Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinta Deviyanti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Dalam rangka mencari bahan kontrasepsi pria yang ideal, penyuntikan TE (Testosterone Enanthate) dan DMPA (Depot Medroxy Progesterone Acetate) sebagai bahan kontrasepsi hormonal pria menunjukkan hasil penekanan spermatogenesis yang berbeda antara pria bangsa Asia (azoospermia 90-100%) dan Kaukasia (azoospermia < 70%). Diduga ada dua faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil tersebut yaitu faktor genetik dan konsumsi makanan/ diet berbeda yang mempengaruhi kadar SHBG. Sebagai glikoprotein plasma homodimerik, SHBG memiliki kemampuan spesifik mengikat hormon-hormon steroid seks (dehidrotestosteon, testosteron dan estradiol) dan membawanya menuju ke jaringan target. Kadar SHBG normal dalam plasma adalah 10-73 nmol/L. Bila dihubungkan dengan proses spermatogenesis, kadar SHBG secara tidak langsung mungkin dapat mempengaruhi spermatogenesis dengan merubah kadar testosteron babas yang bekerja menimbulkan efek umpan balik negatif melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis. SHBG manusia dikode oleh suatu gen autosom tunggal yang memiliki dua alel kodominan yaitu alel normal dan alei varian. Alei SHBG varian muncul akibat mutasi titik pada ekson 8 dari gen pengkode SHBG yang terletak di lengan pendek 12-13 (p12-13) dari kromosom 17. Mutasi titik tersebut menyebabkan substitusi basa tunggal pada kodon 327 dari GAC-)AAC yang mengkode perubahan asam amino aspartat menjadi asparagin (Asp327Asn) dan menyebabkan penambahan rantai karbohidrat atau N-linked glikosilasi pada posisi ini. Glikosilasi berpengaruh terhadap waktu paruh dan penambahan berat molekul SHBG varian. Penambahan waktu paruh selanjutnya dianggap dapat mempengaruhi kadar SHBG. Penelitian sebelumnya terhadap SHBG manusia produk cDNA (complementary DNA) yang diekspresikan pada jamur Pichia pastoris menyebutkan bahwa SHBG yang mengalami deglikosilasi enzimatik menghasilkan kadar SHBG yang lebih rendah dibandingkan SHBG normal. Apakah SHBG varian seharusnya menghasilkan kadar SHBG yang Iebih besar, masih perlu diteliti. Melalui teknik SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Gel Electrophoresis), deteksi SHBG normal dan SHBG varian dalam serum manusia menampakkan pola fenotip SHBG dua pita dan tiga pita dengan berat molekul berbeda yaitu 49,52 dan 56 kDa. Untuk mengetahui efektifitas penekanan spermatogenesis oleh bahan kontrasepsi hormonal TE dan D1VIPA, maka perlu diteliti kadar SHBG serta faktor yang dianggap turut mempengaruhi kadar SHBG tersebut (dalam hal ini adalah faktor genetik atau variasi fenotip SHBG).Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendeteksi variasi fenotip SHBG dan melihat kemungkinan pengaruhnya terhadap kadar SHBG pada populasi pria Indonesia dewasa sehat. Deteksi variasi fenotip SHBG dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik SDS PAGE dan Western blot. Sedangkan pengukuran kadar SHBG dilakukan dengan teknik IRI/ IA (Immunoradiometric assay). Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara statistik menggunakan program komputer SPSS versi 10.
