Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Admiral
"Di Indonesia angka insidens demam berdarah dengue (DBD) selalu menunjukkan peningkatan dan berpotensi untuk terjadinya kejadian luar biasa; tahun 2005 ? 43,42, tahun 2006 meningkat 52,48 dan tahun 2007 meningkat kembali 71,78. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya gambaran penyakit DBD di area makam dan faktor risiko lainnya berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Rancangan penelitian ini adalah studi ekologi dengan analisis spasial dan uji hipotesis.
Hasil penelitian berdasarkan analisis spasial menunjukkan keberadaan makam pada suatu wilayah kelurahan berkaitan dengan tingginya sebaran kasus DBD di wilayah tersebut. Begitu juga untuk kepadatan penduduk yang tinggi, banyaknya jumlah bangunan, angka bebas jentik (ABJ) yang rendah, terlihat juga memiliki sebaran kasus DBD yang tinggi. Secara statistik faktor resiko yang berhubungan signifikans dengan DBD adalah ABJ (p=0,00), suhu udara (p=0,05) dan kelembaban udara (p=0,05). Sedangkan curah hujan tidak ditemukan hubungan yang signifikans (p=0,96).

In Indonesia, the incidence rate of dengue hemorrhagic fever (DHF) has always shown an increase and the potential for the occurrence of outbreak; in 2005 - 42.43, in 2006 increased by 52.48 and in 2007 increased again 71.78. The purpose of this research is to describe of the DHF in the area of the tomb and other risk factors based on Geographic Information System (GIS). The design of this research is ecological study with spatial analysis and hypothesis testing.
The results showed the existence of spatial analysis on the tomb in a village area due to the high distribution of DHF cases in the region. Others variable are the high population density, large number of buildings, number of free larvae (ABJ) low spatial also have a high distribution of DHF cases. Other risk factors statistically associated with DHF are ABJ significance (p=0.00), air temperature (p=0.05), humidity (p=0.05). Meanwhile, precipitation factor was not significance (p= 0.96).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T31355
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hasan Ali Alhabsyi
"Pendahuluan. Adenoma pituitari atau pituitary neuroendocrine tumor (PitNET)
meliputi 10% hingga 15% dari seluruh tumor intrakranial. Sekitar 30%-40% pasien
adenoma pituitari membutuhkan tatalaksana pembedahan. Dari pasien yang
dilakukan operasi tersebut sekitar 25%-40% memiliki luaran yang kurang baik
seperti menginvasi secara lokal, resisten terhadap terapi konvensional, memiliki
tingkat rekurensi yang tinggi serta dapat mengalami metastasis. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui apakah faktor-faktor klinikopatologi tertentu yaitu ukuran
adenoma, tipe/ subtipe adenoma, sifat invasif, sifat proliferatif (Ki-67, mitosis, dan
p53), dan grade adenoma mempengaruhi luaran yang agresif pada adenoma
pituitari pasca operasi.
Metode. Penelitian ini merupakan studi meta analisis dengan menggunakan sumber
data elektronik maupun pencarian manual. Studi-studi yang disertakan adalah studi
observasional. Pemilihan studi didasarkan pada strategi penelusuran literatur sesuai
panduan PRISMA dan kriteria eligibilitas yang telah ditentukan sebelumnya.
Variabel bebas yang dinilai antara lain ukuran adenoma, tipe/ subtipe, sifat invasif,
sifat proliferatif, ki-67, tingkat mitosis, p53, dan grade. Luaran yang dinilai adalah
agresivitas pasca operasi yang terdiri atas rekurensi atau progresi. Penilaian kualitas
dan risiko bias pada tiap studi terpilih mengunakan perangkat Newcastle Ottawa
Scale. Analisis data dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua
tahapan dalam penelitian ini dilakukan oleh setidaknya 2 peneliti.
Hasil. Dari 736 studi awal yang terjaring terdapat 10 studi terpilih. Jumlah subjek
penelitian 2727 orang dengan 632 orang kasus. Durasi pemantauan berkisar antara
3 hingga 11 tahun. Seluruh studi memiliki kualitas sedang hingga baik. Meta
analisis dilakukan pada masing-masing variabel bebas terhadap agresivitas
adenoma pituitari pasca operasi dengan hasil ukuran adenoma ≥10mm dengan
<10mm OR 1,79 (CI 1,29-2,48), tipe kortikotrof dengan non kortikotrof OR 1,91
(CI 1,41-2,58), sifat invasif dengan non invasif OR 3,67 (CI 1,95-6,90), sifat
proliferatif dengan non proliferatif OR 4,78 (CI 3,61-6,32), Ki-67 ≥ 3% dengan <
3% OR 4,13 (CI 2,94-5,81), tingkat mitosis > 2 dengan ≤2 OR 3,91 (CI 2,74-5,57),
p53 positif dengan negatif OR 1,92 (CI 1,28-2,90), dan grade 2b dengan non 2b
OR 4,56 (CI 3,0-6,91).
Simpulan. Faktor-faktor klinikopatologi tertentu yaitu ukuran adenoma, tipe/
subtipe adenoma, sifat invasif, sifat proliferatif (Ki-67, mitosis, dan p53), dan grade
adenoma mempengaruhi luaran yang agresif pada adenoma pituitari pasca operasi.

