Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dinda Arken Devona
"Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas air mata dan perubahan densitas sel goblet dengan penggunaan lensa kontak silikon hidrogel lotrafilcon B pada penggunaan daily wear dan extended wear 6 malam berturut-turut. Penelitian ini merupakan uji klinis intervensi randomisasi tersamar tunggal. Sebanyak lima puluh enam subyek yang telah di randomisasi dibagi menjadi dua kelompok n = 28 di masing-masing kelompok. Kedua kelompok memakai lensa kontak hidrogel silikon Lotrafilcon B secara daily wear vs extended wear. Parameter klinis Non-Invasif Break Up Time NIBUT, densitas sel goblet PAS, Interblink Interval IBI dan Ocular Protection Index OPI. Terdapat perbedaan NIBUT dan densitas sel goblet bermakna pada minggu ke 4 antara dua kelompok p 0,015 dan p.

The purpose of this study is to evaluate tear film quality and goblet cell density changes with the use of soft contact lenses of silicone hydrogel lotrafilcon B on daily wear and extended wear in 1 month. This is single blind randomized clinical trial. A total of fifty six subjects who had been consecutively randomized were divided into two groups n 28 in each. Both groups were wearing silicone hydrogel contact lenses Lotrafilcon B, the first group used daily wear and the second group used extended wear 6 consecutive nights. The clininal evaluation of the eyes in each group were performed on pre fitting, 1st week and 4th week after contact lens fitting. The clinical parameter were Non Invasive Break Up Time NIBUT using Tearscope PlusTM, goblet cell density using conjunctival impression cytologies CIC with Periodic Acid Schiff PAS Staining, Interblink Interval IBI and Ocular Protection Index OPI. In this study obtained more female sex subjects than men with a ratio of 3.6 1. There was a significant mean NIBUT difference at week 4 between two groups p 0,015. There was a decrease in goblet cell density in both groups with significant differences p."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Inno Luminta
"Latar Belakang: Karsinoma sel sebasea adalah keganasan yang cukup sering ditemukan pada populasi Asia dan bersifat agresif dengan tingkat rekurensi lokal dan metastasis jauh yang tinggi. Peningkatan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) tumor suppressor gene p53 dan Ki-67 sebagai penanda aktifitas proliferasi pada tumor kepala dan leher menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas proliferasi dengan buruknya prognosis.
Tujuan: Menilai ekspresi p53 dan Ki-67 pada karsinoma sel sebasea yang dihubungkan dengan faktor prognostik klinis dan histopatologi pada karsinoma sel sebasea yaitu ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), metastasis jauh, diferensiasi, penyebaran pagetoid, dan invasi perineural.
Metode: Pulasan IHK menggunakan antibodi p53 dan Ki-67 dilakukan pada jaringan karsinoma sel sebasea di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2017 – Juni 2022 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 1 lapang pandang dengan minimal jumlah sel sebanyak 500 sel dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya.
Hasil: Total 34 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi p53 dan Ki-67. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi p53 pada hasil penelitian menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu adanya metastasis, invasi perineural, dan penyebaran pagetoid. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi Ki-67 pada penelitian ini menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu ukuran tumor yang lebih besar, metastasis, diferensiasi buruk, dan invasi perineural.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi buruk pada karsinoma sel sebasea. Terdapat proporsi sampel dengan ekspresi Ki-67 tinggi yang lebih banyak dan nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor, metastasis, berdiferensiasi buruk, serta invasi perineural, meskipun hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dan secara statistik tidak bermakna. Pada pulasan p53 terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal proporsi pulasan dengan ekspresi tinggi serta nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor.

Sebaceous cell carcinoma is a relatively common malignancy in the Asian population, characterized by aggressive behavior with high rates of local recurrence and distant metastasis. Increased expression of immunohistochemical marker such as tumor suppressor gene p53 and Ki-67, a proliferation marker, in head and neck tumors suggests a correlation between proliferation activity and poor prognosis.
Objective: This study aims to evaluate the expression of p53 and Ki-67 in sebaceous cell carcinoma and its association with clinical and histopathological prognostic factors, including tumor size, lymph node involvement, distant metastasis, cell differentiation, pagetoid spread, and perineural invasion.
