Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tengku Abdurrahman
"Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dan dilaksanakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diselenggarakan secara demokratis, transparan, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, babas, dan rahasia. Keikutsertaan rakyat dalam pemberian suara dalam Pemilihan Umum merupakan salah satu bentuk partisipasi politik.
Pemberian suara terbentuk oleh suatu proses sosialisasi politik dan keikutsertaan dalam Pemilihan pemilu merupakan salah satu bentuk partisipasi politik. Dalam setiap pemilihan Umum perolehan suara setiap partai politik selalu mengalami perubahan dan ini merupakan cerminan terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Di kelurahan Mampang Prapatan, selama lima kali Pemilihan Umum tahun (1982-1999) perolehan suara partai politik selalu mengalami perubahan, baik peroleban suara yang diraih PPP, PDI maupun perolehan suara Golkar. Berfluktuasinya perolehan suara partai politik tersebut menunjukkan adanya pergeseran pemberian suara yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Penelitian ini ingin mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian suara dalam Pemilihan Umum tahun 1999 di Kelurahan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah mengapa terjadi perubahan pemberian suara dalam Pemilihan Umum tahun 1999 di Kelurahan Mampang Prapatan dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perubahan pemberian suara dalam Pemilihan Umum tahun 1999 di Kelurahan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Variable penelitian yang digunakan adalah: identifikasi kepartaian, faktor isu, peranan pemimpin informal dan pengaruh calon.
Pertanyaan penelitian di atas dijawab dengan melakukan wawancara dengan responden sebanyak 50 orang. Selain itu juga dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan yang dianggap mengetahui banyak tentang pemberian suara di Kelurahan Mampang Prapatan. Tehnik sampling yang digunakan adalah penarikan sampel sistimatis (systematic random sampling).
Temuan lapangan menunjukkan bahwa faktor identifikasi kepartaian atas dasar ikatan idiologi dan agama mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap pemberian suara responden terutama terhadap partai-partai yang berazaskan agama. Sedangkan untuk partai politik yang berazaskan Pancasila, identifikasi kepartaian atas dasar ikatan agama dan idiologi mempunyai pengaruh yang kecil.
Faktor isu atau program yang ditawarkan partai politik seperti isu,perubaban politik, isu pembangunan ekonomi dan isu hukum dan hak azasi manusia merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap pemberian suara responden pads Pemilihan-Umum tahun 1999. Sedangkan faktor pemimpin informal, faktor calon, ikatan tradisi, dan faktor gender mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pemberian suara dan tidak signifikan untuk melihat terjadinya perubahan pemberian suara di Kelurahan Mampang Prapatan. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Irawan
"Kekuatan politik yang mapan harus siap melakukan adaptasi dengan tuntutan-tuntutan perubahan politik yang terjadi di lingkungannya. Jika kekuatan politik itu tidak melakukan respon dan beradaptasi dengan perubahan politik, maka perubahan politik akan melemahkan kekuatan politik tersebut. Karenanya, jika kekuatan politik ingin tetap hadir dalam panggung politik maka ia harus terus berdaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Konflik politik di Golkar, pasca kejatuhan politik Soeharto, menunjukkan adanya keinginan dari organisasi ini untuk berubah. Namun, perubahan itu tidak berjalan mulus karena adanya tantangan dari kelompok yang tidak menyukai perubahan.
Konflik politik saat Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Juli 1998 dan saat Sidang Umum MPR tahun 1999 menunjukkan keterpengaruhan Golkar akan tuntutan gerakan reformasi yang berada di lingkungan poiitiknya. Tesis ini ingin menjelaskan pengaruh gerakan reformasi terhadap Golkar yang terlihat dalam konflik politik di organisasi yang pernah berjaya di era Orde Baru masa lalu.
Metode penelitian tesis ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan hubungan antar fenomena yang terjadi sehingga dapat menjelaskan pokok permasalahan yang ada. Teknik menjaring data dengan cara mewawancarai lima orang tokoh aktivis di lingkungan Golkar yang terlibat dalam konflik-konflik yang terjadi. Selain itu, data juga dihasilkan melalui informasi media massa, dokumen-dokumen yang relevan dan dari buku-buku.
