Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Syaifuddin
"Latar belakang: Insidens pasien anak dengan kecurigaan refluks gastresofageal cukup tinggi. Distribusi alat skintigrafi di Indonesia lebih banyak dari alat pH metri, oleh karena itu kami melakukan penelitian ini untuk membandingkan hasil pemeriksaan skintigrafi refluks gastroesofageal dengan monitoring pH 24 jam dalam mendeteksi refluk gastroesofageal dan hubungannya dengan aspirasi para.
Metode dan material: dalam kurun waktu september 2003 - februari 2004 dilakukan pemeriksaan skintigrafi refluks gastroesofageal, skintigrafi aspirasi pare menggunakan radiofar maka 99D1Tc Sulfur Koloid dan monitoring pH 24 jam pada 9 anak dengan kecurigaan klinis penyakit refluks gastroesofageal.
Hasil Fenelitian: dari 9 anak yang diperiksa didapatkan 7 anak dengan hasil positif pada skintigrafi refluks dan 3 anak dengan hasil positif monitoring pH 24 jam, sehingga didapatkan sensitifitas 100% dan spesifisitas 33,33% tidak didapatkan hasil positif pada hasil skintigrafi aspirasi para.
Kesimpulan: monitoring pH 24 jam adalah baku emas dalam mendeteksi penyakit refluks gastroesofageal, tapi dalam keadaan tertentu dimana monitoring pH 24 jam sulit dilakukan maka skintigrafi refluks gasroesofageal dapat dipakai sebagai alternatif pemeriksaan.

Background: Gastroesopliageal refluks (GER) disease in children is quite high. But distribution of pH metri apparatus is not widely distributed than nuclear scintigraphy, therefore we perform this study to compare nuclear scintigraphy examination with 24 hours pH monitoring and the relationship with pulmonary aspiration in children.
Method and materials: Between September 2003 until February 2004 we performed GER and pulmonary aspiration nuclear scintigraphy with 9 Tc sulfur coloid and 24 hours pH monitoring in 9 patient with clinical suspicious of GER.
Result: From 9 patients, there are 7 patients have positive diagnosis on refluks scintigraphy and 3 patients positive on 24 hours pH monitoring. Sensitivity is 100% and spesificity is 33,33% respectively. No positive result on aspiration scintigraphy.
Conclusion: 24 hours pH monitoring is a golden standard to detect GER disease, but in a few case where this examination difficult to performed, GER nuclear scintigraphy is an alternative examination that should be considered.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T20864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Tunggamoro
"Tujuan: Mengetahui sensitivitas dan spesifisitas Ultrasonografi Doppler Berwarna (USG DB) dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi dalam menilai metastasis kelenjar getah bening (KGB) aksila level I pada pasien karsinoma payudara (KPD).
Saban dan Metode: Pemeriksaan USG DB dilakukan pada 39 KGB aksila dari 17 pasien yang memenuhi kriteria penerimaan. USG DB menilai KGB dengan B-mode, Color mode clan Doppler mode untuk kemudian dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi, Pemeriksaan dilakukan menggunakan transduser linear frekuensi 10 MHz (GE, Logiq 3).
Hasil penelitian: Pada pemeriksaan USG Doppler mode didapatkan sensitivitas 73,3%, spesifisitas 87,5%, yang bennakna secara statistik. Pemeriksaan USG Co/or mode mempunyai nilai kappa dan spesifisitas yang rendah, meskipun bermakna secara statistik. Pemeriksaan USG lainnya (B-mode maupun kombinasi) tidak memberikan hasil yang bermakna.
Kesimpulan: Pemeriksaan USG Doppler mode mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang baik dan bermakna secara statistik. Hal ini diharapkan dapat membantu klinisi dalam menilai metastasis kelenjar getah bening aksila secara non-invasif.

Objective: To establish sensitivity and specificity of Color Doppler Ultrasound (CDU) in the assessment of level ! axillary lymph nodes metastases in breast cancer patients.
Material and methods:. CDU was performed in 39 aril/my lymph nodes from 17 patients, to evaluate B-mode, Color erode dan Doppler mode images in comparison with histopathologic finding of metastases. CDU examination was performed using linear transducers 1OMHz (GE, Log-4 3).