Hasil dan Kesimpulan : Dari total sampel serum pria Indonesia dewasa sehat yang dideteksi melalui SDS PAGE dan Western blot, tampak gambaran ekspresi gen SHBG yang terdiri dari dua jenis pola fenotip SHBG dengan berat molekul yang berbeda. Pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) dijumpai sebanyak 61% (11 sampel serum), terdiri dari sub unit heavy dengan perkiraan berat molekul 51 kDa dan sub unit light dengan perkiraan berat molekul 46 kDa. Sedangkan pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian) dijumpai sebanyak 39% (7 sampel serum), memiliki tambahan sub unit ketiga yaitu sub unit super heavy dengan berat molekul 56 kDa. Hasil perhitungan rata-rata kadar SHBG normal dan SHBG varian yang diperoleh dalam penelitian ini masing-masing adalah 42,24 nmolll dan 39,44 nmolll. Analisa data melalui perhitungan statistik menggunakan program komputer SPSS versi 10 menyimpulkan bahwa fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian) temyata menghasilkan kadar SHBG yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) (pada tingkat signifikan 5%, 1 = 0,343 dengan P= 0,736, 2-tail test)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrata, Bernard
"Sex hormone binding globulin (SHBG) adalah glikoprotein plasma yang mengangkut hormon seks steroid dan meregulasi aksesnya pada sel sasaran. Konsentrasi pada plasma manusia 10-73 nmol/l. Produk variasi alel SHBG telah diidentifikasi pada plasma manusia. Umumnya frekuensi alel normal dan alel varian adalah 0.9 dan 0.1, tetapi distribusinya sangat bervariasi di antara populasi dari berbagai negara. SHBG yang dikode oleh alel varian ketika dianalisis dengan elektroforesis gel poliakriiamid terpisah menjadi tiga pita (triple banded) dengan berat molekuI (BM) yang berbeda (56,52,49 kDa), sedangkan SHBG normal terpisah hanya dua pita (double handed) dengan BM 52 kDa dan 49 kDa.
Selanjutnya dalam tesis ini masing-masing subunit tersebut disebut SHBG varian dan SHBG normal. Sui L.M.. dkk. meneliti konsentrasi SHBG normal dan SHBG yang mengalami deglikosilasi dengan transfornasi jamur Pichia pastoris. Pada SHBG yang mengalami deglikosilasi konsentrasi SHBG yang didapat lebih rendah dibandingkan dengan SHBG normal. Apakah pada SHBG varian yang mengalami glikosilasi atau penambahan oligosakarida konsentrasi SHBG yang dihasilkan seharusnya lebih besar dari pada SHBG normal, masih perlu diteliti lebih lanjut.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memeriksa variasi subunit SHBG pada pria dewasa Kaukasia sehat dan implikasinya terhadap konsentrasi SHBG. Variasi subunit SHBG diperiksa dengan cara elektroforesis dan Western blot, sedangkan konsentrasi SHBG dianalisis dengan immunoradio metric assay (IRMA).
Hasil dan Kesimpulan: Dari keseluruhan sampel, tujuh puluh tujuh persen (20 orang) mempunyai jumlah dua pita (SHBG normal), rata-rata konsentrasi SHBG: 31,82 nmol/l. Sedangkan 23 % (6 orang) mempunyai jumlah tiga pita (SHBG varian), dengan rata-rata konsentrasi SHBG: 23,83 nmol/l. Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara konsentrasi SHBG varian dengan SHBG normal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T3160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurbaya
"Dalam rangka pengembangan kontrasepsi pria, penggunaan kombinasi testosteron enantat (TE) dan progesteron pada orang Kaukasia hanya mencapai azoospermia 70% sedangkan orang Asia mencapai 100% azoospermia (Moeloek, 1998). Faktor yang mungkin dapat menimbulkan perbedaan dalam menekan produksi sperma diduga disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan antara lain perbedaan asupan makanan antara orang Kaukasia dan orang Asia. Adapun ciri makanan negara Barat mengandung lemak dan protein tinggi sedangkan karbohidrat rendah. Sebaliknya untuk orang Asia mengandung lemak dan protein rendah, namun kandungan karbohidratnya tinggi. Dari penelitian dilaporkan bahwa asupan makanan seperti karbohidrat, lemak dan protein mempengaruhi konsentarsi SHBG (Sex Hormone Binding Globulin). SHBG adalah glikoprotein plasma, diproduksi oleh sel hati, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap dihidrotestosteron (DI-FT) dan jugs mengikat estrogen tetapi daya ikatnya lebih rendah. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutyarso, 1997 pada hewan coba (Macaca Fascicularis) dengan memberikan model makanan orang Asia yaitu karbohidrat 70%, protein 15% dan lemak 15%. Hasil yang diperoleh kadar testosteron bebas pada hewan coba tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hewan coba yang diberi makanan lemak dan protein tinggi. Oleh karena itu kami merasa perlu mengadakan penelitian pada kelompok masyarakat Pegawai Negeri Sipil Golongan I yang mengkonsumsi karbohidrat tinggi namun protein dan lemak rendah. Pengukuran konsentarsi SHBG menggunakan ImmunoRadiometric Assay (IRMA). Untuk mengetahui asupan makronutrien yaitu karbohidrat, protein dan lemak dilakukan pencatatan makanan (Food recall) selama tiga hari berturut-turut. Pengukuran kadar testosteron total dan kadar testosteron bebas menggunakan RadioImmuno Assay (RIA). Penelitian yang telah dilakukan Longcope dkk, 2000 pria dewasa di AS Body Mass Index (BMI) merupakan faktor yang dapat untuk memperkirakan (prediktor) konsentrasi SHBG di dalam tubuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi SHBG 41,76 nmol/L. Asupan makronutrien yaitu karbohidrat 256,28 gram (56,24%), protein 43,92 gram(9,68%) dan lemak 69,28 gram (34,08%), kadar testosteron total 6,43 ng/mL, kadar testosteron bebas 22,39 pa/mL, Body Mass Index (BMI) 21,69 kg/m2. Dengan menggunakan "Pearson Correlation Coefficient" antara konsentrasi SHBG dengan karbohidrat (r=0,093), lemak (r=0,051), protein(r=0,002), kadar testosteron bebas (r=0,256), kadar testosteron total,(r=0,518) dan Body Mass Index(BMI)(r=-0,519) mempunyai hubungan. Hasil analisis Regresi Ganda antara konsentrasi SHBG dengan BMI dan kadar testosteron total mempunyai hubungan yang erat dengan tingkat signifikan 0,000 (P<0,05).

The Relationship Between Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) Serum Concentration With Diet Macronutrient Testosterone and Body Mass Index (BMI) in Man of Civil Servant of Grade IThe development of male contraception, the combination of using Testosterone Enantate (TE) and progestogen to Caucasian people was only have azoospermia 70% whereas Asian people only have 100% azoospermia (Moeloek, 1998). The factor which might be rised the different in emphasizing the production of sperm is caused by genetic factor and environment factor are the different of food construction between Caucasian people and Asian. The food characteristic in west country contain fat and high protein but low carbohydrate. On the other hand Asian people contain fat and low protein but high carbohydrate. From the study is reported that the food component like carbohydrate, fat and protein was effecting the SHBG concentration. SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) is glikoprotein plasma, produced by cell liver, having a high affinities to dihydrotestosterone (DHT) and also bounding estrogen but the bounding was to low. From the study research by Sutyarso, 1997 to the experiment animal (Macaca fascicularis) by giving the food model of Asian people like carbohydrate 70%, protein 15% and fat 15%. The report that can get is the degree of free testosterone to experiment animal 15 more higher than the experiment animal who giving a food such as fat and high protein. Because of that we feel need to do research to people who work as Civil Servant of Grade I who had consumption high carbohydrate whereas protein and fat low. The measuring of SHBG concentration is using Immuno Radidmetric Assay (IRMA). To know the composition macronutrient like carbohydrate, fat and protein is doing the food registration (food recall) during continuously three days. The measuring of total testosterone concentration and free testosterone concentration are using Radioimmuno Assay (RIA).
The study research by Long cope et at, 2000 male in USA Body Mass Index (BMI) is factor how to predict the concentration of SHBG in body.The research result showed the value average of SHBG concentration 41,76 nmole/L. The composition macronutrient like carbohydrate 256,28 gram (56,24%), protein 43,92 gram(9,68%) and fat 69,28 gram(34,08%), total testosterone 6,43 ng/mL, free testosterone 22,39 pq/mL, Body Mass Index (BMI) 21,69 kg /m2. By using "Pearson Correlation Coefficient" between SHBG concentration with carbohydrate (r=0,093), fat (r=0,051), protein (r=0,002), free testosterone (r=0,256), total testosterone (r=0,518) and Body Mass Index (BMI)(r=-0,519) have relationship. The result of analysis double regression between SHBG serum concentration with Body Mass Index (BMI) and total testosterone have bight relationship with signification level 0,000 (P<0,05)."
