Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutyarso
"Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk sangat erat kaitannya dengan program keluarga berencana (KB). Salah satu sebab terjadinya penurunan angka kelahiran adalah berhasilnya pelaksanaan gerakan nasional KB, yang telah dimulai sejak tahun 70-an. Di Indonesia pelaksanaan KB dinilai cukup berhasil dan telah diakui oleh masyarakat dunia. Laporan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1993 (1), menyatakan bahwa dari populasi wanita berumur 15-49 tahun yang sedang ber-KB; sebanyak 33,05% menggunakan alat kontrasepsi pil, 29,21% dengan suntikan, dan 22,62% dengan cara menggunakan spiral. Dari laporan tersebut terungkap bahwa cara KB yang melibatkan partisipasi kaum pria masih sangat rendah, lagi pula terbatas hanya dengan menggunakan alat KB kondom 1,11% dan vasektomi 1,35%.
Salah satu penyebab rendahnya partisipasi pria dalam program KB, di antaranya disebabkan terbatasnya pilihan alat kontrasepsi pria Tersedianya berbagai macam cara kontrasepsi memungkinkan seseorang memakai kontrasepsi sesuai dengan keinginannya. Sehingga semakin banyak kontrasepsi yang tersedia, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk memakai kontrasepsi itu. Agar lebih mendorong kaum pria untuk berperan aktif dalam mengikuti program KB, maka sangatlah tepat untuk lebih banyak menyediakan jenis kontrasepsi untuk pria, sehingga kaum pria memiliki berbagai alternatif yang sesuai dengan pilihannya (2). Kontrasepsi pria dengan cara pemberian hormon, merupakan salah satu altematif yang banyak diteliti dengan sasaran utamanya adalah pengendalian proses spermatogenesis melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis (3,4). Metoda pendekatan semacam ini, didasarkan pads pengetahuan bahwa spermatogenesis sangat tergantung pads sekresi gonadotropin yaitu LH (luteinizing hormone) dam FSH (follicle stimulating hormone) oleh kelenjar hipofisis.
Hormon LH bekerja menginduksi sel Leydig untuk memproduksi testostero sedangkan FSH diperlukan untuk mengontrol fungsi se! Sertoli guna memproduksi zat-zat makanan yang diperlukan untuk perkembangan normal sel-sel germinal selama proses spermatogenesis. Balk FSH, LH maupun testosteron, ketiganya diperlukan untuk mempertahankan dan memelihara proses spermatogenesis (3-5). Terhambatnya sekresi LH dan FSH, akan menyebabkan infertilitas sementara dalam bentuk oligozoospermia atau azoospermia (3-7).
Oleh karena testosteron mempunyai efek bifasik terhadap spermatogenesis, maka meningkatnya kadar testosteron plasma 40% di atas kadar fisiologis (6), atau menurunnya kadar testosteron di bawah normal dapat menimbulkan azoospermia (8). Keadaan ini disebabkan kadar testosteron yang tinggi di dalam plasma darah bersifat menghambat sekresi FSH dan LH, yang dalam keadaan normal kedua honnon tersebut diperlukan untuk mempertahankan spermatogenesis (5,8)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
D383
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cholid Badri
"Respons tumor terhadap radiasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat digolongkan ke dalam faktor intrinsik yang bersifat genetik dan faktor-faktor lingkungan mikro (microenvirontment) yang disebut faktor epigenetik. Faktor intrinsik dapat ditunjukkan dengan 'predictive assay' yang dapat memperlihatkan sensitivitas individual tumor. Faktor epigenetik terdiri dari berbagai faktor termasuk hipoksia, vaskularisasi dan fraksi pertumbuhan. Dan berbagai penelitian dapat ditunjukkan hubungan antara beberapa faktor itu dengan respons tumor, maupun antara ketiga faktor tersebut. Dapat diasumsikan bahwa faktor hipoksia, vaskularisasi dan fraksi pertumbuhan merupakan indikatorindikator Iingkungan tumor yang dapat merupakan prediktor terhadap respons radiasi pada jaringan tumor tersebut. Pada penelitian ini, fraksi pertumbuhan tumor akan diteliti kaitannya dengan respons tumor dan pemanfaatannya dalam pengobatan gabungan untuk meningkatkan respons pada tumor yang mempunyai prognosis buruk. Berdasarkan asumsi bahwa tumor dengan fraksi pertumbuhan rendah relatif hipoksik, maka dilakukan pengobatan gabungan radiasi dengan MMC, suatu sitostatika yang bekerja efektif dalam keadaan hipoksik pada kelompok-kelompok tumor yang sudah digolongkan ke dalam fraksi pertumbuhan yang rendah dan yang tinggi. Pemilahan pasien berdasarkan besarnya fraksi pertumbuhan dilakukan dengan pemeriksaan imunohistokimia pada jaringan biopsi segar penderita kanker leher rahim menggunakan antibodi monoklonal Ki-67. Penderita KLR yang diteliti adalah penderita stadium lanjut lokal (stadium II b sampai III b menurut FIGO) yang datang ke Sub Bagian Onkologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM dan kemudian dikirim ke Sub Bagian Radioterapi Bagian Radiologi FKUI/RSCM

Response of tumors toward radiation is affected by various factors that can be classified as intrinsic factors, which are genetic, and epigenetic factors, which are micro environment. The intrinsic factors can be demonstrated through a "predictive assay" which can show the sensitivity of individual tumor.