Introduction. Pituitary adenoma/ pituitary neuroendocrine tumor (PitNET)
comprise of 10% up to 15% of intracranial tumor. About 30%-40% of pituitary
adenoma patients need surgery. For those who have undergone surgery about 25%-
40% will have bad outcomes like locally invasive, resistant to conventional
treatment, high rate of recurrence, and malignant tendency. The aim of this study
was to determine whether certain clinicopathologic factors consisting of size, type/
subtype, invasiveness, proliferative (ki-67, mitotic rate, and p53), and grade
influenced the aggressive outcome of post-operative pituitary adenoma.
Methods. This meta-analysis study used electronic and manual data source.
Included studies were observational studies. Study selection was based to literature
searching strategy according to PRISMA guideline and predetermined eligibility
criteria. Independent variables reviewed were size, type/ subtype, invasiveness,
proliferative, ki-67, mitotic rate, p53, and grade. Outcome reviewed were postoperative
aggressiveness comprised of recurrence or progressive. Quality and risk
of bias assessment to each study included were based on Newcastle Ottawa Scale.
Data analysis was carried out both qualitatively and quantitatively. All stages in this
study were carried out by at least 2 reviewers.
Results. Of the 736 initial studies, 10 were selected. The number of research
subjects were 2727 people with 632 cases. The duration of monitoring ranged from
3 to 11 years. All studies had moderate to good quality. Meta-analysis were carried
out on each independent variable on the aggressiveness of post-operative pituitary
adenoma with the results were size ≥10mm vs <10mm OR 1,79 (CI 1,29-2,48),
corticotroph vs non-corticotroph OR 1,91 (CI 1,41-2,58), invasive vs non-invasive
OR 3,67 (CI 1,95-6,90), proliferative vs non proliferative OR 4,78(CI 3,61-6,32),
Ki-67 ≥ 3% vs < 3% OR 4,13 (CI 2,94-5,81), mitotic rate > 2 vs ≤2 OR 3,91 (CI
2,74-5,57), p53 positive vs negative OR 1,92 (CI1,28-2,90), and grade 2b vs non
2b OR 4,56 (CI 3,0-6,91).
Conclusions. Certain clinicopathologic factors consisting of size, type/ subtype,
invasiveness, proliferative (ki-67, mitotic rate, and p53), and grade influenced the
aggressive outcome of post-operative pituitary adenoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Riahdo Juliarman
"Latar Belakang: Penyakit ginjal diabetik (PGD) merupakan salah satu penyebab terbanyak penyakit ginjal kronik tahap akhir. Podositopati sebagai gambaran dini PGD dapat ditandai oleh adanya protein spesifik podosit (nefrin dan podosin) di urin. Asymmetric dimethylarginine (ADMA) merupakan penanda disfungsi endotel yang diketahui meningkat pada hiperglikemia serta berhubungan dengan albuminuria dan progresivitas kerusakan ginjal. Mekanisme terjadinya gangguan ginjal akibat disfungsi endotel belum sepenuhnya diketahui. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi ADMA plasma dengan kadar nefrin, podosin, dan rasio podosin nefrin (RPN) urin pada pasien PGD. Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap pasien PGD pada dua rumah sakit di Jakarta sepanjang periode April sampai Juni 2023. Dilakukan pengumpulan data karakteristik subjek, riwayat penyakit dan pengobatan, serta data laboratorium yang relevan. Pemeriksaan ADMA dilakukan dengan metode liquid chromatography dari darah, sedangkan nefrin dan podosin dilakukan dengan metode ELISA dari urin. Uji korelasi dilakukan untuk menilai hubungan ADMA dengan nefrin, podosin, dan RPN. Regresi linier dilakukan untuk menilai pengaruh variabel perancu terhadap hubungan tersebut. Hasil: Dari data 41 subjek yang dianalisis ditemukan rerata ADMA 70,2 (SD 17,2) ng/mL, median nefrin 65 (RIK 20-283) ng/mL, dan median podosin 0,505 (RIK 0,433-0,622) ng/mL. Ditemukan korelasi bermakna antara ADMA dengan nefrin (r=0,353; p=0,024) dan korelasi bermakna antara ADMA dengan RPN (r=–0,360; p=0,021). Tidak ditemukan korelasi bermakna antara ADMA dengan podosin (r=0,133; p=0,409). Analisis multivariat menunjukkan indeks massa tubuh sebagai faktor perancu. Simpulan: Terdapat korelasi positif lemah antara ADMA dengan nefrin urin dan korelasi negatif lemah antara ADMA dengan RPN urin pada pasien PGD. Tidak ditemukan korelasi antara ADMA dengan podosin urin.

