Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rangkuti, Nurhadi
Abstrak :
Berdasarkan pengamatan dan laporan penelitian arkeologi pada candi-candi di sekitar Prambanan, terdapat berbagai jenis bahan bangunan candi. Secara umum bahan bangunan candi di wilayah ini terdiri dari dua jenis batu, yaitu batu andesit dan batu tufa. Khusus mengenai pemakaian batu tufa pada candi-candi di sekitar Prambanan, rupa-rupanya telah menarik perhati_an peneliti terdahulu. N.J. Krom (1923) adal,ah peneliti pertama yang menelaah masalah ini, terutana pemakaian batu tufa pada Candi Lara Jonggrang, Plaosan dan Sajiwan. Krom melihat bahwa pada umumnya semua candi dibangun dengan batu vulkanis yang masif atau andesit, sedangkan pada ketiga candi tersebut ditemukan batu jenis lain yang tidak keras, yang digunakan untuk bangunan candi bagian bawah. Oleh Krom disebutkan batu itu adalah sejenis mer-gelsteen yang mempunyai struktur berpori (porous). Janis batu ini berasal dari bukit Ratu Baka, di sekitar kepurbakalaan Ratu Baka. Di sana ada bekas penambangan batu yang menunjukkan sisa-sisa batu yang seakan-akan tersusun membentuk anak tangga. Bahan-bahan itu mudah dikerjakan dengan alat penatah karena jelas terlihat batu-batu itu.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1984
S11949
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Kusumanto
Abstrak :
ABSTRAK. Penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta, yaitu di Taman Prasasti (TP), Musium Wayang (MW) dan Gereja Sion (GS). Nisan kubur yang diteliti berjumlah 57 buah. Pengamatan terhadap nisan kubur meughasilkan 2 macam atribut, yaitu atribut kuat (essential attributes) dan atribut lemah (inessential attributes). Setiap atribut kuat masih memiliki lagi bermacam-macam variasi motif hias den penggambaran. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada atribut kuat nisan kubur selama kurun waktu abad 17 -18 M. Metode yang digunakan adalah metode seriasi frekwensi (frequency serietion). Metode ini mempunyai asumsi dasar yaitu frekwensi setiap tipe artefak atau mode meugikuti satu bentuk yang sudah dapat diduga, dimulai dari pencipta_an (frekwensi minimal), disukai (frekwensi maksimal) dan akhirnya tidak disukai lagi (frekwensi minimal). Berdasarkan urutan frekwensi inilah dapat dibuat diagram kurve yang dikenal dengan sebutan 'kurva kapal perang' (battleship shaped curves). Ada 7 atribut kuat yang digunakan sebagai penentu perubahan yaitu : bingkai nisan, bingkai lambang, perisai, sulur daun, helmet, baju ziarah dan gelang besi.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S12047
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldhy Setiadi
Abstrak :

