Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pricilia Gunawan Halim
Abstrak :
Pendekatan integrasi antara terapi paliatif dan perawatan penyakit kronik dan atau mengancam jiwa telah banyak digunakan dalam beberapa tahun terakhir. Hingga saat ini, masih banyak yang beranggapan bahwa terapi paliatif hanya ditujukan untuk pasien dengan penyakit berat yang sudah berada di stadium terminal atau akhir hidupnya, namun pada kenyataannya banyak pasien mendapatkan manfaat dari terapi paliatif sedini mungkin. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol yang bertujuan untuk mengetahui manfaat integrasi terapi paliatif pada pasien anak dengan penyakit keganasan. Pasien terdiri dari anak  dengan penyakit keganasan usia 2-18 tahun yang dikonsulkan kepada tim paliatif. Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara acak, yakni kelompok kontrol (30 anak) dan kelompok intervensi (30 anak). Intervensi berupa kunjungan rumah, komunikasi dua arah antara tenaga terlatih dengan pasien dan orang tua, dibagi menjadi 6 sesi (1 sesi setiap 2 minggu) yang berfokus pada edukasi penyelesaian masalah, manajemen gejala, perawatan diri sendiri, komunikasi, pembuatan keputusan dan pendampingan rencana perawatan lanjutan. Pasien diikuti dan dilakukan penilaian kualitas hidup dengan kuesioner Pediatric Quality of  Life Innitiative (PedsQLTM) modul kanker 3.0, intensitas gejala dinilai dengan Edmonton Symptoms Assesment Score (ESAS), frekuensi kunjungan unit gawat darurat (UGD) pasien anak dengan penyakit keganasan dicatat selama periode penelitian dan dibandingkan dengan sebelum penelitian. Kelompok intervensi memiliki kualitas hidup lebih tinggi bermakna (81,63) dibandingkan kelompok kontrol (62,39), p<0,001. Ranah kualitas hidup yang paling meningkat secara signifikan adalah ranah nyeri, mual, kecemasan prosedur, kecemasan tata laksana, dan khawatir. Intervensi paliatif dapat menurunkan intensitas gangguan tidur (p=0,003) dan anoreksia pada pasien (p<0,001). Intervensi paliatif dapat menurunkan kunjungan UGD sebanyak 4,77 kali pada pasien anak dengan penyakit keganasan (OR 4,77, 95% IK 1,29-17,65; p=0,018). ......In these last few years, an integrated approach between palliative care and chronic and/or life-threatening conditions care have been widely used. Many people think that palliative care is only intended for those with end stage of disease or in the end of life period. In fact, many patients had benefit from early palliative integration. This study is aimed to know the role of palliative intervention in child with malignancy. A randomized controlled trial comparing patients who were given palliative care (a 3-month home visit) and those who were not (intervention vs control group) was conducted, each group containing 30 patients. Patients consisted of children with cancer aged 2-18 years old who were consulted to palliative team. A two-way communication between a trained health worker and patients with or without their parents were conducted as the intervention (report by proxy or self-report). Interventions were given in 6 sessions (1 session every 2 weeks) focusing on problems solving education, symptoms management, self-care, communication, decision making, and long-term care plan assistance. In the first and twelfth week of the intervention, all patients were assessed with the Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQLTM) questionnaire cancer module 3.0. Symptomps intensity were assessed by Edmonton Symptoms Assesment Score (ESAS). Emergency room admissions from the last 3 months were noted before patients were enrolled in the study. During the follow up period, ER admissions were recorded further. Data was analyzed using bivariate analysis, OR calculations were performed to see the effect of interventions on outcomes in this study. A significant difference of quality of life was found between the two groups with average total score in control group 62.39 and intervention group 81.63 (p<0.001). Most significant increased domains were pain, nausea, procedural anxiety, treatment anxiety, and worry. Intensity of sleep disturbance (p=0.003) and anorexia (p<0.001) were decreased significantly in intervention group. Emergency room admissions were reduced by 4.7 times in intervention group (OR 4.77, 95% CI 1.29-17.65; p=0.018).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58736
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gina Aulia
Abstrak :