Background: Diabetic kidney disease (DKD) is the leading cause of end-stage kidney disease, and podocytopathy is an early manifestation of DKD characterized by the urinary excretion of podocyte-specific proteins, such as nephrin and podocin. Asymmetric dimethylarginine (ADMA), a biomarker of endothelial dysfunction, is associated with progressive kidney dysfunction. However, the mechanism of endothelial dysfunction in DKD progression is unclear. Objectives: The aim of this study was to investigate the correlations of ADMA levels with nephrin, podocin, and the podocin nephrin ratio (PNR) in DKD patients. Methods: A cross-sectional study of 41 DKD outpatients was performed in two hospitals in Jakarta from April to June 2023. The collected data included the subjects’ characteristics, histories of disease and medication, and relevant laboratory data. Serum ADMA was measured using liquid chromatography, while urinary podocin and nephrin were measured using the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. A correlation analysis was performed to evaluate the correlation of ADMA with nephrin, podocin, and PNR. Regression analysis was performed to determine confounding factors. Results: The mean value of ADMA was 70.2 (SD 17.2) ng/mL, the median for nephrin was 65 (20-283 ng/mL), and the median of podocin was 0.505 (0.433-0.622) ng/mL. ADMA correlated significantly with nephrin (r = 0.353, p = 0.024) and PNR (r = -0.360, p = 0.021), but no correlation was found between ADMA and podocin (r = 0.133, p = 0.409). The multivariate analysis showed that body mass index was a confounding factor. Conclusion: This study revealed weak positive correlations between ADMA and urinary nephrin, and weak negative correlations between ADMA and PNR in DKD patients. No correlation was found between ADMA and urinary podocin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Englando Alan Adesta
"Latar Belakang. Penyembuhan luka kaki diabetik (LKD) memerlukan waktu yang lama sehingga risiko infeksi, amputasi, dan kematian menjadi lebih tinggi. Salah satu parameter untuk menilai penyembuhan luka adalah pertumbuhan jaringan granulasi. Kadar Vitamin D diketahui terkait dengan risiko terjadinya LKD, infeksi, dan penyembuhan luka. Namun sampai saat ini masih belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan jaringan granulasi LKD.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecnepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.
Metode. Penelitian ini menggunakan bahan tersimpan berupa serum dan dokumentasi foto LKD dari penelitian sebelumnya. Analisis kadar 25(OH)D pada sampel serum darah awal perawatan menggunakan metode Elisa. Sedangkan analisis kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil foto LKD pasien pada visit ke-4 dengan menggunakan program ImageJ.
Hasil. Dari 52 sampel yang dianalisis, kadar 25(OH)D pada awal perawatan menunjukan nilai median = 8.8 ng/mL. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak didapatkan hubungan antara kadar vitamin D dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi (p=0.815).
Kesimpulan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.