ABSTRAK
Batik Teluki/Jupri adalah batik dengan motif burung-burung kecil yang berpadu dengan sulur-suluran daun dan memiliki warna khas merah tua atau yang biasa disebut juga warna merah laseman. Batik yang hampir seluruh permukaan kainnya dipenuhi titik-titik atau cocoan ini sudah dibuat sejak 200 tahun yang lalu di Cirebon, tepatnya di Trusmi, sebuah desa yang hampir seluruh penduduknya membuat batik. Sebagai sebuah kegiatan yang turun-temurun, pembuatan batik Teluki/Jupri ini sangat unik, karena bukan dibuat untuk dipakai atau dikonsumsi oleh orang Cirebon sendiri seperti batik-batik yang dibuat di Cirebon pada umumnya, tetapi dibuat untuk dipasarkan ke Palembang, lebih khusus lagi ke Kayu Agung. Di Kayu Agung batik bermotif burung yang di tempat asalnya sendiri tidak begitu popular ini ternyata mengalami perubahan nilai menjadi benda yang eksklusif. Batik Teluki/Jupri menjadi semacam simbol status, karena yang memiliki batik tersebut pada umumnya adalah orang-orang kaya. Selain itu, batik ini dijadikan sebagai mas kawin dalam upacara pernikahan dan diwariskan secara turun-temurun dan seorang ibu kepada anak perempuannya ketika akan menikah. Pada dasarnya tahapan penelitian mengenai batik Teluki/Jupri ini adalah observasi, deskripsi, dan eksplanasi, tetapi pada tiap tahapan tersebut dilakukan analisis yang konteksnya terus meluas termasuk dengan melakukan studi etnoarkeologi, sehingga akhirnya tujuan penelitian ini dapat dicapai.
1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Latifa Soetrisno
Abstrak :
Prasasti sebagai sumber sejarah kuno mempunyai kualitas yang tinggi, karena apabila diteliti dengan seksama isinya dapat memberikan gambaran yang amat menarik tentang struktur kerajaan, struktur birokrasi, struktur kemasyarakatan, struktur perekonomian, agama, kepercayaan dan adat istiadat di dalam masyarakat Indonesia kuno. Dari sejumlah besar prasasti, banyak yang belum diteliti secara intensif. Sebagian besar prasasti diterbitkan dalam bentuk alih aksaranya Baja, itu pun tidak selurulrnya lengkap. Beberapa di antaranya dilengkapi dengan terjemahan, namun telaah atas isinya belum banyak dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut maka suatu pengkajian ulang terhadap prasasti merupakan tema dalam skripsi ini. Pokok bahasan yang diambil mengenai salah satu prasasti yang telah dialihaksarakan oleh Brandes, yaitu: prasasti Baru yang dikeluarkan oleh raja Airlangga tahun 952 S/ 1030 M. Meskipun pernah membuat alih aksara atas prasasti baru ini, namun Brandes tidak melakukan pembahasan yang mendalam terhadap isi prasasti ini.Mengingat pentingnya prasasti sebagai salah satu sumber sejarah kuno dan sekaligus berfungsi ganda sebagai historiografi maka juga dilakukan telaah terhadap isi pra_sasti baru, yaitu suatu pembahasan akan sebab-sebab penyerangan Airlangga ke Hasin. Di samping itu peristiwa penyerangan Airlangga lainnya yang terdapat dalam prasasti-pra_sasti Airlangga lainnya juga mendapat perhatian. Dari hasil pembahasan dikemukakan adanya dua kemungkinan yang diharapkan dapat menjelaskan masalah mengapa Airlangga berperang dengan raja Hasin. kemungkinan yang pertama terdasarkan atas pendapat yang diajukan aleh de Casparis, yaitu alasan Airlangga menyerang raja hasin sebenarnya merupakan salah satu usaha untuk mengoyahkan perlawanan musuh Airlangga yang terkuat yaitu raja Wengker, Airlangga pada akhirnya raja Wengker sudah tidak berdaya karena tidak ada bantuan dari Pura sekulunya. Sedangkan kemungkinan yang kedua ditafsirkan bahwa alasan dari penyerangan dari airlangga ke Hasin adalah tidak lepas dari adanya konsep kaliyuga. Akhir penelitian ini bukan saja menjawab masalah yang telah diajukan tetapi juga menimbulkan masalah baru yang menunggu waktu untuk pembahasan lebih lanjut
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Prakoso Syahrie
Abstrak :

ABSTRAK
Asal-mula produksi pangan strategi subsistensi yang berbasis pada domestikasi tumbuhan dan hewan - tak henti-hentinya dikaji secara arkeologis, dan tak habis-habisnya diperdebatkan secara teoretis. Walaupun urutan apa yang terjadi - serta di mana mulai berlangsung tampak agak jelas, tetapi bagaimana dan mengapa hal itu terjadi belum dapat dipastikan. Fokus penelitian ini adalah pemikiran tentang asal-mula produksi pangan di Indonesia - salah satu kawasan terpenting dalarn peneletian-penelitian prasejarah Asia Tenggara. Bagamana perkembangan model-model teori tentang asal-mula produksi pangan di Indonesia?

Ada dua pokok soal yang menjadi maksud penelitian ini. Pertama adalah memperlihatkan perkernbangan pemikiran, dan pendekatan, dalam kajian asal-mula produksi pangan di Indonesia. Dan pokok soal ini akan dihasilkan suatu deskripsi serta analisis tentang model-model asal-mula produksi pangan yang pernah dan sedang berkernbang di Indonesia. Sedang yang kedua adalah menempatkan hasil analisis tersebut dalam konteks global. Pokok soal ini lebih merupakan upaya untuk menilai kembali gagasan-gagasan yang dikembangkan di Indonesia dengan mengacu pada gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh arkeologi tradisi prosesualisme-fungsionalisme Amerika (New Archaeology) maupun arkeologi tradisi strukturalisme Eropa (khususnya generasi baru yang terhimpun dalam mazhab Post-Processual Archaeology) sebagai tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian, secara tersirat, penelitian ini merupakan penelitian evaluatif dengan tinjauan dari segi teori.