Infeksi soil-transmitted helminth (STH) merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama di dunia, terutama di negara berkembang. Keberadaan dan aktivitas STH di tubuh inang dapat menyebabkan perubahan pada mukosa usus, termasuk menyebabkan kerusakan sel yang dapat mempengaruhi permeabilitas usus dan menstimulasi respon imun seperti inflamasi. Studi ini dilakukan untuk menentukan status inflamasi dan permeabilitas usus pada berbagai status infeksi parasit cacing usus pada anak usia balita di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Sampel tinja yang diperoleh dari anak berusia 20-59 bulan diperiksa keberadaan telur cacing dengan metode Kato-Katz dan diukur konsentrasi biomarker permeabilitas dan inflamasi usus dengan metode Enzyme-linked immunosorbent assay. Biomarker permeabilitas usus yang digunakan adalah α-1-antitripsin (AAT) fekal sedangkan biomarker inflamasi usus yang digunakan adalah calprotektin fekal (FC). Prevalensi infeksi STH pada penelitian ini adalah 17,12%, dengan spesies dominan A. lumbricoides diikuti oleh T. trichiura. Sebagian besar anak memiliki AAT terdeteksi (64,71%), sedangkan hasil sebaliknya ditemukan untuk FC (35,06%). Status infeksi STH tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status konsentrasi AAT, termasuk ketika dianalisis dengan spesies STH. Hubungan yang signifikan hanya ditemukan antara infeksi T. trichiura dan status konsentrasi FC. Sebagian besar anak mengalami peningkatan permeabilitas usus, tetapi tidak selalu disertai inflamasi usus. Infeksi STH tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan biomarker tinja kecuali antara status infeksi T. trichiura dan biomarker inflamasi usus yang mungkin dapat dijelaskan oleh perilaku spesies ini pada habitatnya dalam tubuh inang. ......Soil-transmitted helminth (STH) infection is still a major health problem in low-and middle-income countries (LMIC). The presence and activity of STH can cause changes in the intestinal mucosa, including cell damage that can affect intestinal permeability and stimulate immune responses such as inflammation. This study investigated the inflammatory and permeability status of the intestinal mucosa in various status of STH infection in preschool-age children (PSC) residing in Nangapanda District, Ende Regency, East Nusa Tenggara. Stool samples were obtained from children aged 20-59 months, and were then examined for worm eggs using Kato-Katz method and measured for the concentrations of biomarkers of intestinal permeability and inflammation by Enzyme-linked Immunosorbent assay. Intestinal permeability biomarkers were represented by fecal α-1-antitrypsin (AAT), while intestinal inflammation biomarkers were represented by fecal calprotectin (FC). The prevalence of STH infection in this study was 17.12%, with A. lumbricoides as the predominant species followed by T. trichiura. Most children had detectable AAT (64,71%), while the opposite result was found for FC (35,06%). STH infection status did not have a significant association with AAT concentration status, including when analyzed by STH species. A significant association was only found between T. trichiura infection and FC concentration status. Most children had increased gut permeability, but not necessarily accompanied by gut inflammation. STH infection did not have a significant correlation with fecal biomarkers except between T. trichiura infection status and gut inflammatory biomarker, which might be explained by the feeding habit of this spesies.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Halim
Abstrak :
Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak. Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka. Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851). Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula. ......Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak. Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka.Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851). Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Kompyang Sulisnadewi
Abstrak :
ABSTRAK
Karya Ilmiah Akhir ini memberikan gambaran tentang pelaksanaan Program Residensi Ners Spesialis Keperawatan Anak dalam bentuk kegiatan praktik Residensi I dan II. Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran aplikasi Model Konservasi Myra E. Levine pada asuhan keperawatan anak dengan penyakit infeksi dan pencapaian kompetensi baik sebagai pemberi asuhan, advocator, conselor, educator, colaborator, dan agen perubah selama praktik residensi. Ada lima kasus kelolaan yang menjadi pembahasan dalam karya ilmiah ini, dan dari kelima kasus terpilih ditemukan adanya masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan. Intervensi yang diberikan berdasarkan pinsip-prinsip konservasi sudah mencakup semua masalah yang ditemukan pada klien, walaupun tidak semua masalah dapat terselesaikan Hasil evaluasi pada akhir perawatan dari trophicognosis ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan pada kelima kasus terpilih, menunjukkan ada yang teratasi, belum teratasi tetapi sudah menunjukkan perbaikan, dan ada juga yang belum teratasi
