Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Rosmawaty
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Sindrom Down (SiD) merupakan suatu kelainan genetik yang paling sering dijumpai yang menyebabkan retardasi mental. SiD disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom atau aberasi numerik yaitu trisomi 21 sehingga penderita mempunyai susunan kromosom 47,XX,+21 atau 47,XY,+21. Trisomi kromosom'21 disebabkan oleh proses gagal pisah ('nondisjunction') yang dapat terjadi baik pada ibu (75-80%) maupun pada ayah (20-25%). Beberapa studi yang berusaha mengungkap sebab-sebab atau etiologi dari gagal pisah telah dilakukan, namun penyebab gagal pisah kromosom 21 masih tetap banyak yang belum diketahui. Kemungkinan bahwa banyak faktor atau mekanisme turut berperan. Penelitian genetika molekuler ini bertujuan untuk melihat polimorfisme panjang fragmen restriksi (RFLP) DNA satelit alfa daerah sentromer kromosom 13/21 (D13Z1/D21Z1) yang mungkin berhubungan dengan proses terjadinya gagal pisah pada trisomi 21 yang menyebabkan SiD. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Blot Southern dengan menggunakan enzim restriksi EcoRI dan Xba I. Hasil dan Kesimpulan : 1. Dengan menggunakan enzim restriksi EcoRI dan pelacak DNA satelit alfa kromosom 13/21 (D13Z1/D21Z1) terdapat polimorfisme (RFLP) yang tidak spesifik pada wanita yang mempunyai anak SiD. RFLP terdapat pada fragmen 850, 1190, 1360 dan 1870 pb. 2. Dengan menggunakan enzim restriksi Xba I dan pelacak DNA satelit alfa kromosom 13/21 (D13Z1/D21Z1) tidak terdapat polimorfisme (RFLP) baik pada wanita yang mempunyai anak SiD maupun pada wanita pembanding. Hibridisasi menghasilkan 8 fragmen yang seragam pada semua individu yang diperiksa dengan ukuran: 0,7 ; 0,9 ; 1.0 ; 1,2 ; 1,4 ; 1,5 ; 1,7 dan 1,9 kb. Hal ini berarti bahwa dengan menggunakan enzim Xba I, polimorfisme DNA satelit alfa kromosom 13/21 tidak terdeteksi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Soemiati
Abstrak :
ABSTRAK Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Streptokok hemolitik beta grup A (SH-A) adalah kuman patogen pada manusia menyebabkan radang tenggorok dan kulit dengan sequelae demam rematik. SH-A mempunyai protein M pada dinding selnya yang menyebabkan kuman tersebut tahan terhadap fagositosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ampisilin subkadar hambat minimal (sub KHM) terhadap daya fagositosis makrofag. Kuman SH-A dicampur dengan ampisilin sub KHM (1/4 KHM dan 1/8 KHM) dengan makrofag dan diinkubasi selama 60 menit dan 120 menit. Penelitian ini menggunakan SH-A strain standar WHO (Ceko), dan ampisilin trihidrat diperoleh dari PT Kalbe Farma. Makrofag diambil dari peritoneal mencit strain CBR umur 4-8 minggu. Sebagai kontrol dilakukan terhadap kuman yang dibiakkan dalam kaldu Todd Hewitt yang mengandung ampisilin sub KHM tanpa dicampur makrofag. Hasil dan Kesimpulan: Terdapat penurunan populasi kuman pada perbenihan yang mengandung makrofag tanpa ampisilin setelah diinkubasi 120 menit karena penurunan pH pada media. Populasi kuman menurun setelah kuman dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit dibandingkan dengan kontrol. Prosentase fagositosis makrofag dan indeks fagositosis makrofag terhadap kuman yang dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit meningkat. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa secara in vitro daya fagositosis makrofag meningkat setelah dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit.
