Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Amin Rais Perfernandi Ilham
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Prevalensi BPPV cukup tinggi dan BPPV mengganggu kualitas hidup penderitanya. Saat ini, belum ada penelitian mengenai faktor-faktor yang terkait dengan BPPV di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian penyakit BPPV yang ditemukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan sumber data berasal dari data sekunder berupa rekam medik pasien Poliklinik Diagnostik Neurooftalmologi/Neurootologi Departemen Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Ada tujuh variabel yang dicari keterkaitannya dengan kejadian BPPV yaitu usia, jenis kelamin, diabetes mellitus, hipertensi, migrain, gangguan pendengaran, dan riwayat trauma kepala. Penelitian ini membandingkan antara faktor tersebut pada pasien BPPV dengan pasien dizziness non-BPPV dengan perbandingan 1:1. Data dianalisis dengan uji chi-square. Hasil: Sebanyak 472 data pasien dianalisis, 94,9% dari 236 penderita BPPV memiliki setidaknya satu faktor yang diteliti. Empat dari tujuh variabel (jenis kelamin, migrain, gangguan pendengaran, dan riwayat trauma kepala) memiliki nilai p < 0,05 dengan adjusted OR > 1. Kesimpulan: Jenis kelamin perempuan, migrain, gangguan pendengaran, dan riwayat trauma kepala memiliki keterkaitan dan merupakan faktor risiko untuk kejadian BPPV.
ABSTRACT Background: BPPV prevalence is quite high and BPPV impairs quality of life of its sufferers. Right now, there is no research about factors associated with BPPV incidence at Cipto Mangunkusumo National Hospital yet. Objective: This research was done to know factors that are associated with BPPV incidence at Cipto Mangunkusumo National Hospital. Methods: The study used a cross sectional design with data sources derived from secondary data in the form of medical records of Neuroophthalmology / Neurootology Diagnostic Polyclinic patients in the Department of Neurology, Cipto Mangunkusumo National Hospital. There are seven variables that are searched for its association with BPPV, namely age, sex, diabetes mellitus, hypertension, migraine, hearing loss, and history of head trauma. This study compared these factors in BPPV patients with non-BPPV dizziness patients in a ratio of 1: 1. Data were analyzed by chi-square test. Results: A total of 472 patient data were analyzed, 94.9% of 236 patients with BPPV have at least one factor studied. Four of the seven variables (gender, migraine, hearing loss, and history of head trauma) had p value <0.05 with adjusted OR > 1. Conclusion: Female, migraine, hearing loss and history of head trauma are related and are risk factors for BPPV.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Kusumadewi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Defisiensi vitamin-D dapat terjadi pada sklerosis multipel MS dan neuromielitis optik (NMO), dan dapat berpengaruh terhadap proses imunologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar serum vitamin-D-25 (OH) pada orang dengan penyakit demielinisasi sistem saraf pusat dibandingkan dengan kontrol sehat. Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada November 2016 sampai Mei 2017. Pada sampel dikumpulkan data kebiasaan makan, suplementasi vitamin-D, paparan sinar matahari, terapi medikamentosa, jumlah relaps per tahun, dan expanded disability status scale (EDSS). Kadar serum vitamin-D-25(OH) diukur menggunakan metode direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA). Hasil. Tiga puluh dua pasien (18 MS dan 14 NMO) dan 33 kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Jumlah laki-laki pada kelompok studi dan kontol adalah 12,5% dan 15,2%. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D-25(OH) (<30ng/mL) didapatkan pada 90,6% pasien di kelompok studi. Tidak didapatkan perbedaan kadar vitamin-D-25(OH) yang bermakna antara kelompok studi dan kontrol dengan median rentang adalah 17(5.2-71.6)ng/ml dan 15.7(5.5-34.4)ng/ml. Hasil tersebut tidak diduga, karena 50 pasien mendapatkan suplementasi vitamin D lebih dari 400IU. Terapi kortikosteroid juga ditemukan berpengaruh terhadap kadar vitamin-D-25(OH). Kadar vitamin-D-25(OH) tidak berhubungan dengan EDSS.Kesimpulan. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D didapatkan pada orang dengan MS dan NMO di Jakarta, namun kadarnya tidak berhubungan dengan EDSS. Tenaga kesehatan juga perlu mewaspadai rendahnya kadar vitamin-D pada pasien yang menggunakan kortikosteroid. Kontrol normal juga memiliki kadar vitamin-D yang rendah walaupun tinggal di negara dengan paparan sinar matahari yang cukup. Temuan ini menunjukkan risiko kekurangan vitamin-D pada masyarakat yang tinggal di Jakarta.