2002
T5175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Yekti
"Dalam pengembangan kontrasepsi pria, penggunaan TE (Testosteron Enantat) atau kombinasinya dengan DMPA (Depot Medroxy Progesterone Acetate) sebagai bahan kontrasepsi hormonal pria menunjukkan perbedaan penekanan spermatogenesis antara pria bangsa Asia dan pria bangsa Kaukasia, pada bangsa Asia menyebabkan azoopermia 90-100% sedangkan pada bangsa Kaukasia mencapai azoospermia < 70%. Faktor yang diduga menimbulkan perbedaan hasil yaitu variasi genetik dan konsumsi makanan yang berbeda. Variasi genetik merupakan perbedaan urutan nukleotida menetap diantara individu. Perubahan nukleotida atau mutasi di dalam gen mungkin berperan pada formasi sebuah protein varian. Insiden dan distribusi alel varian dalam suatu populasi sebagai akibat menyeluruh dari tiga macam proses utama melalui generasi yang terdahulu yaitu mutasi, seleksi alam, peluang atau penyimpangan genetik secara acak. SHBG manusia di kode oleh dua alel autosom kodominan yaitu alel normal dan alel varian. Alel SHBG varian muncul akibat mutasi titik pada ekson 8 dari gen pengkode SHBG yang terletak di lengan pendek 12 - 13 dari kromosom 17. Mutasi titik tersebut menyebabkan substitusi basa tunggal pada kodon 327 dari GAC menjadi AAC yang mengkode perubahan asam amino aspartat menjadi asparagin, disertai penambahan tempat untuk N-glikosilasi pada posisi ini. Glikosilasi berpengaruh terhadap waktu paruh dan penambahan berat molekul SHBG varian. Melalui tehnik SDS-PAGE (Sodium Dodenji Sulfate Gel Electroforesis) deteksi SHBG normal dan SHBG varian dalam serum manusia menampakkan pola fenotip SHBG dua pita dan tiga pita dengan berat molekul yang berbeda yaitu 49, 52 dan 56 kDa. Karena latar belakang genetik antar ras/populasi berbeda dalam hal ini antara ras/populasi Indonesia dan Kaukasia, diduga ada perbedaan variasi genetik yang mengaldbatkan proses penekanan spermatogenesis yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan membandingkan variasi fenotip SHBG antara populasi pria Indonesia dan pria Kaukasia dewasa. Deteksi variasi fenotip SHBG dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik SDS-PAGE dan Western blot.
Dari keseluruhan sampel serum pria Indonesia dan Kaukasia yang dianalisis dengan SDS-PAGE dan Western blot, menunjukkan gambaran 2 macam pola fenotip SHBG yaitu gala fenotip SHBG dua pita dan pola fenotip SHBG tiga pita. Pala fenotip SHBG dua pita mempunyai subunit light dengan berat molekul 46 kDa, subunit heavy dengan berat molekul 51 kDa, sedangkan poly fenotip SHBG tiga pita mempunyai tambahan subunit super heavy dengan berat molekul 56 kDa. Dari 31 sampel serum pria Indonesia dijumpai sebanyak 65% (20 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) sedangkan 35% (11 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian). Pada 26 sampel serum pria Kaukasia dijumpai sebanyak 77% (20 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) dan 23% (6 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian). Analisa data melalui perhitungan statistik menggunakan uji Chi Square menunjukkan tidak berhubungan antara ras/populasi dengan variasi fenotip SHBG pada tingkat kepercayaan 95%. ]adi tidak berbeda bermakna variasi fenotip "SHBG antara ras/populasi Indonesia dan ras Kaukasia.

Phenotype Variation of Sex Hormone Binding Globulin (Shbg) in Health Adult Indonesian and Caucasian MaleIn the development of male contraception, the use of TE (Testosteron Enantat) or its combination with DMPA (Depo Medroxy Progesteron Acetat) as a material for male hormonal contraception shows different result of suppression of spermatogenesis between Asian and Caucasian. In Asian it causes 90-100% azoospermia while in Caucasian it reaches azoospermia < 70%. The possible factors that cause different result are genetic variation and different variety of food consumption. Genetic variation is different of nucleotides order resides in each individual. Nucleotide change or gene mutation probably play role in protein variant formation. The incidence and the distribution of variant allele in one population as cumulative result from 3 kind of main process through previous generation that is mutation, natural selection, the change or random of genetically deviation. Human SHBG is encoded by two codominant autosome allele, those are normal and variant alleles. SHBG variant allele appears as a result of mutation at exon 8 of SHBG gene that locates at the short arm (p12 - pI 3) of chromosome 17. This mutation is a single base substitution at codon 327 from GAC to AAC that underly amino acid changing from aspartat to asparagin, along with additional place for N-glycocilation at this position. Glycocilation affects the half life and addition of molecular weight. By SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Gel Electroforesis) technique detection of normal SHBG and variant SHBG in human serum shows two and three bands of SHBG phenotype pattern respectively, which has different molecular weight that is 49, 52 and 56 k Da. Since inter race/population genetically is different, in this case between Indonesian race/population and Caucasian, causes different genetic variation, it will probably cause different pressure on spermatogenesis.