ABSTRACT Effect Of Ampicillin At Sub Mic On The Phagocytosis By Macrophage Of Streptococcus Hemolytic Beta Group AScope and Method of Study: Streptococcus beta-hemolyticus group A (SH-A) is pathogenic for man, the most usual causative agent for acute streptococcal upper respiratory tract and skin diseases with sequelae namely rheumatic fever. The bacterial cell wall contains protein M, a virulence factor, which is responsible for the resistance to phagocytic activity of macrophage. The aim of this research was study the phagocytosis of streptococci grown in subminimum inhibitory concentration (sub MIC) of ampicillin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. SH-A was obtained from Ceko Colaboratorium (standard strain of WHO), and ampicillin trihydrate was from Kalbe Farma. The mice were kindly supplied by Central Biomedical Research, Jakarta; age 4-8 weeks, were free from infections, and used as macrophage source. Findings and Conclusions: The number of bacteria in the medium containing macrophage after incubation for 60 minutes increase, but after 120 minutes decreases, probably due to the low pH medium. The population of bacteria decreases in the medium treated with sub MIC of ampicillin after incubation for 60 and 120 minutes. Percentage of relative effect of phagocytosis and phagocytosis index of macrophage seem to be increasing after incubation of the whole component for 60 and 120 minutes. SH-A treated with sub MIC of ampicillin underwent rapid ingestion by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. The result showed that the hypothesis of the rapid ingestion of SH-A treated with sub MIC ampicilin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes could be accepted.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Lina Rosilawati, supervisor
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Salah satu alasan utama gagalnya pengendalian tuberkulosis di negara berkembang termasuk Indonesia, adalah karena kelemahan dalam diagnostik untuk mendeteksi kasus infeksi pada saat dini, di samping kegagalan terapi kasus tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis. Teknik PCR yang didasarkan pada amplifikasi DNA, merupakan salah satu cara diagnosis yang telah banyak diteliti dan dikembangkan untuk mendeteksi bakteri M. tuberculosis, penyebab penyakit TBC. Pada penelitian ini telah dilakukan uji PCR untuk mendeteksi M tuberculosis H 7Rv, isolat klinis M. tuberculosis dan mikobakteria atipik. Bakteri dibiakkan dalam medium Lowenstein-Jensen kemudian dilakukan ekstraksi DNA menggunakan metode fenol-kloroform. Untuk mengetahui senstivitas uji PCR, DNA basil ekstraksi diencerkan dalam beberapa pengenceran. Pada percobaan awal DNA M. tuberculosis H37Rv diamplifikasi menggunakan primer YNP5 & YNP6 yang disintesis dari sekwens DNA yang menyandi antigen b protein 38kDa. Amplifikasi DNA M. tuberculosis H37Rv, isolat klinis M. tuberculosis, dan mikobakteria atipik dilakukan dengan menggunakan primer Pt8 & Pt9 yang dirancang darn sekwens sisipan IS6110. Hasil amplifikasi dianalisis dengan elektroforesis gel agarosa. Gel kemudian diwarnai dengan larutan etidium bromida dan divisualisasi dengan `ultraviolet transilluminator". Pengambilan gambar gel agarosa dilakukan dengan menggunakan kamera Polaroid. Hasil dan KesimpuIan : Batas deteksi DNA M. tuberculosis H37Rv hasil amplifikasi dengan primer YNP5 & YNP6 adalah 5 pg setara dengan 1000 sel bakteri, sedangkan dengan primer Pt8 & Pt9 kemampuan uji PCR lebih tinggi dengan batas deteksi 10 fg setara dengan 2 sel bakteri. Uji PCR pada isolat klinis M tuberculosis yang mempunyai batas deteksi tertinggi adalah amplifikasi DNA basil ekstraksi isolat 9727. Batas deteksi uji tersebut adalah 100 fg setara dengan 20 sel bakteri. Primer Pt 8 & Pt9 spesifik untuk M. tuberculosis karena tidak terjadi amplifikasi DNA basil ekstraksi dari mikobakteria atipik.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widiastuti
Abstrak :
Pendahuluan
Di Indonesia terdapat 3 juta pasangan infertil. Dengan kemajuan ilmu kedokteran pada umumnya dan andrologi pada khususnya, baru sekitar 50 % dari pasangan tersebut yang dapat ditolong. Dari pasangan infertil tersebut, sekitar 40% disebabkan adanya gangguan pada pihak pria.

