Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chaidar Muttaqin
Abstrak :
Latar belakang: Terapi sel punca dikembangkan sebagai alternatif terapi gagal jantung akibat infark miokardium. Bermacam tipe sel dengan berbagai metode implantasi telah banyak dikembangkan tetapi belum mendapatkan hasil optimal. Sel h-AECs (Human Amnion Epithelial Stem Cells) memiliki sifat yang sangat mendukung sebagai sumber sel bagi terapi sel punca pada jantung. Teknologi rekayasa jaringan dengan melakukan ko-kultur kardiomiosit dan h-AECs pada biomaterial scaffold diyakini dapat menjawab permasalahan pada pengembangan terapi sel punca pada gagal jantung. Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental in-vitro dengan penyemaian ko-kultur sel kardiomiosit dan h-AECs ke dalam scaffold patch. Kardiomiosit berasal dari otot ventrikel kanan pasien penderita penyakit tetralogy of Fallots yang dilakukan operasi koreksi TOF. Sedangkan sel h-AECs didapat dari epitel amnion yang merupakan limbah operasi seksio sesarea. Setelah dilakukan karakterisasi pada kardiomiosit dan h-AECs, dilakukan ko-kultur pada scaffold amnion dengan perbandingan densitas penyemaian 1:5 dan 1:6. Evaluasi hasil ko-kultur dilakukan dengan penilaian viabilitas sel, ekspresi gen spesifik kardiomiosit dan uji toksisitas patch. Hasil: Hasil ko-kultur kardiomiosit dan h-AECs tidak terdapat perbedaan bermakna pada rerata jumlah sel viabel pada hari kedua dan kelima (p>0,05). Sedangkan pada hari kedelapan terdapat perbedaan bermakna pada jumlah sel viabel, rasio 1:5 menghasilkan jumlah sel viabel lebih baik dibanding rasio 1:6 (p=0,011). Ekspresi gen spesifik kardiomiosit konsisten tampak pada kelompok rasio 1:6 dan mulai menunjukkan signifikan pada hari kedelapan, terdapat perbedaan bermakna pada ekspresi gen di hari kedelapan, kelompok rasio 1:6 mengekspresikan gen cTnT dan ACTN2 lebih baik dibanding kelompok 1:5 (p=0,000 dan p=0,001). Pada uji toksisitas, tidak terdapat perbedaan bermakna pada jumlah ATP dan kadar TNFα antara kelompok 1:5 dan 1:6. Simpulan: Teknik ko-kultur yang dikembangkan dapat menghasilkan sel kardiomiosit baru. Kelompok rasio 1:6 menghasilkan sel yang memiliki sifat spesifik kardiomiosit lebih baik dibanding kelompok rasio 1:5 tetapi menghasilkan jumlah sel viabel lebih sedikit. Patch hasil ko-kultur tidak bersifat toksik. ......Background: Stem cell therapy was developed as an alternative therapy for heart failure due to myocardial infarction. Various types of cells with various methods of implantation have been developed but have not yet obtained optimal results. h-AECs (Human Amnion Epithelial Stem Cells) have very supportive properties as a source of cells for stem cell therapy in the heart. Tissue engineering technology by co-culturing cardiomyocytes and h-AECs on scaffold biomaterials is believed to be able to answer problems in the development of stem cell therapy in heart failure. Method: This study is an in-vitro experimental study by seeding co-cultures of cardiomyocytes and h-AECs into the scaffold patch. Cardiomyocytes were derived from the right ventricular muscle of patients with tetralogy of Fallot disease who underwent TOF correction surgery. Meanwhile, the h-AECs cells were obtained from the amniotic epithelium which is the waste from cesarean section. After characterization of cardiomyocytes and h-AECs, co-culture was performed on amnion scaffold with seeding density ratio 1:5 and 1:6. Evaluation of co-culture results was carried out by assessing cells viability, expression of specific cardiomyocytes gen and patch toxicity tests. Result: The results of co-culture of cardiomyocytes and h-AECs showed no significant difference in the mean number of viable cells on the second and fifth days (p>0.05). While on the eighth day there was a significant difference in the number of viable cells, a ratio of 1:5 resulted in a better number of viable cells than a ratio of 1:6 (p=0.011). Cardiomyocyte-specific gene expression was consistently seen in the 1:6 ratio group and began to show significantly on the eighth day, there was a significant difference in gene expression on the eighth day, the 1:6 ratio group expressed cTnT and ACTN2 genes better than the 1:5 group (p= 0.000 and p=0.001). In the toxicity test, there was no significant difference in the amount of ATP and TNFα levels between the 1:5 and 1:6 groups. Conclusion: The developed co-culture technique can generate new cardiomyocytes. The 1:6 ratio group produced cells that had better cardiomyocyte-specific properties than the 1:5 ratio group but produced fewer cells. Co-culture of h-AECs and cardiomyocytes on patch was not toxic.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ermono Superaya