Karya-karya yang disigi adalah (1) Sejarah Nasional Indonesia I, disunting oleh tim yang diketuai oleh R.P. Soejano, terbit tahun 1975; (2) Prehistory of the Indo Malaysian Archipelago, karya Peter Stafford Bellwood, terbit tahun 1985; dan (3)Emerging Hierarchies: Processes of Stratification and Early State Formation in the Indonesian Archipelago - Prehistory and the Ethnographic Present, karya Ina E. Slamet-Velsink, terbit tahun 1995.

Sebagai suatu penelitian kepustakaan yang bercorak deskriptif sekaligus evaluatif, maka langkah pertama adalah merumuskan ikhtisar perkembangan model-model asal-mula produksi pangan sebagai kerangka analisis serta tolok ukur penilaian. Langkah kedua adalah menetapkan data (korpus) penelitian. Langkah berikutnya adalah menerapkan kerangka analisis - ikhtisar model-model itu - pada data penelitian dengan pendekatan tekstual, yakni melacak informasi dan ilustrasi teoretis melalui data tekstual yang mengandung informasi dan ilustrasi teoretis yang diperlukan - sesuai dengan kerangka analisis. Penerapan kerangka analisis terhadap datapenelitian, dengan sendirinya akan menghasilkan interpretasi dan penilaian. Semua langkah tersebut diperlukan sebagai cara untuk melacak jejak-jejak perkembangan -- dinamika dan kecenderungan - model asal-mula produksi pangan di Indonesia. Pada bagian _Tinjauan_ penulis mencoba mengemukakan secara ringkas pandangan penulis tentang kemungkinan perlunya suatu model alternatif berupa model terpadu tentang asal-mula produksi pangan di Indonesia. Model terpadu ini memanfaatkan pandangan-_pandangan teori konflik versi neo-Marxis dan neo-Weberian.

Dari Sejarah Nasional Indonesia I diperoleh kesimpulan bahwa pada dasawarsa 1970-an model yang berkembang tidak cukup sahih (valid) karena antara teori dan observasi tidak saling mendukung. Model dibangun dengan menggunakan analisis (bukan pendekatan) ekologis pada tingkat observasi data, namun mengikuti nalar difusionisme pada tingkat abstraksi teori. Buku kedua, Prehistory of the IndoMalaysian Archipelago,menyajikan model yang Iebih kokoh karena ditopang oleh observasi data yang relatif memadai. Model dari dasawarsa 1980-an ini mengajukan penjelasan migrasionis. Model ketiga, dari Emerging Hierarchies, menghadirkan penjelasan strukturalis-Manxia (neo-Marxis). Model dari dasawarsa 1990-an ini secara konsisten menitikberatkan penjelasannya pada faktor-faktor internal - berbagai dinamika dan konflik dalam suatu masyarakat - sebagai unit analisisnya.

Model alternatif yang penulis rekomendasikan melalui penelitian ini adalah model berperspektif neo-Marxis yang dikembangkan oleh Brian Hayden - Competitive Feasting Model. Berbagai model yang bermuara pada paradigma sejarah budaya penulis kritik sebagai terlampau menyederhanakan komponen-komponen dasar sistem sosiokultural serta bagaimana komponen-komponen itu berinteraksi satu sama lain. Paradigma prosesual-fungsional dikritik karena kecenderungannya untuk mereduksi aspek historisitas dan simbolisme kultural data arkeologi (material culture). Paradigma struktural - strukturalisme klasik Levi-Straussian -- juga dikritik karena mencari jawaban cuma dalam alam pemikiran dan jaringan makna budaya yang diciptakan manusia, dan mengabaikan kenyataan bahwa budaya dihasilkan dalam sistem sosial.

Paradigma prosesual sulit untuk mewarnai perkembangan model-model teori asal-mula produksi pangan di Indonesia sebab metodologinya sulit diaplikasikan untuk sifat data arkeologi daerah tropis seperti Indonesia. Perspektif neo-Marxis tidak mengikuti strategi teoretis materialisme budaya a la prosesualisme, pun bukan idealisms budaya a la strukturalisme, karena ia mendasarkan analisisnya pada struktur sosial - sistem ekonomi dan bentuk teknologi - suatu masyarakat.