The aim of this research is to compare SHBG phenotype variant between adult male of Indonesian and Caucasian population. The detection of phenotype SHBG variation in this research is done with SDS-PAGE and Western blot technique.
Serum samples of Indonesian and Caucasian analyzed with SDSPAGE and Western blot show two kind of SHBG phenotype pattern that is two bands and three bands SHBG phenotype pattern. Two bands SHBG phenotype consist of light subunit with molecular weight 46 k Da and heavy subunit with molecular weight 51 kDa. Three bands SHBG phenotype pattern has an additional subunit, which is super heavy with molecular weight 56 k Da. In 31 male Indonesian serum samples, 66% (20 samples) has two bands SHBG phenotype pattern (normal SHBG) and 34% (II samples) has three bands SHBG phenotype pattern (variant SHBG). Of 26 male Caucasian serum samples, 77% (20 samples) has two bands SHBG phenotype pattern (normal SHBG) and 23% (6 samples) has three bands SHBG phenotype pattern (variant SHBG). Statistical analysis using Chi Square test shows 95% validity is not match between race/population with SHBG phenotype variation. So the difference of SHBG phenotype variation between Indonesian race/population and Caucasian is not significant."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T10333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diyah Kristanty R.
"Dalam upaya menekan laju pertambahan penduduk dunia yang sangat pesat telah menggugah para ahli Andrologi untuk berusaha mencegah dengan cara yang efektif dan aman, dapat kembali normal dan mudah digunakan serta dapat diterima oleh masyarakat. Para androlog telah menemukan kombinasi hormon androgen dan progesteron, dari hasil penelitian dapat membuat pria menjadi azoospermia dan oligospermia. Faktor yang dapat menimbulkan perbedaan penekanan dalam spermatogenesis disebabkan oleh variasi sosiologis baik secara genetik atau disebabkan faktor lingkungannya termasuk nutrisi dan menu. Status nutrisi terutama konsumsi lemak dan protein tinggi, menentukan pengaturan ikatan antara Sex Steroid Binding Protein (SBP) atau Sex Hormon Binding Globulin (SHBG) dengan testosteron bebas yang akan digunakan dalam mekanisme umpan balik negatif. Sex Hormon Binding Globulin berperan dalam mengikat hormon-hormon steroid seks (dehidrotestosteron, testosteron dan estradiol) di dalam sirkulasi darah dengan afinitas yang kuat. Kadar testosteron total, testosteron bebas dan SHBG juga dipengaruhi oleh besarnya BMI (Body Mass Index). Karena diduga komposisi nutrisi dalam makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan produksi hormon dan metabolisme hormon seks SHBG, sehingga SHBG sangat mungkin terlibat dalam pengaturan fertilitas pria melalui keseimbangan hormon seks.
Dari keseluruhan uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa SI-BG merupakan salah satu faktor dalam mempelajari ilmu andrologi, khususnya dikaitkan dengan program keluarga berencana pria. Untuk itu perlu dilakukan penelitian terhadap SHBG dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengukuran konsentrasi SHBG, menggunakan immunoradiorneric assay (IRMA), untuk mengetahui komposisi asupan makanan karbohidrat, lemak dan protein dilakukan pencatatan makanan (food recall dan food record) selama 3 hari sedangkan testosteron total dan bebas dengan menggunakan radioimnrunoessay (RIA), dan pengukuran BMI dilakukan penimbangan badan serta tinggi badan. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui korelasi antara SHBG dengan parameter-parameter yang diukur dan analisis regresi Banda untuk mengetahui hubungan yang paling erat antara konsentrasi SHBG dengan parameter-parameter yang diukur.
