Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Firdaus Muallim
"Latar Belakang :Peningkatan TIK adalah keadaan darurat medis yang berpotensi menimbulkan iskemia serebral, herniasi otak dan kematian. Penyebab TIK meningkat diantaranya trauma dengan edema serebral, perdarahan intrakranial dan tumor. Pengawasan TIK diperlukan untuk mencegah kematian pascabedah kraniotomi, salah satunya dengan evaluasi DSSO. Metode pemeriksaan TIK ini bersifat noninvasive dan belum umum dilaporkan terhadap pasien cedera otak traumatik pascabedah kraniotomi.Tujuan :Mengetahui hubungan DSSO terhadap peningkatan tekanan intrakranial pasca bedah kraniotomi pada pasien cedera otak traumatikMetode :Penelitian dengan design cross sectional. Pengambilan sampel secara consecutive terhadap pasien trauma kepala yang telah menjalani bedah kraniotomi. Pemeriksaan DSSO dilakukan untuk menilai diameter selubung saraf optik. pemeriksaan Transcranialdoppler dilakukan untuk mengetahui pulsatilityindex PI sehingga dapat ditentukan nilai tekanan intrakranial dengan rumus GoslingIndex TIK= 11,1x PI -1,43 . Uji independent T dilakukan untuk mengetahui perbedaan rerata DSSO terhadap TIK meningkat. Uji ROC dilakukan untuk mengetahui cut off point, sensitifitas dan spesifisitas DSSO.Hasil :Terdapat 40 subjek trauma kepala yang menjalani bedah kraniotomi. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki 57,5 , perdarahan intraserebral adalah bentuk cedera otak yang terbanyak 57,7 dan subdural hematoma 30 . Rerata DSSO adalah 5,46 SD 0,80 dan TIK 12,60 mmHg SD 4,80 pasien pascabedah kraniotomi. Perbandingan antara Nilai DSSO TIK meningkat 6,06 mm SD 0,66 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan TIK normal rerata 5,20mm SD 0,72 dimana nilai P menunjukkan perbedaan signifikan P=0,001 . Nilai DSSO>5,40 memiliki sensitifitas 91,7 dan spesifisitas 64,3 dalam menentukan TIK meningkat pascabedah kraniotomi.Kesimpulan :DSSO berperan dalam peningkatan TIK pasca bedah kraniotomi. Kata kunci :DSSO, TIK, kraniotomi

Background The increased of ICP is a medical emergency that potentialy cause cerebral ischemia, brain herniation and death. The cause of increasing ICP including trauma with cerebral edema, intracranial hemorrhage and tumor. Observation of ICP is needed to prevent death after craniotomy surgery. One of the methods to observe ICP is using ONSD. This method is a noninvasive method for evaluate the increased of ICP but has not been commonly reported in patient with traumatic brain injury after craniotomy surgery.Objectives Tofind out the correlation between ONSD and the increased intracranial pressure post craniotomy surgery in patient with traumatic brain injury.Method This research is using cross sectional design method. The sample is selected consecutively towards patient with traumatic brain injury after craniotomy surgery. The ONSD examination is performed to determine the diamater of optic nerve sheath. The transcranial doppler examination is performed to determine the pulsatility index PI that can be used to know the value of ICP with Gosling index ICP 11,1 x PI 1,43 . Independent T test is performed to determine the mean difference of ONSD and the increased of ICP, the ROC test is performed to determine cut off point of ONSD 39 s sensitivity and specificity.Results There were 40 head trauma subjects who have undergone craniotomy. The most common sex were male 57.5 , intracerebral hemorrhage was the most common form of brain injury 57.7 and subdural hematoma 30 . The mean ONSD was 5.46 SD 0.80 and ICP 12.60 mmHg SD 4.80 in postoperative craniotomy patients. Comparison between ONSD and ICP show, there rsquo s increasing ONSD values 6.06 mm SD 0.66 for increasing ICP subject and it has higher values than the normal average ICP with 5.20 mm SD 0.72 . P values showed significant differences P 0.001 of ONSD and ICP. The value of ONSD 5.40 has sensitivity of 91.7 and specificity of 64.3 to determining increased ICP post craniotomy surgery.Conclusion ONSDhas role for the increased of ICP post craniotomy surgery."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
"Latar Belakang: Periode apnea yang cukup lama yang dapat terjadi pada saat dilakukan tindakan intubasi memiliki risiko tinggi untuk terjadinya penurunan saturasi dan hipoksia jaringan. Pada beberapa kasus dimana dibutuhkan safe apnea time yang lebih lama, preoksigenasi saja tidak cukup untuk mempertahankan saturasi oksigen. Apneic oxygenation (AO) merupakan suatu prosedur klinis pemberian suplemental oksigen secara kontinyu selama periode apnea sebelum dan selama dilakukan tindakan intubasi, tindakan ini dapat meningkatkan durasi safe apnea time. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh dari pemberian apneic oxygenation terhadap safe apnea time, saturasi minimal dan waktu resaturasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif acak tersamar tunggal pada 40 pasien yang menjalani beragam operasi dengan general Anestesi. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, kelompok AO dan kelompok kontrol, setiap kelompok terdiri dari 20 pasien. Kelompok AO diberikan preoksigenasi dan apneic oxygenation sedangkan kelompok kontrol diberikan preoksigenasi saja. Dokumentasi durasi safe apnea time, saturasi minimal dan waktu resaturasi dicatat pada masing-masing kelompok dan dianalisis statistik dengan uji Mann-whitney U.
Hasil: Dari hasil analisis penelitian didapatkan tidak ada perbedaan karakteristik antar kelompok. Pemberian preoksigenasi dan apneic oxygenation memperpanjang durasi safe apnea time secara signifikan dibandingkan dengan pemberian preoksigenasi saja (308,75 ± 48,35 vs 160,6 ± 38,54, P = 0,000). Saturasi minimal pada kelompok AO lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol tetapi tidak signifkan secara statistik (P = 0,413). Waktu resaturasi pada kelompok AO lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol tetapi tidak signifikan secara statistik (P = 0,327)
Simpulan: Pemberian preoksigenasi dan apneic oxygenation dapat meningkatkan durasi safe apnea time pada pasien yang menjalani operasi dengan general anestesi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk membuktikan temuan ini.