ABSTRACT
Introduction. Vitamin-D-25(OH) deficiency is common in Multiple Sclerosis (MS) and Neuromyelitis Optic (NMO) patients and can affect the immunological process. We performed study to evaluate serum vitamin-D-25(OH) levels in MS and NMO patients compared to healthy control. Methods. This is a cross sectional study done in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from November 2016 May 2017. We reviewed dietary recall, vitamin-D supplementation, sun exposure, medication, annual relapse rate and expanded disability status scale (EDSS). Vitamin-D-25(OH) level was measured using direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA). Results. Thirty two patients (18 MS and 14 NMO) and 33 controls were enrolled. Male patients and controls were 12,5% and 15,2%, respectively. Vitamin-D insufficiency and deficiency (<30ng mL) among patients reached 90,6% and not associated with EDSS. It was not significantly different between patients and control, with median (range) 17(5.2-71.6)ng/ml and 15.7(5.5-34.4)ng/ml respectively. The result was unexpected because 50 patients received vitamin-D supplementation. Corticosteroid used also influenced the vitamin-D levels. Conclusion. Vitamin-D insufficiency and deficiency was common in MS and NMO patients in Jakarta but not associated with EDSS. Practitioners need to be alert to vitamin-D low level particularly in patients using corticosteroid. Healthy control also had low vitamin-D concentrations though they lived in a sufficient sun exposure country. This finding suggests a risk of vitamin-D deficiency among community living in Jakarta.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfa Indah Kemalahayati Fadli
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Cerebral small vessel disease CSVD merupakan salah satu subtipe stroke iskemik dengan prevalensi tertinggi 45 .1,2 Penyakit ini menyerang pembuluh darah dengan diameter < 50 ?m.3 Manifestasi klinis CSVD yang tersering adalah gangguan fungsi kognitif 45 . Pada pemeriksaan MRI, salah satu lesi CSVD yang paling sering ditemukan adalah white matter hyperintensities WMH .4 Lesi WMH diketahui berhubungan dengan gangguan aliran vena jugularis interna VJI .5 Penelitian tentang gambaran aliran VJI pada CSVD belum pernah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai gambaran aliran kecepatan dan debit VJI pada CSVD dengan gangguan fungsi kognitif.Metode: Studi potong lintang pada 40 pasien CSVD yang memiliki gangguan fungsi kognitif dan gambaran WMH pada pemeriksaan MRI. Instrumen pemeriksaan kognitif yang digunakan adalah MoCA-Ina, TMT-A, TMT-B dan Grooved Peg Board. WMH diklasifikasikan berdasarkan skala Fazekas. Pemeriksaan aliran VJI bilateral dilakukan menggunakan Ultrasonografi Doppler ada posisi berbaring 0 dan berdiri 90 . Parameter yang dinilai adalah area penampang, kecepatan dan debit aliran. Sebagai pendalaman, hasil pengukuran parameter aliran VJI dibandingkan dengan penelitian terdahulu pada orang sehat.6Hasil: Sebanyak 40 subjek dengan rerata usia 60,8 9,0 tahun ikut serta dalam penelitian. Ranah kognitif yang terganggu pada CSVD adalah memori, fungsi eksekutif, dan kecepatan psikomotor. Berdasarkan derajat lesi, yang terbanyak adalah Fazekas 1 yaitu 67,5 . Area penampang VJI kanan dan kiri lebih kecil pada saat berdiriABSTRACT
Background Cerebral Small Vessel Disease CSVD is a subtype of ischemic stroke with the highest prevalence 45 .1.2 It affects blood vessels 50 m in diameter.3 The most common clinical manifestations of CSVD is cognitive dysfunction 45 . On MRI examination, one of the most common CSVD lesions is white matter hyperintensities WMH .4 WMH is known to be associated with internal jugular vein IJV flow abnormalities.5 Studies of IJV flow profile in CSVD have not been performed. The aim of this study is to assess the flow and velocity of the IJV in CSVD.Methods Cross sectional studies of 40 CSVD patients with cognitive dysfunction and WMH lesion on MRI examination. The cognitive instruments used are MoCA Ina, TMT A, TMT B and Grooved Peg Board. WMH is classified based on the Fazekas scale. Bilateral IJV flow examination was performed using Doppler Ultrasound at supine 0 and standing 90 . The parameters assessed are the cross sectional area, flow and velocity. For further analysis, the results of IJV flow in CSVD are compared with previous studies on healthy volunteers.6Results A total of 40 subjects with the age of 60.8 9.0 years participated in the study. Impaired cognitive domains are memory, psychomotor, and executive function. The majority of lesional degrees are Fazekas 1 67.5 . The cross sectional area of the bilateral IJV are smaller at standing p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58970
