Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lenny Syarlitha Virgasari Sriyanto
Abstrak :
Keadilan restoratif (restorative justice) pada intinya mengutamakan partisipasi langsung para pihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan perkara pidana, menjunjung tinggi nilai perdamaian, rekonsiliasi, serta pemenuhan kewajiban dan kepentingan para pihak secara sukarela. Sebagai pendekatan baru dalam hukum pidana, keadilan restoratif memiliki prinsip-prinsip yang dapat diintegrasikan ke dalam hukum pidana konvensional, misalnya dalam hal pemidanaan. Salah satu bentuk pemidanaan yang berpotensi untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam pelaksanaannya adalah pidana bersyarat. Sesuai dengan hasil penelitian, putusan-putusan pidana bersyarat, baik secara umum maupun seperti yang terdapat dalam Putusan Nomor: 307 K/Pid.Sus/2010, Putusan Nomor: 732 K/PID/2010, Putusan Nomor: 43/Pid.B/2012/PN.Kb.Mn., Putusan Nomor: 229/Pid.B/2012/PN.Stb., dan Putusan Nomor: 243/Pid.B/2011/PN.Dmk., telah menerapkan prinsip-prinsip keadilan restoratif, akan tetapi belum secara keseluruhan. Selain itu, putusan pidana bersyarat yang tepat untuk menjadi bentuk penerapan keadilan restoratif hendaknya memuat prinsip-prinsip keadilan restoratif dan memaksimalkan ketentuan mengenai syarat umum dan syarat khusus seperti yang tercantum dalam Pasal 14a dan 14c KUHP. ...... Restorative justice essentially prioritizes direct participation of stakeholders in resolving the criminal case, upholding the values of peace, reconciliation, and the fulfillment of obligations and interests of the parties voluntarily. As a new approach in criminal law, restorative justice has principles that can be integrated into conventional criminal law, for example in terms of punishment. One form of punishment that has the potential to apply the principles of restorative justice in the criminal execution is conditional sentencing. In accordance with the results of the study, conditional sentences, both in general and as contained in Decision Number: 307 K/Pid.Sus/2010, Decision Number: 732 K/PID/2010, Decision Number: 43/Pid.B / 2012/PN.Kb.Mn., Decision Number: 229/Pid.B/2012/PN.Stb., and Decision Number: 243/Pid.B/2011/PN.Dmk., has applied the principles of restorative justice, but not on the whole. Moreover, conditional sentences which want to be an appropriate form of restorative justice should contains the principles of restorative justice and maximizing the provision of general and special terms and conditions as set out in Article 14a and 14c of the Indonesian Penal Code.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46248
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Nindya Miesye Agita
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai konsep bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual yang diusung oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang diperbandingkan dengan konsep kekerasan seksual di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan konsep kesusilaan di dalam Rancangan KUHP. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, skripsi ini bertujuan untuk memberikan penilaian mengenai urgensi dari Komnas Perempuan untuk melahirkan Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual yang memuat tentang 15 (lima belas) tindak pidana kekerasan seksual, yakni; Perkosaan, Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual, Penyiksaan Seksual, Perbudakan Seksual, Intimidasi, Ancaman dan Percobaan Perkosaan, Prostitusi Paksa, Pemaksaan Kehamilan, Pemaksaan Aborsi, Pemaksaan Perkawinan, Perdagangan perempuan untuk Tujuan Seksual, Kontrol Seksual seperti Pemaksaan Busana dan Diskriminasi Perempuan Lewat Aturan, Penghukuman Tidak Manusiawi dan Bernuansa Seksual, Praktik Tradisi Bernuansa Seksual yang Membahayakan Perempuan dan Pemaksaan Sterilisasi dengan memperbandingkan masing-masing konsep tindak pidana tersebut dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Rancangan KUHP. Skripsi ini berkesimpulan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana yang saat ini berlaku belum atau masih kurang dapat menanggulangi bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang diusung oleh Komnas Perempuan. ...... This thesis mainly discuss about the concept of forms of sexual violence in the draft Law on Sexual Violence promoted by the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan), as compared with the concept of sexual violence in the laws and regulations in