Abstract
This final assignment provides an overview about the implementation residency practices of the specialist pediatric nurse program in the form practical activities residency I and II. The aim of this final assignment is provide overview application Conservation Model Myra E. Levine on nursing care of children with infectious diseases and the achievement of competencies such as a caregiver advocator, counselor, educator, collaborator, and change agents during practice. There are five cases that discussed in this final assignment, and of the five selected cases found a problem with imbalance nutrition less than demand. Interventions provided by conservation principles have covered all the problems found on the client, although not all problems can be resolved. The evaluation results of trophicognosis imbalance nutrition less than the needs of the five selected cases, indicating there are resolved, not resolved but has shown improvement, and there are also unresolved
2012
T31575
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Mayasari
Abstrak :
Latar belakang: Prevalens obesitas pada anak dan remaja di seluruh dunia meningkat secara dramatis. Obesitas pada anak menjadi masalah karena merupakan predisposisi terjadinya obesitas saat dewasa yang berhubungan dengan timbulnya penyakit komorbiditas metabolik. Obesitas ditandai dengan penimbunan jaringan adiposa tubuh secara berlebihan, dan jaringan adiposa tersebut menghasilkan sitokin dan mediator inflamasi yang berperan dalam terjadinya inflamasi subklinis. Tujuan: Untuk mengetahui profil penanda inflamasi subklinis pada anak obes usia 9-12 tahun melalui pemeriksaan sitokin inflamasi (IL-6) dan protein fase akut (CRP dan AGP). Metode: Penelitian deskriptif potong lintang yang dilakukan pada siswa SD yang obes dan non-obes usia 9-12 tahun di Jakarta Selatan yang diizinkan oleh orangtua untuk mengikuti penelitian ini dan bersedia diukur antropometri serta diperiksa laboratorium Interleukin-6 (IL-6), C-reactive protein (CRP), dan alpha-1-acid glycoprotein (AGP). Hasil: Dari 30 anak obes dan 30 anak non-obes didapatkan kadar median IL-6 anak obes lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak non-obes dengan nilai 3,09 (1,16-6,49) vs 1,27 (0,51-3,86), kadar median CRP pada kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes dengan nilai 2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2- 2,6) dan kadar rerata AGP kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes dengan nilai rerata 93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89. Simpulan: Inflamasi subklinis telah terjadi pada anak obes berusia 9-12 tahun. Kadar sitokin inflamasi IL-6 lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non- obes, kadar protein fase akut CRP lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non-obes, dan kadar penanda AGP lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non-obes.
Background: Prevalence of obesity in children and adolescence is dramatically increasing. Obesity in children is an important predisposing factor of adult obesity and correlates with metabolic comorbidities. Obesity is basically an overt body adipose tissue which resulting cytokine and inflammatory mediators. The cytokine and inflammatory mediators play important role in subclinical inflammation. Objective: To describe subclinical inflammatory marker of obese children age 9- 12 years old by examining inflammatory cytokine (Interleukine 6) and acute phase protein (C-reactive protein and Alpha-1-acid glycoprotein). Methods: Cross sectional descriptive study was conducted in elementary school students of obese and non-obese age 9-12 years old in South Jakarta. Antropometric measurements and examination of IL-6, CRP, and AGP were taken from all subjects. Results: Thirty obese and thirty non-obese children were recruited in this study. Obese children showed higher median IL-6 compared to non-obese (3,09 (1,16- 6,49) vs 1,27 (0,51-3,86)), higher median CRP in obese children compared to non-obese (2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2-2,6)). Obese children also showed higher mean AGP compared to non-obese (93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89). Conclusions: Obese children age 9-12 years old have evidence of subclinical inflammation. The subclinical inflammation was based on higher IL-6, CRP, and AGP in obese children compared to non-obese children.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatima Safira Alatas