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Diyah Nuraini
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Tumbuh kembang anak dapat dinilai dari kemampuan Adaptasi, Personal Sosial, Motorik, Komunikasi, dan Kognitif. Pemeriksaan tumbuh kembang yang sering dilakukan di Indonesia adalah Kuesioner Praskrining Perkembangan (KPSP), Denver II dan pemeriksaan Bayley III. Battelle Development Inventory II (BDI II) sudah banyak digunakan secara luas di Indonesia, namun belum dilakukan validasi hingga saat ini. Tujuan. Uji Validasi instrumen Battelle Development Inventory II versi Bahasa Indonesia Metode: Penelitian potong lintang pada 30 subyek dengan menilai hasil pemeriksaan profil tumbuh kembang anak yang meliputi domain Adaptasi, Personal Sosial, Motorik, Komunikasi, dan Kognitif. Hasil: Telah dilakukan proses penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dan dilakukan penerjemahan kembali ke dalam Bahasa Inggris sebagai salah satu rangkaian uji Validitas Konten, dengan dilakukan penilaian oleh tim Ahli Fungsi Luhur dan Neuropediatri dengan hasil yang valid ( Kappa > 0.8) Uji instrumen validitas dilakukan pada masing masing subdomain didapatkan bahwa koefisien korelasi antar domain dalam BDI II dan antara sub domain dengan nilai total domainnya memiliki hasil yang valid (p<0.05). Kesimpulan: BDI II versi Indonesia valid untuk digunakan sebagai instrumen penilaian tumbuh kembang anak di Indonesia untuk pemeriksaan tumbuh kembang anak.
ABSTRACT
Introduction: Child development can be assessed from adaptive, motor, communication, cognitive, and personal social abilities. Examination of children's growth that is often carried out in Indonesia is Kuesioner Praskrining Perkembangan (KPSP), Denver II and Bayley III examination. Battelle Development Inventory II (BDI II) has been widely used in Indonesia, but has not been validated to date. Purpose: Validation BDI II Indonesia Language version Methods: In this cross-sectional study. data collected from the examination the profile of children's growth and development of 30 subject, included the domain of adaptation, personal social , motoric, communication, and cognitive. Results: The translation process into Indonesian and back translation into English as one of a series of Content Validity tests, with an assessment by the expert Neurobehaviour and Neuropediatrician with valid results (Kappa> 0.8) Test of validity performed on each subdomain was found that the correlation coefficients between domains in BDI II and between sub domains with the total domain values ​​had valid results (p <0.05) and have a strong correlation (r> 0.8) Conclusion: The Indonesian version of Battelle Develompent Inventory II (BDI II) is valid for use as an assessment instrument for child growth in Indonesia for the examination of child growth and development.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Nurul Hanifa
Abstrak :

Latar Belakang. Kualitas tidur buruk merupakan salah satu komorbiditas yang sering terjadi pada pasien dengan HIV. Secara khusus, populasi pasien dengan HIV lebih rentan untuk memiliki kualitas tidur yang buruk yang diakibatkan oleh berbagai faktor yaitu efek samping terapi antiretroviral, psikososial,dan gangguan imunitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kualitas tidur buruk pada pasien dengan HIV dalam terapi antiretroviral (ARV) dan faktor-faktor yang berhubungan.

Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada September 2016 sampai Februari 2017. Kriteria inklusi adalah pasien dengan HIV dewasa yang mengkonsumsi terapi antiretroviral selama minimal 12 bulan. Kualitas tidur ditentukan dengan kuesioner Pittsburgh sleep quality index (PSQI) yang terdiri dari 9 pertanyaan, dengan skor >5 menunjukkan kualitas tidur buruk. Risiko tinggi obstructive sleep apnea (OSA), excessive daytime sleepiness (EDS), dan depresi diperiksa dengan kuesioner Berlin, Epworth sleepiness scale (ESS) and Hamilton depression rating scale (HDRS).