Indonesia and the concept of morality in the Draft Criminal Code. By using the method of literature research, this paper aims to provide an assessment of the urgency of the National Commission for Women to create the draft Law on Sexual Violence that includes about 15 (fifteen) criminal acts of sexual violence, which are; Rape, Sexual Abuse, Sexual Exploitation, Sexual Torture, Sexual Slavery, Intimidation, Threats and Attempted Rape, Forced Prostitution, Forced Pregnancy, Forced Abortion, Forced Marriage, Trafficking of Women for Sexual Purposes, Sexual Control such as Coercion and Discrimination of Women through Fashion Rules, Inhuman Punishment and Sexual Nuances, Shades Tradition of Sexual Practices that Harm Women and Forced Sterilization by comparing each concept with a criminal offense such legislation in Indonesia and the draft Criminal Code. This thesis concludes that the policy formulation of criminal law that is currently in effect yet or still less able to cope with other forms of sexual violence against women are pursued by the National Commission on Violence Against Women.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57399
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsya Mutmainah Handayani
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan yang pesat dalam pemanfaatan teknologi, khususnya jasa internet, memicu perkembangan pada bentuk-bentuk kejahatan, yang dikenal dengan kejahatan siber atau cybercrime. Phishing sebagai kejahatan terhadap identitas merupakan bentuk kejahatan baru yang menggunakan fasilitas internet. Phishing adalah salah satu bentuk computer-related fraud untuk mencuri identitas. Phishing kerap kali terjadi pada fasilitas internet banking dan menimbulkan kerugian finansial bagi korban. Untuk itu, penelitian ini akan membahas pengaturan phishing di Indonesia dan secara internasional. Selain itu, penulis juga akan membahas tindak pidana yang melekat pada kejahatan phishing pada fasilitas internet banking, dan analisis kasus penegakan hukum terhadap phishing dalam kasus cimbclicks, dan ib.mandiri.
ABSTRACT
Rapid development in technology utilization, especially internet services, triggers the development in criminal law concerning cybercrime. Phishing as a crime against identity is a new form of crime using internet facility. Phishing is one of computer-related fraud to steal victim’s identity. Phishing often occurs on internet banking facility and causes financial loss to its victim. Therefore, this research will discuss the regulation of phishing in Indonesia and how international law governs this criminal deed. Moreover, writer will also discuss about other crimes that included in phishing on internet banking facility, and analyze the law enforcement in phishing case of cimbclicks and ib.mandiri.
2015
S58549
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maidina Rahmawati
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir Indonesia dikejutkan oleh maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak, beberapa kasus menimbulkan puluhan korban dari satu pelaku. Menyikapi hal ini, pihak perumus kebijakan memfokuskan perhatiannya kepada upaya pemberatan hukuman semata, pemerintah menganggap bahwa sanksi yang ringan merupakan penyebab kasus terus bertambah. Padahal jika kita mencermati secara lebih luas, terdapat beberapa tipe pelaku kejahatan seksual, salah satunya pengidap pedofilia. Pedofilia dalam ilmu psikologi dikenal sebagai suatu gangguan seksual yang membutuhkan treatment bukan penghukuman. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apakah kebijakan pidana tertentu perlu diterapkan bagi pelaku kejahatan seksual yang mengidap pedofilia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, perbandingan dan pendekatan kasus. Penelitian ini bersifat eksploratoris dengan menelusuri landasan teori pidana dan pemidanaan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemidanaan pada sistem peradilan pidana modern tidak hanya memandang perbuatan namun juga pelaku. Perkembangan pemidanaan ini melahirkan ide rehabilitasi dan individualisasi pidana. Konsep rehabiltasi dan individualisasi pidana ini pun sejalan dengan Pasal 10(4) Konvensi Hak Sipil dan Politik dan UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menjelaskan bahwa pemidanaa bertujuan merehabilitasi dan mengembalikan pelaku kepada masyarakat, sehingga kebijakan khusus bagi pelaku yang mengidap pedofilia diperlukan untuk merehabilitasi dan mengembalikan pelaku kepada masyarakat.
