Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ibnu Fahrudin
"Latar belakang: PT X adalah produsen tepung gandum, dimana dalam proses produksinya dihasilkan debu tepung yang mencemari lingkungan kerja. Debu tepung gandum yang masuk ke saluran nafas pekerja dapat menyebabkan penyakit pada saluran nafas yaitu Rinitis Akibat Kerja.
Metode: Tujuan dari penelitian ini yaitu diketahuinya faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan Rinitis Akibat Ketja. Penelitian ini dilakukan dengan desain studi kasus kontrol untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor risiko pada pekerja dan terjadinya Rinitis Akibat Kerja. Responden adalah pekerja yang bekerja di bagian Pengepakan yang memenuhi syarat inkiusi, berjumlah 215 responden. Data yang dikumpulkan yaitu variabei babas (umur, masa kerja, pakai APD, riwayat atopi dan kebiasaan merokok) dan variabel iergantungnya Rinitis Akibat Kerja.
Hasil: Hasil pengukuran kadar debit personal melebihi NAB (4 mg/m3) yaitu di proses pengepakan sebesar 5.66 mglm3 dan proses pengayakan sebesar 15.12 mg/rn3. Dari 215 responder didapatkan 82 responden (38.1%) yang menderita Rinitis Akibat Kerja atau kasus dan 133 responden (61.9%) yang tidal( menderita Rinitis Akibat Kerja sebagai kontrol. Riwayat atopi dan Pemakaian Mat Pelindung Diri yang kurang baik, berhubungan dengan terjadinya Rinitis Akibat Kerja yaitu masing-masing dengan OR--4.24; p 0.00; 95% CI 2.35-7.66 dan OR 2.06; p 0.014; 95%CI 1.16-3.65.
Kesimpulan: Pajanan debu tepung di udara bagian Pengepakan melebihi Nilai Ambang Batas. Faktor yang berhubungan dengan Rinitis Akibat Kerja pada pekerja bagian Pengepakan adalah adanya riwayat atopi dan pemakaian Alat Peiindung Diri (masker) yang kurang baik.

Background: PT X is a factory produces whole-wheat flour which its process generates flour dust that contamined working environment especialy at packaging area Inhaled flour dust may affect to workers'respiratory tract, then included Occupational Rhinitis.
Method: This study was conducted by using ease control design to look at the relation between worker characteristics, length of service, atopic history, personal protection equipment use and smoking habit. 215 study subjects who work for Packaging Department and fulfilled inclution criteria were involved in this study. Collected data were consisted of Occupational Rhinitis as dependent variable and its risk factors as independent variables.
Result: The level of personal dust exposure were 5.66 mg/m3 at packaging area and 15.12 mg/m' at the filtering process which exceeded Treshold Limit Value of 4 mglm3. 82 subjects (38.1%) of 215 total respondent were diagnosed Occupational Rhinitis. In contrast 133 subjects (61.9%) were not Occupational Rhinitis as a control group. Statistical analysis shows that unappropriate use of personal protection equipment and atopic history have significant association with the risk of Occupational Rhinitis (OR 2.06; 95%Cl; 1.16-3.65 and OR 4.24; 95%Cl; 2.35-7.66).
Conclusion: The exposure levels of the flour dust in the air of Packaging Department were above Treshold Limit Value. Factors assosiated with the Occupational Rhinitis at the workers of the Department of Packaging are atopic history, and unappropriate use of personal protection equipment (masker).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21133
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inis Sumiati
"Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dijumpai di masyarakat, insiden rinitis alergi menurut WHO - ARIA 2001 antara 1 - 18%, sedangkan insiden rinitis alergi di Jakarta cukup tinggi antara 10-20%. Rinitis alergi adalah kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung yang diperantarai oleh Ig E, dengan gejala khas berupa hidung tersumbat, rinore, hidung gatal dan bersin.
Sumbatan hidung merupakan gejala yang umum dan penting serta merupakan keluhan yang sangat mengganggu pada pasien rinitis alergi dan sulit untuk mengevaluasinya. Sebenamya gejala sumbatan hidung ini dapat diukur secara obyektif dengan menggunakan rinomanometri.
Efek vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibat proses inflamasi dan pembengkakan mukosa menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada pasien rinitis alergi. Skor sumbatan hidung merupakan salah satu parameter untuk menilai derajat sumbatan hidung. Untuk itu diperlukan pemeriksaan THT yang dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengevaluasi gejala sumbatan hidung. Salah satu pemeriksaan obyektif untuk mengukur nilai tahanan hidung adalah dengan pemeriksaan rinomanometri.
Rinomanometri adalah suatu teknik mengukur tahanan jalan napas hidung, sebagai alat diagnostik adanya sumbatan hidung, mengevaluasi fungsi jalan napas, dan mengevaluasi efektifitas pengobatan.