Epigenetic factors consist of many factors including hypoxia, vascularization, and growth fraction. From results of many studies, can' be shown that there is a relation between these last factors with response of tumor. There is also relation among these three factors. We can assume that hypoxia, vascularization and growth fraction are indicators of tumor's environment which can also be predictors of response to radiation in tumor tissue.
In this study, the rate of tumor growth will be studied in it's relation to tumor's response and the uses in combined treatment to increase the response of tumors with bad prognosis.
Based on an assumption that tumors with low growth fraction are relatively hypoxic, combination of radiation with MMC is used, a cytostatic agent that effectively work on hypoxic condition in groups of tumors which have been classified as having low growth fraction. Patients grouping were performed based on the growth fraction as seen in immunohisto chemistry examination on fresh biopsy tissue of patients with cancer of cervix, using Ki-67 monoclonal antibody. Those patients of cancer of the cervix included in this study were patients in locally advanced stages (stage IIb - IIIb by FIGO classification), who came to Oncology Sub Department of the Department of Obstetric and Gynecology Faculty of Medicine University of Indonesia/Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, and referred to Radiotherapy Sub Department of the Department of Radiology at the same institute.
After going through inclusion and exclusion criteria, 146 patients were found to be suitable for evaluation with the prescribed protocol. The patients were sorted into 4 groups according the growth fraction and type of treatment to be performed. Group I and Group II were patients with Ki-67 index less than 40% with a difference that Group I underwent radiation therapy only, while Group II was treated with combination of radiation therapy and MMC. Group III and IV were patients with Ki-67 index 40% or higher, with a difference that Group III underwent radiation therapy only, while Group IV was treated with combination of radiation therapy and MMC. The 40 % Ki-67 criterion was determined based on results of preliminary study which set the level around 40%.
The radiation therapy consisted of external radiation to the pelvis area in 28 sessions with a dose of 180 cGy per sessions or 5040 cGy total dose given in around 5.5 weeks. After a 1 - 2 week rest, radiation therapy were continued in the form of intra cavitary radiation using High Dose Rate (HDR) system in 2 sessions, I week apart, each in a dose of 850 cGy, giving a total dose of 1700 cGy. A small number of patients (42 patients) were given with Low Dose Rate (LDR) intra cavitary system in similar session and interval with those patients with HDR system. The dose was 1300 cGy per session or total dose of 2600 cGy being equal to the total dose of 1700 cGy in HDR system. Mitomycin-C was given in the combined treatment groups, with a dose of 15 mglm2, as a bolus injection intravenously, at the first day of external radiation and the first intracavitary insertion.
Routine blood examinations were performed to each patient before treatment and once a week until the radiation therapy were completed. Liver function tests were performed before treatment, at the end of external radiation and after all radiation therapy completion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
D79
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairil Hamdani, supervisor
"Morbiditas kanker payudara kerap menempati peringkat pertama atau kedua di antara kanker pada wanita di berbagai negara. Taksiran morbiditas kanker payudara di seluruh dunia tahun 2000 lebih kurang satu juta wanita. Morbiditas di negara-negara Asia, yang semula disangka rendah, mulai mendekati pola Eropa dan Amerika. Mortalitas total kanker payudara menetap, belum menunjukkan penurunan nyata Taksiran mortalitas tahun 2000 di seluruh dunia lebih kurang 400.000.