Abstrak :
Latar belakang: Kardiomiopati iskemik merupakan gangguan sistolik ventrikel kiri yang disebabkan oleh infark miokardium (IM). Durasi infark yang terjadi sangat mempengaruhi perubahan fungsi jantung terutama dari segi histopatologi. Saat ini belum ada penelitian IM akut pada jantung yang menggunakan hewan coba babi sebagai landasan evaluasi dasar maupun terapi berbasis sel dan belum ada studi yang meneliti perbandingan ekspresi matriks ekstraselular kolagen tipe 1 dan 3 dalam segi histopatologi secara bersamaan pada kasus IM. Metode: Pada uji klinis eksperimental acak berikut, secara operatif dilakukan tindakan ligasi cabang arteri koroner sirkumfleksa selama 60 menit terhadap 4 hewan coba babi (Sus scrofa domesticus) dan 4 hewan coba babi tanpa perlakuan sebagai kontrol. Jaringan jantung pasca perlakuan diambil dengan menggunakan pisau bedah, dilakukan perwarnaan jaringan dan immunohistokimia, dievaluasi secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan aplikasi ImageJ terhadap kolagen tipe 1, 3, α-SMA, dan α-aktinin. Hasil: Durasi ischemia selama 60 menit telah memberikan gambaran infark miokardium. Terdapat penurunan yang signifikan (p<0,05) terhadap gambaran ekspresi kolagen tipe 1, 3, dan α-aktinin secara kuantitatif bila dibandingkan dengan gambaran jantung normal. Ekspresi ekstraselular matriks tersebut secara kualitatif berkurang ketika terjadinya infark miokardium. Simpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa waktu 60 menit pada serangan infark miokardium memberikan gambaran kerusakan dan penurunan matriks ekstraselular jantung yang signifikan secara kualitatif dan kuantitatif. ...... Background: Ischemic cardiomyopathy is a left ventricular systolic disorder caused by myocardial infarction (MI). The duration of the infarct affects changes in cardiac function, especially in terms of histopathology. Currently there are no studies of acute MI in the pig heart as the basis for basic evaluation or cell-based therapy and there are no studies that examine the comparison of the expression of type 1 and 3 extracellular matrix collagen in terms of histopathology simultaneously in IM cases. Methods: In this randomized experimental clinical trial, circumflex coronary artery branch ligation was performed intra-operatively for 60 minutes on 4 pigs (Sus scrofa domesticus) and 4 pigs without treatment as controls. Post-operative, the heart tissue was taken using a scalpel. Then, tissue staining and immunohistochemistry were performed, evaluated qualitatively and quantitatively using the ImageJ application for collagen type 1, 3, α-SMA, and α-actinin. Results: The duration of ischemia for 60 minutes has given a picture of myocardial infarction. There was a significant decrease (p<0.05) in quantitative expression of collagen types 1, 3, and α-actinin when compared to normal cardiac images. The expression of the extracellular matrix is qualitatively reduced in the presence of myocardial infarction. Conclusion: This study shows that 60 minutes after a myocardial infarction attack gives a qualitative and quantitative picture of significant damage and decrease in the extracellular matrix of the heart.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haris
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Infark miokardium merupakan salah satu penyumbang kematian terbesar di Dunia. Evaluasi ukuran akhir infark merupakan prediktor kuat untuk menentukan prognosis pada pasien dengan infark miokardium. Saat ini belum ada penelitian infarct model pada hewan coba (babi) yang membandingkan pengukuran area infark miokardium dengan menggunakan metode MRI di Indonesia. Metode : Eksperimental 13 sampel dengan pembuatan infarct model. Pengukuran massa dan ukuran infark miokardium dilakukan setelah 6-8 minggu perlakuan dengan menggunakan metode LGE MRI dan hitung massa dengan timbangan secara manual dissection. Data dianalisis dengan uji Wilcoxon, kemudian ketepatan data dipertajam dengan analisis berulang secara intraclass correlation (ICC). Hasil: Massa area infark menurut MRI 4,62 gr (2,58 gr-14,08 gr) vs massa area infark menurut manual dissection 7,68 gr (2,31 gr -17,99 gr), dengan p = 0,093, dengan nilai korelasi yang rendah pada uji ICC (r value 0,084). Ukuran area infark menurut MRI 3,20 % (1,68 %-12,01%) vs ukuran area infark menurut manual dissection 4,48 % (1,23 % - 9,19 %), dengan p = 0,721, dengan nilai korelasi yang rendah pada uji ICC (r value 0,17), tidak ada perbedaan bermakna pada pengukuran MRI dibandingkan dengan manual dissection pada timbangan, akan tetapi memiliki korelasi yang rendah. Simpulan: Pada penelitian ini perhitungan massa infark maupun ukuran infark antara metode MRI dan hitung massa (timbangan) secara manual dissection tidak setara. Metode manual dissection yang dilakukan pada penelitian ini tidak ideal dalam perhitungan massa maupun ukuran infark miokardium. ......Background: Myocardial infarct is one of the most prevalent causes of death worldwide. Evaluation of the resulting infarction area is a strong predictor for the prognosis of patients post myocardial infarction (MI). At the moment, there has not been a study in Indonesia that compares magnetic resonance imaging (MRI) and direct mass weighing in a porcine model. Methods: 13 samples were made using an infarct porcine model. Measurements of MI weight and infarct size were conducted 6 to 8 weeks after coronary artery ligation using both LGE MRI and direct mass weighing following manual dissections. Data were tested using Wilcoxon test, and further analyzed using intraclass correlation (ICC). Results: Infarct area weight calculation using MRI averaged 4,62 gr (2,58 gr -14,08 gr) while infarct area weight calculation using mass weighing averaged 7,68 gr (2,31 gr-17,99 gr), with p = 0,093, with a very low correlation score from ICC test (r value 0,084). Infarct size area calculation using MRI averaged 3,20 % (1,68 %-12,01%) while infarct size calculation using mass weighing averaged 4,48 % (1,23 % - 9,19 %), with p = 0,721, with a very low correlation score from ICC test (r value 0,17) Conclusion: The results between infarct area weight and infarct size using MRI with mass weighing after manual dissection was not comparable. Manual dissection method that has been used in this study was not ideal to calculate myocardial infarct area weight and myocardial infarct size.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Partogi, Rynaldo
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Infark miokardium akut merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan membutuhkan diagnosis yang tepat untuk menentukan rencana tatalaksana. Modalitas diagnostik yang sering digunakan untuk menilai adanya infark adalah ekokardiografi dan MRI. Penelitian ini bertujuan menilai kesesuaian hasil pengukuran dari ekokardiografi dan MRI dalam evaluasi infark miokardium, serta menilai perubahan ketebalan dinding ventrikel kiri pascainfark. Metode : Dilakukan ligasi LCx pada 13 jantung babi untuk mengkondisikan infark miokardium. Setelah ligasi LCx dilakukan penilaian regional wall motion abnormality dan ketebalan dinding ventrikel kiri pada pemeriksaan ekokardiografi, dan penilaian area infark serta ketebalan dinding ventrikel kiri dari pemeriksaan MRI. Temuan regional wall motion abnormality diuji kesesuaiannya dengan temuan area infark di MRI menggunakan uji Kappa. Ketebalan dinding posterior ventrikel kiri dari ekokardiografi diuji kesesuaiannya dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri yang didapatkan dari pemeriksaan MRI menggunakan uji interclass correlation. Untuk perubahan ketebalan dinding ventrikel kiri diuji dengan ANOVA. Hasil: Perubahan LVPWd praligasi dengan pascaligasi memberikan hasil p = 0,703 yang menunjukkan tidak ada perubahan bermakna. Uji kesesuaian antara area regional wall motion abnormality dengan area infark memberikan hasil κ = 0,14 – 0,27 yang menunjukkan kesesuaian antara ekokardiografi dengan MRI masih kurang. Uji korelasi ketebalan dinding ventrikel kiri dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri memberikan hasil r = 0,573 dengan p = 0,029 yang menunjukkan bahwa pemeriksaan ekokardiografi memberikan hasil yang sama dengan MRI. Simpulan: Terdapat penurunan nilai ketebalan dinding ventrikel kiri setelah 6-8 minggu pascaligasi LCx. Penggunaan ekokardiografi terbukti dapat memberikan keyakinan bahwa akan menunjukkan hasil yang sama dengan MRI dalam menilai ketebalan dinding posterior ventrikel kiri. Namun, dalam evaluasi area infark, hasil pemeriksaan ekokardiografi memiliki reliabilitas yang rendah dibandingkan dengan MRI. ......Background: In Indonesia, myocardial infarction accounts for most deaths, and require immediate diagnosis to determine the treatment. The diagnostic modalities used to evaluate myocardial infarction is echocardiography and MRI. The aim of this study is to evaluate the compability between echocardiography and MRI in evaluating myocardial infarction, and to evaluate the changes of left ventricular posterior wall thickness post infarction. Method : A total of 13 pig heart had their LCx ligated to make the infarct heart model. Echocardiography and MRI were performed after the ligation of LCx. The compability between regional wall motion abnormality found in echocardiography compared to infarct area found in MRI was tested using Kappa test. The compability between left ventricular posterior wall thickness