Results: The sensitivity and specificity of Doppler mode in CDU were 73,3% and 87,5%, and they were statistically significant. Although color mode evaluation was statistically significant, its specificity and kappa value are low. Other evaluations such as B-mode or combination mode gave unsignificant results,
Conclusion: Doppler mode in CDU examination has a good sensitivity and specificity in detecting axillary lymph nodes metastases. It is considered useful for the clinicians in evaluating lymph nodes status using non-invasive procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21425
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sophia Utami
"Latar Belakang: Penyakit arteri perifer (PAP) adalah manifestasi aterosklerosis sistemik, yang seringkali melibatkan penyandang diabetes melitus (DM) tipe 2. Tes ankle brachial index (ABI) telah digunakan sebagai penapis PAP, tetapi ABI normal belum menyingkirkan PAP. USG dupleks (UD) lebih sensitif namun lebih mahal daripada tes ABI, sehingga perlu diketahui karakteristik penyandang DM tipe 2 yang paling diprioritaskan untuk menjalani pemeriksaan UD.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa UD dapat mendeteksi PAP pada penyandang DM tipe 2 dengan ABI normal, mengenali gambaran UD PAP, dan mengenali karakteristik penyandang DM tipe 2 yang paling diprioritaskan untuk menjalani pemeriksaan UD.
Bahan dan Cara Kerja: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan mengikutsertakan 40 tungkai. Setiap subyek menjalani roc ABI, pemeriksaan UD dan pen ilaian faktor-faktor risiko. Arteri-arteri ekstremitas bawah d iperiksa, dengan penilaian terhadap ketebalan kompleks intima media (KIM) arteri femoralis, adanya plak, dan evaluasi spektrum Doppler.
Hasil: Dari pemeriksaan UD ditemukan PAP pada 50% (20 dari 40) tungkai. Gambaran UD PAP yang didapatkan berupa penebalan KIM arteri femoralis (20%, 4 dari 20 tungkai) dan adanya plak dengan spektrum Doppler yang masih normal di arteri-arteri ekstremitas bawah (100%, 20 dari 20 tungkai). Terdapat hubungaxi bermakna antara obesitas dan kejadian PAP (Rasio Odds = 22,45).
Kesimpulan: Dari penelitian ini, kami menyimpulkan bahwa: 1) UD dapat mendeteksi PAP pada penyandang DM tipe 2 dengan A131 normal; 2) Gambaran UD PAP pada pasien-pasien tersebut berupa penebalan KIM arteri femoralis dan adanya plak dengan spektnim Doppler normal di arteri-arteri ekstremitas bawah; 3) Obesitas merupakan karakteristik penyandang DM tipe 2 yang paling diprioritaskan untuk menjalani pemeriksaan UD.

Background: Peripheral arterial disease (PAD) is a manifestation of atherosclerosis disease, which commonly involves the non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) patients. Ankle brachial index (A13I) test has been used as a screening test for PAD, but a normal ABI does not exclude PAD. Duplex ultrasonography (DU) is more sensitive but more expensive than ABI, so it is neccessaty to assess the characteristics q f NIDDM patiens who are mostly indicated to undergo DU examination.
Objectives: The objectives of this study are to prove that DU can detect PAD in NIDDM patients with normal ABI, to assess DU appearances of PAD, and to assess the characteristics of NIDDM patiens who are mostly indicated to undergo DU examination.
Materials and Methods: This study was conducted in a cross sectional design, which involved 40 legs. Every subject underwent ABI and DU examinations. Lower extremity arteries were examined, with assessment for femoral intitnal medial thickness (IMT), the presence of plaque, and evaluation of Doppler spectrum .1-or each artery. The risk factors were evaluated by anamnesis, physical examination and laboratory examination.
Results: From DU examination, as many as 50% (20 _ from 40 legs) are found to have PAD. The DU appearances q f PAD include increase_ femoral artery LMT (20%, 4 from 20 legs) and the presence of plaques with normal Doppler spectrums in the lower extremity arteries (100%, 20 from 20 legs). There was a significant relationship between obesity and the evidence of PAD (Odds ratio = 2 2, 45).
Conclusions: From this study, we conclude that: I) DU can detect PAD in NIDDM patients with normal ABI, 2) 7Tie DUI appearances of PAD in those patients include increase femoral arrey IMT and the presence of plaques with normal Doppler spectntras in the lower extremity arteries: 3) Obesity is the characteristic of NIDDM patients who are mostly indicated to undergo DU examination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21426
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Gunawan
"Tujuan : Mencari asosiasi gambaran abnormalitas jaringan dari magnetic resonance imaging (MRI) pada berbagai status fungsional Minis yang berbeda.