Methods: Immunohistochemical staining using p53 and Ki-67 antibodies was performed on paraffin-embedded sebaceous cell carcinoma tissues obtained from medical records between June 2017 and June 2022 at RSCM. Expression assessment was conducted on nuclei using manual and semi-quantitative methods on 500 cells per field processed with Qupath software. The results were cross-checked with patients' clinical data recorded in a master table and statistically analyzed to determine their relationship.
Results: A total of 34 patients were analyzed based on clinical data and p53 and Ki-67 expression. There was no statistically significant association between p53 expression and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). However, high p53 expression was associated with a higher proportion of poor prognostic factors, such as metastasis, perineural invasion, and pagetoid spread. Similarly, there was no statistically significant association between Ki-67 expression categories and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). High Ki-67 expression was more frequently observed in cases with larger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion.
Conclusion: This study found no significant statistical association between Ki-67 and p53 expression with poor prognostic factors in sebaceous cell carcinoma. Nonetheless, a higher proportion of samples with high Ki-67 expression and higher median values were observed in cases with bigger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion, although these differences were not statistically significant. For p53 expression, significant differences were found in terms of proportion and median values concerning tumor size prognostic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nindiana Pertiwi
"Deteksi progresi glaukoma penting untuk menentukan efektivitas terapi, dan inisiasi atau eskalasi terapi glaukoma sering kali bergantung pada penilaian progresi. Meskipun demikian, tingkat kesepakatan (agreement) di antara para ahli dalam mengidentifikasi progresi glaukoma bervariasi antar penelitian. Penelitian ini membandingkan agreement dan waktu interpretasi progresivitas glaukoma oleh dokter spesialis mata menggunakan dua metode: perangkat lunak FORUM® dan printouts hasil pemeriksaan OCT dan Humphrey. Sebanyak 36 sample cases yang masing-masing terdiri dari minimal 3 laporan OCT dan 5 laporan Humphrey dinilai oleh 12 dokter spesialis mata non-glaukoma (observers). Agreement terhadap status progresi glaukoma antara observers dan konsensus spesialis glaukoma dan dinyatakan dalam nilai Kappa. Waktu interpretasi merupakan total waktu yang dibutuhkan oleh observers untuk menilai progresivitas glaukoma pada seluruh kasus (n=36). Tingkat agreement terhadap status progresi glaukoma ketika menggunakan FORUM® dan ketika menggunakan metode konvensional (printouts) sama baik, dengan nilai Kappa rata-rata 0,62±0,16 vs. 0,63±0,22 (p=0,928). Metode FORUM® memiliki waktu interpretasi rata-rata yang lebih singkat dibandingkan dengan metode printouts, namun tidak bermakna secara statistik (29,1±9,5 vs. 38,8±13,6 menit, p=0,055). Studi ini menunjukkan bahwa penilaian progresi glaukoma menggunakan perangkat lunak FORUM® Glaucoma Workplace tidak memiliki keunggulan dibandingkan metode printouts dalam hal agreement terhadap status progresi dan waktu interpretasi.