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh gerakan reformasi terhadap konflik di Golkar. Tekanan gerakan reformasi menjadi salah satu tekanan yang menyebabkan Harmoko mengeluarkan pernyataan agar Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Digunakannya isu-isu yang sesuai dengan semangat reformasi menjadi bukti lain dari pengaruh gerakan reformasi tersebut.
Konflik politik di Golkar menunjukkan bahwa organisasi ini sangat rentan dengan perubahan. Konflik itu terjadi karena ada sebagian pihak yang tidak siap menerima perubahan-perubahan. Konflik politik adalah ekses yang harus ditempuh oleh Golkar manakala ia ingin melakukan perubahan. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa konflik politik di Golkar merupakan salah satu hasil dari tuntutan terjadinya perubahan politik. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Rajawali, 1986
300 TEO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsurizal
"ABSTRAK
Partisipasi politik kaum muda di Indonesia telah dikenal jauh lebih awal dibandingkan fenomena serupa di negara-negara lain. Bila di Indonesia partisipasi politik kaum muda telah dikenal pada permulaan abad ke-20 maka di negara-negara barat, misalnya, gejala ini baru muncul pada tahun 60-an.
Keterlibatan kaum muda dalam berbagai peristiwa politik nasional seperti pada tahun 1908 (berdirinya Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda), 1945 (Revolusi Kemerdekaan), serta tahun 1966 (Tritura) bukan saja telah menempatkan kaum muda tersebut dalam posisi terhormat dalam sejarah nasional bangsa tetapi juga telah membangun citra tersendiri bagi peranan politik kaum muda di Indonesia.
Sejauh ini, ada dua teori besar yang mencoba menjelaskan tentang fenomema partisipasi politik. Pertama, disebut Partisipasi yang Otonom (Autonomous Participation), sedang yang kedua, dinamakan Partisipasi yang Dimobilisasi (Mobilized Participation). Teori yang pertama menjelaskan bahwa partisipasi politik itu bisa lahir karena kesadaran sendiri (tanpa paksaan atau tekanan dari siapa pun) dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya partisipasi ini antara lain adalah political efficacy, status sosial ekonomi yang dimiliki warga negara. Sementara teori yang kedua mengatakan bahwa partisipasi politik dapat pula lahir karena pengaruh dari luar. seperti adanva faktor peranan pemerintah.
Tesis ini mencoba membuktikan atau melihat sejauh mana kedua teori tersebut berlaku dalam kasus partisipasi politik kaum muda di wilavah Kecamatan Gegerbitung. Itulah sebabnya pokok masalah dari tesis ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut Pertama, apakah ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan partisipasi politik kaum muda tersebut ?. Kedua, apakah ada hubungan antara peranan pemerintah dengan partisipasi politik kaum muda tersebut ?.
Dalam usaha pembuktian tersebut tesis ini mendasarkan diri pada jenis penelitian analitik dengan tehnik analisa yang digunakan adalah kuantitatif, artinya dilakukan pengujian dengan menggunakan rumus-rumus statistik (uji statistik) terhadap hipotesa yang telah ditetapkan sebelumnya guna mengetahui hubungan empirik antar variabel penelitian. Dengan cara ini akan diketahui bukan saja mengenai ada atau tidak adanya hubungan antara variabel penelitian tetapi juga arah dan kemaknaan hubungan tersebut (sesuatu yang tidak bisa diperoleh lewat analisa kualitatif).
Meskipun analisis kuantitatif tersebut diatas merupakan tehnik analisis dasar dalam tesis ini, namun untuk melengkapi pembahasan digunakan pula tehnik analisis tabel silang.
Atas dasar analisa kuantitatif yang telah dilakukan, tesis ini membuktikan bahwa : Pertama, ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan partisipasi politik pemuda di Kecamatan Gegerbitung dan arah hubungan tersebut adalah positif, artinya, ada kecenderungan dimana semakin tinggi status sosial ekonomi maka akan semakin tinggi pula partisipasi politik. Kedua, ada hubungan antara peranan pemerintah dengan partisipasi politik pemuda di Kecamatan Gegerbitung dan arah hubungan tersebut adalah negatif, artinya, ada kecenderungan dimana semakin tinggi peranan pemerintah maka,partisipasi politik justru semakin menurun.