Bahan dan cara: Status fungsional klinis dinilai dengan Lequesne Indeks dan foto polos dinilai berdasarkan Kellgren-Lawrence pada 40 pasien. Gambaran pada MRI pada lesi di meniskus, lesi kartilago, efusi sendi dan kelainan pada ligamentum.
Hasil: Satu pasien dengan skor KL I, 8 pasien dengan skor KL 2, 15 pasien dengan skor KL 3 dan 16 pasien dengan skor KL 4. Efusi sendi ditemukan pada 38140 (95%), Minis berdasarkan Lequesne Indeks grade ringan-sedang terdapat ruptur meniskus grade 2 (3), grade3-4(3), grade berat grade 0-1(1), grade 2(3) dan grade 3-4(16) pada grade amat berat dan amat sangat berat grade 3-4(14). Sedangkan lesi kartilago yang ditemukan pada grade ringansedang yaitu grade 0-1 (3), grade 3 (3) sedangkan Minis berat grade 0-1 (3), grade 2 (3) dan grade 3(14). Pada grade sangat berat dan arnat sangat berat ditemukan grade 0-1 (7), grade 2 (5) dan grade 3 (28).
Kesimpulan: Lesi pada meniskus, lesi kartilago dan efusi sendi sering ditemukan pada pemeriksaan MRI pada pasien osteoarthritis lutut. Efusi sendi ditemukan pada sebagian besar pasien osteoarthritis lutut pada gambaran MRI lutut tetapi tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan tingkatan status fungsional Minis yang terjadi. Lesi kartilago pada gambaran MRI mempunyai asosiasi dengan status fungsional klinis, sedangkan pada ruptur meniskus tampak ada kecenderungan makin berat Minis yang terjadi makin hebat ruptur meniskus yang terjadi pada lutut.

Objective: To correlate varying degrees function in patients with derent stage of osteoarthritis with the degree of abnormality assessed on magnetic resonance imaging.
Materials and methods: Varying degrees of osteoarthritis of the knee were assessed by using Lequesne index and radiographs in 40 patients assessed by Kellgren-Lawrence (KL) score. MR image were analyzed for meniscal lesions, cartilage lesions, knees effusions and ligamentous.
Result: One knee with a KL score of 1, 8 knees with a KL score of 2, 15 knees with a KL score of 3 and 16 knees with a KL score of . Knee effuions was fended 38/40(95%). Clinical finding with Lequesne index at mild-moderate state, meniscal rupture grade 2 (3), grade3-4 (3), grade severe state meniscal rupture grade 0-1 (1), grade 2 (3) dan grade 3-4 (16) and at extreme state meniscal rupture grade 3-4(14). Cartilago lesions at mild-moderate state, cartilago lesions grade 0-1 (3), grade 3 (3) and at severe state cartilago lesions grade 0-1 (3), grade 2 (3) dan grade 3(14). At extreme state, kartilago lesions grade 0-1 (7), grade 2 (5) dan grade 3 (28).
Conclusion: Meniscal lesions, cartilago lesions, and knee effusions were frequently demonstrated on magnetic resonance imaging in patients with knee osteoarthritis. Knee effusions wasfnded in most of the patients with knee osteoarthritis that have undergone knee MRI but there are no significant correlations with different clinical stage osteoarthritis. Cartilago lesion showed significant correlations with different clinical stage of osteoarthritis. Meniscal rupture showed tendentiously correlations with different clinical stage of knee osteoarthrosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21424
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dr. Rahmi Afifi
"Tujuan: Mengetahui gambaran arteri karotis pada pemeriksaan ultrasonografi Doppler berwarna pada pasien-pasien stroke iskemik di RSUPN CM. Bahan dan Cara: Tiga puluh satu pasien dengan stroke iskemik dilakukan pemeriksaan ultrasonografi Doppler berwarna pada arteri karotis bilateral. Semua pasien telah dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala dan penilaian adanya faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterol dan merokok. Pada pemeriksaan ultranografi Doppler berwarna terhadap karotis, dinilai IMT, plak, diameter stenosis dan gangguan aliran. Selain itu dinilai juga hubungan antara faktor risiko terhadap terjadinya plak. Hasil: Dari 31 pasien stroke iskemik yang dilakukan ultrasonografi Doppler berwarna karotis didapatkan 16 pasien (51,6%) dengan penebalan intima, 21 pasien (67,7%) mempunyai plak pada arteri karotis. Sebagian besar plak berlokasi di bifurksio karotis (71,0%), dengan struktur heterogen dan permukaan reguler (74,2%). Hanya 2 plak (6,5%) yang menimbulkan stenosis lebih dari 50%. Sebanyak delapan belas (72%) dari 25 pasien penderita hipertensi dan 7 (70%) dari 10 pasien penderita diabetes mellitus mempunyai plak pada arteri karotis. Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan lokasi plak tersering di bifurkasio karotis, struktur plak terbanyak heterogen dengan permukaan yang reguler. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor risiko terhadap terbentuknya plak."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulia
"Latar Belakang: Proktitis radiasi merupakan komplikasi yang sering dijumpai akibat terapi radiasi pada pasien keganasan pelvis. Berbeda dengan proktitis radiasi akut yang umumnya self-limiting, proktitis radiasi kronik (PRK) dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan meningkatnya biaya kesehatan, morbiditas, dan bahkan mortalitas pasien.
