lesi karies. Oleh karena itu, substansi amor phous dari email dapat berubah menjadi kristal apatit seperti fluorapatite. Dengan demikian, xylitol menunjukkan kemampuan untuk mencegah karies dan merestorasi lesi dini karies.

This study aimed to determine the effects of xylitol exposure on the remineralization of artificially demineralized enamel. Samples that were obtained from teeth extracted due to orthodontic treatment were demineralized and then immersed in a remineralizing solution with 20% or 50% xylitol at 37°C for 2 weeks. The samples were analyzed using Energy Dispersive X-Ray (EDX) and Xray Diffraction (XRD) methods. The EDX results indicated that calcium and phosphorus contents were significantly higher in samples that had been immersed in 50% xylitol solution, compared to demineralized samples without such immersion treatment (p < 0.05). There was no significant increase in calcium and phosphorus content for samples that had been immersed in 20% xylitol solution compared to demineralized samples without this immerson treatment (p > 0.05).
Identification of crystal compounds by XRD showed the presence of hydroxyapatite and fluorapatite in untreated samples. Amorphous materials were found in demineralized control samples for 50% xylitol solution. Fluorapatite was identified in demineralized control samples for 20% xylitol solution. Fluorapatite was also identified in samples that had been immersed in 20% and 50% xylitol solution. The results indicate that exposure to xylitol c an increase calcium and phosphorus contents in enamel, probably by inhibiting Ca2+ and PO43- precipitation and acting as calcium carrier. Xylitol exposure may influence the chemical reactions of calcium and phosphorus in plaque, saliva and caries lesions. Through the influenced reactions, amorphous substance of enamel could change into apatite crystal such as fluorapatite. Thereby, xylitol demonstrate caries prevention and possible restoration of initial enamel caries lesions.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aryo Megantoro
"Karies gigi merupakan salah satu penyakit infeksi jaringan keras gigi yang sangat banyak menyerang penduduk Indonesia, dengan tingkat prevalensi lebih dari 90%. Karies terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan proses demineralisasi dan remineralisasi yang terjadi pada permukaan gigi, yaitu pada saat tingkat demineralisasi terjadi lebih tinggi daripada remineralisasi. Untuk menanggulangi masalah karies, diperlukan usaha preventif yang terjangkau oleh masyarakat. Salah satu agen yang dipercaya dapat mencegah terjadinya karies adalah xylitol. Penelitian-penelitian terdahulu telah menyatakan bahwa xylitol dapat meningkatkan remineralisasi. Pada penelitian ini, diteliti pengaruh penambahan xylitol pada larutan remineralisasi pada permukaan email yang didemineralisasi ditinjau dari struktur permukaan email gigi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 22 potong spesimen gigi yang dikelompokkan menjadi kelompok kontrol positif, kontrol negatif, dan perlakuan. Seluruh spesimen gigi, kecuali kelompok kontrol positif, direndam ke dalam larutan asam asetat dengan pH 4 selama 2x24 jam pada suhu 500C. Setelah itu, kelompok perlakuan dibagi ke dalam dua kelompok dan direndam kembali ke dalam larutan reminerlisasi, yang mengandung 20% dan 50% xylitol pada suhu 370C selama 2x7 hari. Seluruh sampel difoto dengan menggunakan SEM (Scaning Electron Micrograf) pada laboratorium CMPFA FTUI dan dilakukan analisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa xylitol dapat memicu terjadinya proses remineralisasi pada permukaan gigi yang telah mengalami demineralisasi.

