Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adriana Lukmasari
"Latar belakang: Intubasi endotrakeal merupakan tindakan yang cukup rumit dan memiliki risiko tinggi. Intubasi endotrakeal neonatus memiliki angka keberhasilan yang rendah pada percobaan pertama (first attempt) yaitu 20,3% dikarenakan kondisi desaturasi atau bradikardia. Angka mortalitas dan gangguan neurodevelopmetal meningkat pada neonatus yang gagal pada percobaan pertama intubasi. Penggunaan teknik HFN sebagai oksigenasi tambahan saat percobaan intubasi terbukti meningkatkan keberhasilan intubasi endotrakeal neonatus akan tetapi teknik tersebut memerlukan perangkat tambahan yang tidak selalu tersedia di fasilitas kesehatan. Teknik oksigenasi tambahan berupa VTP nasal dengan kanula RAM belum pernah diteliti.
Tujuan: Untuk mengetahui efikasi ventilasi tekanan positif nasal dengan kanula RAM terhadap keberhasilan intubasi endotrakeal bayi prematur.
Metode: Uji klinis terbuka yang dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni 2024. Sampel penelitian adalah bayi prematur usia gestasi ≥ 25 minggu sampai 34 minggu dengan asfiksia berat atau distres napas berat atau apnea yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan randomisasi dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol (VTP standar) dan kelompok perlakuan (VTP standar yang ditambahkan VTP nasal dengan kanula RAM).
Hasil: Terdapat 78 sampel yang terdiri dari 39 kelompok perlakuan dan 39 kelompok kontrol. Keberhasilan intubasi pada kelompok perlakuan adalah 84,6% dibandingkan kelompok kontrol 41% dengan nilai Absolute Risk Reduction (ARR) 44% dan Number Need to Treat (NNT) 2. Kejadian desaturasi pada kelompok perlakuan adalah 10,3% dibandingkan kelompok kontrol 59% dengan nilai Absolute Risk Reduction (ARR) 49% dan Number Need to Treat (NNT) 2. Rerata rentang waktu sampai terjadi desaturasi pada kelompok perlakuan sebesar 46 detik dibandingkan kelompok kontrol 29,74 (p=0,142).
Kesimpulan: VTP nasal dengan kanula RAM meningkatkan keberhasilan intubasi endotrakeal neonatus dan mengurangi desaturasi. Rerata rentang waktu sampai terjadi desaturasi secara klinis bermakna antara kedua kelompok penelitian.

Background: Endotracheal intubation in neonates is a complex and risky procedure, with a low initial success rate of 20.3% primarily due to desaturation or bradycardia. Neonates who fail in the first attempt of endotracheal intubation are at increased risk of mortality and neurodevelopmental disorders. High-flow nasal (HFN) techniques have been shown to enhance the success of neonatal endotracheal intubation, but their implementation may be limited by the availability of necessary equipment in healthcare settings. Additional oxygenation techniques such as Nasal Positive Pressure Ventilation (PPV) through a RAM cannula in neonatal endotracheal intubation has not been studied.
Objective: To evaluate the efficacy of nasal positive pressure ventilation with ram cannula compared to the outcomes of endotracheal intubation in preterm neonates.
Methods: Open clinical trials conducted from January to June 2023. The research sample consists of preterm neonates with a gestational age of ≥ 25 weeks to 34 weeks with severe asphyxia or severe respiratory distress or apnea that meet the inclusion criteria. Randomization was performed and divided into 2 groups, namely the control group (standard PPV) and the treatment group (standard PPV with the addition of nasal PPV with RAM cannula).
Results: The study sample included 78 neonates consisting of 39 in the treatment groups and 39 in the control groups. The intubation success rate in the treatment group was 84.6%, significantly higher than the 41% success rate observed in the control group. This discrepancy resulted in an Absolute Risk Reduction (ARR) of 44% and a Number Needed to Treat (NNT) of 2. Furthermore, the occurrence of desaturation in the treatment group was notably lower at 10.3% compared to 59% in the control group, leading to an Absolute Risk Reduction (ARR) of 49% and a Number Needed to Treat (NNT) of 2. The mean time to desaturation in the treatment group was 46 seconds compared to 29.74 seconds in the control group (p=0.142).