Di luar negeri telah banyak dilakukan penelitian tentang penilaian sumbatan hidung dan tahanan hidung dengan menggunakan rinomanometri. Penelitian pads pasien rinitis alergi dengan menggunakan rinomanometri dilakukan oleh Ciprandi (2406) dengan melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah pemberian dekongestan pada pasien rinitis alergi. Huang (2006)12 melakukan penelitian untuk menentukan secara obyektif dan subyektif perubahan nilai tahanan hidung dan kualitas hidup pada pasien rinitis alergi perenial setelah dilakukan turbinoplasti inferior. Gosepath (2005)13 melakukan penelitian tes provokasi hidung untuk mengevaluasi pasien rinitis alergi dan non alergi rinitis. Shusterman (2003)14 meneliti tentang efek klorin inhalasi yang rnenyebabkan sumbatan hidung pada pasien rinitis alergi tanpa pemecahan sel mastosit. Kohan (1998) yang membandingkan efektifitas dua macam kortikosteroid semprot hidung pada pengobatan sumbatan hidung penderita rinitis alergi. HasiI penelitiannya menunjukkan bahwa rinomanometri anterior merupakan parameter objektif yang dipercaya berhubungan dengan perbaikan gejala sumbatan hidung yang dirasakan terhadap tahanan jalan napas. Meltzer (1998) meneliti tentang efektifitas pemberian kortikostemid topikal yang diukur dengan rinomanometri anterior. Ditemukan hubungan yang bermakna antara nilai tahanan hidung dengan sumbatan hidung. AIat rinomanometri NR6 pertama kali digunakan di Indonesia untuk penelitian tahun 1995 oleh Trimartani yang dilakukan pada pasien orang normal untuk mendapatkan nilai tahanan hidung orang normal, yaitu sebesar 0,24 Pa/cm3/det dengan standar deviasi 0,09 Pa/cm3/det pada tekanan standar 75 Pa. Pasien dengan keluhan sumbatan hidung belum terbukti bahwa nilai tahanan hidung berhubungan dengan derajat sumbatan.
Di Indonesia, penelitian pada pasien rinitis alergi dengan sumbatan hidung menggunakan rinomanometri belum pernah dilakukan, sehingga belum didapatkan gambaran nilai tahanan hidung pada pasien rinitis alergi, khususnya pasien rinitis alergi persisten sedang berat.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang nilai tahanan hidung pada pasien rinitis alergi persisten sedang berat.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulidza Silta
"Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit kronis paling umum pada anak dan remaja. RA seringkali muncul bersamaan dengan entitas alergi lain berupa asma dan/atau eskim dapat menyebabkan multimorbiditas alergi. RA dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang berdampak pada performa belajar dan sosial anak. Perlu diketahui lebih lanjut kualitas hidup remaja dengan RA dan hubungan multimorbiditas alergi terhadap kualitas hidup remaja dengan RA. Penelitian potong lintang dilakukan pada 104 pelajar SMPN 9 Kendari. Penelitian ini menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) untuk menilai entitas alergi dan Mini Rhinoconjuctivitis Quality of Life Questionnaire (MiniRQLQ) untuk menilai kualitas hidup. RA ditemukan pada 30.6% pelajar dengan proporsi laki-laki dan perempuan sebesar 35.6% dan 64.4%. Multimorbiditas alergi terdapat pada 62.5% subjek. Median skor total kualitas hidup untuk remaja RA pada penelitian ini yaitu 3 (1–6). Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara multimorbiditas alergi dan kualitas hidup remaja RA (p=0.286). Proporsi perempuan dengan RA lebih banyak dibanding laki-laki. Sebagian besar subjek penelitian merasa cukup terganggu dengan kondisi RA dan tidak terdapat hubungan antara multimorbiditas alergi dengan kualitas hidup remaja.

Allergic rhinitis (AR) is a common chronic condition in children and adolescents, often coexisting with asthma and/or eczema and leading to allergic multimorbidity. AR affects quality of life, potentially decreasing academic and social performance. Understanding the impact of AR and allergic multimorbidity on adolescents' quality of life is crucial. A cross-sectional study was conducted with 104 students at SMPN 9 Kendari. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) questionnaire assessed allergic conditions, and the Mini Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (MiniRQLQ) measured quality of life. AR was found in 30.6% of students, with a gender distribution of 35.6% males and 64.4% females. Allergic multimorbidity was present in 62.5% of participants. The median total quality of life score for adolescents with AR was 3 (1–6). No significant association was found between allergic multimorbidity and quality of life (p=0.286). Females had a higher prevalence of AR than males. Most participants reported moderate disruption from their AR symptoms. No significant relationship was found between allergic multimorbidity and quality of life in adolescents with AR. Keywords: adolescents, allergic multimorbidity, allergic rhinitis, quality of life. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyaningrum
"Osteitis dapat berperan sebagai sumber inflamasi kronis pada struktur tulang sinonasal pada kasus rinosinusitis kronik RSK dengan atau tanpa polip yang menyebabkan rekurensi pasca terapi medikamentosa maupun pembedahan. Tesis ini membahas mengenai korelasi antara derajat osteitis serta inflamasi mukosa pada RSK dengan polip hidung bilateral refrakter. Penelitian menggunakan desain korelatif potong lintang pada 29 subjek yang diambil secara retrospektif.
