Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosa Sartika
"Pada tahun 1818 seorang Imam Katolik asal Austria menciptakan sebuah lagu natal yang berjudul “Stille Nacht, heilige Nacht” yang terkenal hingga ke penjuru dunia dan kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa internasional, bahasa nasional hingga ke dalam bahasa lokal. Namun, masyarakat beranggapan bahwa lagu tersebut berasal dari bahasa Inggris, “Silent Night”. Dalam perkembangannya lagu tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, bahasa Toraja. Penelitian ini menganalisis strategi penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan lirik bahasa Indonesia lagu “Malam Kudus” versi Kidung Mahasiswa Kristen ke dalam lirik bahasa Toraja “Makarorrong, Bongi Maindan” menggunakan teori strategi penerjemahan Åkerström (2009) dan metode komparatif untuk menemukan persamaan dan perbedaan makna yang terdapat dari TSu dan TSa. Penelitian ini menunjukkan penerjemahan tidak langsung dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Toraja di mana penulis menemukan banyak perubahan dari TSu ke dalam TSa. Meskipun demikian, lirik dalam TSa tetap tersampaikan dengan baik dari keseluruhan TSu.

In 1818, an Austrian Catholic priest composed a Christmas carol entitled "Stille Nacht, heilige Nacht" which gained widespread acclaim globally and was subsequently translated into various international languages, national languages, and even local languages. However, there has been a common misconception among the public that the song originated in English as "Silent Night." Over time, this song was translated into the local language of Toraja. This research analyzes the translation strategies employed in rendering the Indonesian lyrics of the song "Malam Kudus" from the Kidung Mahasiswa Kristen into Toraja lyrics titled "Makarorrong, Bongi Maindan" utilizing Åkerström's translation strategy theory (2009) and a comparative method to identify similarities and differences in meaning between the German source text (ST) and the Toraja translation (TT). The study reveals an indirect translation process from German to Toraja, wherein numerous modifications were identified from ST to TT. Nevertheless, the conveyed meaning in TT remains effective when considering the entirety of ST."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Sartika
"Pada tahun 1818 seorang Imam Katolik asal Austria menciptakan sebuah lagu natal yang berjudul “Stille Nacht, heilige Nacht” yang terkenal hingga ke penjuru dunia dan kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa internasional, bahasa nasional hingga ke dalam bahasa lokal. Namun, masyarakat beranggapan bahwa lagu tersebut berasal dari bahasa Inggris, “Silent Night”. Dalam perkembangannya lagu tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, bahasa Toraja. Penelitian ini menganalisis strategi penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan lirik bahasa Indonesia lagu “Malam Kudus” versi Kidung Mahasiswa Kristen ke dalam lirik bahasa Toraja “Makarorrong, Bongi Maindan” menggunakan teori strategi penerjemahan Åkerström (2009) dan metode komparatif untuk menemukan persamaan dan perbedaan makna yang terdapat dari TSu dan TSa. Penelitian ini menunjukkan penerjemahan tidak langsung dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Toraja di mana penulis menemukan banyak perubahan dari TSu ke dalam TSa. Meskipun demikian, lirik dalam TSa tetap tersampaikan dengan baik dari keseluruhan TSu.

In 1818, an Austrian Catholic priest composed a Christmas carol entitled "Stille Nacht, heilige Nacht" which gained widespread acclaim globally and was subsequently translated into various international languages, national languages, and even local languages. However, there has been a common misconception among the public that the song originated in English as "Silent Night." Over time, this song was translated into the local language of Toraja. This research analyzes the translation strategies employed in rendering the Indonesian lyrics of the song "Malam Kudus" from the Kidung Mahasiswa Kristen into Toraja lyrics titled "Makarorrong, Bongi Maindan" utilizing Åkerström's translation strategy theory (2009) and a comparative method to identify similarities and differences in meaning between the German source text (ST) and the Toraja translation (TT). The study reveals an indirect translation process from German to Toraja, wherein numerous modifications were identified from ST to TT. Nevertheless, the conveyed meaning in TT remains effective when considering the entirety of ST."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Bella Lydia Marchelina
"Penelitian ini menelisik fenomena alih kode yang kerap terjadi dalam interaksi antara dua individu atau lebih dengan latar belakang budaya atau bahasa yang beragam. Fenomena alih kode sering ditemukan dalam media sosial, salah satunya YouTube. Penelitian sosiolinguistik ini bertujuan untuk menggambarkan penggunaan jenis alih kode serta mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena alih kode, berdasarkan data dari lima video blog pada kanal YouTube berjudul Keluarga Bahagia di Jerman, di antaranya “Panen Buah dan Sayuran di Kebun Untuk Bekal Piknik”, “Panen Raya Kentang Merah & Kentang Putih Jumbo”, “Ajak Satu Keluarga Panen Apel Orange Sampe Kalap”, “Akhirnya Panen Strawberry dan Kohlrabi di Kebunku”, dan “Panen Raya Wortel & Kenyang Bareng Anak-Anak”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan mendasarkan analisis pada teori alih kode yang dikemukakan oleh Poplack (1980) dan Hoffman (1991). Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik teknik simak yang kemudian dilanjutkan dengan teknik catat (Sudaryanto, 1993). Hasil dari penelitian ini adalah jenis alih kode pada kanal YouTube Keluarga Bahagia di Jerman yang mendominasi adalah intra-sentential switching dan faktor peristiwa alih kode yang kerap kali terjadi adalah interjeksi yang bertujuan untuk memberikan penekanan atau efek emosional tertentu yang lebih tepat daripada padanan dalam bahasa yang biasa digunakan.