Conclusion: Nasal PPV with RAM canula improves the success of neonatal endotracheal intubation and decrease desaturation episodes. There is a clinically significant difference in the mean time interval until desaturation occurs between the two research groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Choirul Anam
"

Syok pada anak masih menjadi masalah utama karena mortalitas yang tinggi. Penilaian respons terhadap resusitasi cairan dapat menggunakan parameter klinis dan parameter hemodinamik invasif maupun non-invasif. Modalitas ultrasound cardiac output monitor (USCOM) pada populasi anak dengan syok memiliki korelasi yang baik dengan baku emas parameter hemodinamik invasif, tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Modalitas lain yang semakin berkembang yaitu menggunakan point of care ultrasound (POCUS), dengan salah satu penilaian yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan indeks kolapsibilitas vena jugularis interna (IKVJI). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara stroke volume dengan IKVJI dalam menilai respons resusitasi cairan pada anak syok. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret hingga Juni 2024. Subyek penelitian adalah anak usia 1 bulan hingga 18 tahun yang mengalami syok yang memenuhi kriteria inklusi. Parameter klinis, penilaian stroke volume dengan USCOM dan IKVJI dinilai sebelum dan sesudah resusitasi cairan. Berdasarkan analisis studi didapatkan 47 subyek sampel penelitian, 27 orang perempuan (57,4%), dengan median usia 82,9 (4,0–212,0) bulan. Status gizi, terbanyak adalah gizi baik (42,6%). Diagnosis terbanyak adalah syok hipovolemik (74,5%) diikuti syok sepsis (25,5%). Sebanyak 2 pasien meninggal dalam 24 jam pertama.  Pemantuan post-resusitasi cairan menunjukkan perbaikan laju nadi, tekanan darah, dan mean arterial pressure (p<0,0001), peningkatan nilai stroke volume (p<0,0001), dan perubahan nilai IKVJI (p<0,0001). Korelasi delta stroke volume dan delta IKVJI adalah negatif lemah (r=-0,309, p=0,035). Korelasi MAP dan IKVJI juga negatif lemah  (r=-0,359, p=0,013).


Shock in children is still a major problem due to high mortality. Assessment of the response to fluid resuscitation can be done using clinical and hemodynamic parameters through invasive and non-invasive tools. The ultrasound cardiac output monitor (USCOM) among children with shock has a good correlation with the gold standard of invasive hemodynamic parameters but has some limitations. Another commonly used modality is point-of-care ultrasound (POCUS), with one of the assessments being the examination of the internal jugular vein collapsibility index (IJV-CI). The aim of this study is to determine the correlation between stroke volume and IJV-CI changes in order to assess fluid responsiveness in children with shock. Between March and June 2024, an analytical observational study was undertaken in the emergency department and pediatric intensive care unit of a tertiary referral hospital. The study subjects were children aged 1 month to 18 years who experienced shock and met the inclusion criteria. A thorough history taking, physical examination, and stroke volume assessment using the Ultrasonic Cardiac Output Monitor, and IJV-CI utilizing ultrasound before and after fluid resuscitation were conducted. This study included 47 subjects, of which there were 27 females (57.4%), with a median age of 82.9 (4.0–212.0) months. For nutritional status, most were normal (42.6%). The most common diagnosis was hypovolemic shock (74.5%) followed by septic shock (25.5%). Mortality in the first 24 hours was 2 patients. After fluid resuscitation, there was an improvement in pulse rate, blood pressure, and mean arterial pressure (p<0.0001), as well as increased stroke volume post fluid resuscitation (p<0.0001) and changes in IJV-CI post fluid resuscitation (p<0.0001). The correlation between stroke volume delta and IJV-CI delta was negative and weak (r=-0.309, p=0.035). The correlation between IJV-CI and MAP was also negative and weak (r=-0.359, p=0.013).