Tujuan: Mengevaluasi insidens dan faktor-faktor risiko terjadinya PRK pada pasien kanker leher rahim (KLR) yang mendapatkan terapi radiasi.
Metode: Dilakukan analisis retrospektif pada pasien-pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi di Departemen Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta selama kurun waktu 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010. Data mengenai pasien, faktor yang berhubungan dengan terapi radiasi, dan PRK akibat komplikasi lanjut dari terapi radiasi dikumpulkan dari catatan medik pasien.
Hasil: Selama periode tersebut, terdapat 234 pasien yang memenuhi kriteria penelitian. Dengan median follow-up selama 30 bulan, didapatkan 12 pasien [5,1% (IK 95% 2,28-7,92%)] mengalami PRK (6 proktitis, 6 proktosigmoiditis). PRK terjadi pada 7-29 bulan setelah terapi radiasi selesai (median 14,5 bulan) dan 87% dari seluruh PRK terjadi dalam 24 bulan pertama setelah terapi radiasi. Dengan analisis multivariat Cox regresi, didapatkan hubungan bermakna antara dosis total radiasi yang diterima rektum >65 Gy (HR 7,96; IK 95% 2,30-27,50; p=0,001) dan usia ≥60 tahun (HR 5,42; IK 95% 1,65-17,86; p=0,005) dengan terjadinya PRK. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara teknik radiasi 2 dimensional external radiation therapy (2D-XRT) (HR 1,36; IK 95% 0,41-4,51; p=0,616), riwayat histerektomi (HR 1,14; IK 95% 0,34-3,79; p=0,83), dan indeks massa tubuh (IMT) <18,5 kg/m2 (HR 2,34; IK 95% 0,51-10,70; p=0,265) dengan terjadinya PRK.
Simpulan: Insidens kumulatif PRK selama 3 tahun pada pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi adalah 5,1% (IK 95% 2,28-7,92%). Dosis total radiasi yang diterima rektum >65 Gy dan usia ≥60 tahun merupakan faktor risiko potensial terjadinya PRK pada pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi. Teknik radiasi 2D-XRT, riwayat histerektomi, dan IMT <18,5 kg/m2 belum dapat dibuktikan sebagai faktor risiko terjadinya PRK pada pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi.

Background: Radiation proctitis is frequently occured as a complication of radiotherapy for pelvic malignancies. Unlike acute radiation proctitis that is usually self-limiting, chronic radiation proctitis (CRP) can impact on quality of life and increase health cost, morbidity, and even mortality of the patients.
Aims: To evaluate the incidence and risk factors of CRP after radiotherapy in patients with cervical cancer (CC).
Methods: A detailed retrospective analysis was performed on CC patients who had radiotherapy at the Department of Radiotherapy Faculty of Medicine, The University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from 1st January to 31st December 2010. Data on patient, treatment-related factors, as well as CRP as late complication of radiotherapy were collected from patients’ medical records.