Hasil dan Kesimpulan:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa SHBG mempunyai korelasi positif terhadap karbohidrat dan testosteron total (nilai r karbohidrat = 0,046; p = 0,375 dan nilai r testosteron total = 0,325; p=0,011). Konsentrasi SHBG mempunyai hubungan yang cendrung menurun terhadap testosteron bebas (r = 0,268; p=0,034). Konsentrasi SHBG mempunyai hubungan negatif terhadap protein (r = 0,077; p = 0,298), lemak (r = 0,052; p = 0,361), dan BMI (r = 0,012; p = 0,240).
Hubungan antara kadar SHBG terhadap asupan makanan, kadar testosteron total, testosteron bebas dan BMI pada pria Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan IV (empat) telah dibuktikan sebagai berikut:
Semakin tinggi protein, semakin rendah kadar SHBG.
Semakin tinggi lemak, semakin rendah kadar SHBG.
Semakin tinggi kadar testosteron total, semakin tinggi kadar SHBG.
Semakin tinggi kadar testosteron bebas, semakin menurun kadar SHBG.
Semakin besar angka Body mass index (BMT), semakin rendah kadar SHBG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T 13678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rubin Camin
"Keberhasilan pembangunan nasional di sektor industri telah melahirkan konsentrasi pabrik-pabrik di daerah-daerah tertentu. Hal ini akan menimbulkan masalah dalam penanganan dan pembuangan limbah serta peningkatan resiko pemaparan manusia terhadap bahan buangan beracun, termasuk di dalamnya logam berat yang banyak digunakan dalam proses produksi atau merupakan komponen dalam produksi itu sendiri.
Salah satu logam yang banyak digunakan dalam industri adalah timbal. Timbal banyak dipergunakan dalam industri aki, cat, pikmen, karet dan pelapis kabel. Timbal dalam bentuk tetraetiltimbal banyak digunakan sebagai campuran untuk bahan bakar, yang saat ini merupakan sumber utama pencemaran timbal melalui gas buangan kendaraan bermotor (Lin-Fu, 1982).
Timbal merupakan pencemar lingkungan dengan efek toksik yang luas baik pada manusia maupun pada hewan. Timbal mengganggu sintesis hem dan mempunyai efek merusak pada ginjal, saluran pencernaan dan sistem saraf (Hammond, 1977). Pemaparan timbal telah lama dikaitkan dengan penurunan fertilitas pada pekerja dan peningkatan aborsi spontan pada istri para pekerja tersebut. Landsdown (1983) melaporkan bahwa pekerja pria di industri baterai diketahui mempunyai jumlah spermatozoa di bawah normal dan didapati adanya peningkatan spermatozoa abnormal.
Gangguan spermatogenesis dilaporkan terjadi pada tikus yang diberi timbal asetat 0,3 mg/kgBB selama 30 hari (Hilderbrand dkk., 1973). Namun pemaparan dengan dosis tiga kali lipat selama satu tahun dilaporkan tidak mengganggu histologi testis, walaupun kadar timbal darah mencapai 70 ug/dL (Der dkk., 1976; Fahim & Khare, 1980). Demikian pula hasil penelitian pengaruh timbal terhadap jumlah, motilitas dan persentase spermatozoa abnormal (Stowe & Goyer, 1971; Wyrobeck & Bruce, 1978; Krasoviskii dkk., 1979).
Adanya hasil yang berbeda dapat terjadi karena faktor jenis hewan percobaan, umur, makanan (Rose & Quarteman, 1987), jenis senyawa timbal (Hammond, 1982), cara pemberian dan dosis (Sokol, 1990). Dalam hal jenis hewan percobaan misalnya, diketahui adanya perbedaan kepekaan sistem saraf tikus dan mencit terhadap pemaparan timbal. Tikus ternyata kurang lebih empat kali lebih peka dibanding mencit (Reiter, 1982)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Kodariah
"Dewasa ini diduga faktor pria berperanan besar dalam keberhasilan fertilisasi, bahkan dilaporkan 40%-60% penyebab infertilitas terdapat pada suami, karena itu kesuburan pria penting untuk diperhatikan. Dalam hubungan ini yang perlu dipelajari antara lain yang menyangkut spermatozoa. Fungsi spermatozoa merupakan salah satu faktor penentu bagi fertilitas pria. Salah satu kemampuan fungsional spermatozoa yang penting adalah motilitas terutama yang berupa kecepatan gerak lurus ke depan. Terjadinya penurunan fertilitas berkorelasi kuat dengan penurunan motilitas. Sebaliknya jika motilitas baik, maka kemungkinan fertilitas juga tinggi. Penurunan motilitas yang terjadi dapat berupa penurunan persen motilitas atau penurunan kecepatan gerak spermatozoa. Karena itu diagnosis yang tepat pada kasus-kasus infertilitas pria sangat tergantung pada ketepatan penelaahan motilitas spermatozoa. Penilaian motilitas pada umumnya digunakan di laboratorium secara rutin untuk mengevaluasi kualitas spermatozoa. Penilaian tersebut merupakan faktor penting di dalam mendiagnosis infertilitas pria.