Ada dua alasan yang penulis kemukakan sebagai argumen kenapa model yang berperspektif neo-Marxis - seperti competitive feasting model ini - merupakan model yang lebih handal untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa asal-mula produksi pangan di Indonesia. Sa1ah satu alasan adalah karena model neo-Marxis memiliki perspektif paling multidimensional - dan sebab itu memberi jawaban yang lebih lengkap, lebih utuh, dan lebih 'cerdas'. Alasan lain adalah karena secara metodologis model ini lebih sesuai dengan sifat data arkeologi di Indonesia - banyak kemungkinan untuk merancang-bangun model melalui bukti-bukti tidak langsung.
1998
S12057
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Sulistiono
Abstrak :
Pendahuluan Da'wah dan penyebaran doktrin Islam di Pulau Jawa telah berlangsung untuk masa yang lama. Proses tersebut antara lain merupakan hasil usaha perorangan maupun kelompok para pedagang. Di Pulau Jawa tidak ada kekuatan Islam yang terpusat untuk melancarkan pengaruhnya atau memaksakan perkembangannya dengan jalan perang (Arnold, 1985:326). Pertumbuhan masyarakat Islam di Pulau Jawa dapat dibuktikan antara lain melalui kehadiran peninggalan tua di Leran, (Gresik). Di tempat itu ditemukan batu nisan yang bertulis Arab Kufi, yang memiliki angka tahun tertua di Indonesia. Nama yang terbaca pada batu nisan tersebut adalah Fatimah binti Maimun bin Hibat Allah, yang wafat pada tahun 495 H/1102 Masehi (Moquette, 1921:391-399 ; Tjandrasasmita, 1977: 111). Di Gresik terdapat pula kuburan tua, di Gapura yang terletak bersebelahan dengan Taman Makam Pahlawan Gresik. Pada batu nisannya tertulis nama asSyahid Burhanuddin wa Quwwatuddin alMalik Ibrahim alMa'ruf, wafat pada Rabi'ul Awwal 1419 M (Juynboll, 1911: 605), sedangkan J.P.Moquette tidak menyebut Rabi'ul Awwal, melainkan Rabi'ul Akhir (1912 :208-210). Satin nisan itu penuh dengan ukiran huruf Arab, di antaranya berupa ayat-ayat alaur'an. Batu nisan itu didatangkan dari Cambay, dan tampak mempunyai persamaan dengan yang terdapat di Pasai dan India (Moquette, 1912 : 536-548). Bukti-bukti arkeologi yang menunjukkan adanya perkembangan masyarakat muslim di Jawa Timur juga dijumpai pada pemakaman muslim daerah Troloyo yang berangka tahun 1203-1533 Saka atau tahun 1281-1611 M (Damais, 1957:353 ; Ambary, 1984:353-354). Dengan demikian, maka dapat diidentifikasi adanya kantung pemukiman komunitas muslim di Trowulan, setidaknya pada jangka waktu tersebut (Ambary, 1991b:10). Pada zaman Majapahit, perdagangan di sekitar perairan Nusantara telah dikuasai oleh saudagar-saudagar dari Jawa. Pada waktu itu mereka telah menjadi saudagar yang kaya raya, bahkan sekitar tahun 1416 Masehi sudah banyak Adipati Majapahit yang memeluk agama Islam (Sehrieke, 1916:30). Posisi tersebut semakin mantap ketika di pusat kerajaan terjadi perebutan 'mahkota' antara Keluarga raja, terkenal dengan Peristiwa Paregreg (1401-1406 M), yang menyebutkan para adipati di pesisir utara Jawa semakin memegang kekuatan ekonomi dan maritime?
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sadika Nurani Hamid
Abstrak :
Tesis ini membahas persepsi pemilik dan pengelola bangunan di Kawasan Taman Fatahillah terhadap program revitalisasi Kota Tua Jakarta yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh dari studi pustaka, observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pandangan para pemilik dan pengelola bangunan, aspek negatif revitalisasi masih lebih besar dibandingkan aspek positifnya. Oleh karena itu harus dilakukan pembenahan pada tiga bidang, yaitu manajemen pemerintahan, perencanaan revitalisasi dan pendidikan masyarakat. ......The focus of the study is the perception of building owners’ and building users’ of the Taman Fatahillah area on the Old City of Jakarta revitalization program initiated by the provincial government of Jakarta. This study use qualitative method. The data were collected by means of deep interview, observation and library research. This study concludes that based on the building owners’ and building users perspectives, the negative aspect of the revitalization is still greater than the positive aspects. To resolve that, three domains needs to be addressed: government management, revitalization planning and public education.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T26102