Background. Wound in diabetic foot ulcer need a long time to heal which increase risk of infection, amputataion and mortality. One of the criteria in wound healing is growth of granulation tissue. Vitamin D level is known to be related to increase incidence of diabetic foot ulcer, infection, and wound healing. But until now, the effect of vitamin D to the growth of granulation tissue is not clear.
Objective. To know the Association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
Methods. This research uses stored sample in form of serum and footage documentation. It is the initial blood sample from 52 patients with DFU before starting treatment. Vitamin D is calculated with 25 (OH) D level by using ELISA. Analysis of growth in granulation tissue is counted by comparing the footage documentation at initial treatment to the 21st day of treatment with the help of ImageJ software.
Result. From 52 analysed sample, vitamin D level at initial presentation showed a median value of 8.8 ng/mL. The result of the analysis showed that there was no statistically significant association between vitamin D level with the granulation growth rate of diabetic foot ulcer (p=0,815).
Conclusion. There is no significant association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randhy Fazralimanda
"Latar Belakang: Pneumonia berat masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan dunia. Sistem imun diketahui memiliki peranan penting dalam patogenesis pneumonia, namun tidak banyak studi yang menilai hubungan antara kadar CD4 dan CD8 darah dengan mortalitas akibat pneumonia berat pada pasien dengan status HIV negatif.
Tujuan: Mengetahui data hubungan dan nilai potong kadar CD4 dan CD8 darah dengan angka mortalitas 30 hari pada pasien pneumonia berat di RSCM.
Metode: Penelitian berdesain kohort prospektif yang dilakukan di ruang rawat intensif RSCM periode Juni-Agustus 2020. Keluaran berupa kesintasan 30 hari, nilai titik potong optimal kadar CD4 dan CD8 darah untuk memprediksi mortalitas 30 hari dan risiko kematian. Analisis data menggunakan analisis kesintasan Kaplan-Meier, kurva ROC dan multivariat regresi Cox.
Hasil: Dari 126 subjek, terdapat 1 subjek yang loss to follow up. Mortalitas 30 hari didapatkan 26,4%. Nilai titik potong optimal kadar CD4 darah 406 sel/μL (AUC 0,651, p=0,01, sensitivitas 64%, spesifisitas 61%) dan kadar CD8 darah 263 sel/μL (AUC 0,639, p=0,018, sensitivitas 62%, spesifisitas 58%). Kadar CD4 darah < 406 sel/μL memiliki crude HR 2,696 (IK 95% 1,298-5,603) dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki crude HR 2,133 (IK 95% 1,035-4,392) dengan adjusted HR 2,721 (IK 95% 1,343-5,512). Bila sepsis dan tuberkulosis paru ditambahkan dengan kadar CD4 darah dan CD8 darah, didapatkan nilai AUC 0,752 (p=0,000).
Kesimpulan: Kadar CD4 dan CD8 darah memiliki akurasi yang lemah dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia berat. Kadar CD4 darah < 406 sel/μL dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki risiko mortalitas 30 hari yang lebih tinggi.