Detecting glaucoma progression is crucial for determining whether current therapy is effective, and the initiation or escalation of glaucoma therapy often depends on progression status. However, the level of agreement among experts in identifying glaucoma progression varies across studies. This study aims to compare the agreement and interpretation time of glaucoma progression assessment using two methods: the FORUM® software and printouts of OCT and Humphrey reports, as assessed by ophthalmologists. A total of 36 sample cases comprising minimum 3 OCT and 5 Humphrey reports were assessed by 12 ophthalmologists. Agreement on glaucoma progression between observers and standard reference was presented as Kappa value. Interpretation time was defined as the total time required by observers to assess glaucoma progression across all sample cases (n=36). The level of agreement on progression status between the observers when they used FORUM® and conventional (printouts) method were both good, with mean Kappa value 0.62±0.16 vs. 0.63±0.22 respectively (p=0.928). The FORUM® method had a shorter mean interpretation time compared to printouts method, but not statistically significant (29.1±9.5 vs. 38.8±13.6 minutes, p=0.055). This study showed that the assessment of glaucoma progression using FORUM® Glaucoma Workplace software has no superiority to printouts method in terms of agreement on progression status and interpretation time."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Maulida
"ABSTRAK Penelitian ini bertujuan membandingkan prediktabilitas refraksi kelompok sudut tertutup primer dengan katarak yang menjalani fakoemulsifikasi berdasarkan perhitungan kekuatan lensa tanam menggunakan formula Hoffer-Q dan SRK/T. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Dilakukan analisis pada 46 mata dari 42 orang, dua puluh tiga mata pada masing-masing kelompok. Sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan biometri pertama dengan IOL Master untuk tiap kelompok dan pada 2/3 minggu pasca operasi dilakukan pengukuran BCVA. Proporsi dalam 0,5 D 56,52% pada kelompok Hoffer-q dan 52,18% pada SRK/T, Mean Absolute Error (MAE) 0,58 ± 0,39 D pada kelompok Hoffer-q dan 0,59 ± 0,34 D pada SRK/T, Mean Refractive Error (MRE) -0,39 ± 0,59 D pada kelompok Hoffer-q dan -0,41 ± 0,54 D pada SRK/T. Formula Hoffer-q dan SRK/T memiliki prediktabilitas refraksi yang sebanding pada kelompok sudut tertutup primer dengan katarak.

ABSTRACT
This study is aimed to compare refractive predictability of 2 formula; Hoffer-q and SRK/T in primary angle closure disease with cataract. This is a Randomized Clinical Trial. Analysis was done in 46 eyes from 42 subjects, which divided into 23 eyes in each group. The first biometry with IOL Master was done before the surgery and BCVA was done at 2 or 3 weeks after the surgery. Proportion within 0,5 D is 56,52% for Hoffer-q and 51,18 for SRK/T, Mean Absolute Error (MAE) was 0,58 ± 0,39 D for Hoffer-q dan 0,59 ± 0,34 D for SRK/T, Mean Refractive Error (MRE) was -0,39 ± 0,59 D for Hoffer-q and -0,41 ± 0,54 D for SRK/T. Hoffer-q and SRK/T have comparable refractive predictability in primary angle closure disease with cataract.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Citra Susanti
"ABSTRAK
Mendapatkan nilai standar normal pemeriksaan elektroretinografi multifokal dan
mencari perbandingan nilai tersebut berikut tingkat kenyamanan pasien menggunakan
elektroda Jet, Dencott dan Dawson-Trick-Litzkow pada populasi orang Indonesia
dewasa di RSUPNCM. Melalui metode convenient sampling dari 49 subjek orang
Indonesia berusia 19-49 tahun dengan kedua mata normal, dilakukan pengukuran
amplitudo dan latensi gelombang berdasarkan rekomendasi ISCEV. Pengukuran
meliputi gelombang N1 dan P1 pada ring 1 sampai 5. Terdapat perbedaan signifikan
nilai standar normal pemeriksaan elektroretinografi multifokal pada populasi orang
Indonesia dewasa secara statistik antara elektroda dengan amplitudo gelombang lebih
tinggi dan latensi lebih panjang pada elektroda Jet dan Dencott dibandingkan dengan
DTL. Elektroda DTL dan Jet dirasakan lebih nyaman daripada elektroda Dencott bagi
orang Indonesia dewasa normal untuk pemeriksaan elektroretinografi multifokal.
Elektroda DTL memberikan amplitudo gelombang yang paling rendah, latensi yang
apling pendek dan tingkat kenyamanan yang paling tinggi dibandingkan elektroda Jet
dan Dencott dalam pemeriksaan elektroretinografi multifokal pada orang Indonesia
dewasa normal.