Fusi antara ovum dan spermatozoa hanya memerlukan satu spermatozoa yaitu spermatozoa yang lebih dahulu mencapai ovum. Spermatozoa yang berhasil mencapai ovum ini merupakan spermatozoa yang mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, antara spermatozoa yang terlalu cepat (hiperkinetik) akan memerlukan energi yang lebih banyak. Energi yang tersedia dalam plasma semen terbatas, sehingga besar kemungkinan spermatozoa hiperkinetik tadi gagal menembus rintangan pada traktus reproduksi wanita. Hal yang sama juga akan dialami oleh spermatozoa yang gerakannya sangat lambat (hipokinetik).
Jumlah persentase motilitas yang tinggi belum menjamin spermatozoa mempunyai kecepatan gerak yang baik. Hal ini diperlihatkan oleh Makler dkk. tahun 1979. Mereka mendapatkan korelasi sebesar R=0,46 antara persentase motilitas dengan kecepatan gerak spermatozoa dari 100 sampel semen normal yang dianalisis dengan "Multiple Exposure Photograph".
Mengingat hal tersebut dan karena hanya satu spermatozoa yang diperlukan untuk terjadinya fertilisasi, maka tampaknya kecepatan gerak spermatozoa merupakan faktor yang sangat penting dalam parameter fertilitas, di samping parameter fertilitas lainnya seperti densitas spermatozoa, morfologi, bahkan persentase motilitas. Atas dasaritu, untuk meningkatkan fertilitas, perlu diusahakan peningkatan kecepatan gerak spermatozoa, terutama bagi pasangan infertil yang penyebabnya diduga berasosiasi dengan menurunnya motilitas spermatozoa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
T3445
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Halim
"Terdapat perbedaan kualitas sperma pada berbagai fraksi setelah pemisahan menggunakan empat macam densitas percoll (1,1O; 1,11; 1,12 dan 1,13 3/ml), dimana makin tinggi densitas percoll makin banyak jumlah sperma motil dan sperma yang morfologinya normal. Kualitas sperma paling baik diperoleh dari fraksi 4 (densitas 1,13 g/ml) dan fraksi 5 (endapan sperma). Namun demikian penurunan kualitas sperma pada fraksi 1 (densinas 1,10 g/ml), fraksi 2 (densitas 1,11 g/ml) dan fraksi 3 (densitas 1,13 g/ml) masih dalam batas-batas normal.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kusna Sudhari Riyanta
"ABSTRAK
Penyakit kanker merupakan Salah satu penyakit yang termasuk paling banyak meminta korban, di negara-negara telah maju satu dari lima kematian disebabkan oleh kanker. Penyakit kanker limfoma malignum merupakan Salah satu penyakit keganasan hematologik dan dibedakan dalam 2 golongan besar yaitu; penyakit Hodgkin dan limfoma non Hodgkin (LNH).
Protokol pengobatan pada penyakit LNH, disesuaikan dengan jenis limfoma, tingkat penyakit dan tingkat keganasannya. Pemberian kemoterapi agresif dosis tinggi memerlukan perhatian dan keterampilan pemantauan efek samping, maupun efek toksik hematologik. Untuk melihat efektivitas pengobatan sebaiknya dilakukan pemantauan kondisi imun tubuh penderita, sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Hasil pengamatan tersebut menimbulkan pemikiran, untuk melakukan penelitian mengenai status imunitas selular penderita LNH sebelum, pada pertengahan dan sesudah kemoterapi terakhir.