Abstrak :
Latar belakang. Translokasi bakteri dari saluran cerna merupakan masalah yang penting dalam terjadinya infeksi pada pasien dengan kolestasis obstruktif serta sirosis hepatis. Pada studi ini kami bermaksud untuk mempelajari komposisi mikrobiota usus dihubungkan dengan malabsorpsi lemak dan gangguan integritas usus pada anak dengan kolestasis kronis. Metode. Sampel feses dari bayi/anak dengan kolestasis dan anak sehat dikumpulkan untuk dilakukan evaluasi terhadap jumlah sel lemak, komposisi mikrobiota usus serta integritas ususnya. Hasil. Lima puluh tujuh bayi/anak (27 kolestasis dan 30 anak sehat) dilakukan evaluasi. Terdapat perbedaan bermakna pada berat badan, P=0.001; status nutrisi, P=<0.0001; serta konsumsi susu formula dengan bahan dasar middle chain triglyceride, P=<0.0001. Selain itu juga ditemukan bahwa komposisi lemak pada feses serta kadar fecal calprotectin lebih tinggi pada kelompok kolestasis dibandingkan dengan anak sehat, P=<0.0001 dan P=0.021. Sesuai dengan hasil tersebut ditemukan pula perbedaan yang bermakna di antara kedua grup tersebut pada komposisi Bifidobacteria sp. and E. Coli sp., P=0.005. Kesimpulan. Ditemukan perbedaan yang bermakna pada berat badan, status nutrisi, komposisi lemak feses, kadar fecal calprotectin serta profil mikrobiota usus antara kelompok bayi dengan kolestasis dengan bayi sehat. Diperlukan studi lanjutan untuk mempelajari interaksi antara saluran cerna dan hati pada kolestasis. ......Background. Bacterial translocation from the gastrointestinal tract is central to current concepts of endogenous sepsis in obstructif cholestasis and cirrhosis. In this study we evaluate gut microbiota profile and their correlation with fat malabsorption and gut integrity. Methods. We evaluate feces sampels from chronic cholestasis and healthy infants to know their fat malabsorption, gut microbiota composition, and gut integrity, then compare between the 2 groups. Results. Fifty-seven infants (27 cholestasis and 30 healthy) were evaluated. There were significant difference in mean body weight 7932.39 (SD: 3416.2) VS 11453.3 (SD: 4012.3) grams, P=0.001; nutritional status, P=<0.0001, and middle chain triglyceride dominant infant formula, P=<0.0001. Feces evaluation showed a significant hinger fat composition (+2 and +3), P=<0.0001 and fecal calprotection level in cholestatic groups (81.32 (SD:61.6) VS 47.37 (SD:47.3) microgram/g faeces), P=0.021. In accordance with fecal calprotectin level, there were a significant difference between the 2 groups in composition of Bifidobacteria sp. and E. Coli sp., P = 0.005. Conclusions. Significant differences were found in body weight, nutritional status, feces fat composition, fecal calprotection level and gut microbiota profile between chronic cholestasis and healthy infants. Further studies needed to evaluate the interaction between gut and liver axis in infants with cholestasis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Mayasari
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar belakang: Obesitas pada anak merupakan predisposisi terjadinya obesitas saat dewasa yang berhubungan dengan timbulnya penyakit ko-morbiditas metabolik. Obesitas ditandai dengan penimbunan jaringan adiposa tubuh secara berlebihan sehingga menghasilkan sitokin dan mediator inflamasi yang berperan dalam terjadinya inflamasi subklinis.

Tujuan: Untuk mengetahui profil penanda inflamasi subklinis pada anak obes usia 9-12 tahun melalui pemeriksaan sitokin inflamasi (Interleukin-6) dan protein fase akut (C-reactive protein dan alpha-1-acid glycoprotein).

Metode: Penelitian deskriptif potong lintang yang dilakukan pada siswa SD obes dan non-obes usia 9-12 tahun di Jakarta Selatan dan bersedia diukur antropometri serta diperiksa laboratorium IL-6, CRP, dan AGP.

Hasil: Dari 30 anak obes dan 30 anak non-obes didapatkan kadar median IL-6 anak obes lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak non-obes yaitu 3,09 (1,16-6,49) vs 1,27 (0,51-3,86), kadar median CRP pada kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes, yaitu 2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2-2,6) dan kadar rerata AGP kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes, yaitu 93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89.