Sementara-itu, berdasarkan hasil analisis table silang diperoleh bukti pula bahwa tidak semua sub variable status sosial ekonomi dengan sub variabel partisipasi politik itu mempunyai hubungan positif. Oleh karena dalam kasus hubungan antara penghasilan dengan keikutsertaan dalam menghadiri kegiatan kampanye ternyata yang terjadi adalah hubungan negatif. Dilain pihak, mengenai hubungan antara variabel peranan pemerintah dengan variabel partisipasi politik'berdasarkan hasil analisis tabel silang diperoleh bukti pula bahwa dalam kasus hubungan antara ajakan para pejabat formal dengan keterlibatan dalam organisasi politik/ organisasi massa maka ajakan para pejabat formal ini dianggap cukup berpengaruh dalam mengajak responden untuk terlibat di organisasi massa tetapi kurang berpengaruh dalam mengajak respondem untuk terlibat di organisasi politik."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aini
"ABSTRAK
Kegiatan politik bukan monopoli milik para elit politik. la ada di mana-mana, dari kalangan atas sampai paling bawah, termasuk buruh perempuan. Ketika orang merasa diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang sehingga apa yang seharusnya menjadi haknya tidak diperoleh, maka is akan berusaha memperolehnya dengan banyak cara, antara lain dengan mempengaruhi kebijakan pemerintah atau yang dikenal dengan partisipasi politik.
Jika mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat dilakukan dengan cara-cara yang konvensional, orang akan menempuh cara itu. Akan tetapi jika cara itu tidak memberi hasil, maka orang akan melakukannya dengan cara-cara yang nonkonvensional seperti demonstrasi, unjuk rasa, huru hara, dan lainnya. Sejak reformasi digulirkan awal tahun 1998, di Indonesia seringkali terjadi demonstrasi dan unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai macam kelompok masyarakat, mahasiwa, sampai buruh perempuan.
Buruh perempuan sebagai pekerja yang dipersepsikan lemah, berpendidikan rendah, memiliki status sosial ekonomi rendah, dan mempunyai ketergantungan yang cukup besar pada pekerjaan; menjadi sasaran tindakan sewenang-wenang pengusaha. Dalam upaya mencari profit yang tinggi, pengusaha tidak segan mengurangi hak buruh perempuan seperti memberi upah yang rendah, tanpa uang makan, tanpa uang transpor, dan melanggar hak-hak normatif lain seperti cuti hamil yang dibayar tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Upaya buruh perempuan memperoleh hak, mereka lakukan dengan partisipasi di lingkungan kerja. Melalui serikat pekerja, mereka melakukan negosiasi dengan pengusaha. Karena SPSI sebagai organisasi buruh tidak menjalankan fungsinya secara optimal, maka upaya ini pun gagal. Hadirnya SBSI di PT Tongkyung Makmur Abadi yang diharapkan dapat menjadi serikat pekerja alternatif, justru menimbulkan konflik antar serikat pekerja dalam satu perusahaan, yang kian melemahkan posisi buruh. Oleh karena itu buruh perempuan kemudian melakukan partisipasi politik dengan mendatangi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dan DPR-RI.
Fokus studi ini mengkaji bagaimana buruh perempuan yang dianggap lemah, bodoh, dan mempunyai ketergantungan pada pekerjaan itu dapat melakukan partisipasi politik di PT Tongkyung Makmur Abadi, sebuah pabrik garmen milik pengusaha Korea Selatan yang terkenal keras, dengan segala konsekuensi yang harus mereka tanggung. Selain itu juga dikaji faktor penyebab dan pengaruh yang terkait dengan partisipasi politik buruh perempuan Bagaimana pengusaha dan penguasa merespons partisipasi politik buruh perempuan serta bagaimana buruh perempuan menyikapi dampak tindakannya, merupakan bagian dari studi ini juga.