Tujuan utama dari berbagai cara penyiapan spermatozoa adalah untuk memisahkan spermatozoa dari plasma semen setuntas mungkin, sehingga diperoleh spermatozoa yang memiliki fungsi baik untuk keperluan artificial insemination husband (AIH) maupun in vitro fertilization (IVF). Prosedur pemisahan spermatozoa ini, antara lain metoda penyaringan dengan glass wool, kolom albumin, metoda swim-up dan metoda sentrifugasi gradien percoll. Adapun metoda yang sering digunakan untuk keperluan AIH maupun IVF pada pasangan ingin anak adalah metoda swim-up dan metoda sentrifugasi gradien percoll.

Metoda swim-up telah terbukti efektif dalam memisahkan spermatozoa dengan kualitas tinggi pada semen normozoospermia dan oligozoospermia dalam hal motilitas dan morfologi spermatozoa. Namun, metoda swim-up menjadi pilihan mengingat bahan-bahan yang diperlukan untuk metoda swim-up relatif lebih murah dan mudah diperoleh.

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan metoda swim up dengan metoda sentrifugasi gradien percoll dua lapis dalam menghasilkan spermatozoa dengan kualitas fungsi yang baik untuk keperluan pengembangan pelayanan penanggulangan masalah infertilitas.

1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noortiningsih
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian salah satu perubahan fisiologis sistem hormonal yang menyertai kegiatan fisik ialah terjadi peningkatan kadar endorfin dan penurunan kadar gonadotropin di dalam tubuh. Endorfin, diketahui mempunyai sifat inhibitor kuat terhadap sekresi gonadotropin, sehingga menurunnya kadar Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle-stimulating Hormone (FSH) selama kerja fisik, diduga berhubungan erat dengan meningkatnya kadar endorfin tersebut. Hal ini diduga merupakan kunci penting penyebab timbulnya gangguan fungsi sistem reproduksi, khususnya pada atlit-atlit wanita. Dari berbagai penelitian diketahui, bahwa endorfin dan agonisnya, menurunkan sekresi LH dan FSH, sedangkan antagonisnya, meningkatkan sekresi hormon-hormon tersebut. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh latihan fisik menimbulkan gangguan terhadap fungsi sistem reproduksi melalui adanya peningkatan kadar endorfin, dilakukan pengamatan terhadap lama siklus estrus, berat ovarium, dan jumlah folikel ovarium tikus, yang diberi latihan fisik aerobik tanpa dan dengan pemberian nalokson sebagai antagonis endorfin. Penelitian dilakukan terhadap 60 ekor tikus putih betina. Latihan fisik diberikan dengan menggunakan treadmill, dengan kecepatan 800 m/jam, inklinasi nol derajad, lama kerja 30 menit/hari/satu kali kerja fisik, dengan variasi lama latihan, 20, 40, dan 60 hari. Nalokson diberikan subkutan dengan dosis 1 mg/kg berat badan. Hasil dan Kesimpulan : Latihan fisik yang diberikan, menyebabkan siklus estrus menjadi lebih panjang (P<0,01), berat ovarium mengalami penurunan (P<0,01), tidak terdapat perbedaan jumlah folikel primer maupun sekunder (P>0,05), tetapi jumlah folikel Graaf menurun dengan nyata (P<0,05), dan terdapat peningkatan jumlah folikel atresia selama fase luteal (P<0,01). Pemberian nalokson selama latihan fisik dapat menghambat pemanjangan siklus estrus, menghambat penurunan berat ovarium, meningkatkan jumlah folikel Graaf, dan menurunkan jumlah folikel atresia, mendekati kelompok tikus kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan fisik yang diberikan telah mengganggu fungsi sistem reproduksi tikus percobaan, dan pemberian nalokson dapat menghambat pengaruh latihan fisik terhadap fungsi sistem reproduksi tersebut. Namun demikian penelitian ini belum menunjukkan, sejak kapan latihan fisik yang diberikan mulai mengganggu fungsi sistem reproduksi tikus percoban, karena hasil yang diperoleh tidak menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan dengan lamanya latihan (P>0,05).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trimurti Parnomo
Abstrak :
ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian: Uji hambatan hemaglutinasi (HH) merupakan salah satu uji serologi yang secara luas dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap virus dengue baik sebagai konfirmasi diagnosis atau untuk tujuan serosurvei. Mengingat bahwa penyediaan antigen baku yang dipakai untuk uji ini secara teknis tidak mudah dilakukan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka dicoba. untuk mencari sumber antigen alternatif dari media biakan sel yang diinfeksi virus dengue tipe 2 (DV-2). Penelitian ini dilakukan terhadap 3 macam biakan sel yaitu sel BHK klon 21, sel Aedes albopictus klon C6/36 (C6/36) dan sel Aedes pseudascutella ris klon 61 (AP61). Untuk meningkatkan titer antigen yang terbentuk, maka dicoba menambahkan deksametason dan DMSO ke dalam media, disamping itu dilakukan juga presipitasi dengan PEG 6000. Selanjutnya reaktifitas dari antigen alternatif tersebut dibandingkan dengan antigen baku terhadap 62 pasang serum tersangka penderita demam berdarah dengue (DBD) dan 30 serum normal secara uji HH.

Hasil dan kesimpulan : Antigen (hemaglutinin) yang diproduksi oleh biakan eel AP61 dan C6/36 mempunyai titer yang lama tinggi. Penambahan deksametason 10-5M ke dalam media tanpa serum dapat meningkatkan titer hemaglutinin yang secara statistik tidak berbeda bila dibandingkan dengan titer yang berasal dari media yang mengandung serum dengan atau tanpa deksametason. Hasil uji HH menunjukkan, bahwa titer antibodi terhadap antigen alternatif yang telah dipresipitasi dengan PEG 6000 tidak berbeda bila dibandingkan dengan titer antibodi terhadap antigen baku. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antigen alternatif dapat dipakai untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap virus dengue secara uji HH.

1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library