Hasil dari penelitian ini didapatkan korelasi signifikan antara skor LMSS dan GOSS r = 0,36, p = 0,05 , tidak terdapat korelasi signifikan pada subjek dengan polip bilateral derajat 2 -3 r = 0,39, p = 0,439 , maupun pada subjek dengan polip grade 4 ndash; 6 r = 0,27, p = 0,204 , dan tidak terdapat korelasi signifikan pada subjek dengan riwayat pembedahan satu kali r = 0,44, p = 0,145 , maupun pada subjek dengan riwayat pembedahan lebih dari satu kali r = 0,27, p = 0,29 , Median skor LMSS dan GOSS lebih tinggi pada kelompok pembedahan berulang dan polip derajat 4 ndash; 6.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa identifikasi osteitis dapat digunakan untuk mengetahui derajat keparahan RSK serta memprediksi kekambuhan yang selanjutnya dapat membantu untuk menentukan terapi medikamentosa dan pembedahan yang tepat.
Osteitis may served as a nidus for chronic inflammation in Chronic Rhinosinusitis CRS with or without polyps, that may explain for any recurrence post medical treatment and surgery. The purpose of this thesis paper was to determine correlation between osteitis and mucosal inflammation in CRS with refractory bilateral nasal polyps. This is a cross ndash sectional corelative research in 29 subjects which were taken by retrospective sampling.
The results are significant correlation between LMSS and GOSS score r 0,36, p 0,05 , , no significant correlation in subject with bilateral nasal polyps grade 2 ndash 3 r 0,39, p 0,439 and subject with polyps grade 4 ndash 6 r 0,27, p 0,204 , and no significant correlation also in subject with history of primary surgery r 0,44, p 0,145 , and also no significant correlation in subjects with history of revision surgery r 0,27, p 0,29 Median LMSS and GOSS score were higher in revision surgery and polyps grade 4 ndash 6 group.
The conclusion was identifying osteitis can be used to determine the degree of severity and predicting recurrency and further help to determine proper medical treatment and surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meila Sutanti
"ABSTRAK
Tesis ini membahas gambaran hasil terapi rinitis alergi persisten sedang-berat pada 2 kelompok terapi di RSCM, dimana kelompok pertama diberikan terapi reduksi konka radiofrekuensi disertai steroid topikal hidung, sedangkan kelompok kedua diberikan terapi steroid topikal hidung saja. Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan dengan metode penelitian uji klinis. Penilaian skala analog visual (SAV) untuk 4 gejala utama rinitis alergi (bersin-bersin, gatal hidung, ingus encer, dan sumbatan hidung), pemeriksaan nasoendoskopi untuk menilai ukuran konka inferior, dan pemeriksaan aliran udara hidung dengan Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF) dilakukan pada sebelum terapi dan minggu ke-6 pasca terapi. Pada penelitian ini rerata usia kelompok steroid topikal hidung adalah 28,3 tahun (SD 10,3 tahun), sedangkan pada kelompok reduksi konka adalah 27,6 tahun (SD 8,1 tahun). Sebanyak 67% subyek adalah perempuan. Keluhan rinitis alergi paling berat adalah sumbatan hidung. Sebanyak 80% subyek penelitian mengalami hipertrofi konka inferior, yaitu 50% hipertrofi derajat 3 dan 30% hipertrofi derajat 4. Ditemukan perbedaan bermakna ukuran konka inferior sebelum terapi dengan minggu ke-6 pasca terapi, baik pada kelompok reduksi konka maupun kelompok steroid dan ditemukan pula perbedaan bermakna ukuran konka inferior pada minggu ke-6 pasca terapi antara kedua kelompok terapi. Untuk nilai SAV gatal hidung, ditemukan perbedaan bermakna sebelum terapi dengan minggu ke-6 pasca terapi, baik pada kelompok reduksi konka maupun kelompok steroid topikal saja, dan ditemukan pula perbedaan bermakna nilai SAV gatal hidung pada minggu ke-6 pasca terapi antara kedua kelompok terapi. Perbedaan bermakna sebelum terapi dengan minggu ke-6 pasca terapi ditemukan pada nilai SAV gejala rinitis alergi yang lain (bersin-bersin, ingus encer, dan sumbatan hidung) dan nilai PNIF, baik pada kelompok reduksi konka maupun kelompok steroid topikal saja. Tidak ditemukan perbedaan bermakna nilai SAV gejala rinitis alergi yang lain dan nilai PNIF, jika dibandingkan antara kedua kelompok terapi pada minggu ke-6 pasca terapi.