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afiffa Mardhotillah
"Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans merupakan salah satu komplikasi pada bayi prematur dengan angka mortalitas tinggi. Patogenesis terjadinya enterokolitis nekrotikans hingga kini belum dipahami namun bersifat multifaktorial. Berbagai penelitian mengaitkan enterokolitis nekrotikans dengan transfusi sel darah merah. Salah satu upaya untuk mencegahnya adalah dengan melakukan puasa saat transfusi, namun hingga kini masih bersifat kontroversial. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan puasa saat menjalani transfusi sel darah merah dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi prematur. Metode: Penelitian menggunakan desain studi kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis. Bayi prematur yang dirawat di Unit Perinatologi RSCM dalam periode Januari 2019 hingga Desember 2023 dan menjalani transfusi sel darah merah, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian. Subyek kemudian dikelompokkan berdasarkan puasa atau tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah. Diagnosis enterokolitis nekrotikan ditegakkan melalui hasil foto polos abdomen. Dilakukan pula pencatatan terhadap status maternal, usia gestasi, data antropometri saat lahir, skor APGAR usia 5 menit, jenis nutrisi enteral saat dilakukan transfusi sel darah merah. Hasil: Sebanyak 240 bayi prematur yang menjalani transfusi sel darah merah diikutsertakan dalam analisis. Seratus empat puluh empat bayi lelaki (60,0%), dengan rerata usia gestasi 31 (SD 2,69) minggu dan median berat lahir 1.256 (RIK 1.005-1.653) gram. Enterokolitis nekrotikans ditemukan pada 23,75% subyek dan EKN awitan dini lebih banyak ditemukan yaitu sebanyak 54,39% subyek. Proporsi bayi yang dipuasakan mengalami EKN lebih rendah dibandingkan yang tidak dipuasakan (22,09% dan 27,94%). Tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara kejadian EKN pada kelompok puasa dibandingkan kelompok tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah (RR 1,081 (IK 95% 0,913-1,279). Kesimpulan: Puasa saat transfusi sel darah merah tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik menurunkan kejadian enterokolitis nekrotikans.

Background: Complications due to prematurity are major problems for premature infants. Necrotizing enterocolitis has been one of the most considered complication with high mortality rate. Pathogenesis of necrotizing enterocolitis yet to be fully understood, however multiple factors were proven to be associated. Transfusion associated necrotizing enterocolitis has been studied in many researches. Withholding feeds during red blood cell transfusion were postulated to decrease the rate of necrotizing enterocolitis in premature infants, however controversy still found among the research published. Objective: This study aimed to evaluate the association between withholding feeds during red blood cell transfusion and incidence of necrotizing enterocolitis in premature infants. Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital. Premature infants admitted from January 2019 to December 2023 who received red blood cell transfusion were selected according to inclusion and exclusion criteria. Subjects were divided into two group by looking at withholding feeds status during transfusion or fed during transfusion. Necrotizing enterocolitis was diagnosed by radiologist using abdominal radiograph. Maternal status, gestational age, birth anthropometric measurement, 5-minutes APGAR score, and type of enteral nutrition (breast milk or formula) while receiving red blood cell transfusion were recorded. Results: Two hundred and forty subjects included in this study. Among all subjects, male infants 144 (60%), mean gestational age was 31 (SD 2,26) weeks, and median birthweight was 1.256 (IQR 1,005-1.653) grams. Necrotizing enterocolitis were slightly lower in withholding feeds during transfusion group compared to fed group (22,09% and 27,94%, respectively). No association was found between withholding feeds during red blood cell transfusion compared to fed during transfusion with incidence of necrotizing enterocolitis (RR 1,081 (95% CI 0,913-1,279). Conclusion: Withholding feeds during red blood cell transfusion did not significantly decrease the incident of necrotizing enterocolitis in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amrina Rasyada