Results: During that period of time, 234 patients met the criteria for this study. With a median follow-up of 30 months, 12 patients [5,1% (CI 95% 2,28-7,92%)] developed CRP (6 proctitis, 6 proctosigmoiditis). CRP occured 7-29 months after completion of radiotherapy (median 14,5 months) and 87% of all CRP occured within 24 months after radiotherapy. Multivariate Cox regression analysis demonstrated significant association between the total rectal-received dose >65 Gy (HR 7,96; CI 95% 2,30-27,50; p=0,001) and age ≥60 years (HR 5,42; CI 95% 1,65-17,86; p=0,005) and the occurrence of CRP. There was no significant association between 2 dimensional external radiation therapy (2D-XRT) technique (HR 1,36; CI 95% 0,41-4,51; p=0,616), history of hysterectomy (HR 1,14; CI 95% 0,34-3,79; p=0,83), and body mass index (BMI) <18,5 kg/m2 (HR 2,34; CI 95% 0,51-10,70; p=0,265) and the occurrence of CRP.
Conclusions: The 3 years cumulative incidence of CRP after radiotherapy in patients with CC is 5,1% (CI 95% 2,28-7,92%). The total rectal-received dose >65 Gy and age ≥60 years are the potential risk factors of CRP after radiotherapy in CC patients. The 2D-XRT technique, history of hysterectomy, and BMI <18,5 kg/m2 have not been proven as the risk factors of CRP after radiotherapy in CC patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Putri Astiti
"Tujuan : Mengetahui pengaruh penerapan protokol buli di RSCM terhadap dosimetri dan toksisitas radiasi usus pada pasien kanker serviks saat menjalani radiasi eksterna. Metode : Penelitian adalah penelitian kohort retrospektif pada 236 subjek penelitian yang menjalankan radioterapi eksterna di IPTOR RSCM pada tahun 2019 – 2021. Subjek terbagi menjadi tiga kategori menurut perlakuan yaitu pasien tanpa protokol buli sebanyak 84 pasien, dengan protokol buli 300 - <500 mL sebanyak 35 pasien dan protokol buli 500 mL sebanyak 67 pasien. Uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov, perbandingan rerata menggunakan Kruskal Wallis dan Mann Whittney. Perbandingan nominal kategorik menggunakan chi square. Analisis multivariat menggunakan regresi linier dan regresi logistik Hasil : Pasien tanpa diberikan instruksi protokol buli volume buli yang cenderung lebih kecil yaitu median 83,5 mL (min-maks) (29,2 – 570) dibandingkan dengan yang diberikan instruksi protokol buli 300 - <500 mL yaitu median (min-maks) 91,5 mL (25,6 – 409,4) dan yang diberikan instruksi protokol buli 500 mL yaitu 125 mL (15-462) (P=0,014). Protokol buli juga berpengaruh terhadap proporsi pasien dengan V45 bowel bag <195 mL, dimana pasien dengan protokol buli 11,12% mencapai V45 bowel bag <195mL, sedangkan pasien tanpa protokol buli hanya 3,2% yang mencapai V45 bowel bag <195 mL (P=0,04. CI 95%). Kesimpulan : Protokol buli yang telah diterapkan di IPTOR RSCM terlihat mempunyai pengaruh terhadap volume buli dan volume bowel bag namun tidak menunjukkan pengaruh terhadap toksisitas akut gastrointestinal bawah.

Objective: To determine the effect of bladder protocol at RSCM to the irradiated bowel volume and acute bowel toxicity in cervical cancer patients underwent external beam radiotherapy. Methods: This was a retrospective cohort study on 236 cervical cancer patients who underwent external radiotherapy at IPTOR RSCM in 2019-2021. Subjects were divided into three bladder protocol categories. Patients without bladder protocol (n=84), with 300 - <500 mL bladder protocol (n=85) and with 500 mL bladder protocol (n=67). Normality test using Kolmogorov-Smirnov, mean comparison using Kruskal Wallis and Mann Whittney. Comparison of categorical nominal using chi square. Multivariate analysis using linear regression and logistic regression. Results: Patients without bladder protocol had a smaller bladder volume, which median (min-max) was 83.5 mL (29.2 – 570) compared to those who were given a bladder protocol instruction of 300 - <500 mL which was 91, 5 mL (25.6 – 409.4) and those given 500 mL bladder protocol which median value was 125 mL (15-462) (P=0.014. 95% CI). Bladder protocol also caused more patients to achieve V45 bowel bag <195 mL which was 11.12% compared to those without bladder protocol which was 3,2% (P=0.04). Conclusion: The bladder protocol that has been applied at IPTOR RSCM seems to influence the bladder volume and bowel bag volume but did not show an effect on acute lower gastrointestinal toxicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library