ABSTRACT
Over the past five years, people around Indonesia watched in fear and heartbreak as the number of sexual offences against children has risen. The several cases cause more than one victims from each perpetrator. Legislators and executives zealously react this problem by tightening laws to regulate the heavier sentence. They contend that the insufficient punishment has significant role in the increasing number of sexual offense. In fact, if we see in a wider perspective, sexual offence against children is not merely about criminal act. Sex offenders are classificated into four types, one of them is pedophilic offender. In psychology, Pedophile is known as an abnormal attraction which requires treatment, not punishment. This research aims to investigate whether the distinctive criminal law policy should be regulated for pedophilic offender. This research is a normative juridical, with an approach in legislation, comparison and approaches in cases (case approach), also explores several number of theories of sentencing. Based on this research, it can be concluded that under the modern criminal justice system, both offense conduct and offender characteristic have significant role in sentencing decisionmaking. This concept formulated individualized tailoring of sentences and rehabilitative model which confirming to the concept of correctional board under Law No 12/1995 and rehabilitative model Article 10(4) ICCPR. Therefore, the distinctive criminal law policy for pedophilic offender should be regulated in order to rehabilitate and to resocialize the offenders.;
2016
S64678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resa Raditya
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana pengelola tempat perdagangan yang diatur di dalam Pasal 10 dan Pasal 114 Undang-undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Dua hal yang menjadi pokok permasalahan penelitian ini ialah mengenai bagaimanakah latar belakang munculnya pertanggungjawaban pidana pengelola tempat perdagangan dalam Undangundang tersebut dan juga apakah secara teoritis rumusan Pasal 114 tersebut sudah tepat atau tidak. Penelitian dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Pengelola Tempat Perdagangan, Berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang diarahkan pada hukum positif untuk kemudian dikaitkan dengan teori kebijakan/politik kriminal serta teori pertanggungjawaban pidana dan kesalahan sebagai unsur tindak pidana. Penelitian ini menggali latar belakang munculnya pertanggungjawaban pengelola tempat perdagangan melalui naskah akademik, risalah sidang perumusan undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, serta pendapat dari ahli hukum hak cipta. Kemudian akan menganalisis unsur kesalahan (kesengajaan) dalam rumusan Pasal 114 sebagai ketentuan pemidanaan pengelola tempat perdagangan melalui teori pertanggungjawaban pidana dikaitkan dengan pendapat dari ahli hukum pidana.
ABSTRACT
This thesis will discuss about the criminal responsibility of commercial venue?s management, which is regulated under Article 10 and Article 14 of Law Number 28 Year 2014 on Copyright. The two main problems of this study are the background on the emergence of criminal responsibility of commercial venue?s management under Law Number 28 Year 2014 and whether Article 114 is theoretically correct. In this study, the method used is the normative juridical literature in perspective of positive law which is then associated with the theory on political criminal policy and the theory on criminal responsibility and liability as elements of crime. This study seeks for the background on criminal responsibility of commercial venue?s management through academic draft, minutes of Law Number 28 Year 2014 and opinions from experts on copyright law. Furthermore, this study will analyze the liability element under Article 114 as the criminalization provision of commercial venue?s management through the criminal responsibility theory, which is then associated with opinions from criminal law experts.
2016
S65167
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna Wahida
Abstrak :
ABSTRAK
Pandangan dominan dalam ilmu hukum pidana menyatakan bahwa penerapan analogi dilarang dalam hukum pidana sebab melanggar asas legalitas, sedangkan penafsiran ekstensif diperbolehkan. Skripsi ini menemukan bahwa penerapan analogi dan penafsiran ekstensif memang memiliki perbedaan dalam konteks struktur argumentasi yang dikandung di dalamnya, namun keduanya memiliki persamaan dalam konteks penerapan praktisnya, yaitu sama-sama memperluas cakupan makna suatu ketentuan pidana dalam undang-undang sehingga dapat mencakup perbuatan yang sebelumnya tidak termasuk dalam ketentuan pidana tersebut. Skripsi ini juga menemukan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerapkan analogi dalam Putusan Nomor 786K/Pid/2015 dan 1417K/Pid/1997.
ABSTRACT
The dominant perspective in criminal law propounds that the application of analogical reasoning is prohibited in criminal law, since it is contradictory to principle of legality, whereas extensive interpretation is not prohibited. This thesis finds that application of analogical reasoning is different from extensive interpretation in the context of their own argumentative structure, but they are identical in the context of their practical application, for they both extend the meaning of a criminal provision so it could include an action that was not included in that provision. This thesis also finds that Supreme Court of Republic of Indonesia has applied analogical reasoning in Decision Number 786K/Pid/2015 and 1417K/Pid/1997.