Dalam mengkaji permasalahan ini beberapa teori yang digunakan adalah teori kekuasaan, konflik, sosialisasi politik, dan partisipasi politik. Teori kekuasaan yang diambil dari Galtung menjelaskan bagaimana kekuasaan terjadi dan bagaimana pihak yang lemah dapat menghadapi kekuasaan pihak yang lebih kuat. Sedangkan konflik kepentingan yang muncul dari hubungan tidak setara, dikemukakan oleh Dahrendorf dan Coser. Selanjutnya Coser menjelaskan bahwa jarak hubungan mempengaruhi munculnya konflik. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar kecenderungan menekan konflik, sedang pada hubungan sekunder seperti antara buruh perempuan dengan pengusaha permusuhan relatif lebih bebas diungkapkan.
Untuk memahami partisipasi politik, antara lain digunakan teori sosialisasi politik yang dikemukakan oleh Michael Rush dan Phillip Althoff, yaitu bahwa dengan sosialisasi politik orang dapat terlibat dalam sistem politik, yaitu dalam partisipasi politik dengan kadar yang berbeda.
Perbedaan derajad partisipasi politik ini dipengaruhi oleh sikap politik dan kesadaran politik pelakunya. Tingkat pendidikan, status sosial, dan media massa banyak berpengaruh pada pembentukan sikap politik dan pengembangan kesadaran politik. Terkait dengan kesadaran politik dan sikap politik ini Jeffry M. Paige menyusun derajad partisipasi politik, yaitu aktif, militan radikal, pasif, dan apatis. Selain Paige, Milbrath dan Goal juga membuat empat kategori partisipasi politik, yaitu apatis, spektator, gladiator, dan pengkritik. Dilihat dari kondisi buruh perempuan yang miskin, lemah, bodoh, dan tidak berdaya, baik menurut Paige maupun Milbrath dan Goel, partisipasi politik buruh perempuan termasuk kategori apatis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi politik buruh perempuan pabrik garmen PT Tongkyung Makmur Abadi ternyata cukup tinggi. Mereka terlibat aktif dalam serikat pekerja dengan menduduki jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Bendahara yang selama ini selalu diduduki oleh buruh laki-laki. Selain itu buruh perempuan juga melakukan tindakan aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka dengan melakukan partisipasi politik di bawah pimpinan seorang buruh perempuan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi politik, seperti tingkat pendidikan yang tinggi untuk ukuran buruh, munculnya LSM dan media massa. Kecuali itu eutora reformasi yang berlangsung di negeri ini sejak akhir tahun 1998 telah membuat sistem politik negara ini lebih demokratis, dan memberi peluang bagi buruh perempuan melakukan partisipasi politik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa buruh perempuan yang selama ini dipersepsikan lemah dan lebih dipercaya menangani urusan domestik, ternyata jika diberdayakan dapat menjalankan fungsi politik mereka dengan meyakinkan. Untuk itu peran serta pihak-pihak yang terkait perlu lebih ditingkatkan. Pengembangan ilmu politik di lingkungan industri pun kemudian menjadi suatu keharusan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D31
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isbodroini Suyanto
"ABSTRAK
Tujuan disertasi ini adalah pertama untuk melihat sampai sejauh mana para elit kraton Surakarta dan Yogyakarta masih menghayati faham kekuasaan Jawa. Apakah mereka melihatnya semata hanya sebagai tradisi, mereka rnempercayainya, ataukah mereka hanya mengetahui mengenai hat tersebut. Kedua adalah bagaimana mereka menilai para pemimpin politik masa kini. Karena faham kekuasaan Jawa bersifat adikodrati, maka kekuasaan tersebut bertumpu pada sumber-sumber yang bersifat transcendental yaitu bersifat spiritual dan adiduniawi yang tan kastl mata
Sumber-sumber bagi faham kekuasaan Jawa disusun secara konstruksi teoritis dengan memakai berbagai karya ilmiah para ilmuwan dalam berbagai bidang dalam budaya Jawa. Disamping itu sumber juga berasal dari beberapa Babad, Piwulang, Pewayangan, Mythos dan Legenda.
Penulisan disertasi ini bertumpu pads hasil wawancara mendalam dan pada konstruksi teoritis mengenai faham kekuasaan Jawa tersebut. Semua alit, para informan utama dan pendukung, mendapatkan pendidikan formal. Sebagian besar dari para subjek penelitian berlatar belakang pendidikan sarjana.
Hasil dari wawancara mendalam tersebut menunjukkan bahwa, mereka mempunyai cara pandang yang sama mengenai budaya Jawa dalam kaitannya dengan faham kekuasaan Jawa.