"Latar Belakang: Infeksi sitomegalovirus (CMV) telah menjadi masalah besar secara global dengan prevalens yang tinggi. Demam neutropenia merupakan kegawatdaruratan anak di bidang onkologi karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, salah satu penyebabnya yaitu infeksi CMV. Mengingat tingginya seroprevalens CMV di Indonesia yang dapat meningkatkan angka kematian pasien keganasan, maka penting untuk memahami profil klinis, laboratoris, dan tata laksana infeksi CMV pada demam neutropenia. Tujuan: Untuk mengetahui prevalens, karakteristik klinis, laboratoris dan tata laksana infeksi CMV pada pasien anak dengan demam neutropenia karena keganasan. Metode: Penelitian ini merupakan uji observasional secara prospektif. Subyek yang diteliti adalah seluruh pasien demam neutropenia usia 1 bulan-18 tahun yang dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari sampai dengan Mei 2024. Hasil: Terdapat 89 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang terjadi pada 71 pasien anak dengan median usia 6 tahun (5 bulan-16 tahun), lelaki 56,3%, dan tumor padat 53,5%. Kultur steril terbanyak yaitu darah (78,3%) dan urin (65,2%), dengan kultur positif terbanyak yaitu feses (100%), darah (21,7%), urin (34,8%), dan sputum (100%). Dari kultur yang positif, proporsi kuman terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae (29%) dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu lini 1 gentamisin (50%), lini 2 sefoperazon sulbaktam (55,5%), dan lini 3 imipenem (72,2%). Terdapat 2 subyek dengan infeksi CMV berdasarkan PCR CMV dan peningkatan IgG 4 kali lipat dalam 4 minggu. Karekteristik klinis yang ditemukan yaitu demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak demam 39,45oC, diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Kedua subyek dengan status gizi baik. Karakteristik laboratoris yang ditemukan yaitu pansitopenia, peningkatan CRP, dan kultur yang negatif. Karakteristik tata laksana yang ditemukan yaitu pemberian antibiotik empiris, antijamur, dan antivirus valgansiklovir selama 14 hari. Kesimpulan: Prevalens infeksi CMV pada anak dengan demam neutropenia karena keganasan di RSCM sebesar 2,2%, dengan karakteristik klinis demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak 39,45oC, gejala diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Tidak terdapat karakteristik laboratoris dan tata laksana, tetapi ditemukan pansitopenia, peningkatan CRP, kultur negatif, dan pemberian valgansiklovir selama 14 hari. Hasil tambahan berupa proporsi kuman tertinggi pada pasien demam neutropenia yaitu Klebsiella pneumoniae dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu sefoperazon sulbaktam.

Background: Cytomegalovirus (CMV) infection has become a major problem globally with high prevalence. Neutropenic fever is a pediatric oncology emergency, increasing morbidity and mortality. CMV infection should be considered as a cause of neutropenic fever. Given the high CMV seroprevalence in Indonesia, which can increase cancer patient mortality, it is crucial to understand the clinical profile, laboratory findings, and management of CMV infection in neutropenic fever. Objective: To determine the prevalence, clinical, laboratory, and management characteristics of cytomegalovirus infection in pediatric patients with neutropenic fever due to malignancy. Methods: This research was an observational study prospectively. The subjects were all neutropenic fever patients aged 1 month-18 years who were hospitalized in the Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) pediatric wards from January to Mei 2024. Results: There were 89 episodes of neutropenic fever that met the inclusion and exclusion criteria, found in 71 pediatric patients, with median age was 6 years old (5 months-16 years old), male 56.3%, and solid tumor 53.5%. Sterile results were found in blood (78.3%) and urine (65.2%) cultures. Positive cultures were found in feces (100%), blood (21.7%), urine (34.8%), and sputum (100%). Klebsiella pneumoniae (29%) was the highest proportion of positive cultures with the highest sensitivity antibiotic in the first line was gentamicin (50%), second line cefoperazone sulbactam (55.5%), and third line imipenem (72.2%). Two subjects were CMV infection based on PCR CMV and IgG increasing 4 times in 4 weeks. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, bleeding, and both had good nutritional status. Laboratory characteristics showed pancytopenia, increasing CRP, and negative culture. Management characteristics included empirical antibiotic, antifungal, and antiviral valganciclovir for 14 days. Conclusion: The prevalence of CMV infection in neutropenic fever at CMH was 2.2%. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, and bleeding. There is no laboratory and management characteristics, but found pancytopenia, increased CRP, negative culture, and administering valganciclovir for 14 days. The additional result was Klebsiella pneumoniae as the highest microbe with the highest antibiotic sensitivity was cefoperazone sulbactam."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library