Simpulan: Inflamasi subklinis telah terjadi pada anak obes berusia 9-12 tahun. Kadar sitokin inflamasi IL-6, kadar protein fase akut CRP dan AGP lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non-obes.
ABSTRACT
Background: Obesity in children is an important predisposing factor of adult obesity and correlates with metabolic co-morbidities. Obesity is basically an overt body adipose tissue which resulting cytokine and inflammatory mediators. The cytokine and inflammatory mediators play important role in subclinical inflammation.

Objective: To describe subclinical inflammatory marker of obese children age 9-12 years old by examining inflammatory cytokine (Interleukin-6) and acute phase protein (C-reactive protein and alpha-1-acid glycoprotein).

Methods: Cross sectional descriptive study was conducted in elementary school students of obese and non-obese age 9-12 years old in South Jakarta. Antropometric measurements and examination of IL-6, CRP, AGP were taken.

Results: Thirty obese and thirty non-obese children were recruited in this study. Obese children showed higher median IL-6 compared to non-obese (3,09 (1,16-6,49) vs 1,27 (0,51-3,86)), higher median CRP in obese children compared to non-obese (2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2-2,6)). Obese children also showed higher mean AGP compared to non-obese (93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89).

Conclusions: Obese children age 9-12 years old have evidence of subclinical inflammation. The subclinical inflammation was based on higher IL-6, CRP, and AGP in obese children compared to non-obese children.;Background: Obesity in children is an important predisposing factor of adult obesity and correlates with metabolic co-morbidities. Obesity is basically an overt body adipose tissue which resulting cytokine and inflammatory mediators. The cytokine and inflammatory mediators play important role in subclinical inflammation. Objective: To describe subclinical inflammatory marker of obese children age 9-12 years old by examining inflammatory cytokine (Interleukin-6) and acute phase protein (C-reactive protein and alpha-1-acid glycoprotein). Methods: Cross sectional descriptive study was conducted in elementary school students of obese and non-obese age 9-12 years old in South Jakarta. Antropometric measurements and examination of IL-6, CRP, AGP were taken. Results: Thirty obese and thirty non-obese children were recruited in this study. Obese children showed higher median IL-6 compared to non-obese (3,09 (1,16-6,49) vs 1,27 (0,51-3,86)), higher median CRP in obese children compared to non-obese (2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2-2,6)). Obese children also showed higher mean AGP compared to non-obese (93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89). Conclusions: Obese children age 9-12 years old have evidence of subclinical inflammation. The subclinical inflammation was based on higher IL-6, CRP, and AGP in obese children compared to non-obese children.;Background: Obesity in children is an important predisposing factor of adult obesity and correlates with metabolic co-morbidities. Obesity is basically an overt body adipose tissue which resulting cytokine and inflammatory mediators. The cytokine and inflammatory mediators play important role in subclinical inflammation. Objective: To describe subclinical inflammatory marker of obese children age 9-12 years old by examining inflammatory cytokine (Interleukin-6) and acute phase protein (C-reactive protein and alpha-1-acid glycoprotein). Methods: Cross sectional descriptive study was conducted in elementary school students of obese and non-obese age 9-12 years old in South Jakarta. Antropometric measurements and examination of IL-6, CRP, AGP were taken. Results: Thirty obese and thirty non-obese children were recruited in this study. Obese children showed higher median IL-6 compared to non-obese (3,09 (1,16-6,49) vs 1,27 (0,51-3,86)), higher median CRP in obese children compared to non-obese (2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2-2,6)). Obese children also showed higher mean AGP compared to non-obese (93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89). Conclusions: Obese children age 9-12 years old have evidence of subclinical inflammation. The subclinical inflammation was based on higher IL-6, CRP, and AGP in obese children compared to non-obese children., Background: Obesity in children is an important predisposing factor of adult obesity and correlates with metabolic co-morbidities. Obesity is basically an overt body adipose tissue which resulting cytokine and inflammatory mediators. The cytokine and inflammatory mediators play important role in subclinical inflammation. Objective: To describe subclinical inflammatory marker of obese children age 9-12 years old by examining inflammatory cytokine (Interleukin-6) and acute phase protein (C-reactive protein and alpha-1-acid glycoprotein). Methods: Cross sectional descriptive study was conducted in elementary school students of obese and non-obese age 9-12 years old in South Jakarta. Antropometric measurements and examination of IL-6, CRP, AGP were taken. Results: Thirty obese and thirty non-obese children were recruited in this study. Obese children showed higher median IL-6 compared to non-obese (3,09 (1,16-6,49) vs 1,27 (0,51-3,86)), higher median CRP in obese children compared to non-obese (2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2-2,6)). Obese children also showed higher mean AGP compared to non-obese (93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89). Conclusions: Obese children age 9-12 years old have evidence of subclinical inflammation. The subclinical inflammation was based on higher IL-6, CRP, and AGP in obese children compared to non-obese children.]