Dental caries is one of the infection diseases on the tooth. Its prevalence in Indonesia is more than 90%. Caries happened when there is unbalance condition between demineralization and remineralization process, which is higher in demineralization. To prevent the dental caries, there should be preventive programs that can be reached by all people. One agent believed to control and reduced dental caries is xylitol. This research observed the enamel surface?s structure related remineralization effects of xylitol on artificially demineralized enamel. The samples were demineralized in an acid solution with 4.0 pH level for two days. After that, they`re immersed in a remineralized solution containing 20% or 50% xylitol at 37oC for two weeks. Samples were analyzed using SEM to see the quality difference between the control samples and the other one on the enamel?s surface. SEM analyzing indicated that remineralization happened in enamel?s surfaces. The enamel?s surfaces remineralized with solution containing 50% xylitol had a better change after remineralization than the 20% did. These results mean that xylitol can avoid caries by inducing remineralization and inhibit demineralization."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriafnida
"Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pemaparan xylitol pada email yang telah terdemineralisasi terhadap remineralisasi ditinjau dari kekerasan email. Demineralisasi dilakukan dengan larutan asam asetat 0.01 Μ (pH 4.0) pada suhu 50°C selama 2 hari. Untuk remineralisasi, sampel kemudian direndam dalam larutan remineralisasi dengan konsentrasi xylitol 20% atau 50% pada suhu 37°C selama 2 minggu. Kekerasan email dari sampel dengan dan tanpa xylitol diuji menggunakan alat uji kekerasan Vickers. Hasil menunjukkan adanya perbedaan kekerasan email antara kelompok yang diberi aplikasi larutan remineralisasi berxylitol dengan kelompok kontrolnya (p<0.05). Kelompok yang direndam dalam larutan remineralisasi ber-xylitol menunjukkan nilai kekerasan yang lebih besar daripada kelompok kontrolnya. Kekerasan email berkisar antara 423 ± 45 VHN pada kelompok larutan remineralisasi ber-xylitol 20%, sedangkan kelompok kontrolnya menunjukkan nilai 302 ± 60 VHN. Kelompok yang direndam dalam larutan remineralisasi ber-xylitol 50% menunjukkan nilai kekerasan 367 ± 70 VHN, sedangkan kelompok kontrolnya menunjukkan nilai 252 ± 100 VHN. Ini dikarenakan kemampuan xylitol untuk membentuk kompleks dengan ion-ion kalsium, hal ini membantu remineralisasi, sehingga lebih lanjut meningkatkan kekerasan dari email yang terdemineralisasi. Fungsi utama kalsium adalah untuk kekerasan tulang dan gigi.

This study aimed to determine the effects of xylitol exposure of demineralized enamel on remineralization in terms of enamel microhardness. The demineralizing treatment was done with a 0.01 Μ acetate buffer solution (pH 4.0) at 50°C for 2 days. For remineralization, the enamel samples were then immersed in a solution with 20% or 50% xylitol at 37°C for 2 weeks. Hardness of the enamel samples with and without xylitol treatment was measured as Vickers microhardness. Results showed differences of enamel microhardness between the group that is immersed in remineralizing solutions with xylitol and the control group (p < 0.05). Groups that is immersed in remineralizing solutions with xylitol showed higher microhardness values than its control groups. The enamel microhardness ranged between 423 ± 45 VHN on samples that are immersed in remineralizing solution with 20% xylitol, while its control group showed 302 ± 60 VHN in microhardness test. Samples that were immersed in remineralizing solution with 50% xylitol showed 367 ± 70 VHN in microhardness test, while its control group result in 252 ± 100 VHN. This is caused by the xylitol?s capability to form complexes with calcium ions, which helps the remineralization process and further increase the microhardness of the demineralized enamel. The major function of calcium is to provide rigidity and strength to bones and teeth."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bilqis Nurul Azizah
"Latar Belakang: Kasus bencana yang diakibatkan oleh alam dan manusia di Indonesia menimbulkan banyak korban jiwa. Terdapat usia kritis yang terkait dengan undang-undang yang berkaitan dengan usia. Dibutuhkan metode yang paling baik dalam uji estimasi usia, sehingga perlu dicari metode uji estimasi usia yang akurat untuk di Indonesia. TCI-Khoman baru dikemukakan pada tahun 2015, estimasi usia pada metode ini menggunakan gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar pada radiograf periapikal yang  hasilnya belum pernah dibandingkan dengan metode estimasi usia yang sudah ada. Metode atlas Blenkin-Taylor merupakan metode estimasi usia dengan menggunakan atlas tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi usia prenatal hingga 25 tahun  pada pria dan wanita, populasinya pada Australia Modern dengan menggunakan radiograf panoramik atau sefalometrik yang telah digunakan sebagai acuan tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi di dunia. Sehingga dibutuhkan penelitian untuk membandingkan antara hasil estimasi usia menggunakan metode TCI-Khoman yang baru ditemukan, dengan metode atlas Blenkin-Taylor yang sudah menjadi acuan di dunia. Tujuan: Menganalisis keakuratan metode estimasi usia menggunakan rumus TCI-Khoman dibandingkan dengan metode atlas Blenkin-Taylor pada gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar di Indonesia dalam rentang usia 8-25 tahun. Metode: Pengujian estimasi usia pada 123 sampel dengan menggunakan rumus TCI-Khoman kemudian dibandingkan dengan estimasi usia menggunakan metode atlas Blenkin-Taylor. Hasil: Metode TCI-Khoman dapat menggunakan radiograf periapikal maupun panoramik. Hasil perbandingan antara estimasi usia dengan menggunakan metode TCI-Khoman dan atlas Blenkin-Taylor tidak ditemukan perbedaan bermakna. Hasil perbandingan antara usia kronologis dengan masing-masing metode estimasi usia TCI-Khoman dan atlas Blenkin-Taylor tidak ditemukan perbedaan bermakna. Kesimpulan: Uji estimasi usia menggunakan metode TCI-Khoman dengan metode atlas Blenkin-Taylor pada rentang usia 8-25 tahun sama-sama dapat digunakan di Indonesia dengan menggunakan radiograf panoramik.