Background: Severe pneumonia is a major health problem in Indonesia and the world. The immune system is known to play an important role in the pathogenesis of pneumonia, but few studies have assessed the relationship between blood CD4 and CD8 count and mortality from severe pneumonia in patients with negative HIV status.
Objectives: Knowing the correlation data and the cut-off value of blood CD4 and CD8 count with a 30-days mortality rate in severe pneumonia patients at RSCM. Methods. This study is a prospective cohort study conducted at RSCM intensive care rooms from June to August 2020. The outputs were 30-days survival rate, optimal cut-off value for blood CD4 and CD8 count to predict 30-days mortality and mortality risk. Data analysis used Kaplan-Meier survival, ROC curves and multivariate Cox regression analysis.
Results: Of the 126 subjects, there was 1 subject who lost to follow up. The 30- days mortality rate was 26.4%. The optimal cut-off value for blood CD4 count was 406 cells/μL (AUC 0.651, p=0.01, sensitivity 64%, specificity 61%), blood CD8 count was 263 cells/μL (AUC 0.639, p=0.018, sensitivity 62%, specificity 58%). CD4 blood count < 406 cells/μL had a crude HR of 2.696 (95% CI 1.298- 5.603) and blood CD8 count < 263 cells/μL had a crude HR of 2.133 (95% CI 1.035-4.392) with an adjusted HR of 2.721 (CI 95% 1,343-5,512). If sepsis and pulmonary tuberculosis were added to the blood CD4 and CD8 count, the AUC value was 0.752 (p=0.000).
Conclusion: Blood CD4 and CD8 count had poor accuracy in predicting 30-days mortality in patients with severe pneumonia. The group with blood CD4 count < 406 cells/μL and blood CD8 count < 263 cells/μL had a higher risk of 30-days mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aru Ariadno
"Latar belakang: Argon Plasma Coagulation (APC) merupakan modalitas terapi yang
banyak digunakan untuk pengobatan kolitis radiasi pada pasien keganasan ginekologi,
kolorektal dan urologi yang mendapatkan radioterapi di RSUPN-CM.
Tujuan: Menilai hasil dari APC yang dilakukan pada penderita kolitis radiasi dan
faktor perancunya.
Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan desain kohort retrospektif berdasarkan
data dari rekam medis RSUPN-CM antara bulan April 2012 sampai dengan Oktober
2019. Variabel yang dinilai meliputi umur, jenis kelamin, jenis keganasan, diabetes
melitus, hipertensi, dan status anemia, dengan luaran berupa keberhasilan APC.
Pengujian kemaknaan statistik dilakukan sesuai dengan karakteristik data serta tujuan
penelitian, dengan p <0,05 dianggap bermakna. Juga dilakukan analisis multivariat
untuk melihat variabel perancu yang paling memengaruhi keberhasilan APC.
Hasil: Sebanyak 180 pasien kolitis radiasi yang mendapatkan terapi APC memenuhi
kriteria penelitian dengan proporsi terbanyak berjenis kelamin perempuan sebesar
89,4%, dan berusia >50 tahun sebanyak 83,9%. Sedangkan jenis tumor terbanyak
adalah keganasan ginekologi sebanyak 88,9%. Sebanyak 81,3 % subyek mengalami
keberhasilan terapi APC. Nilai tengah frekuensi APC sebanyak 2 sesi dengan rentang
1 sampai 12 sesi. Terdapat 180 subyek (100%) menderita anemia sebelum menjalani
APC yang pertama. Kadar hemoglobin pada penderita APC meningkat dengan
median Hb sebelum APC pertama sebesar 8 g/dL (3-11 g/dL) menjadi 12 g/dL (10-14
g/dL) sebelum APC terakhir. Sebanyak 59,2% subyek yang mengalami keberhasilan
APC tidak lagi menderita anemia setelah terapi APC, dengan perbaikan status anemia
meningkat sebesar 1,628 kali lebih baik pada subyek yang mengalami keberhasilan
APC dibandingkan dengan subyek yang mengalami ketidakberhasilan terapi APC
(p=0,017). Usia, jenis kelamin, jenis keganasan, hipertensi dan diabetes melitus bukan
merupakan faktor perancu terhadap status anemia pada keberhasilan APC.
Kesimpulan: Terdapat perbaikan status anemia pada penderita kolitis radiasi yang
mendapatkan terapi APC di RSUPN-CM.