Hasil. Sembilan puluh empat subjek dalam penelitian, berusia antara 20 hingga 59 tahun, sebagian besar subjek 72,3 % adalah laki-laki, 80,9% subjek memiliki viral load terakhir tidak terdeteksi dan 84,9% subjek hitung sel limfosit CD4+ terakhir >200 sel/m3. Didapatkan proporsi kualitas tidur buruk 53,2% subjek, risiko tinggi OSA 8,5% dan EDS 9,6%. Pada analisis univariat, risiko tinggi OSA dan depresi merupakan faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk. Depresi merupakan faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada analisis mulitavirat (OR 4.4; IK 95% 1.7-11.4). Sedangkan, faktor lain seperti demografi, status imunologi dan virologi tidak berhubungan secara signifikan dengan kualitas tidur.

Kesimpulan. Kualitas tidur buruk sering terjadi pada pasien dengan HIV dalam terapi antiretroviral. OSA dan depresi merupakan faktor yang harus diwaspadai pada pasien HIV dengan kualitas tidur buruk. Oleh karena itu, skrining kualitas tidur, depresi dan OSAharus dilakukan secara rutin pada pasien dengan HIV.


Background: Poor quality of sleep is one of the common comorbidities in HIV patients. Patients with HIV are particularly vulnerable to poor sleep quality due to multiple factors, including antiretroviral side effects, psychosocial, and immune dysfunction. The aim of this study is to determine the proportion of poor quality of sleep in HIV patients on antiretroviral therapy (ART) and associated factors.

Materials and Method: This was a cross sectional study in Cipto Mangunkusumo Hospital during September 2016 to February 2017. Inclusion criteria were HIV adult patients on ART for minimum of 12 months. Quality of sleep was determine based on 9 items self-administered questionnaire Pittsburgh sleep quality index (PSQI), with score >5 represents poor sleep quality. High risk of obstructive sleep apnea (OSA), excessive daytime sleepiness (EDS) and depression were assessed by Berlin questionnaire, Epworth sleepiness scale (ESS) and Hamilton depression rating scale (HDRS), respectively.

Results: Among 94 subjects, age ranging from 20-59 years old, 72.3% were male, 80.9% had current viral load undetected and 84.9% had current CD4+ lymphocyte >200 cells/m3. Proportion of poor sleep quality, high risk of OSA and EDS were 53.2%, 8.5% and 9.6%, respectively. High risk of OSA and depression were associated with poor sleep quality on univariate analysis. However, depression was the only factor that associated with poor sleep quality (OR 4.4; 95% CI 1.7-11.4) on multivariate analysis. Other factors such as demographic, immunology and virology status were not significantly associated with sleep quality.

Conclusion: Poor sleep quality is common among HIV patients on ART. Obstructive Sleep Apnea and depression were factors that should be aware of in HIV patient with poor sleep quality. Therefore, screening of sleep quality, depression and OSA should be performed routinely on HIV patients.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusfiatra
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Gangguan sustained attention merupakan gangguan kognitif yang paling sering terjadi pascacedera kepala, yang akan mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas kerja pasien dan faktor yang mempengaruhinya belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi gangguan sustained attention visual dan auditorik pascacedera kepala dan faktor yang mempengaruhinya.Metode : Studi ini dilakukan secara potong lintang deskriptif pada pasien pascacedera kepala di IGD, Ruang Rawat dan Poliklinik Neurologi RSCM bulan Oktober 2016 - Januari 2017. Faktor yang dianalisis adalah derajat cedera kepala, dan gambaran CT scan kepala berupa jumlah lesi dan lokasi lesi. Penilaian sustained attention visual dilakukan dengan pemeriksaan Ruff 2 7 Selective