ABSTRACT
To establish normal values of multifocal electroretinography (ERG) and to compare
the values and the comfort level using Jet, Dencott and DTL electrode in Indonesian
Adult. Through convenient sampling 49 normal Indonesian subjects between 19 and
49 yeras oldwere selected. Multifocal ERG amplitudes and implicit time values were
measured according to recommendation by the International Society for Clinical
Electrophysiology of Vision. Evaluation consisted of N1 and P1 wave in ring 1 to 5.
after the examination, all subjects filled in a questionnaire about comfort level,
adopted from the visual analog scale. We observed a statistically significant
difference in multifocal ERG normal values between electrode with higher wave
amplitudes and longer implicit time in Jet and Dencott electrodes compared to DTL
electrodes. Jet and DTL electrodes are more comfortable than Dencott electrodes for
Indonesian adults in multifocal ERG. DTL electrodes give the lowest wave amplitude
and the shortest implicit time and are the most comfortable electrode compared to Jet
and Dencott electrodes, in multifocal ERG in Indonesian adults."
2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Wicitra
"ABSTRAK
Latar Belakang: terapi injeksi intravitreal bevacizumab monoterapi pasien edema makula diabetik dengan ketebalan makula sentral lebih dari 400 µm dinilai kurang efektif. Kortikosteroid dinilai dapat membantu mencegah progresifitas edema makula diabetik terkait proses inflamasi.
Tujuan: Mengetahui hasil terapi injeksi intravitreal kombinasi bevacizumab dan deksametason dibandingkan dengan injeksi intravitreal bevacizumab monoterapi pada pasien dengan edema makula diabetik derajat sedang hingga berat
Metodologi: penelitian eksperimental randomisasi acak terkontrol dua kelompok yaitu: kelompok dengan terapi intravitreal bevacizumab 1,25mg (kelompok A) dan terapi injeksi intravitreal bevacizumab 1,25mg dan deksametason 0,5mg (kelompok B). Luaran sensitifitas retina, ketebalan makula sentral serta tajam penglihatan dievaluasi pada minggu pertama dan keempat.
Hasil: sebanyak masing-masing 22 orang diteliti di kelompok A dan kelompok B. Median usia pada kelompok A adalah 53,1 + 8,4 dan kelompok B adalah 55,1 + 8. Terdapat perbaikan sensitifitas retina sebanyak 2,1 dB di kelompok A dan 2,03 dB di kelompok B (p=0,673). Perbaikan ketebalan makula sentral didapatkan sebanyak 217µ m pada kelompok A dan 249 µm pada kelompok B (p=0,992). Perbaikan tajam penglihatan dengan koreksi pada kelompok A sebanyak 8,5 huruf dan 7,5 huruf pada kelompok B (p=0,61). Analisis intragroup menunjukkan perbaikan yang signifikan di masing-masing luaran penelitian pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Terapi kombinasi bevacizumab dan deksametason menjunjukkan perbaikan secara klinis pada luaran sensitivitas retina, ketebalan makula sentral serta tajam penglihatan dengan koreksi. Perbandingan antara kedua grup tidak signifikan secara statistik. Tren positif tampak kategori adanya kista pada Spectrum Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT) dan pasien dengan Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR).

ABSTRACT
Background: Bevacizumab intravitreal injection therapy in patients with diabetic macular edema (DME) especially with a central macular thickness more than 400 μm is considered ineffective. Corticosteroid addition to the standard therapy can help prevent the inflammation that happens in the progression of diabetic macular edema
Objective: to compare the result of combination of bevacizumab and dexamethasone intravitreal injection with bevacizumab monotherapy in patient with moderate to severe diabetic macular edema.
Methods: randomized controlled trial in two parallel group. Group A received bevacizumab intravitreal 1.25mg in 0.05cc, group B received bevacizumab 1.25mg and dexamethasone 0.5mg. Retinal sensitivity, central macular thickness (CMT) and visual acuity (VA) are evaluated in first and fourth week after injection.
Result: 22 patients from each group were evaluated. Median of age was 53,1+ 8,4 in group A and 55,1 + 8 in group B. Improvement of retinal sensitivity was 2.1dB and 2.03dB in group A and B respectively (p=0,673). There was reduction in CMT about 217µm in group A and 249 µm in group B (p=0,992). Visual acuity (VA) outcomes showed little difference between groups; +8.5 letter and +7.5 letter in group A and group B respectively. Intragroup analysis shows significant differentiation in each outcome in both groups.