Background: Argon Plasma Coagulation (APC) is recently widely used in the
treatment of radiation colitis among patients with gynecology, colorectal and
urology malignancy.
Purpose: To measure the result of APC conducted on radiation colitis patients and its
counfounding factors.
Methods: An analytic descriptive study with retrospective cohort design based on
RSUPN-CM database between April 2012 until October 2019. Variables measured
were age, gender, tumor types, diabetes melitus, hypertension, and anaemia, with
efficacy of APC treatment as the outcome. Statistical tests conducted according to
characteristics and the purpose of the study, with p value <0.05 considered
significant. Multivariate analysis was also conducted to evaluate which factors
influenced to the efficacy of APC therapy.
Results: As much as 180 radiation colitis patients received APC treatment fulfilled
inclusion criteria with characteristics female patients (89.4%), and age >50 years old
(83.9%) were found in this study. Types of tumor were dominated by gynecology
malignancy (88.9%). As much as 81.3% subjects had successful APC treatment.
Median number of efficacy of APC treatment in this study was 2 sessions. All of the
subjects had anaemia before the first APC treatment. There was improvement in Hb
level, median Hb before the first APC treatment was 8 g/dL (3-11 g/dL) and median
Hb level before the last APC treatment was 12 g/dL (10-14 g/dL). As much as 59.2%
subjects who had successful APC treatment were no longer anaemia after APC
treatment, with improvement of anaemia status was 1.628 times more likely in
subjects who had successful APC treatment compared to subjects who did not have
successful APC treatment (p=0.017). Age, gender, malignancy types, hypertension
dan diabetes melitus were not confounding factors to anaemia status in successful
APC treatment.
Conclusion: There was improvement in anaemia status on radiation colitis patients
receiving APC treatment in RSUPN-CM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Sari
"

Latar Belakang : Dari berbagai penelitian, dijumpai hasil yang beragam mengenai efek jangka panjang pemacuan ventrikel kanan non apeks terhadap fungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengan alat pacu jantung permanen (APJP) serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 

Tujuan:Menilai hubungan beban pemacuan ventrikel kanan non apeks, durasi QRS pacu (pQRSd) dan durasi pemasangan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengan APJP 

Metode: Studi potong lintang terhadap pasien yang menjalani pemeriksaan APJP di Poliklinik Kardiologi Pelayanan Jantung Terpadu RSCM-FKUI. Dilakukan pemeriksaan program APJP, EKG, NT-proBNP dan ekokardiografi terhadap keseluruhan subyek. Disfungsi sistolik ventrikel kiri didefinisikan sebagai penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri dibawah 50% dan atau NT-proBNP diatas 300 pg/ml.  

Hasil:Dari 46 pasien yang ikut serta dalam penelitian ini, dijumpai 21 (45,65%) pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Terdapat 17 pasien dengan pQRSd ³150 ms yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri sementara hanya dijumpai 4 pasien dengan pQRSd < 150 ms yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri. pQRSd signifikan berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri (p = 0,016). Rerata pQRSd yang lebih lebar dijumpai pada kelompok dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri (171,14 ms ±40,62 vs 147,04 ms ±29,99, p = 0,026). Beban pemacuan ventrikel kanan dan durasi pemasangan APJP tidak berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri ( p = 0,710 dan p = 0,079). 

Simpulan: Durasi QRS pacu berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengan APJP.  

 


Background : The recent studies have suggested that impact of right ventricular non apical pacing on left ventricular systolic function and factors predispose to its development are still conflicting

Objective : To clarify the clinical significance of non apical right ventricle burden, paced QRS duration (pQRSd) and length of permanent pacemaker usage on left ventricle systolic dysfunction

Methods : This is a cross sectional study of 46 patients who underwent routine pacemaker programming evaluation at Poliklinik Kardiologi Pelayanan Jantung Terpadu, RSCM – FK UI. All subjects went through pacemaker programming, ECG, NT-proBNP, and echocardiography examination. Left ventricle systolic dysfunction was defined as ejection fraction < 50 % and or NT-proBNP > 300 pg/ml.  