This study investigates the phenomenon of code-switching that frequently occurs in interactions between individuals from diverse cultural or linguistic backgrounds. Code-switching is often found in social media platforms, one of which is YouTube. This sociolinguistic study aims to describe the types of code-switching used and identify the factors underlying its occurrence, based on data from five vlog videos on the YouTube channel Keluarga Bahagia di Jerman. The videos analyzed include Panen Buah dan Sayuran di Kebun Untuk Bekal Piknik, Panen Raya Kentang Merah & Kentang Putih Jumbo, Ajak Satu Keluarga Panen Apel Orange Sampe Kalap, Akhirnya Panen Strawberry dan Kohlrabi di Kebunku, and Panen Raya Wortel & Kenyang Bareng Anak-Anak. The study employs a descriptive qualitative method and bases its analysis on the theory of code-switching proposed by Poplack (1980) and Hoffman (1991). Data were collected using an observation technique, followed by note-taking (Sudaryanto, 1993). The findings reveal that the dominant type of code-switching on the Keluarga Bahagia di Jerman YouTube channel is intra-sentential switching, and the most common factor triggering code-switching is interjection, aimed at providing emphasis or conveying specific emotional effects that are more appropriate than their equivalents in the primary language used."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Maulana
"Konflik bersenjata antara Hamas dan Israel pada tanggal 7 Oktober 2023 memicu krisis kemanusiaan. Setidaknya terdapat lebih dari dua juta penduduk Palestina kehilangan tempat tinggal dan tidak dapat memenuhi hak-hak dasar kemanusiaan mereka. Hal ini memicu aksi demonstrasi massa di berbagai negara, salah satunya terdapat ribuan orang di Jerman mengikuti demonstrasi pro-Palestina pada Oktober 2023. Namun, adanya dukungan pemerintah Jerman terhadap Israel mendorong pelarangan sebagian besar demonstrasi tersebut karena dianggap mengancam dan berpotensi mengandung unsur antisemitisme serta glorifikasi kekerasan. Penelitian ini membahas tindak tutur ilokusi yang terkandung di dalam poster demonstrasi pro-Palestina sebagai media komunikasi visual yang menyuarakan isu kemanusiaan di Jerman. Dalam penelitian ini, korpus data berupa teks pada poster demonstrasi pro-Palestina berbahasa Jerman dianalisis melalui teori Illocutionary Acts (tindak tutur ilokusi) dari John Rogers Searle (1976) yang mengelompokkan lima kategori illocutionary acts menjadi asertif, komisif, direktif, deklaratif dan ekspresif. Teks poster juga diklasifikasikan berdasarkan tabel klasifikasi direction of fit yang diuraikan oleh Candida Jaci de Sousa Melo dalam buku Essays in Speech Act Theory (2001) untuk menganalisis bagaimana para demonstran pro-Palestina menyesuaikan pesan mereka dengan tujuan dan realitas yang ingin mereka ubah atau pengaruhi melalui aksi demonstrasi. Melalui dua teori tersebut, penelitian ini berupaya mengidentifikasi dan menganalisis makna yang disampaikan melalui tindak tutur ilokusi pada poster. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan menggunakan data primer berupa kata, klausa, dan kalimat pada dokumentasi poster demonstrasi pro-Palestina berbahasa Jerman di Dortmund yang diambil dari dokumentasi arsip Alexander Völkel yang ditayangkan di portal berita www.nordstadtblogger.de pada Oktober 2023. Penulis menemukan sepuluh poster yang mengandung lima macam tindak tutur ilokusi (asertif, komisif, deklaratif, direktif, ekspresif). Analisis menunjukkan bahwa poster-poster tersebut tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi visual, tetapi juga sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan terkait krisis di Palestina. Pesan-pesan ini menekankan keadilan, solidaritas dan hak asasi manusia tanpa mengandung unsur kekerasan atau antisemitisme seperti yang dipermasalahkan oleh pihak kepolisian Jerman. Oleh karena itu, penelitian ini menyoroti isi poster sebagai media visual dalam aksi protes yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan di Jerman.