Background: Cases of human or natural disasters in Indonesia have caused many victims. There is a critical age associated with laws relating to age. The best method for age estimation is needed, so it is necessary to find an accurate age estimation for Indonesian people. TCI-Khoman discovered in 2015, the age estimation in this method uses incisor, canine, premolar, and molar teeth on periapical radiographs whose results have never been compared with existing age estimation methods. The Blenkin-Taylor Atlas method using atlas order of eruption between prenatal age to 25 years old in men and women with Modern Australian population uses panoramic or cephalometric radiographs that have been used as a reference for tooth development and eruption atlas in the world. So the research is needed to compare the results of age estimation using the newly discovered TCI-Khoman method, with the Blenkin-Taylor atlas method that has become a reference in the world. Objectives: To analyze the accuracy of the age estimation method using the TCI-Khoman formula in incisor, canine, premolar, and molar  teeth compared to the Blenkin-Taylor atlas method in Indonesia in the age range of 8-25 years. Methods: Testing age estimations in 123 samples using the TCI-Khoman formula then compared with age estimation using the Blenkin-Taylor atlas method. Results: The TCI-Khoman method can use in both periapical and panoramic radiographs. The results of the comparison between age estimations using the TCI-Khoman method and Blenkin-Taylor atlas did not show significant difference. The results of the comparison between actual age between each TCI-Khoman age estimation method and Blenkin-Taylor atlas did not show significant differences. Conclusion: Both age estimation methods, TCI-Khoman method and Blenkin-Taylor atlas method, in the age range of 8-25 years can be used in Indonesia using a panoramic radiograph."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Kalam Tauhid
"Latar Belakang: Rongga mulut manusia memiliki beragam mikroorganisme yang dapat membentuk suatu komunitas yang memengaruhi kesehatan rongga mulut. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi karies di Indonesia mencapai 60-80%. Konsentrasi protein dan polipeptida yang ada dalam saliva penting dalam pemeliharaan kesehatan mulut dan homeostasis dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif dari proteome saliva. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan total konsentrasi protein dan profil protein saliva dengan status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan status karies dental (DMF-T dan def-t) pada subjek kelompok usia dewasa muda dan anak-anak. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif laboratorik dengan menggunakan Uji Bradford untuk menetapkan total konsentrasi protein dan Uji SDS-PAGE untuk menetapkan profil protein saliva. Sampel uji berupa sampel saliva berjumlah 18 sampel masing-masing kelompok usia (total 36 sampel), dengan diketahui status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan status karies dental (DMF-T dan def-t). Analisis statistik dijalankan dengan menggunakan uji normalitas, kemudian Uji T test-independent. Untuk menganalisis hubungan dilakukan uji korelasi spearman. Analisis data menggunakan SPSS iOS versi 22.0. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan antara total konsentrasi protein saliva kelompok usia dewas muda dan anak-anak (p = 0.001 (p<0.05)), namun tidak terdapat korelasi signifikan antara total konsentrasi protein saliva kelompok usia terhadap OHI-S dan DMF-T atau def-t, serta terdapat perbedaan profil protein saliva berupa perbedaan frekuensi protein bands yang muncul pada masing-masing profil protein.  Kesimpulan: Total konsentrasi protein dan profil protein saliva tidak berhubungan dengan OHI-S dan DMF-T atau def-t pada kelompok usia dewasa muda dan anak-anak, namun tetap memiliki tendensi korelasi.