Results :Out of fourty six patients who enrolled in this study, twenty one (45,65%) patients have left ventricle systolic dysfunction. Seventeen (60,7%) patients with wider pQRSd (³150 ms)have left ventricle systolic dysfunction. pQRSd has association with left ventricle systolic dysfunction (p = 0,016). Wider mean of pQRSd found in left ventricle systolic dysfunction group (171,14 ms ±40,62 vs 147,04 ms ±29,99, p = 0,026). While burden of right ventricle pacing and duration of pacemaker usage have no association with left ventricle systolic dysfunction (p = 0,710 and p = 0,079).

Conclusion: Paced QRS duration has association with left ventricle systolic dysfunction in patients with permanent pacemaker. 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farissa Luthfia
"

Pendahuluan. Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular dengan peningkatan low density lipoprotein sebagai mekanisme utama terjadinya aterosklerosis. PCSK9 adalah regulator reseptor LDL utama sehingga kaitannya dengan aterosklerosis saat ini sedang banyak diteliti. Beberapa studi mengenai hubungan kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 telah tersedia namun bersifat inkonsisten.

Metode. Penelitian ini berbentuk telaah sistematis yang telah didaftarkan di PROSPERO. Penelusuran pustaka sesuai panduan PRISMA dilakukan pada tanggal 18 Juli – 02 September 2020. Setelah dilakukan penilaian risiko bias dengan Newcastle Ottawa Scale kemudian dilakukan telaah naratif pada pustaka yang didapatkan oleh dua penilai independen.

Hasil. Didapatkan 4 studi yang relevan dengan total subjek 430. Tiga studi memiliki kategori kualitas tinggi sementara satu studi dengan kualitas sedang. Hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 didapatkan pada studi oleh Guo dkk. dengan nilai OR: 1,12 (IK 95% 1,041 – 1,204), p: 0,002 dan studi oleh Ma, dkk. dengan p: <0,05. Sementara dua studi lainnya melaporkan tidak ada hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2, Cheng, dkk. Melaporkan nilai β: 1,08 (IK 95% -0,59 -2,75) dan Xie, dkk melaporkan nilai p: 0,334 (IK 95% -18 – 10).

Simpulan. Belum ada bukti yang cukup untuk menjelaskan hubungan antara PCSK9 dengan aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 sehingga penelitian primer yang bersifat longitudinal dibutuhkan.

 


Introduction. Type 2 diabetes melitus is the leading cause of cardiovascular event with high level of low density lipoprotein as the main predictor marker of atherosclerosis. PCSK9 is playing a role in LDL-receptor regulation, its association with atherosclerosis had been investigated but the result is inconsistent. The aim of this study is to see an association of PCSK9 level with atherosclerosis in people with type 2 diabetes.

Methods. Literature searching was done in July 18 – September 02, 2020 and registered in PROSPERO. Risk of bias of each study was analyzed with Newcastle Ottawa Scale tools. The studies that involved in this study then narratively analyzed by two independent reviewers.

Results. There are 430 subjects involved from 4 studies. Guo, et al. reported that there is a significant association between PCSK9 level with atherosclerosis in type 2 diabetes melitus (OR: 1,12 (CI 95% 1.041 – 1.204), p: 0.002), those association was also reported by Ma et al. with p value <0,05. While a different result came from Xie et al. (p: 0,334 (CI 95% -18 – 10)

And Cheng, et al. (𝛽: 1,08 (IK 95% -0,59 -2,75).

Conclusions. There is still insufficient evidence that show the association between PCSK9 level and atherosclerosis in type 2 DM. Longitudinal primary research is needed to see the association.