Conclusion: combination of intravitreal bevacizumab and dexamethasone clinically improved retinal sensitivity, CMT and VA in patient with DME. There was no statistical difference between in retinal sensitivity, CMT and VA after therapy in both groups. Positive trend was showed especially in patient with cyst appearance in Spectrum Domain Optical Coherence Tomography (OCT) and Non-proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) patient. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Hayyu Isfiati
"Iskemia makula merupakan penyebab penurunan penglihatan pada retinopati yang berhubungan dengan progresi retinopati diabetik dan dapat terjadi sebelum mikroaneurisma terlihat secara klinis. Fovea avascular zone (FAZ) merupakan area di makula yang mencerminkan kondisi mikrokapiler makula dan sensitif terhadap iskemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan parameter area dan sirkularitas FAZ pleksus kapiler superfisial (PKS) dan pleksus kapiler dalam (PKD) yang diukur menggunakan Optical Coherence Tomography Angiography (OCTA) pada pasien diabetes melitus (DM) dengan dan tanpa retinopati diabetik. Penelitian potong lintang dilakukan pada 90 mata pasien diabetes yang terbagi menjadi lima kelompok yaitu DM tanpa retinopati diabetik , non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) ringan, NPDR sedang, NPDR berat, dan proliferative diabetic retinopathy (PDR). Area dan sirkularitas FAZ PKS dan PKD pada OCTA makula 3x3 mm diukur menggunakan ImageJ. Area FAZ PKS pada NPDR ringan, NPDR berat, dan PDR secara bermakna lebih lebar dibandingkan dengan DM tanpa retinopati diabetik (p=0,026). Sirkularitas FAZ PKD secara bermakna lebih rendah pada kelompok NPDR sedang dan berat dibandingkan dengan NPDR ringan (p=0,003). Pelebaran dan perubahan bentuk FAZ PKS dan PKD pada retinopati diabetik dapat dideteksi dengan OCTA. Pelebaran FAZ PKS dan penurunan sirkulasi FAZ PKD terjadi mulai dari retinopati derajad awal.

Macular ischemia is cause of decreased vision in diabetic retinopathy (DR) associated with the progression of retinopathy and can occur before microaneurysms are detected clinically. Fovea avascular zone (FAZ) is an area in macula that reflects the condition of macular microcapillaries and sensitive to ischemia. This study aims to compare area and circularity of superficial capillary plexus (SCP) and deep capillary plexus (DCP) FAZ as measured using Optical Coherence Tomography Angiography (OCTA) in diabetic patient with and without DR. A cross-sectional study was conducted on 90 eyes of diabetic patients divided into five groups, namely DM with no DR, mild non-proliferative DR (NPDR), moderate NPDR, severe NPDR, and proliferative DR (PDR). Area and circularity of SCP and DCP FAZ in 3×3 mm macular OCTA was measured using ImageJ. The SCP FAZ area was significantly larger in mild NPDR, severe NPDR, and PDR compared to no DR (p=0.026). DCP FAZ circularity was significantly lower in moderate and severe NPDR compared to the mild NPDR (p=0.003). Enlargement and irregularity of SCP and DCP FAZ in DR can be detected by OCTA. Enlargement of SCP FAZ area and decrease in DCP FAZ circularity occurs from early degree of DR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evan Regar
"Latar Belakang: Akses yang baik ke sakus lakrimal sangat penting dalam prosedur DCR endoskopik pada kasus obstruksi duktus nasolakrimal. Struktur ini dapat terhalangi oleh keberadaan agger nasi, yang juga dapat mempersulit prosedur operasi dan meningkatkan angka kegagalan.
Tujuan: Untuk menentukan variasi anatomi agger nasi dalam hubungannya dengan sakus lakrimal menggunakan CT scan dan membandingkannya dengan pembukaannya. Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 11 subjek yang didiagnosis dengan sumbatan saluran air mata hidung terperoleh primer. Subjek menjalani CT scan untuk menilai keberadaan agger nasi dan penempatannya terhadap sakus lakrimal. Subjek kemudian menjalani dakriosistorinostomi endoskopik, dan operator menilai apakah agger nasi perlu dibuka atau tidak untuk mengakses sakus lakrimal. Analisis statistik menggunakan Cohen's Kappa dilakukan untuk mengevaluasi kesepakatan antara kedua temuan tersebut.