Kesimpulan yang dapat dikemukakan dari penelitian ini adalah bahwa mereka masih kuat dalam menghayati budaya mereka. Hal tersebut bukan semata-mata hanya tradisi bagi mereka tetapi mereka menghayatinya. Begitu pula terhadap para pemimpin politik masa kini, mereka menilainya dengan memakai kacamata Jawa yang bersumber dari piwulang dari leluhur mereka.
Tradisi, simbol-simbol dan berbagai ritual kraton tetap dipertahankan untuk menjaga kepatuhan tradisional dari masyarakat di Surakarta dan Yogyakarta. Ritual-ritual tersebut masih sangat berarti terutama bagi DIY dengan Sri Sultan 1-113 X sebagai Gubernur dan KGPAA Pakualam IX sebagai Wakil Gubernur"
2002
D361
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iberamsjah
"ABSTRAK
Perubahan politik yang terjadi di tingkat nasional pada akhirnya berimbas pada perubahan politik di tingkat pedesaan. Penerapan beberapa kebijakan politik yang merupakan bagian dari proses demokratisasi seperti otonomi daerah atau khususnya otonomi desa, peraturan baru tentang pemilihan umum dan kepartaian berdampak pada perubahan struktur kelembagaan desa dan perilaku politik di dalamnya. Lebih jauh, konstelasi kekuasaan di tingkat desa pun berubah. Perubahan-perubahan ini tampak pada kasus pengambilan keputusan di Desa Gede Pangrango. Studi ini berusaha menjelaskan terjadinya perubahan peran alit desa dalam perubahan politik yang terjadi sejak penerapan otonomi daerah tahun 2000 di Desa Gede Pangrango.
Temuan-temuan yang berhasil diperoleh dari studi ini meliputi hal-hal yang akan dirinci sebagai berikut. Pertama, telah terjadi perubahan sumber dan hubungan kekuasaan elit desa yang berimplikasi terhadap terjadinya pergeseran konstelasi elit desa. Beberapa sumber kekuasaan yang pada masa lalu kuat pengaruhnya bagi kekuasaan elit tertentu, kini berubah melemah. Sumber kekuasaan yang melemah itu misalnya kemampuan bela diri (jawara), adat dan birokrasi. Sebaliknya, ada beberapa sumber kekuasaan yang menguat peranannya dalam konstelasi politik desa, yaitu keterampilan, prestasi, dan dukungan massa atau simpatisan terhadap partai politik. Menguatnya pengaruh keterampilan dan prestasi sebagai sumber kekuasaan ditunjukkan dengan menguatnya pengaruh elit pemuda yang menunjukkan prestasi dan keterampilan menonjol dalam masyarakat. Elit partai politik yang mendapat legitimasi kuat pada pemilu juga menunjukkan peningkatan pengaruhnya dalam politik desa. Sedangkan dalam hubungan kekuasaan, dominasi elit formal desa dalam pembuatan keputusan desa yang tampak pada masa lalu, kini berubah. Kekuasaan elit formal desa telah diimbangi oleh pengaruh elit formal baru di BPD, sebagai lembaga perwakilan desa yang baru, dan ditambah dengan kontrol masyarakat melalui gerakan massa.
Kedua, dalam konstelasi elit desa tersebut, muncul elit formal baru yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan desa. Dibentuknya BPD sebagai lembaga perwakilan yang lebih otonom dan representatif berdasarkan UU No.22/1999, Kepmendagri No.64/1999 dan Perda Kabupaten Sukabumi No.2/2000, memunculkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai elit formal baru mendampingi eksekutif dan birokrasi desa.
Ketiga, telah terjadi perubahan sikap, perilaku dan peranan elit dalam perwakilan desa. Lembaga perwakilan desa pada masa Orde Baru berada pada posisi subordinat di bawah eksekutif desa. Fungsinya tidak lebih dari lembaga yang mengesahkan keputusan eksekutif desa. Setelah penerapan otonomi daerah, lembaga perirakilan menjadi lebih representatifdan otonom dari intervensi kepala desa.