2016
S64462
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Chandra
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai aspek-aspek hukum pidana yang berlaku di Indonesia, dan penerapan-penerapannya terhadap tindak pidana di bidang Fidusia, yang ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Penelitian ini merupakan suatu penelitian yuridis-normatif, dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Penelitian ini menggunakan putusan-putusan Pengadilan Negeri yang telah menjadi putusan berkekuatan hukum tetap dan dianalisis berdasarkan ketentuan undang-undang terkait ketentuan pidana di bidang fidusia. Hasil penelitian adalah adanya aspek hukum pidana berupa ketentuan pidana khusus di bidang fidusia, yang penerapannya sangat minim dilakukan walaupun merupakan suatu bentuk perlindungan hukum yang telah tersedia dan paling tepat untuk diterapkan. Hasil penelitian menyarankan bagi penegak hukum untuk bekerja sama dengan korban tindak pidana di bidang fidusia sehingga asas kepastian hukum dapat terwujud, dan bagi masyarakat umum untuk diberikan penyuluhan mengenai adanya ketentuan pidana dalam bidang Fidusia, yang dapat digunakan sebagai suatu perlindungan hukum.
ABSTRACT
The focus of this study is the aspects of Criminal Law in Indonesia, and the application on criminal act in Fiduciary, in which the provisions is set in Law No. 42 of 1999 on Fiduciary. The method of this research is juridical normative, and uses statute approach as well as case approach. The research analyzes district court decisions that are legally binding and are based on laws relating to criminal provisions in Fiduciary. The results of this research show the existence of criminal law aspects in the form of special criminal provisions in Fiduciary, whose application is still minimal even though it is a form of legal protection that is already available and most appropriate to be applied. The results of this research suggest for the law enforcement to cooperate with the victims of criminal acts in fiduciary so that the principle of legal certainty can be fulfilled, and for the public to be given socialization about the existence of criminal provisions in the fiduciary field, which can be used as a legal protection.
2017
S68135
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trysa Agustia Arifin
Abstrak :
ABSTRAK
Penyertaan Pada Pertanggungjawaban Pidana Grup Korporasi Berdasarkan Pasal 6 Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi Studi Putusan No. 2239 K/Pid.Sus/2012 a.n. Terdakwa Suwir Laut Trysa Agustia Arifin, Surastini FitriasihIlmu Hukum, Fakultas Hukumtrysaagustiaarifin@gmail.com AbstrakSeiring dengan perkembangan jaman dan pertumbuhan ekonomi, ada kalanya suatu tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu korporasi yang tergabung dalam kesatuan grup perusahaan. Hal inilah yang memicu dibuatnya Pasal 6 Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi yang mengatur tentang pertanggungjawaban grup korporasi. Skripsi ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang konsep penyertaan dalam pertanggungjawaban pidana grup korporasi serta penerapannya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 yang melibatkan Perusahaan Grup Asian Agri. Skripsi ini menjelaskan teori-teori pertanggungjawaban korporasi, grup korporasi, dan penyertaan dalam hukum pidana. Berdasarkan teori-teori dasar tersebut, skripsi ini kritis menganalisis konstruksi penyertaan jika diterapkan dalam tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu korporasi yang tergabung dalam kesatuan grup atau hubungan lainnya. Dan diketahui bahwa pertama harus dibuktikan bahwa korporasi melalui agennya telah melakukan tindak pidana yang pemidanaannya dapat dibebankan kepada korporasi. Selanjutnya, ditentukan apa peran masing-masing perusahaan dalam kaitannya dengan ruang lingkup penyertaan. Diterapkan dalam analisis Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012, diketahui bahwa agar penegakkan hukum dalam bidang pertanggungjawaban grup korporasi dapat berlangsung secara efektif, tidak cukup hanya dengan ketentuan hukum formil sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Pema No. 13 Tahun 2016. Tetapi juga harus ada ketentuan undang-undang yang mengakomodir ketentuan hukum materiil mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana tertentu. Skripsi ini menyarankan dua saran utama, yaitu pertama pembuat Undang-Undang harus secara selaras mengatur ketentuan tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana tertentu yang dapat dilakukan oleh korporasi. Kedua, penegak hukum harus lebih berani dalam mendakwakan lebih dari satu korporasi dalam satu dakwaan apabila memang dapat dibuktikan adanya penyertaan pada tindak pidana grup korporasi.