Backgrounds: Oxygen desaturation might happen on apneic period when endotracheal intubation was performed had hazardous hypoxic effect on body tissue. Longer safe apneic time required for some airway management cases since preoxygenation alone is not adequate to sustain oxygen saturation. Apneic oxygenation (AO), administration of oxygen during the apneic period of the intubation procedure, is one of the techniques to increase duration of safe apneic time. The aim of this study was to evaluate the role of AO on safe apneic time, minimal saturation and resaturation time.
Method: A single blinded randomized clinical trial was conducted among 40 patients who received general anaesthesia during various surgery procedures. The patients were divided into two groups, AO and control group, each group consisted 20 patients. AO group treated with preoxygenation and apneic oxygenation, while control group with preoxygenation only. Duration of safe apneic time, minimal saturation, and renaturation time were observed in both groups. Association between AO and all three indicators was assessed using Mann-whitney U.
Results: Our results indicates no difference in the demographics of these two groups. Combination of preoxygenation and apnoeic oxygenation prolonged the duration of safe apnoeic time significantly compared to preoxygenation only (308.75 ± 48.35 vs 160.6 ± 38.54), p=0.000). Although combination of preoxygenation and apnoeic oxygenation increased minimal saturation and decreased resaturation time, the effects were not statistically significant compared to control group with p=0.413 and p=0.327, respectively.
Conclusion: Initial data indicates that combination of preoxygenation and apnoeic oxygenation is able to increase duration of safe apnoeic time during general anaesthesia. Further study with bigger number of samples is need to confirm this finding.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58909
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifky Jamal
"Multimodal analgesia adalah rekomendasi teknik manajemen nyeri akut pascaseksio sesarea. Teknik yang paling sering dipakai adalah dengan menggunakan analgesik intravena diikuti dengan penggunaan analgesik oral. Analgesik oral dalam teknik multimodal analgesia untuk manajemen nyeri pascaseksio sesarea masih belum dikaji lebih jauh. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif acak tersamar ganda pada 58 pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi spinal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok sama besar untuk penanganan nyeri pascabedah. Kelompok O sebanyak 29 orang diberikan oksikodon controlled release 10 mg oral setiap 12 jam dan parasetamol 1000 mg oral setiap 8 jam sedangkan kelompok T sebanyak 29 orang diberikan terapi tramadol 50 mg oral tiap 6 jam dan parasetamol 1000 mg oral tiap 8 jam. Penilaian nyeri pascabedah menggunakan Numerical Rating Scale (NRS) dalam posisi dan interval waktu yang berbeda yaitu jam ke-1, 6, 12, 18 dan 24 pascapemberian obat pertama. Seluruh sampel menyelesaikan penelitian dan didapatkan tidak ada perbedaan secara karakteristik antar kelompok. Oksikodon controlled release 10 mg dan parasetamol 1000 mg lebih efektif dibandingkan tramadol 50 mg dan parasetamol 1000 mg dalam mengatasi nyeri pascaseksio sesarea dengan NRS kelompok O lebih rendah signifikan dibandingkan kelompok T pada tiap posisi pengukuran.

Multimodal analgesia is recommended technique for pain management after cesarean section. The most commonly used technique is by using intravenous analgesics, followed by oral analgesics. However, the use of oral analgesics in multimodal analgesia techniques has not been extensively studied for managing pain after C-Section. This study is a double-blind randomized clinical trial on 58 patients undergoing cesarean section under spinal anesthesia. The sample was divided into two equal groups, each consisting of 29 patients, for the treatment of postoperative pain. Group O was given 10 mg oral controlled-release oxycodone 12-hourly and 1000 mg oral paracetamol 8-hourly, while Group T was given 50 mg oral tramadol 6-hourly and 1000 mg oral paracetamol 8-hourly. The postoperative pain was assessed using Numerical Rating Scale (NRS) at different positions and time intervals; 1, 6, 12, 18 and 24 hours after analgesic administration. The study showed no differences in the characteristics of these two groups. At every measurement on each different position, Analgesics given on group O was more effective in relieving after cesarean pain than group T with significantly lower NRS score (p<0.001). The combination of 10 mg oral oxydocone and 1000 mg oral paracetamol was significantly more effective in relieving pain after cesarean delivery, compared with the combination of 50 mg oral tramadol and 1000 mg oral paracetamol."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library