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Kusuma
Abstrak :
ABSTRAK
Fruktooligosakarida (FOS) dan inulin memberikan pengaruh yang bervariasi terhadap bifidobakteri antar individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan serat, FOS, dan inulin terhadap bifidobakteri. Pemeriksaan bifidobakteri pada feses anak usia 3-8 tahun di Jakarta dilakukan dengan quantitative PCR. Asupan gizi diperoleh dari wawancara menggunakan semi-quantitative food frequency questionnaire. Total bifidobakteri adalah 5.94 log10 DNA/gram feses. Analisis regresi linier berganda tidak menunjukkan adanya hubungan (P>0.05) antara inulin (95% CI = -0.015 ? 0.045) dan FOS (95% CI = -0.097 ? 0.158) dengan bifidobakteri; begitupun dengan serat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah konsumsi FOS, inulin, dan serat tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan jumlah bifidobakteri pada anak usia pra-sekolah di Jakarta.
ABSTRACT
Fructooligosaccharides (FOS) and inulin in promoting bifidobacteria showed variability between individuals. The aim was to assess the associations between fibre, FOS, and inulin intakes and bifidobacteria. Faecal bifidobacteria was determined using quantitative PCR among children aged 3 ? 8 years in Jakarta. Nutrient intakes were based on interview using a semi-quantitative food frequency questionnaire. Total bifidobacteria was 5.94 log10 DNA/gram faeces. Multivariate linear regression analysis indicated inulin (95% CI = -0.015 ? 0.045) and FOS (95% CI = -0.097 ? 0.158) showed no association (P>0.05) with bifidobacteria; as well as fibre. In summary, FOS, inulin, and fibre consumptions showed no significant association with bifidobacteria among preschool children in Jakarta.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrawati
Abstrak :
Latar belakang: Perawakan pendek pada usia prasekolah dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi, sanitasi dan lingkungan serta environmental enteric dysfunction (EED). Etiologi perawakan pendek sebagian besar adalah varian normal, sedangkan varian patologis hanya 1,3-13,9%. Tujuan: Mengetahui hubungan faktor sosiodemografi dan environmental enteric dysfunction (EED) terhadap terjadinya perawakan pendek usia prasekolah. Metode: Penelitian ini berbasis komunitas dengan disain potong lintang pada 70 balita riwayat perawakan pendek studi retrospective cohort yang saat ini usia 4 tahun 10 bulan - 5 tahun 9 bulan di 5 kelurahan wilayah DKI Jakarta. Subjek didapat secara total sampling. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, antropometrik subjek dan orang tua, usia tulang, dan pemeriksaan tinja (parasit, calprotectin dan alfa1 antitripsin) sebagai biomarker EED, sebagai penanda adanya gut integrity. Etiologi perawakan pendek diperoleh dengan pendekatan algoritma diagnosis perawakan pendek. Hasil: Proporsi perawakan pendek pada anak usia prasekolah dengan riwayat perawakan pendek sebesar 44,3%, (pendek 40,0% dan sangat pendek 4,3%) dan didapatkan lelaki lebih banyak. Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap terjadinya perawakan pendek adalah pendidikan ibu yang rendah. EED positif pada 41,9% dan parasit positif pada 57,1% subjek perawakan pendek serta jenis parasit yang ditemukan adalah Blastocystis hominis. Berdasarkan algoritma diagnosis perawakan pendek didapatkan perawakan pendek terbanyak adalah varian normal 93,6% (perawakan pendek konstitusional 83,9% dan familial 9,7%) dan patologis (malnutrisi dan /infeksi kronis, atau stunting) hanya 6,4%. Simpulan: Faktor sosiodemografi yang paling berhubungan adalah pendidikan ibu sedangkan EED tidak memengaruhi terjadinya perawakan pendek. Proporsi perawakan pendek usia prasekolah sebesar 44,3% dan terbanyak adalah varian normal Background: Short stature at preschool age is influenced by sociodemographic factors, sanitation, the surrounding environment and environmental enteric dysfunction (EED). Etiology of short stature is mostly a normal variant, while pathological variants are only 1.3 to 13.9%. Objective: To determine the influence of sociodemographic