ABSTRACT
Complicity in Corporate Criminal Liability According to Article 6 of Perma 13 2016 Case Study of Suwir Laut, 2239 K Pid.Sus 2012 AbstractArticle 6 of Perma 13 2016 stipulates a provision regarding complicity in group corporation criminal liability. However the article itself does not provide a further guidance on how this liability concept should be applied. This thesis is intended to answer such gap left by the Article and how it is supposed to be applied in the decision of Indonesian Supreme Court No. 2239 K Pid.Sus 2012 which involves group corporation named Asian Agri Group and its tax manager, Suwir Laut. In the substance, this thesis explains legal theories with regards to corporate criminal liability, group corporation, and complicity. In accordance with such theories, this thesis further analyse the construction of complicity applied in a case where a crime committed by more than one corporation bound by group relation. It is then acknowledged that there at least two steps that need to be taken, first the conduct of corporate agent could be attributed to the corporation being concerned. Second, each of corporation should be assessed what are their part in commission of the crime. Such steps could not be squarely applied in the case of Suwir Laut because in that case the crime committed by the defendant and the group corporation was not regulated as crime that could be committed by corporation. It is therefore, in order to apply procedural rules regarding group corporate criminal liability, the legislatives must provide a regulation which stipulates that certain crime could be committed by a corporation. Once there are such regulations, the law enforcement officers shall be confident to indict several corporation bound by group relation because it is just and necessary.
2017
S69530
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Yohanes Partogi
Abstrak :
Kesalahan merupakan salah satu unsur terpenting untuk meminta pertanggungjawaban pidana terhadap kurir narkotika. Tanpa adanya kesalahan kesengajaan/ kelalaian , maka tidak dapat dipidananya seorang terduga kurir narkotika. Namun, pada penerapannya Hakim dalam mengadili seorang kurir narkotika terkadang luput menggali lebih lanjut mengenai bentuk kesalahan dari siterdakwa. Kesalahan ini sangat erat hubungannya dengan suatu bentuk penyertaan dalam melakukan tindak pidana. Sebab, narkotika sebagai suatu kejahatan terorganisir memiliki suatu mata rantai yang luas dimana terdapat hubungan kerja sama antar para pelaku. Dalam konteks kurir narkotika, perlunya dikaji lebih lanjut pengetahuan dan kesadaran kurir narkotika sebagai pelaku yang bekerja sama dalam suatu sindikasi narkotika. ......Fault is one of the most important elements of criminal liability to the narcotics courier. Without a fault deliberate negligent , a narcotics courier cannot be held liable for its crime. However, in the application of the Judge in adjudicating a narcotics courier sometimes escapes further the error of the accused. This error is closely related to a form of participation in committing a crime. Therefore, narcotics as an organized crime has a wide chain where there is a relationship of cooperation between principals. In the context of narcotics couriers, the need to further examine the knowledge and awareness of narcotics couriers as actors who work together in a narcotic syndication.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69729
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Tongam Gilbert Leonardo
Abstrak :
ABSTRAK
Praktik makelar merupakan fenomena umum di Indonesia. Dampak negatifnya terhadap masyarakat juga dihadapi dengan masih adanya kebutuhan masyarakat akan praktik percaloan. Dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis-normatif dan bersifat eksploratif, penelitian ini mencoba menggali dampak-dampak yang ditimbulkan oleh praktik percaloan terhadap masyarakat dan apakah dampak tersebut cukup urgen untuk menjadikan percaloan sebagai tindak pidana. Hukum yang relevan dengan topik ini adalah KUHP dan KUHP. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa praktik percaloan belum memiliki urgensi untuk dijadikan sebagai tindak pidana di Indonesia sehingga penanganannya sedapat mungkin dilakukan dengan upaya non penal yang melibatkan pemerintah dan masyarakat, namun dilakukan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan upaya penal sebagai bentuk pencegahan.
ABSTRACT
The practice of brokering is a common phenomenon in Indonesia. The negative impact on the community is also faced by the community's need for brokering practices. By using research methods that are juridical-normative and exploratory, this study tries to explore the impacts of brokering practices on society and whether these impacts are urgent enough to make brokering a criminal act. The laws relevant to this topic are the Criminal Code and the Criminal Code. The results of this study conclude that the practice of brokering does not yet have urgency to be used as a criminal act in Indonesia so that its handling is carried out as far as possible with non-penal efforts involving the government and the community, but it is possible to use penal efforts as a form of prevention.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>