Attention Test RSAT dan penilaian sustained attention auditorik dengan lsquo;A rsquo; Random Letter Test. Gangguan sustained attention visual ditetapkan jika T Score Total Speed atau T Score Total Accuracy < 40. Gangguan sustained attention auditorik ditetapkan jika terdapat kesalahan > 2 pada lsquo;A rsquo; Random Letter Test.Hasil : Diantara 38 orang subjek pascacedera kepala, didapatkan prevalensi gangguan sustained attention visual sebesar 60,5 dan gangguan sustained attention auditorik sebesar 57,9 . Subjek cedera kepala sedang 55,3 memiliki potensi risiko 15,7 kali mengalami gangguan sustained attention dibandingkan cedera kepala ringan 34,2 IK 95 1,21-204,5 . Subjek dengan lesi fokal di hemisfer bilateral 23,7 memiliki potensi risiko 7,92 kali mengalami gangguan sustained attention dibandingkan subjek dengan CT scan normal 50 IK 95 1,19-131,54 .Kesimpulan : Gangguan sustained attention banyak dijumpai pascacedera kepala. Cedera kepala sedang dan lesi fokal di hemisfer bilateral merupakan faktor yang mempengaruhi gangguan sustained attention
ABSTRACT
Background Impaired sustained attention is the most common cognitive impairment after head injury, which will affect quality of life and work productivity. Its influencing factors are yet to be known. The objective of this study is to determine the prevalence of impaired visual and auditoric sustained attention as well as its associated factors.Methods This was a descriptive, cross sectional study performed on patients after head injury in the emergency unit, inpatient unit, and outpatient unit of Cipto Mangunkusumo Hospital from October 2016 to January 2017. We analyzed the degree of injury as well as head CT scan, including amount of lesion and location of lesion. Visual sustained attention was evaluated using the Ruff 2 and 7 Selective Attention Test, whereas auditoric sustained attention was evaluated using lsquo A rsquo Random Letter Test. Impaired visual sustained attention was established if the Total Speed T Score or Total Accuracy T Score was
2017
T55607
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Astiny
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit Parkinson merupakan suatu kondisi neurodegeneratif kronik progresif dengan gejala motorik dan nonmotorik. Gejala nonmotorik yang paling sering ditemukan pada penyakit Parkinson adalah gangguan tidur dengan prevalensi sebanyak 65-95 . Scales for Outcome in Parkinson rsquo;s Disease Sleep SCOPA-SLEEP adalah kuesioner tidur yang terdiri dari skala nighttime scale NS , daytime scale DS , dan skala penilaian kualitas tidur. Kuesioner ini digunakan untuk menapis dan menilai derajat keparahan gangguan tidur pada penyakit Parkinson yang direkomendasikan oleh Movement Disorder Society MDS . Tujuan: Mendapatkan instrumen SCOPA-SLEEP versi bahasa Indonesia yang valid dan reliabel.Metode: Tiga puluh tujuh pasien penyakit Parkinson di Poliklinik Neurologi dan Geriatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian potong lintang ini. Pasien mengisi kuesioner SCOPA-SLEEP sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 1 minggu. Konsep yang digunakan untuk uji validitas SCOPA-SLEEP INA adalah validasi lintas budaya menurut metode World Health Organization WHO . Uji reliabilitas dinilai menggunakan nilai alpha Cronbach.Hasil: SCOPA-SLEEP INA telah melalui validasi lintas budaya menurut WHO dengan nilai koefisien korelasi Spearman berkisar antara 0,479-0,880 pada pemeriksaan pertama dan 0,359-0,899 pada retest. Nilai alpha Cronbach pada pemeriksaan pertama adalah 0,827 untuk skala NS dan 0,723 untuk skala DS. Pada retest nilai alpha Cronbach untuk skala NS adalah 0,853 dan 0,592 untuk skala DS. Kesimpulan: SCOPA-SLEEP INA valid dan reliabel untuk digunakan sebagai instrumen penapis dan penilai gangguan tidur pada penyakit Parkinson.