Hasil: Dari 13 subjek, 12 adalah perempuan. Agger nasi ditemukan pada 12 dari 13 subjek. Pada pemeriksaan radiologi, 8 dari 12 subjek menunjukkan penempatan sakus lakrimal dengan agger nasi. Pada intraoperatif, agger nasi dibuka pada 9 subjek. Terdapat kesepakatan yang substansial dengan κ = 0,800; p = 0,005. Satu pasien tidak menunjukkan penempatan, namun agger nasi dibuka karena kesulitan mengakses sakus lakrimal yang disebabkan oleh sudut proses frontal maksila.
Kesimpulan: Evaluasi aposisi agger nasi terhadap sakus lakrimal dapat dilakukan secara rutin. Terdapat kesepakatan yang substansial antara pemeriksaan radiologi dan temuan intraoperatif mengenai pembukaan agger nasi.

Background: Proper access to the lacrimal sac is crucial in endoscopic DCR procedures in nasolacrimal duct obstruction. This structure can be obstructed by the presence of the agger nasi, which may complicate the surgery and increasing failure rate.
Objectives: To determine the anatomical variations of the agger nasi in relation to the lacrimal sac using CT scan and comparing it with its opening.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted on 11 subjects diagnosed with primary acquired nasolacrimal duct obstruction. The subjects underwent CT to assess the presence of the agger nasi and its apposition to the lacrimal sac. Endoscopic dacryocystorhinostomy was performed, and the operator assessed whether the agger nasi needed to be opened or not to access the lacrimal sac. Statistical analysis using Cohen's Kappa was conducted to evaluate the agreement between the two findings.
Results: Out of the 13 subjects, 12 out of 13 were female. Agger nasi was found in 12 out of 13 subjects. In radiological examination, 8 out of 12 subjects showed apposition of the lacrimal sac with the agger nasi. Intraoperatively, the agger nasi was opened in 9 subjects. There was substantial agreement with a κ = .800; p = .005. One patient did not show apposition, however agger nasi was opened due to difficulty in accessing the lacrimal sac caused by the angulation of the frontal process of the maxilla.
Conclusion: Evaluation of the apposition of the agger nasi to the lacrimal sac can be routinely performed. There is substantial agreement between radiological examination and intraoperative findings regarding the opening of the agger nasi.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwie Aprina
"Latar Belakang: Lensa kontak lunak (LKL) torik digunakan untuk mengkoreksi astigmatisma. LKL torik mengkombinasikan kekuatan lensa sferis, kekuatan dan aksis silinder. Dikarenakan banyaknya kombinasi yang mungkin antara ketiga hal tersebut, LKL torik diproduksi dengan kekuatan dan aksis yang terbatas. Keterbatasan LKL Torik yang tersedia di pasaran menyebabkan peresepan LKL torik pada penyandang astigmatisma tidak sesuai dengan kekuatan dan aksis yang seharusnya. Studi oleh Sha et al. meneliti efek ketidaksesuaian kekuatan dan aksis silinder pada penyandang astigmatisma menggunakan kacamata tanpa memperhatikan jarak verteks, hasilnya didapatkan penurunan ketajaman dan kualitas penglihatan pada ukuran dan aksis tertentu.
Tujuan: Melakukan evaluasi atas perubahan kekuatan dan aksis silinder LKL Torik pada penyandang astigmatisma ringan-sedang dalam pengaruhnya terhadap kualitas penglihatan, kepuasan, dan vision acceptability.
Metodologi: Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik komparatif numerik berpasangan dengan desain penelitian eksperimental dengan double-masking. Dalam uji ini, 20 penyandang astigmatisma diuji untuk kondisi berikut pada hari yang berbeda: koreksi silinder penuh dan pengurangan kekuatan silinder sebesar 0,50, dan 1.0 D. Dilakukan ketidaksejajaran aksis antara –10° dan +10° pada setiap perubahan kekuatan silider. Pada setiap kunjungan, dilakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan dengan Snellen chart, sensitivitas kontras menggunakan Pelli-Robson, serta penilaian kejernihan, kepuasan dan Vision Acceptability menggunakan metode VAS.
