Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eghy Mario Pratama
"Peperangan di era modern menunjukkan karakteristik yang mengabur dan bercampur, baik dalam hal keterlibatan aktor dan/atau instrumen yang digunakan, membuat kita berkutat dalam zona abu-abu antara perang dan damai. Hal inilah yang tergambar dalam konsep perang hibrida dalam ilmu Hubungan Internasional. Konsep ini mengakomodasi unsur kapabilitas konvensional, formasi dan taktik tak reguler, teroris, dan aksi kriminal. Diperkenalkan pada tahun 2007 oleh mantan perwira Amerika Serikat, Frank Hoffman, konsep ini mendapatkan momentum puncaknya mulai tahun 2014. Kala itu, dunia internasional diramaikan oleh manuver politik Rusia dalam Krisis Ukraina. Sejak saat itu, konsep ini semakin sering dibahas secara akademis dan biasanya menyebutkan aksi Rusia sebagai contoh kasus utama. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa konsep perang hibrida ala Barat ini dianggap kurang tepat untuk menjelaskan aksi Rusia yang demikian. Maka dari itu, muncullah konsep Gibridnaya Voyna atau perang non-linear ala Rusia, yaitu sebuah doktrin perang yang diilhami dari Jenderal Rusia bernama Valery Gerasimov (Doktrin Gerasimov). Kehadiran konsep perang hibrida dalam dua perspektif berbeda ini pun mendominasi perdebatan akademis arus utama. Sejak kemunculannya hingga sekarang, konsep perang hibrida ini terus diperdebatkan esensinya. Maka dari itu, tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk meninjau bagaimana perdebatan literatur akan konsep tersebut berkembang.
Tulisan ini meninjau 60 literatur terakreditasi internasional mengenai konsep perang hibrida. Menggunakan metode taksonomi, literatur-literatur tersebut terbagi ke dalam tiga kategori tematis, yaitu: (1) tinjauan konsep perang hibrida, berdasarkan sudut pandang Barat dan Rusia; (2) aktor-aktor yang terlibat dalam perang hibrida; dan (3) relasi perang hibrida dengan terma peperangan lainnya. Dari tinjauan pustaka yang dilakukan, tulisan ini lalu berupaya untuk menyingkap konsensus, perdebatan, serta kesenjangan literatur yang ada dalam perdebatan konsep tersebut. Selanjutnya, tulisan ini turut menampilkan sejumlah tren dalam perkembangan literatur konsep perang hibrida yang ada, seperti tren yang didasarkan pada: (1) latar belakang historis; (2) persebaran tema yang diangkat; (3) sudut pandang aktor; dan (4) posisi akademis. Dari identifikasi demikian, diketahui bahwa tinjauan konsep perang hibrida menjadi tema mayoritas dalam perdebatan literatur, dengan realisme sebagai paradigma yang paling dominan digunakan oleh para cendekiawan. Terakhir, tulisan ini menghadirkan beberapa rekomendasi bagi berbagai pihak ke depannya dalam konteks hadirnya konsep perang hibrida, baik dalam segi akademis, empiris, maupun praktis.

War in the modern era shows blurred and blended characteristics, be it in terms of actors involvement and/or the instruments used, leaving us struggling in the grey zone between war and peace. This is what is reflected in the concept of hybrid warfare in International Relations. This concept accommodates the elements of conventional capabilities, irregular formation and tactics, terrorist, and criminal acts. Introduced in 2007 by former United States officer Frank Hoffman, this concept gained its peak momentum starting in 2014. At that time, the international world was enlivened by Russian political maneuver in the Ukraine Crisis. Since then, the concept has increasingly been discussed academically and usually cites Russian action as a prime case example. However, other opinions state that the Western concept of hybrid warfare is considered unsuitable to explain such Russian action. Therefore, the concept of Gibridnaya Voyna or Russian's non-linear warfare emerged, which is a war doctrine inspired by the Russian General named Valery Gerasimov (Gerasimov Doctrine). The presence of hybrid warfare concept in these two different perspectives dominated the mainstream academic debate ever since. Since its emergence until now, the very essence of hybrid warfare concept continues to be debated. Therefore, this paper aims to review how the literature debate about the concept has developed.