ABSTRACT Background Parkinson rsquo s disease PD is a chronic progressive neurodegenerative disease with motor and non motor symptoms. Sleep disorders are the most common non motor symptoms in PD with prevalence of 65 95 . Scales for Outcome in Parkinson rsquo s Disease Sleep SCOPA SLEEP is a sleep questionnaire which consist of nighttime scale NS , daytime scale DS , and quality of sleep scale. It is recommended by Movement Disorder Society MDS to screen and assess the severity of sleep disorders in PD.Aim To gain a valid and reliable Indonesian version of SCOPA SLEEP instrument.Method Thirty seven PD patients in the Neurology and Geriatric clinic of Cipto Mangunkusumo hospital which fulfilled the inclusion criteria were included in this cross sectional study. These patients answered the SCOPA SLEEP twice with 1 week interval. The concept of validity study test of SCOPA SLEEP INA was transcultural validation based on World Health Organization WHO method. Reliability study test was assessed by Cronbach rsquo s alpha score.Results SCOPA SLEEP INA had transcultural validation based on WHO method with Spearman rsquo s correlation coefficient scores ranged from 0.479 to 0.880 in first test and 0.359 0.899 in the retest. Cronbach rsquo s alpha score in first test were 0.827 for NS scale and 0.723 for DS scale, respectively. In the retest, they were 0.853 for NS scale and 0.592 for DS scale, respectively.Conclusion SCOPA SLEEP INA is a valid and reliable instrument to be used as instrument in screening and assessing sleep disorders in PD.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anne Dina Soebroto
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Indonesia memiliki angka kejadian Cerebral Small Vessel Disease CSVD yang tinggi yaitu 45 dari kesuluruhan stroke iskemik dengan hipertensi sebagai faktor risiko utama. CSVD menyebabkan disabilitas fungsi kognitif dan sampai saat ini diagnosisnya tergantung pada pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging MRI . CSVD merupakan gangguan mikrosirkulasi intrakranial dimana struktur ini memiliki homogenitas mikrovaskular dengan retina. Oleh karena itu nilai kecepatan aliran arteri sentralis retina ASR dapat menggambarkan aliran mikrovaskular intrakranial pada penderita CSVD.Metode: Penelitian ini merupakan studi asosiatif potong lintang yang bersifat analitik. Evalusasi dilakukan terhadap 39 subyek penelitian yang merupakan pasien hipertensi yang masuk dalam kriteri inklusi. Setiap pasien dilakukan pemeriksaan MRI kepala, fungsi kognitif melalui pemeriksaan MoCA-INA, trail-making test A B dan groove pegboard dan kecepatan aliran ASR melalui pemeriksaan Orbital Doppler Ultrasound.Hasil: CSVD didapatkan pada 79.5 subyek penelitian. PFV ASR pada subyek penelitian 17,93 7,1-42,58 cm/s cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai normal 10.3 2.1 6.4-17.2 cm/s . Pada subyek dengan CSVD sebanyak 74,2 mengalami gangguan fungi kognitif dan peningkatan PFV ASR. Tidak terdapat hubungan bermakna antara PFV dengan ada tidaknya CSVD. Selain itu juga tidak ditemukan hubungan bermakna antara PFV dengan ada tidaknya gangguan fungsi kognitif. Terdapat kecenderungan peningkatan PSV pada CSVD dan gangguan fungsi kognitif.Kesimpulan: Perubahan kecepatan aliran ASR dapat memberikan gambaran CSVD dan gangguan fungsi kognitif pada penderita hipertensi.
ABSTRACT<>br> Background Indonesia has a high number of incidents of Cerebral Small Vessel Disease CSVD , i.e. 45 of the total ischemic stroke with hypertension as the main risk factor. CSVD led to disability in cognitive functions and up until now the diagnosis is based on the Magnetic Resonance Imaging MRI . CSVD is an intracranial microcirculation disturbance in which such structure has a microvascular homogeneity with the retina. Thus, the flow velocity of the Central Retinal Artery CRA may be feasible to reflect the intracranial microvascular flow to CSVD patients.Method This research was an analytic associative cross sectional study. This evaluation was done to 39 research subjects which were hypertension patients within inclusion criteria. Each patient undergone a head MRI, Cognitive functions through MoCA INA test, Trail making test A B and Groove Pegboard and CRA flow velocities evaluation through an Orbital Doppler Ultrasound.Result CSVD was found on 79,5 of research subjects. PFV of CRA on research subjects 17,93 7,1 42,58 cm s tend to be higher than normal levels 10.3 2.1 6.4 17.2 cm s . In subjects with CSVD as much as 74.2 had impaired cognitive function and increased PFV of CRA. There was no significant correlation between PFV of CRA and the existence of CSVD. There was also no significant correlation between PFV of CRA and the presence of cognitive function impairment. There was a tendency of increased PFV of CRA on CSVD and cognitive function impairment.Conclusion Changes in PFV of CRA may reflect CSVD and cognitive function disturbance on hypertension patients.
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library