Human oral health contains various microorganisms that can form a community that affects oral health. According to Riskesdas 2018, the prevalence of caries in Indonesia ranges from 60-80%. The concentration of proteins and polypeptides in saliva is important in maintaining oral health and homeostasis through qualitative and quantitative changes in the salivary proteome.  Objective: This study aims to analyze the relationship between total protein concentration and saliva protein profile with oral hygiene status (OHI-S) and dental caries status (DMF-T and def-t) in adult and child age groups. Methode: This study is a deskriptive laboratory analysis using Bradford tests to determine total protein concentration and SDS-PAGE tests to determine saliva protein profiles. The sample consisted of 18 saliva samples from each age group (total 36 samples), with OHI-S and dental caries status (DMF-T and def-t) determined. Statistical analysis was performed using normality tests, followed by independent sample t-tests. To analyze the relationship, Spearman's correlation test was conducted. Data analysis used SPSS iOS version 22.0. Result: A significant difference was found in the total saliva protein concentration between the young adult and child groups (p = 0.001, p < 0.05), but no significant correlation was found between total saliva protein concentration and OHI-S and DMF-T or def-t status. There was a difference in saliva protein profiles, manifested as differences in the frequency of protein bands in each protein profile.  Conclusion: The total protein concentration and saliva protein profiles do not have a significant relationship with OHI-S and DMF-T or def-t status in young adult and child age groups, but they still show a tendency to correlate."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iednita Cahyadahrena
"Latar Belakang: Early childhood caries (ECC) merupakan penyakit kronik infeksius yang sering terjadi pada anak usia prasekolah, ditandai dengan adanya satu atau lebih gigi yang rusak atau hilang atau ditambal akibat karies. ECC disebabkan oleh mikroorganisme kariogenik seperti S. mutans serotype e dan Candida albicans. Faktor laju alir saliva pada dorsal lidah dapat memengaruhi perkembangan ECC. Tujuan: Menganalisis kuantitas antigen S. mutans serotype e dan antigen Candida albicans yang diisolasi dari dorsal lidah serta kaitannya dengan laju alir saliva anak ECC dan caries free. Metode: S. mutans serotype e dan Candida albicans dari dorsal lidah sampel ECC dan caries free diuji menggunakan indirect ELISA untuk memperoleh antigen dan dibaca dengan panjang gelombang 450 nm, kemudian nilai optical density kedua antigen tersebut dikorelasikan dengan laju alir saliva anak ECC dan caries free. Hasil: Tidak terdapat perbedaan (p>0,05) kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans pada anak ECC dan caries free. Terdapat kecenderungan hubungan positif antara kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans pada anak ECC dan caries free. Kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans paling tinggi ditemukan pada laju alir saliva normal anak ECC. Kesimpulan: Kuantitas antigen Streptococcus mutans serotype e lebih banyak ditemukan pada dorsal lidah anak ECC dibandingkan dengan antigen Candida albicans. Pada laju alir saliva normal anak ECC dan caries free terjadi peningkatan kuantitas antigen S. mutans serotype e dan Candida albicans.

Background: Early childhood caries (ECC) is a chronic infectious disease that often occurs in preschool children, characterized by the presence of one or more teeth that are damaged or missing or restored due to caries. ECC is caused by cariogenic microorganisms such as S. mutans serotype e and Candida albicans. Salivary flow rate in the dorsal tongue can influence the development of ECC. Objective: To analyze the quantities of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens isolated from the dorsal tongue and their relation to the salivary flow rate in ECC and caries free children. Method: S. mutans serotype e and Candida albicans from the dorsal tongue of children with ECC and caries free children were tested using indirect ELISA to obtain the antigens and they were being read with wavelengths of 450 nm, then the optical density values of the two antigens were correlated with the salivary flow rate of ECC and caries free children. Result: There was no significance (p> 0.05) quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens in ECC and caries free. There is a tendency for a positive correlation between quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens in ECC and caries free children. The highest quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens was found in the normal salivary flow rate of ECC children. Conclusion: Quantity of Streptococcus mutans serotype e antigens were higher than Candida albicans in the dorsal tongue of ECC children. At the normal salivary flow rate of ECC and caries free children, there was an increase quantity of S. mutans serotype e and Candida albicans antigens."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>