This paper reviews 60 internationally accredited literature on hybrid warfare concept. Using taxonomic methods, the literature is divided into three thematic categories, namely: (1) review of hybrid warfare concept, based on Western and Russian perspectives; (2) actors involved in hybrid warfare; and (3) the relation of hybrid warfare concept to other war terms. From the literature review conducted, this paper then seeks to unveil the conventional wisdoms, debates, and gaps found in the literature debate over the concept. Furthermore, this paper also shows a number of trends in the development of the existing literature of hybrid warfare concept, such as trends based on: (1) historical background; (2) distribution of themes raised; (3) actor's perspective; and (4) academic position. From this identification, it is known that the review of hybrid warfare concept is the majority theme found in the literature, with realism being the most dominant paradigm used by scholars. Finally, this paper presents several recommendations for various parties in the context of the hybrid warfare concept's existence, be it in academic, empirical, or practical sense.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ilham Ramandha Adamy
"Keputusan Australia untuk membentuk kerjasama pertahanan AUKUS telah menimbulkan kontroversi di antara negara-negara di kawasan, mengingat naiknya tensi diskursus Indo-Pasifik belakangan ini. Namun, AUKUS bukanlah sekadar aliansi pertahanan untuk menghadapi kekuatan revisionis, AUKUS memiliki signifikansi yang lebih dalam dan besar bagi arah kebijakan pertahanan Australia. Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan keputusan Australia menandatangani kebijakan pertahanan AUKUS dan pengadaan kapal selam bertenaga nuklir secara mendadak. Artikel ini berargumen bahwa AUKUS merefleksikan dilema budaya startejik dalam kebijakan pertahanan Australia dihadapkan pada perubahan lingkungan strategis di Indo-Pasifik. Secara strategis, AUKUS membuka peluang bagi Australia untuk terlibat dalam membentuk diskursus Indo-Pasifik serta menjadi wadah untuk mempercepat transfer teknologi di sektor pertahanan. Secara operasional, pengadaan kapal selam bertenaga nuklir di AUKUS akan meningkatkan kemampuan armada bawah air Australia pada misi sea denial dan sea control dalam operasi gabungan. Dengan menggunakan kacamata budaya stratejik, analisis studi kualitatif dari sumber literatur primer dan sekunder ini menyimpulkan bahwa AUKUS memanandakan kembalinya dan menguatnya pola ketergantungan stratejik pada kebijakan pertahanan Australia di era Indo-Pasifik
Australia’s decision to enter the AUKUS has caused controversies among regional powers, especially noting the heightened Indo-Pacific discourse lately. But AUKUS isn’t a mere alliance against revisionist power, it has much deeper and greater significance on Australia’s defence policies. The aim of this research is to explain why Australia decided to join AUKUS and to procure nuclear-powered submarine in such a hasty manner. This paper argues that AUKUS reflect the dilemmatic sub-strategic cultures within Australia’s defence policy considerations against the changing strategic environment in Indo-Pacific, the self-reliance and strategic dependence. Strategically, AUKUS presented Australia the opportunity to participate and shaping the Indo-Pacific under US-led initiative and act as technology catalysator on defence sector. Operationally, the nuclear-powered procurement under AUKUS will significantly boost Australia’s submarine fleet capability in sea denial and sea control mission as a part of larger coalition. Using strategic culture lens and studying primary and secondary documents in a qualitative work, the analysis of this paper concludes that AUKUS reflected the return and reinforced pattern of strategic dependence within Australia’s defence policy in the age of Indo-Pacific."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iztya Fadhliaty