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sugih Nugroho
Abstrak :
Penelitian ini merupakan penelitian arkeologi Pemukiman skala semi mikro, dengan perspektif ekologi dan pendekatan adaptasi manusia. Kompleks Kraton Ratu Baka merupakan situs pemukiman yang dihuni sejak masa sebelum tahun 714 Saka (792 M). Pemukiman yang pertama tercatat dalam prasasti adalah pada masa abad VIII M s.d abad X M. Namun sebagai pemukiman, kompleks Kraton Ratu Baka yang terletak di bukit Ratu Baka ini mempunyai kondisi lingkungan yang kurang memadai sebagai tempat bermukim. Kekurangan-kekurangan meliputi keadaan topografinya sangat curam, merupakan bukit berbatu, mengandung kapur dan berdaya serap rendah. Karena itu wilayah ini tidak mempunyai sumber daya air yang didapat dari dalam tanah. Namun, walau begitu curah hujan di wilayah ini tinggi, sehingga masalah air dapat diatasi dengan mendapatkan air dari air hujan. Tetapi, curah hujan tinggi juga menimbulkan bahaya sampingan, yaitu erosi dan tanah longsor yang bisa datang setiap saat. Erosi tinggi lebih muncul lagi apabila tanah di wilayah ini merupakan tanah urugan, berdaya serap rendah, sedikit flora yang dapat menahan erosi serta tipisnya jarak permukaan tanah dengan batuan dibawahnya. Dengan berbagai kekurangan tersebut masyarakat di Kompleks tersebut membangun sebuah jaringan teknologi yang dapat mengatasi keadaan alamnya. 1. Teknologi Pengelolaan dan Pemanfaatan Air. Hujan merupakan sumber utama dalam penyediaan air di Kompleks Kraton Ratu Baka. Keadaan tanah yang sulit memerangkap air, menyebabkan air cenderung menjadi air permukaan dan mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah ataupun menggenang. Untuk mengendalikan air agar tidak mengalir ke tempat-tempat datar, maka dilakukan usaha_-usaha yang memerlukan kemampuan teknik memadai. Kemampuan teknis penghuni kompleks Kraton Ratu Baka adalah dalam mewujudkan suatu teknologi yang mampu mengendalikan dan memanfaatkan lingkungan fisik di wilayah tersebut. Secara detail, sistem pengelolaan air yang ada membagi menjadi tiga buah bentuk, (1) Saluran Air Distribusi, (2) Saluran Air Penbuangan dan, (3) Kolam Penampungan Air. Pengandalian terhadap air dilakukan dengan pembuatan penampungan air dan sistem drainase yang tepat. Penampungan dan peresapan air dilakukan dengan membuat kolam-kolam penampung air yang dapat juga berfungsi sebagai penjernihan air dan kolam persediaan untuk kebutuhan sehari-hari baik di musim penghujan maupun musim kemarau. Sistem drainase dibuat dengan membuat saluran-saluran penghubung di tempat-tempat tertentu untuk menjaga air tetap mengalir ke tempat-tempat yang ditentukan dan tidak menggenang sehingga tempat menjadi becek dan tidak sedap dipandang mata. Dengan cara pengendalian air tersebut maka diperoleh persediaan air yang mencukupi dan kondisi lingkungan tetap terjaga, serta dapat mengatasi kesulitan air terutama pada musim kemarau. 2. Teknologi Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan. Pada tanah yang terdapat perbedaan ketinggian dibuat talud yang disangga dengan tatanan batu putih untuk memperkuat dan mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor. Usaha lain untuk memperkuat daya tanah adalah membuat tanah yang berundak-undak atau disebut terasering. Hampir di semua kelompok bangunan di kompleks Kraton Ratu Baka ini terlihat dibuat dengan cara terasering. Seperti pada Kelompok Barat, yang dibagi menjadi tiga teras, yaitu teras 1, teras 2 dan teras 3. Secara mekanis, fungsinya adalah untuk mengurangi laju air turun ke tempat yang lebih rendah, Sedangkan fungsi spiritualnya adalah untuk membedakan kesakralan tempat, karena tempat yang lebih tinggi mempunyai tingkat kesakralan lebih tinggi daripada teras yang lebih rendah.
2000
S12062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Syahril
Abstrak :