Keempat, dominasi kepala desa terhadap lembaga perwakilan desa telah berakhir. Sebagai dampak dari kemunculan elit formal baru dalam konstelasi politik desa, kel;uasaan kepala desa dapat diimbangi. Dalam beberapa kasus pembuatan keputusan di desa Gede Pangrango, tampak kecenderungan kekuasaan BPD lebih kuat. Dalam rapat-rapat BPD, terdapat temuan kelima, yaitu telah terjadi perubahan dalam proses pembuatan keputusan dari kecenderungan musyawarah-mufakat ke penerimaan pemungutan suara.
Keenam, intervensi pemerintah tingkat atas desa terhadap proses pembuatan keputusan desa telah berakhir. Di desa Gede Pangrango, pemerintah atas desa tidak lagi melakukan intervensi terhadap pembuatan keputusan. Pemerintahan desa menunjukkan kecenderungan otonomi daiam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan desa. Kehadiran pemerintah atas desa dalam rapat-rapat desa bukan dalam rangka mempengaruhi keputusan tetapi lebih bersifat seremonial.
Ketujuh, peranan massa dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan desa telah meningkat. Pada masa Orde Baru, masyarakat tidak pernah menunjukkan kecenderungan untuk melakukan tindakan tindakan dalam rangka mempengaruhi pembuatan keputusan, seperti dengan melakukan demonstrasi. Seiring penerapan otonomi desa, telah terjadi beberapa kali aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat desa untuk mendesakkan agenda kebijakan politik kepada pemerintahan desa dan pemerintah atas desa. Dan yang penting untuk dicatat di sini adalah bahwa peranan mereka dalam mendesakkan agenda kebijakan dapat dikatakan efektif karena kernudian tuntutan yang diajukan dalam demonstrasi ditanggapi serius oleh BPD dengan ,pembuatan beberapa keputusan penting. Ini menunjukkan bahwa peranan massa dalam proses pembuatan keputusan di desa Gede Pangrango telah meningkat.
Secara teoritis, studi ini menunjukkan relevansi dan revisi terhadap beberapa teori yang digunakan, serta mengkonstruksi teori baru tentang kemunculan elit formal baru dalam konstelasi politik desa. Kasus pembuatan keputusan di desa Gede Pangrango menunjukkan relevansi teori sirkulasi elit dari Mosca, Schoorl dan Alfian; tipologi elit berdasarkan sumber kekuasaan seperti dibuat oleh Kappi, Buntoro, Hofsteede dan lberamsjah; serta relevansi teori pembuatan keputusan dari Gibson bahwa pembuatan keputusan merupakan proses dinamis yang dipengaruhi berbagai faktor.
Di samping relevansi beberapa teori di atas, kajian kasus desa Gede Pangrango menunjukkan perlunya revisi terhadap beberapa teori. Dikotomi elit formal-informal yang dilakukan oleh Tjondronegoro, Ismani dan Kuntjaraningrat tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Kemunculan alit formal baru yang memiliki karakter formal, namun memposisikan diri di luar elit formal membuat konsep elit formal dan informal lebur dalam fenomena ini, sehingga teori dikotomis ini tidak dapat diterapkan secara kaku. Sirkulasi elit yang diterjemahkan sebagai pergantian elit oleh Mosca, Schoorl dan Alfian, kurang tepat untuk diterapkan dalam kasus ini karena yang terjadi adalah pergeseran konstelasi elit, bukannya pergantian elit. Selain itu, sumber kekuasaan elit tidak terbatas pada sumber kekuasaan yang diungkapkaan oleh Andrain, Budiardjo, Anderson, Kappi, Buntoro, Hofsteede dan Iberamsjah, tetapi lebih jauh lagi terdapat varian baru sumber kekuasaan, yaitu kepribadian dan kemampuan memecahkan masalah-masalah masyarakat. Temuan studi ini juga menunjukkan bahwa selain scope dan domain of power (Lasswell dan Kaplan) terdapat konsep lain yang penting dalam mempelajari kekuasaan, yaitu saluran kekuasan. Terakhir, pembuatan keputusan di desa yang menurut Wahono cenderung menggunakan mekanisme musyawarah-mufakat, dalam kasus Desa Gede Pangrango ini mengalami pergeseran dengan diterimanya mekanisme voting sebagai salah satu alternatif pengambilan keputusan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D517
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library