Keywords: Atherosclerosis, PCKS9, Type 2 diabetes mellitus

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dr. Marthino Robinson Sp.PD
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2019
T56057
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Virly Nanda Muzellina
"Latar Belakang: Reseptor ACE2 tidak hanya terdapat pada paru-paru, tetapi juga pada saluran pencernaan yang memungkinkan terjadinya infeksi SARS-COV-2 pada enterosit, menimbulkan manifestasi klinis gastrointestinal, dan terdeteksinya RNA virus pada pemeriksaan swab anal. Studi lain di seluruh dunia menunjukkan hasil yang berbeda-beda serta belum didapatkan penelitian serupa di Indonesia. 
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luaran klinis infeksi COVID- 19 pada pasien yang dilakukan swab anal, mendapatkan hubungan hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan manifestasi klinis gastrointestinal dan derajat keparahan pada pasien COVID-19 di Indonesia. 
Metode: Merupakan cabang penelitian dari penelitian utama yang berjudul “Nilai RT-PCR Swab Anal untuk Diagnosis COVID-19 pada Orang Dewasa di Indonesia”. Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain potong lintang. Sampel penelitian merupakan pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), RS Mitra Keluarga Depok, RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, dan RS Ciputra selama periode April 2020 sampai dengan Januari 2021. Dikumpulkan data demografi, manifestasi klinis, derajat keparahan, dan hasil swab anal PCR SARS-CoV-2.
Hasil: 136 subjek penelitian dengan swab nasofaring positif dianalisis. 52 pasien (38,2%) dengan swab anal PCR SARS-CoV-2 positif dan 84 pasien (61,8%) dengan swab anal negatif. Manifestasi klinis saluran cerna tersering, yaitu: mual-muntah 69 pasien (50,7%), nafsu makan menurun sebanyak 62 pasien (45,6%), dan nyeri perut sebanyak 31 pasien (22,8). Terdapat 114 pasien (83,8%) tergolong dalam derajat ringan-sedang dan 22 pasien (16,2%) tergolong dalam berat-kritis. Terdapat hubungan yang bermakna secara proporsi statistik antara variabel hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan manifestasi klinis gastrointestinal berupa keluhan diare atau mual-muntah (nilai p 0,031). Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara proporsi statistik antara variabel hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan derajat keparahan (nilai p 0,844).
Simpulan: Terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan manifestasi klinis gastrointestinal berupa keluhan diare atau mual- muntah dan tidak terdapat hubungan antara variabel hasil pemeriksaan PCR SARS- CoV-2 swab anal dengan derajat keparahan infeksi COVID-19.

Background: ACE2 receptor is not only found in the lungs, but also in the digestive tract, which allows the occurrence of enterocyte infection, gastrointestinal clinical manifestations, and detection of viral RNA on anal swab PCR. Studies around the world show various results, yet there has been no similar study to be found in Indonesia.
Objective: This study aims to determine the clinical outcome of COVID-19 patients with gastrointestinal manifestations who were tested by anal swab, the relationship between anal swab PCR for SARS-CoV-2 test result with gastrointestinal clinical manifestations as well as the severity of COVID-19 patients in Indonesia.
Methods: This research is a branch of study titled. The Value of Anal Swab RT- PCR for COVID-19 Diagnosis in Adult Indonesian Patients. This is an analytical study with cross-sectional design. Samples were obtained from hospitalized COVID-19 patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Mitra Keluarga Hospital Depok, Mitra Keluarga Kelapa Gading Hospital, and Ciputra Hospital from April 2020 to January 2021. Demographic data, clinical manifestations, severity, and SARS-CoV-2 PCR anal swab were collected.
Results: 136 subjects with positive nasopharyngeal swab were analyzed. Result showed that 52 patients (38.2%) had positive anal swabs PCR SARS-CoV-2 and 84 patients (61.8%) had negative anal swabs. Common gastrointestinal clinical manifestations were: nausea and vomiting in 69 patients (50.7%), anorexia in 62 patients (45.6%), and abdominal pain in 31 patients (22.8). There were 114 patients (83,8%) classified as mild-moderate and 22 patients (16,2%) as severe-critical. There was a statistically significant relationship between anal swab PCR for SARS- CoV-2 test result with gastrointestinal clinical manifestations (diarrhea or nausea- vomiting) (p value 0.031). There was no statistically significant relationship found between anal swab PCR for SARS-CoV-2 test result with the severity of COVID- 19 infection (p value 0.844).
Conclusions: There is a relationship between anal swab PCR SARS-CoV-2 test result with gastrointestinal clinical manifestations (diarrhea or nausea-vomiting) and there is no relationship between anal swab PCR SARS-CoV-2 test result with severity of COVID-19 infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>