"Peluncuran satelit Sputnik I oleh Uni Soviet memicu terjadinya kompetisi kegiatan eksplorasi antariksa. Amerika Serikat secara ambisius menjalankan program Apollo guna meraih keunggulan strategis di antariksa melalui misi pendaratan manusia pertama di bulan. Namun, Amerika Serikat mengambil keputusan untuk meninggalkan keunggulan strategis yang dimilikinya dari keberhasilan program Apollo di saat kompetisi eksplorasi antariksa tengah berlangsung. Fokus penelitian ini adalah mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi penghentian program Apollo oleh Amerika Serikat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan eksplanasi dari pertimbangan keputusan Amerika Serikat menghentikan program Apollo. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan melalui penggunaan data primer dan sekunder. Analisis akan didasarkan pada aplikasi teori rational actor model oleh Graham Allison, yakni pengambilan keputusan mengacu pada empat hal: (1) tujuan dan objektif; (2) opsi; (3) konsekuensi; dan (4) pilihan rasional. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak keuntungan bagi Amerika Serikat jika menghentikan program Apollo. Keunggulan strategis Amerika Serikat tetap dipertahankan melalui dominasinya dalam berbagai kegiatan eksplorasi antariksa baru. Sehingga, menjadi suatu keputusan yang rasional bagi Amerika Serikat untuk menghentikan program Apollo berdasarkan setelah mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi yang didapat.

The launch of the Sputnik I satellite by the Soviet Union triggered competition for space exploration. The United States ambitiously pursued the Apollo program to gain a strategic advantage in space through the first human landing mission on the moon. However, the United States decided to abandon its strategic advantage from the triumph of the Apollo program when the space race was happening. The focus of this research is to understand the reasons behind the termination of the Apollo program by the United States. The purpose of this research is to get an explanation of the consideration of the United States' decision to terminate the Apollo program. This research uses a qualitative approach through the use of primary and secondary data. The analysis will be based on the application of the rational actor model theory by Graham Allison, which stated that decision-making refers to four things: (1) goals and objectives; (2) options; (3) consequences; and (4) rational choice. This research shows that there is much more beneficial for the United States if the Apollo program is terminated. The strategic advantage of the United States is maintained through its dominance in various new space exploration activities. Thus, it became a rational decision for the United States to terminate the Apollo program considering its objectives and consequences."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fikri Robbani
"

Meski Biological Weapons Convention (BWC) telah diberlakukan sejak tahun 1972, potensi ancaman dari senjata biologis masih membayangi banyak pihak. Senjata biologis yang sulit untuk dideteksi, mampu menimbulkan kepanikan massal, serta relatif murah dan mudah untuk diproduksi menjadi sesuatu yang menarik perhatian pihak-pihak yang tertarik pada senjata nonkonvensional. Penggunaan senjata biologis dapat ditujukan dalam serangan langsung kepada manusia ataupun secara tidak langsung dengan menyerang tumbuhan, hewan, makanan, atau minuman. Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk memetakan perkembangan literatur yang membahas isu penggunaan senjata biologis melalui metode taksonomi. Selain itu, tinjauan pustaka ini juga menganalisis perdebatan dan konsensus akademik dalam membahas isu penggunaan senjata biologis. Dari 49 literatur yang terkumpul, tinjauan pustaka ini memetakan tiga kategori pembahasan, yakni (1) karakter ancaman senjata biologis, (2) biological warfare and strategy, dan (3) regulasi penggunaan senjata biologis. Tinjauan pustaka ini melihat bahwa karakter ancaman senjata biologis berangkat dari adanya perkembangan dan penggunaan ganda bioteknologi. Ancaman senjata biologis menjadi semakin besar karena terjadi proliferasi kepada aktor negara dan non-negara. Aktor-aktor tersebut memiliki opsi strategi penggunaan senjata biologis sebagai pengganti senjata konvensional dalam perang, sebagai strategic deterrent, atau sebagai senjata dalam perang asimetris. Tinjauan pustaka ini melihat regulasi penggunaan senjata biologis yang ada tidak berfungsi secara efektif karena permasalahan kompleks. Kemudian, berkaca dari literatur yang ada, tinjauan pustaka ini merekomendasikan adanya agenda penulisan lanjutan yang membahas bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam konteks biodefense dan analisis terkait potensi strategi penggunaan senjata biologis sesuai dengan perkembangan terkini.