Morbiditas kanker payudara berdasarkan data 13 senter patologi di Indonesia tahun 1992 menempati peringkat kedua di antara kanker pada wanita, dengan Age Standardized Cancer Ratio 17,01 (jumlah seluruh kanker pada wanita tahun 1992 ialah 13673). Kanker payudara pada wanita di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 1998 sebanyak 107 kasus (frekuensi relatif 15,4%). Registrasi berdasarkan populasi di Semarang (1985-1989) menunjukkan rerata Age Standardized Incidence Rate setiap tahun 18,69/100.000 populasi. Perkembangan mutakhir menunjukkan pergeseran pemecahan masalah kanker payudara. Di ufuk cakrawala, terbit upaya pengendalian kelompok risiko. Penemuan kelompok risiko tinggi, antara lain ialah penentuan wanita yang menerima penurunan rnutasi gen alur benih, dan penetapan lesi prakanker sebagai sasaran kemoprevensi.
Kebijakan umum dewasa ini ialah skrining/deteksi dini untuk menurunkan mortalitas. Deteksi dini dilaksanakan dengan program Sadari (periksa payudara sendiri) dan skrining mamografi. Pelaksanaan skrining mamografi dengan sasaran populasi wanita berisiko membutuhkan biaya, peralatan dan sumber daya manusia profesional. Cakupan diperluas dengan pemanfatan biopsi jarum halus sebagai sarana deteksi dini.
Pemeriksaan sitologik berpotensi mengurangi kelambatan penanganan. Pada unit "klinik tumor payudara", beranggotakan dokter spesialis bedah, dokter spesialis radiologi dan dokter spesialis patologi, peran bersama menghasilkan tridiagnosis sebagai diagnosis penentu prabedah. Sasaran terbaik ialah kanker minimal, berupa lesi payudara yang tak teraba. Beberapa penulis mulai mengupas peran sitologi untuk mendeteksi lesi prakanker.
Diagnosis sitologik, yang bertumpu pada evaluasi gambaran morfologik sel, pada umumnya menunjukkan ketepatan tinggi. Sakaguru evaluasi sitomorfologik ialah perubahan nukleus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D21
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Ernawati
"ABSTRAK
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini telah mendorong penemuan berbagai senyawa makromolekul yang memiliki potensi terapeutik. Namun sayangnya, pengembangan senyawa-senyawa ini menjadi obat seringkali terhambat, karena banyak dari senyawa-senyawa terapeutik baru ini mengalami kesukaran dalam penghantarannya ke situs sasaran. Padahal suatu molekul terapeutik baru bermanfaat sebagai obat jika sudah mencapai situs sasarannya. Masalah penghantaran obat (drug delively) ini telah menjadi topik penelitian yang menarik sejak beberapa dekade yang lalu. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan penghantaran obat ke situs sasarannya, antara lain dengan modifikasi molekul (strategi prodrug) atau dengan melakukan modulasi terhadap junction antar sel.
Junction antar sel dapai dimodulasi dengan menggunakan berbagai senyawa, antara lain EDTA, surfaktan, asam-asam dan garam empedu, beberapa jenis hormon dan neurotransmiter, senyawa-senyawa silokalasin, Serta senyawa-senyawa penghambat glikolisis dan fosforilasi oksidatif. Namun senyawa-senyawa tersebut tampaknya tidak memiliki prospek yang baik untuk penggunaan klinis.

ABSTRACT
Rapid advances in combinatorial chemistry and molecular biology are responsible for the discovery of many potential therapeutic agents. These agents include newly synthesized or naturally occurring peptides and proteins. However, the practical application of peptides and proteins as therapeutic drugs is often restricted by the difficulties of delivering them to target site(s) due to the presence of biological barricades such as the intestinal mucosa and the blood-brain barrier (BBB). These barriers usually consist of cell membranes constructed from cells that form intercellular junctions.
Peptides and proteins cannot readily cross via trancellular pathways of these barriers due to their size and hydrnphilioproperties. Alternatively, these molecules maybe transported through the paracellular pathway. Unfortunately, the paracellular transport of these molecules is restricted by the presence of tight junctions. Tight junctions have minimal porosity (11 A) allowing only small molecules and ions to pass through the paracellular route. Therefore, there is a need to develop methods for improving paracellular delivery of large hydrophilic molecules such. as peptides and proteins."
2001
D1250
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inge Sutanto
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D1775
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library