Hasil: Pengurangan kekuatan silinder memiliki perubahan yang signifikan (P<0.05) terhadap semua variabel. Secara keseluruhan, pengurangan kekuatan silinder 1 D lebih memiliki pengaruh (P<0.005) dibandingkan dengan pengurangan kekuatan silinder 0,5 D. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok astigmatisma derajat ringan dan sedang, kecuali pada variabel ketajaman penglihatan saat dikurangi kekuatan silinder 0.5 D. Ketidaksesuaian aksis dengan menambah atau mengurangi aksis sebesar 10 derajat memiliki pengaruh yang signifikan pada semua variabel, kecuali sensitivitas kontras (P>0.05).
Kesimpulan: Pengurangan kekuatan silinder LKL torik sebesar 0,5 dan 1 Dioptri serta perubahan aksis  100 memberikan penurunan yang signifikan terhadap ketajaman penglihatan, sensitivitas kontras, kejernihan, kepuasan dan vision acceptability pada penyandang astigmatisma ringan-sedang. Keywords: Astigmatisma, lensa kontak lunak, lensa kontak lunak torik, ketidaksesuaian aksis, kualitas penglihatan

Background: Toric soft contact lenses (SCL) are used to correct astigmatism. Toric SCL combines the power of a spherical lens, the power and axis of a cylinder. Due to the numerous possible combinations between sphere powers, cylinder powers, and cylinder axes, manufacturers of disposable soft toric contact lenses limit their toric lens range. Because of the limitation, the prescribing of Toric SCL for astigmatism is not in accordance with the power and axis that should be. The study by Sha et al. examined the effect of discrepancies in the power and axis of the cylinder in astigmatism using glasses regardless of the vertex distance, the result was a decrease in visual acuity and quality at certain power and axis.
Objective: To evaluate the changes in the power and axis of SCL Toric in mild-moderate astigmatism in impact on vision quality, satisfaction, and vision acceptability.
Methods: In comparative analytic, experimental, double-masking design, 20 people with astigmatism were tested for the following conditions on different days: full cylinder correction and under correction of cylinder power by 0.50 and 1.0 D. Axis was also misaligned between –10° and +10° for each change in cylinder power. For each configuration, participants were examined their visual acuity by Snellen chart, contrast sensitivity with Pelli-Robson Chart, and assessed clarity, satisfaction and vision acceptability using the VAS method.
Results: Undercorrecting cylinder power had a significant change (P<0.05) on all variables. Overall, undercorrection by 1 D was more significantly different (P<0.005) than a reduction in cylinder power of 0.5 D. There was no significant difference between the mild and moderate astigmatism groups, except for the visual acuity when undercorrection by 0.5 D. Misalignment by 100 had a significant effect on all variables, except contrast sensitivity (P>0.05).
Conclusion: Undercorrection of cylinder of toric SCL by 0.5 and 1 D as well as misalignment of 100 had a significant effect on visual acuity, contrast sensitivity, clarity, satisfaction and vision acceptability in people with mild to moderate astigmatism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuri Dwi Mayasari
"Glaukoma merupakan suatu kelompok neuropati optik progresif yang ditandai dengan kelainan struktural dan fungsi saraf optik. Fungsi penglihatan yang paling terganggu pada penderita glaukoma adalah lapang pandangan. Pemeriksaan perimetri berguna untuk mengidentifikasidan mengukur defek lapang pandangan serta memperkirakan progresivitas glaukoma. Aplikasi perimetri berbasis tablet atau website sangat berguna untuk pemantauan pasien selama pandemi Covid-19 dan dapat digunakan di daerah terpencil dengan keterbatasan alat Humphrey Field Analyzer (HFA). Perimetri Melbourne Rapid Fields (MRF) merupakan teknologi baru yang terjangkau, mudah dibawa dan andal, serta dapat memberikan manfaat yang sama dengan perimetri HFA. 