obtained from the echocardiography and MRI was tested using interclass correlation. The changes of left ventricular posterior wall thickness was tested using ANOVA. Result: The changes of left ventricular posterior wall thickness value showed p value = 0,703 which means that there is no significant changes in left ventricular posterior wall thickness post infarction. The compability test using Kappa in comparing the regional wall motion abnormality with infarct area showed κ = 0,14 – 0,27, which means that the level of compability is low. The correlation test between left ventricular posterior wall thickness with the left ventricular posterior wall thickness showed r = 0,573 with p value = 0,029 which means that the echocardiography gave the same result with MRI. Conclusion: There is a decline in left ventricular posterior wall thickness value after 6-8 weeks post ligation. The use of echocardiography in evaluating myocardial infarction showed that the echocardiography gave the same result with MRI in the measurement of the left ventricular posterior wall thickness. However, echocardiography was not reliable compared to MRI in evaluating the infarct area.
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiansyah
Abstrak :
Latar belakang: Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab gagal jantung. Terapi yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya mampu memperbaiki kerusakan otot jantung yang telah terjadi. Terapi sel punca baik injeksi maupun patch juga masih belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Penggunaan patch jantung dihadapkan pada masalah seperti rendahnya viabilitas sel yang dihasilkan. Hipotermia pada suhu 4°C yang digunakan untuk isolasi kardiomiosit selama ini dikaitkan dengan gangguan aktivitas sel yang menyebabkan penurunan jumlah sel viabel yang dihasilkan. Suhu 37°C yang merupakan suhu fisiologis tubuh dinilai mampu menghasilkan viabilitas sel lebih baik. Metode: Studi ekperimental in vitro dilakukan di Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PJT-RSCM) dan Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam periode Desember 2019 hingga November 2020 dengan mengikutsertakan subjek pasien yang menjalani operasi total koreksi tetralogy of Fallot. Jaringan reseksi otot infundibulum jantung diambil kemudian dilakukan isolasi untuk menilai viabilitas sel dan ekspresi genetik. Hasil: Delapan subjek ((n = 4) ± 95% C.I) kelompok suhu 37°C secara signifikan menghasilkan jumlah sel viabel yang lebih banyak (mean: 2675sel/mg) dibandingkan suhu 4°C (mean: 970 sel/mg) dengan (p <0,05). Ekspresi gen yang mengekspresikan sel kardiomiosit secara flowsitometer terlihat kelompok medium transpor 37°C secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 4°C. Simpulan: Isolasi kardiomiosit menggunakan medium transpor suhu fisiologis (37⁰C) menghasilkan jumlah sel viable yang lebih banyak dibandingkan medium konvensional (4⁰C). ......Background: Coronary heart disease is one of the main causes of death in developing countries, including Indonesia. This disease is one of the causes of heart failure. The therapy that has been implemented has not able to repair the damage of the heart muscles that have occurred. Stem cell therapy, either injection or patch, has not succeeded satisfactorily. The use of the cardiac patch is exposed to many problems such as low viability of the cells produced. Hypothermia at 4°C, which is used for isolation of cardiomyocytes related with activity disturbance which causes a decrease in the number of viable cells produced. The temperature 37°C which is the body's physiological temperature considered can produce better cell viability. Methods: An experimental invitro study was conducted in the Pelayanan Jantung Terpadu Cipto Mangunkusumo (PJT-RSCM) and the Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Faculty of Medicine, University of Indonesia from December 2019 to November 2020 by recruiting patient subjects who underwent total correction of tetralogy of Fallot. The resection of the cardiac infundibulum was taken and then isolated to assess cell viability and gene expression. Results: A total of eight subjects ((n = 4) ± 95% CI) the 37°C group produced significantly more viable cells (mean: 2675 cells/mg) than at 4°C (mean: 970 cells/mg).)) with (p <0.05). The expression of genes expressing cardiomyocytes by flowcitometer showed that the physiological group (37°C) was significantly higher than the conventional group (4°C). Conclusion: Isolation of cardiomyocytes using a physiological temperature transport medium (37⁰C) resulted in a higher number of cells than conventional medium (4⁰C).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library