Although Biological Weapons Convention (BWC) has been imposed since 1972, the potential threats of biological weapons still overshadow many parties. Biological weapons succuessfully attract parties that interested in unconventional weapons because of its characters that hard to detect, capable to trigger mass panic, and relatively cheap and easy to produce. The use of biological weapons can be devoted directly to people or indirectly by attacking crops, animals, food, or drink. This literature review aims to map literatures that discusses the issue of biological weapons through taxonomy method. Futhermore, this literature review also analyzes the academic debates and consensus in discussing the issue of biological weapon. Based on 49 literatures that were reviewed, this literature review map three categories, (1) biological weapons’s nature of threats, (2) biological warfare and strategy, and (3) regulation of the use of biological weapons. This literature review observes that the biological weapons’s nature of threats departed from the development and dual-use of biotechnology. The threats becomes a big problem because of proliferation to state actors and non-state actors. The actors has options to use biological weapons as a subtitute for conventional weapons in war, as a strategic deterrent, or as a weapon in asymmetric war. This literature review observes that the BWC does not function effectively because of complex problems. Based on the literatures that were reviewed, this literature review recommends some further research agendas that addresses efforts that can be done in the context of biodefense and analysis related to potential strategy of the use of biological weapons in accordance with the current development.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Julianto
"Isu penjaga perdamaian merupakan isu yang dianggap sensitif oleh negara-negara anggota ASEAN. Sensitivitas isu tersebut disebabkan oleh adopsi norma non-interferensi dalam hubungan antar-negara di Asia Tenggara. Sensitivitas tersebut juga mengakibatkan kerja sama penjaga perdamaian kurang dieksplorasi. Pada tahun 2011, Indonesia menginisiasi pembentukan ASEAN Peacekeeping Centres Network sebagai kerja sama penjaga perdamaian yang bersifat kolaboratif. Inisiasi tersebut cukup berlawanan dengan sensitivitas regional terhadap isu penjaga perdamaian.
Oleh karena itu, penelitian ini membahas mengenai faktor yang melatarbelakangi inisiasi Indonesia dalam mendorong pembentukan ASEAN Peacekeeping Centres Network. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan teori peran oleh K.J Holsti. Penelitian ini berargumen bahwa inisiasi Indonesia dalam mendorong pembentukan ASEAN Peacekeeping Centres Network merupakan performa peran Indonesia sebagai pemimpin regional, khususnya dalam bidang penjaga perdamaian. Kepemimpinan ini terbentuk karena dua faktor. Pertama, konsepsi peran nasional yang merupakan persepsi dari para perumus kebijakan luar negeri. Kedua, preskripsi peran alter yang merupakan sistem internasional di tingkat Asia Tenggara.

Peacekeeping is an issue that is considered sensitive by the ASEAN member states. The sensitivity of the issue is caused by the adoption of non-interference norm in interstate relations in Southeast Asia. This sensitivity also resulted in less exploration of peacekeeping cooperation. In 2011, Indonesia initiated the establishment of the ASEAN Peacekeeping Centres Network as a collaborative peacekeeping partnership. This initiative is quite contrary to regional sensitivity towards peacekeeping issues.
Therefore, this research discusses the factors behind Indonesia’s initiation in encouraging the establishment of ASEAN Peacekeeping Centres Network. This research uses a qualitative research methodology. To answer this problem, this research uses role theory by K.J Holsti. This research argues that Indonesia’s initiation in encouraging the establishment of the ASEAN Peacekeeping Centres Network is Indonesia’s role performance as a regional leader, especially in the field of peacekeeping. This leadership is formed due to two factors. Firstly, the national role conception which is the perception of foreign policy makers. Secondly, alter’s role prescription which is the international system at the Southeast Asian level.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library