factors and environmental enteric dysfunction (EED) on short stature in preschool children and etiological factors of short stature in children. Methods: A cross-sectional study base on community at 5 urban areas in DKI Jakarta Indonesia, from January 2018 to June 2019. Seventy preschool children of short stature retrospective cohort studies, ranging 4 years 10 months to 5 years 9 months presenting with short stature were studied. Subjects were obtained by total sampling. Data collected from anthropometric measurements of subject and parents, bone age and stool examination are performed; parasites, calprotectin and alpha1 antitrypsin as biomarkers of EED or gut integrity. The etiology of short stature is obtained by the algorithm approach to short stature diagnosis. Results: The proportion of short stature in preschool children with a history of short stature was 44.3%, (short stature at 40.0% and very short stature at 4.3%) and were found in more boys. The most influential risk factor for the occurrence of short stature is due to low education mother. EED positive was 41.9%, positive parasites was 57.1%, and the type of parasite found was Blastocystis hominis, respectively. Based on the algorithm of short stature diagnosis, the most short stature found in normal variants was 93.6% which is constitutional delay of growth (83.9%), familial (9.7%) and pathological (stunting) 6.4%, respectively. Conclusion: The most influential sociodemographic factor is low education of mother, while EED does not significant to occurrence of short stature. The proportion of short stature preschool children were 44.3% and most in the normal variant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rizki
Abstrak :
Kurangnya penelitian mengenai transisi pada pola asupan dan marker inflamasi usus pada anak gemuk. Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan anatara pola asupan dan fecal calprotectin pada anak prasekolah.Studi potong lintang ini dilakukan pada 101 anak dengan BMI Z score > 1 SD dengan median 2.26 (1.61, 3.43) SD serta menggunakan semiquantitative food frequency questionnaires yang telah divalidasi dimana, pola asupan diperoleh dengan menggunakan principal component analysis. Hasil studi menunjukkan 66% anak mempunyai kadar fecal calprotectin > 50 µg/g dan berhubungan dengan BMI Z score (p=0.05, r=1.89). Pola asupan (healthy pattern p=0.132, western pattern p=0.555, staple pattern p=0.541 and milk pattern p=0.534) ditemukan tidak berhubungan dengan inflamasi saluran cerna. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengkonfirmasi hasil studi ini dengan menggunakan pendekatan lain dan kombinasi antar marker inflamasi usus. ......Lack of study confirmed the relationship between transition of diets and gut inflammation marker in obese children. Our study aimed to investigate the association between dietary pattern and fecal calprotectin level in preschool children. A cross sectional study was conducted in 101 children with body mass index (BMI) Z-score > 1 SD and median 2.26 (1.61, 3.43) SD using validated semi quantitative food frequency questionnaires whereas dietary patterns were revealed by principal component analysis. We found 66% children had fecal calprotectin levels > 50 µg/g. The fecal calprotectin level correlated with BMI Z score (p=0.05, r=1.89). Major dietary patterns were revealed: healthy pattern (p=0.132), western pattern (p=0.555), staple pattern (p=0.541) and milk pattern (p=0.534) and multivariate analysis showed no significant association with fecal calprotectin even after full adjustment for age, sex, sedentary physical activity, BMI Z score, fat intake and total fibre intake. Our findings acknowledged the insignificant association diet with gut inflammation marker had been observed due the baseline characteristic BMIZ score of the children more contribute to the elevated of fecal calprotectin level. Further investigations are warranted with a specific inflammatory food approach using a combination of marker gut inflammation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>