The conflict between Hamas and Israel on October 7, 2023 has led to a humanitarian crisis. At least two million Palestinians were left displaced and unable to fulfill their most basic human rights. This has provoked mass demonstrations in various countries, including thousands of people in Germany participating in pro-Palestinian protests in October 2023. However, the German government's support for Israel led to the banning of most of these demonstrations because they were considered threatening and potentially contained elements of antisemitism and glorification of violence. This research discusses the illocutionary speech acts contained in pro-Palestinian demonstration posters as a visual communication media that addresses humanitarian issues in Germany. In this study, the data corpus in the form of texts on German-language pro-Palestinian demonstration posters is analyzed through the Illocutionary Acts theory of John Rogers Searle (1976) which classifies five categories of illocutionary acts into assertive, commissive, directive, declarative and expressive. Poster texts are also classified based on the direction of fit classification table outlined by Candida Jaci de Sousa Melo in the book Essays in Speech Act Theory (2001) to analyze how pro-Palestinian demonstrators fit their messages to the goals and realities they want to change or influence through demonstrations. Through these two theories, this research seeks to identify and analyze the meaning conveyed through illocutionary speech acts on posters. This study uses a qualitative method with a descriptive approach and uses primary data in the form of words, clauses, and sentences in the documentation of German-language pro-Palestinian demonstration posters in Dortmund that were taken from Alexander Völkel's archival documentation published on the news portal www.nordstadtblogger.de in October 2023. The author found ten posters containing five kinds of illocutionary speech acts (assertive, commissive, declarative, directive, expressive). The analysis shows that the posters not only function as visual communication media, but also as a tool to convey humanitarian messages related to the crisis in Palestine. These messages emphasize justice, solidarity and human rights without containing any elements of violence or antisemitism, as the German police claimed. Therefore, this research highlights the content of posters as visual media in protests that emphasize human rights values in Germany"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Suswati
"Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana penerapan pemagaran oleh empat presiden Amerika Serikat (AS), yaitu Presiden Bill Clinton, Presiden George W. Bush, Presiden Barack Obama, dan Presiden Donald Trump dalam pidatonya. Pemagaran dalam pidato mereka berfungsi sebagai strategi kebahasaan yang membantu menjelaskan fokus dari kebijakan politik mereka. Pemagaran juga berfungsi membantu penutur dalam menjelaskan dinamika politik yang berlangsung di AS dalam rentang waktu 1993--2021.
Korpus data terdiri dari 28 pidato yang bersumber dari pidato keempat presiden AS. Pidato yang dijaring merepresentasikan kondisi politik, sosial budaya, dan hukum, baik di dalam maupun luar negeri AS. Cuplikan pidato keempat presiden AS menggambarkan dinamika politik di AS yang menjadi polemik nasional dan internasional dalam jangka waktu panjang. Pidato mereka juga menjadi arena tarik-menarik antara presiden dari Partai Republik dan Partai Demokrat
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan mengacu pada teori pemagaran Hyland (1998a). Teori tersebut membantu untuk menjelaskan bentuk pemagaran yang menguatkan dan melemahkan proposisi dari wacana pidato kebijakan politik keempat presiden AS, kesamaan dan perbedaan fungsi pemagaran, serta membantu menjelaskan dinamika politik di AS.