Rancangan penelitian dilakukan secara clinical Trial dengan menggunakan disain Cohort Prospective dengan kelompok kontrol relawan normal sebagai pembanding. Setiap penderita LNH diambil darah tepi dalam 3 tahap; perlakuan P1 sebelum kemoterapi, P2 pada pertengahan kemoterapi dan P3, 3 minggu setelah kemoterapi terakhir. Setiap sampel dari kelompok kontrol maupun perlakuan dilakukan pemeriksaan; darah tepi lengkap, petanda imunologik dan kultur transformasi limfosit.
Hasil dan Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan imunitas selular secara kuantitatif dan kualitatif pada penderita LNH; sebelum kemoterapi terjadi penurunan imunitas selular yang sangat bermakna (P<0,01), dan adanya defisiensi imunitas selular. Pada pertengahan kemoterapi (9 minggu setelah mendapat pengobatan), terjadi penurunan lagi sistem imunitas selular yang sangat bermakna (P<0,01), namun ratio sel T penolong/ T penekan dalam batas normal. Selanjutnya 3 minggu setelah kemoterapi terakhir terjadi peningkatan sistem imunitas selular, tidak adanya perbedaan bermakna (P>0,05), dalam hal ini imunitas selular secara kuantitatif maupun kualitatif menunjukkan peningkatan.

ABSTRACT
Cancer is disease with a very high mortality rate, in develoved countries causing one out of every five deaths. Malignant lymphoma is a hematologic malignancy and can be divided into two categories, i.e., Hodgkin?s and non Hodgkin?s (NHL) type.
The treatment regimen for NHL depends on the type of histology, stage of disease and degree of malignancy. High-dose aggressive chemotherapy needs special attention with regard to monitoring of side-effects and hematologic toxicity, and requires a high degree of clinical skill. To assess the efficacy of treatment it is best to know the immunological status of the patients, before, during, and after chemotherapy. These observations prompted this investigation in assessing cellular immunity status among non Hodgkin's lymphoma patients, before, during, and after last chemotheray with cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine and prednison.
This investigation was conducted as a clinical trial using the cohort prospective design with a control group consisting of healthy volunteers. Peripheral blood was drawn from each NHL patient in three phases: Pl before chemotherapy, P2 during chemotherapy, and P3 for the period of three weeks after the last chemotherapy. Each blood sample from the study and control groups also underwent complete hemogram, immunophenotyping, and lymphocyte transformation studies.
Results and Conclusions
This study shows qualititative and quantitative cellular immunity status of the NHL patient studied, which revealed that before chemotherapy there was statistically very significant decrease in cellular imunity (P<0,01), and a cellular immune deficiency. During chemotherapy (9 weeks after treatment), there was another very significant decrease in cellular immunity (P<0,01), although the T helper/T suppressor ratio was within normal limits. Three weeks after the last chemotherapy there was a statistically insignificant increase (P>0,05), in cellular immunity, both quantitatively and qualititatively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina Ardiyani
"ABSTRAK
Pestisida oleh beberapa faktor dapat niencapai
iingkungan perairan. Seiain beracun dan dapat membunuh
organisme bukan target, beberapa jenis pestisida bersifat
mutagenik atau genotoksik. Bentuk pengujian yang relatif
inudah dan cepat untuk mendeteksi zat genotoksik di
iingkungan perairan adaiah dengan uji mikronukieus. Uji
tersebut tidak tergantung pada kariotip dari spesies yang
digunakan. Fenelitian ml bertujuan untuk mengetahul
pengaruh genotoksik insektisida endosuifan dengan
parameter inikronukieus pada eritrosit ikan mas Cyprtntts
cczrpo L. Ikan mas dipaparkan pada endosuifan dengan
konsentrasi 0; 0,5; 1; 2; 4 ppb selama 72 jam. Untuk
mengamati mikronukieus, dibuat preparat apusan darah yang
diambil dari bagian ekor, kemudian diwarnai dengan
pewarnaan Feuigen. Penghitungan mikronukieus dilakukan
pada 5.000 eritrosit. Pengujian statistik menunjukkan
jumiah inikronukieus antara konsentrasi U; 0,5; 1; 2; 4 ppb
tidak berbeda nyata. Dari analisis tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada kondisi penelitian yang dilakukan,
endosuifan tidak menginduksi mikronukieus pada eritrosit
ikan mas."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>