ABSTRAK
Sebagai pusat aktivitas sosial-ekonomi yang cukup besar di masa lampau, kerajaan Banten banyak menghasilkan sisa-sisa tinggalan budaya materi yang kompleks. Salah satu bukti akan hal tersebut adalah adanya tempat pembuatan tembikar, yakni Sukadiri dan Panjunan. Penelitian arkeologis yang dilakukan secara intensif di Banten Lama telah menemukan artefak berupa pecahan-pecahan tembikar yang secara kuantitas lebih dominan dibandingkan dengan jenis-jenis artefak lainnya. Selain itu juga berdasarkan sebarannya, artefak tembikar ditemukan pada seluruh situs penelitian di wilayah Banten Lama.

Berdasarkan pada hal yang demikian, maka dalam penelitian ini berusaha untuk menggambarkan pola-pola sebaran artefak tembikar yang berasal dari dua tempat produksi tembikar yang berbeda (Sukadiri dan Panjunan). Selain itu juga berusaha untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran tersebut.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pecahan_-pecahan tembikar berupa tepian yang berasal dan dua situs produksi tembikar (Sukadiri dan Panjunan) dan sembilan situs yang dianggap sebagai tempat mengalirnya tembikar-tembikar dari situs produksi, yaitu Pabean, Pacinan, Pamarican, Surosowan, Kebalen, Pakojan, Jembatan Rantai, Pagongan, dan Karangantu. Jumlah keseluruhan pecahan tepian tembikar yang dijadikan data dalam penelitian ini lebih dari 1000 pecahan yang tersimpan di Museum Situs Banten Lama.

Dari hasil analisis terhadap pecahan tembikar, menghasilkan 22 tipe tepian. Sesuai dengan permasalahan penelitian yang diajukan, maka hanya tipe-tipe tepian yang berbeda saja yang digunakan untuk mengidentifikasikan pola sebaran tembikar dari situs produksi ke situs-situs lainnya. Tipe-tipe tepian yang berbeda tersebut, lima tipe yaitu Tipe VI.a, Tipe XII, Tipe XVIII, Tipe XIX, dan Tipe XXII berasal dari situs Sukadiri, sedangkan tipe-tipe lainnya yaitu Tipe VI.b, Tipe XIII, dan Tipe XIV berasal dari situs Panjunan.
1997
S11501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ufi Saraswasi
Abstrak :
Candi di dalam Sejarah Kesenian Indonesia, dikenal sebagai istilah generik untuk menamakan golongan bangunan. Candi merupakan salah satu peninggalan Indonesia kuno, khususnya dari masa Hindu dan Budha yang mempunyai fungsi keagamaan. Pada dinding Candi adakalanya terdapat bidang hias berisi pahatan timbul, yang lazim dikenal dengan istilah relief. Relief dapat dibedakan atas relief cerita (naratif) dan relief penghias bidang. Relief cerita sebagian besar didasarkan atas naskah-naskah agama, wiracarita dan sebagainya, sedangkan relief penghias bidang adalah relief yang merupakan hiasan belaka, misalnya berupa roset atau apsara, dan relief berupa pemandangan yang melukiskan keindahan alam (Satan, 1987:288). Berdasarkan motifnya, relief dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu : (1) motif geometris, (2) motif manusia dan bagiar-bagian tubuh manusia (3) motif flora, (4) motif fauna, (5) dan lain-lain (Satan, 1987:289). Penampilan gaya relief selama ini dibedakan oleh para ahli dalam dua gaya, yaitu relief gaya Jawa Tengah, yang berkembang pada abad VIII -X M dan relief gaya Jawa Timur, yang berkembang pada abad XI-XV M. Penggunaan istilah gaya untuk seni pahatan relief sebenarnya berawal dari suatu kebiasaan penyebutan gaya seni untuk bangunan Candi. Pengelompokan gaya seni Candi atas dasar aspek wilayah, selanjutnya diajukan suatu keberatan oleh Harlan. Santiko pada saat "Pidato Pengukuhan Guru Besar Sastra Universitas Indonesia". Dinyatakan oleh Santiko, bahwa penamaan gaya seni berdasarkan aspek wilayah merupakan suatu hal yang kurang tepat, karena seringkali menimbulkan kerancuan. Santiko, mengusulkan penamaan gaya seni Candi berdasarkan aspek zaman atau periode, misalnya Candi gaya Mataram Kuno (abad VIII-X M), Candi gaya Singasari (abad XII-XIV M), dan Candi gaya Majapahit (abad XIII - XV M) (Santiko, 1995:4), Candi gaya Mataram Kuno ditandai dengan pahatan relief motif geometris, motif flora, motif fauna.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>