Tujuan: Menilai kesesuaian hasil perimetri MRF terhadap HFA pada pasien glaukoma derajat sedang– berat dengan tajam penglihatan terganggu. Metode: Penelitian observasional dengan desain potong lintang untuk menilai hubungan tajam penglihatan terhadap kesesuaian hasil perimetri MRF 24-2 dibandingkan dengan HFA 24-2 pada pasien glaukoma derajat sedang-berat. Dilakukan pengelompokan subjek ke dalam dua grup berdasarkan tajam penglihatan. Setiap subjek dilakukan pemeriksaan dengan dua macam alat, urutan pemeriksaan dilakukan randomisasi blok. Pemeriksaan perimetri HFA sebanyak satu kali dan pemeriksaan MRF sebanyak dua kali. Hasil pemeriksaan yang memenuhi kriteria dilakukan analisis komparatif, korelasi, kesesuaian, serta test-retest repeatability. 
Hasil: Total 64 mata dari 57 subjek terbagi dalam dua kelompok. Durasi pemeriksaan MRF lebih singkat dibanding HFA (265,7 ± 26,6 vs 384,4 ± 46,7, p < 0,001). Tidak terdapat perbadaan bermakna pada indeks reliabilitas kedua alat. MRF menunjukkan korelasi dan kesesuaian yang sangat kuat dan baik dengan HFA (R = 0,931, ICC = 0,957, p < 0,001 pada hasil mean deviation (MD) dan R = 0,941, ICC = 0,974, p < 0,001 pada hasil Visual Field Index (VFI)). Test-retest repeatability MRF menunjukkan korelasi dan kesesuaian yang sangat baik (R = 0,948, ICC = 0,989, p < 0,001 pada hasil MD dan R = 0,946, ICC = 0,989, p < 0,001 pada hasil Visual Capacity (VC)). Tidak didapatkan korelasi antara tajam penglihatan dengan Root Mean Squared Error (RMSE) hasil MRF, p > 0,05. 
Kesimpulan: Hasil perimetri MRF memiliki korelasi yang sangat kuat dnegan HFA. MRF juga menunjukkan hasil test-retest repeatability yang sebanding dengan HFA.Keakuratan hasil MRF tidak berkorelasi dengan perbedaan tajam penglihatan.

Background: Glaucoma is a group of progressive optic neuropathy characterized by structural and functional abnormalities of the optic nerve. The most impaired visual function in glaucoma sufferers is the visual field. Perimetric examination is useful for identifying and measuring visual field defects and predicting the progression of glaucoma. Tablet or website-based perimetry applications are very useful for monitoring patients during the Covid-19 pandemic and can be used in remote areas with limited Humphrey Field Analyzer (HFA) perimetry. Melbourne Rapid Fields (MRF) is a new perimetry technology that is affordable, portable and reliable, also can provide the same benefits as HFA perimetry.
Objective: To assess the agreement of MRF perimetry results with HFA in moderate to severe glaucoma patients with impaired visual acuity.
Methods: Observational study with a cross-sectional design to assess the relationship of visual acuity to the agreement of perimetry MRF 24-2 versus HFA 24-2 in patients with moderate-to-severe glaucoma. Subjects were grouped into two groups based on visual acuity. Each subject was examined with two kinds of perimetry, the order of examination was randomized using block randomization. Participants were tested once on HFA and twice on MRF. Examination results that meet the criteria are analyzed for comparative, correlation, agreement, and test-retest repeatability
Results: A total of 64 eyes from 57 subjects were divided into two groups. MRF examination duration was shorter than HFA (265.7 ± 26.6 vs 384.4 ± 46.7, p < 0.001). There is no significant difference in the reliability index of the two perimetry. MRF showed a very strong and good correlation and agreement with the HFA (R = 0.931, ICC = 0.957, p < 0.001 in the mean deviation (MD) and R = 0.941, ICC = 0.974, p < 0.001 in the results of the Visual Field Index (VFI)). The MRF test-retest repeatability showed a very good correlation and agreement (R = 0.948, ICC = 0.989, p < 0.001 on the MD and R = 0.946, ICC = 0.989, p < 0.001 on the Visual Capacity (VC)). There was no correlation between visual acuity and Root Mean Squared Error (RMSE) MRF, p > 0.05. 
Conclusion: The perimetry results from MRF have a very stong correlation to the HFA outcomes. MRF reveals test-retest repeatability comparable to HFA. The accuracy of MRF results did not correlate with differences in visual acuity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>