Temuan yang penting dari penelitian ini adalah bagaimana pemagaran dapat membantu mengonstruksi citra politik seorang pemimpin negara, khususnya keempat presiden AS. Hal itu terlihat pada kecenderungan penggunaan pemagaran judgmental, modalitas, adjektival, dan adverbial oleh keempat presiden AS untuk membangun citra positif sebagai pemimpin yang memiliki keyakinan diri yang tinggi, memiliki kepastian atas komitmen pemerintahannya, memiliki keterandalan dan terpercaya. Selain itu, penggunaan pemagaran dalam pidato-pidato tersebut juga menunjukkan sikap kehati-hatian dalam menghasilkan kebijakan politiknya. Sikap kehati-hatian keempat presiden AS diindikasikan melalui jarangnya penggunaan pemagaran judgmental dengan klausa I promise (hanya muncul pada cuplikan pidato Presiden Bill Clinton. Penggunaan adverbia yang melemahkan proposisi, seperti about dan often, untuk menyamarkan akurasi data frekuensi kemunculannya juga tidak banyak.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa latar belakang ideologi partai tidak memberi pengaruh yang signifikan atas kebijakan yang disampaikan oleh penutur. Kendati ideologi partai muncul dalam upaya tarik-menarik kebijakan politik dari keempat presiden AS, desakan publik, intensi pribadi, dan prioritas pemerintah cenderung menjadi sebab munculnya kebijakan baru. Atribut ideologi partai, seperti Alkitab, juga digunakan oleh presiden dari Partai Demokrat dan Partai Republik, yaitu Presiden Barack Obama dan Donald Trump sebagai upaya memuluskan sebuah kebijakan. Presiden Barack Obama mengutip Alkitab dalam upayanya meyakinkan publik atas kebijakan imigran ilegal yang berhak bekerja dan tinggal di AS. Sementara itu, Presiden Donald Trump juga mengutip Alkitab berkaitan dengan kebijakan imigran ilegal dengan tujuan membatasi imigran ilegal bekerja dan tinggal di AS.
Temuan penting lainnya adalah pemagaran dengan variasi yang sama, yaitu pemagaran dengan adjektiva less memiliki fungsi yang berbeda ketika melekat ke dalam konteks. Presiden Barack Obama menggunakan adjektiva less untuk melemahkan proposisi; sedangkan Presiden Donald Trump menggunakan adjektiva less untuk menguatkan proposisi Jadi, pemagaran digunakan untuk menguatkan ataupun melemahkan proposisi dengan intensi tertentu.

This research was conducted to understand how the four Presidents of the United States (US), President Bill Clinton (BC), George W. Bush (GB), Barack Obama (BO), and Donald Trump (DT) implemented hedging in their speeches. The function of hedging as a linguistic strategy helps to explain the focus of each political policy. Furthermore, hedging also help speakers explain the political dynamics that took place in the US in the 1993-2021 time period.
The data corpus consists of 28 speeches sourced from the four US Presidents each year during their administrations. The speeches represent political, socio-cultural and legal conditions, both domestically and internationally in the US. The speeches of the four US Presidents describe the dynamics of politics in the US which has become a national and international polemic for a long period of time. These speeches have also become an attraction between Presidents from the Republican and Democratic parties.
This research used a qualitative descriptive method referring to Hyland's (1998a) hedging theory. This theory helps to explained the forms of hedging that strengthen and weaken the propositions of the political policy speeches of the four US Presidents, the similarities and differences in the functions of hedging, and helps explaining political dynamics in the US.
An important finding of this study is how hedging can construct the political image of a state leader, especially the four Presidents of US. It can be seen in the tendency to use hedging judgmental, hedging modality, hedging adjectival, and hedging adverbial by the four US Presidents, to build a positive image as a leader who has high self-confidence, have certainty over the commitment of their government, a leader who is reliable and trustworthy, and a leader who is very careful in producing their political policies by considering all parties. The watchfulness of the four US Presidents is indicated through the infrequent use of the I Promise clause which only appears in the excerpt of President BC's speech and the use of adverbs that weaken propositions such as about and often to disguise the accuracy of the data with a small frequency of occurrence.
Besides, the party's ideological background does not have a significant influence on the policies conveyed by the speaker. Although the party's ideology appears in efforts to tug-of-war on the political policies of the four US Presidents. However, based on data analysis, it showed that public pressure, personal intentions and government priorities tend to be the cause of the emergence of new policies. Furthermore, party ideology attributes such as the Bible are also used by Presidents from the Democratic and Republican parties, President Barack Obama and Donald Trump, as an effort to pass the policies. President Barack Obama cited the Bible in his efforts to convince the public of the policy of illegal immigrants having the right to work and live in the US. Meanwhile, President Donald Trump quoted the Bible also in relation to illegal immigrant policies with the aim of restricting illegal immigrants from working and living in the US through hate speech.
Another important finding is that the hedge with the same variation, such as the adjectival less which is also used by Presidents Barack Obama and Donald Trump, has a different function when embedded in the context. President Barack Obama used the adjective less to weaken the proposition. Meanwhile, President Donald Trump used the adjective less to strengthen the proposition This shows that the function of hegding in the political discourse of the US President's speeches is used to strengthen or weaken proposition with certain intentions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library