ABSTRACT
This paper reported result of treatment in moderate-severe allergic rhinitis at Cipto Mangunkusumo Hospital. In this research, there were 2 groups of treatment. First group was treated with radiofrequency turbinoplasty and nasal steroid after turbinoplasty performed, second group was treated only with nasal steroid. This research is a pilot clinical study. Analogue Visual Scale for 4 major symptoms of allergic rhinitis (sneezing, nose itching, rhinorrhea, nose obstruction), nasoendoscopy to evaluate size of inferior turbinate, peak nasal inspiratory flow to evaluate nasal air flow were performed before treatment and 6 weeks after treatment. In this research, mean age of patients in steroid alone group was 28,3 years old with standard deviation 10,3 years, and in radiofrequency group mean age was 27,6 years old with standard deviation 8,1 years. Sixty seven percent patients was woman. The most bothering symptom found was nasal obstruction. Eighty percent patients had inferior turbinate hypertrophy, 50% patient with grade 3 and 30% patient with grade 4. Statistical significance in inferior turbinate degree was found if comparison performed before treatment with 6 weeks after treatment, in both treatment group,and also found statistical difference if compared between 2 treatment group at 6 weeks after treatment. Statistical difference was found only in VAS for nasal itching symptom if compared between 2 treatment group at 6 weeks after treatment. There were no statistical difference for another major symptom with VAS if compared between 2 group at 6 weeks after treatment. If comparison was performed before treatment with 6 weeks after treatment for VAS in all allergic rhinitis major symptoms and peak nasal inspiratory flow, there were statistical significance found, in radiofrequency group and nasal steroid group, but if comparison was performed between 2 treatment groups at 6 weeks after treatment, there were no statistical difference found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meristiana Christiane
"ABSTRAK
Latar Belakang: Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan kelainan tidur yang terjadi secara periodik dan disertai henti napas. OSA pada anak dapat menyebabkan gangguan perilaku, prestasi sekolah yang buruk, komplikasi kardiovaskular atau disfungsi metabolik endokrin. Tatalaksana kasus OSA anak dapat berupa pembedahan ataupun medikamentosa. Perbaikan kualitas hidup OSA pada anak secara subjektif dapat diukur dengan kuesioner OSA 18 dan secara objektif dengan pemeriksaan polisomnografi.
Tujuan: Mengetahui efektivitas terapi tonsiloadenoidektomi pada OSA anak dibandingkan dengan terapi Mometasone Furoate. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis dengan alokasi acak dua kelompok melibatkan 20 subjek, dengan 10 subjek terapi tonsiloadenoidektomi dan 10 subjek menggunakan Mometasone furoate. Analisis dilakukan berdasarkan perubahan skor OSA 18 dan polisomnografi sebelum dan sesudah terapi 6 minggu.
Hasil: karateristik jenis kelamin lebih banyak perempuan, dengan rentang usia terbanyak pada kelompok usia 5 hingga 7 tahun, mayoritas tingkat pendidikan sekolah dasar, dengan status gizi subjek berat badan normal (P5%-P85%), rerata lingkar leher adalah 25,28 cm (SB 2,28). Karakteristik pemeriksaan fisik terbanyak adalah hipertrofi tonsil (T3), posisi palatum derajat 2 dan hipertrofi adenoid derajat III berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi serat lentur. Faktor predisposisi alergi pada subjek penelitian didapatkan hasil uji tusuk kulit positif. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan perubahan skor OSA 18, Skala Analog Visual (SAV) dan Apnea Hypopnea Index (AHI) sebelum terapi dan 6 minggu setelah terapi, baik pada kelompok intervensi bedah maupun kelompok Mometasone furoate. Tidak ditemukan perbedaan bermakna nilai saturasi oksigen terendah (Sat O2) sebelum terapi dan 6 minggu setelah terapi pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Pada OSA anak, kuesioner OSA 18, SAV dan parameter AHI dari polisomnografi dapat digunakan sebagai penilaian efektifitas terapi OSA. Tonsiloadenodektomi dapat menjadi pilihan tatalaksana pembedahan, disamping pemberian Mometasone furoate pada pasien OSA anak yang disertai alergi.

ABSTRACT
Background: Obstructive Sleep Apnea is a sleep disorder that occurs periodically and accompanied by respiratory rest. OSA in children can cause behavioral disorders, poor academic perfomance, cardiovascullar, endocrine metabolic complications. Management of OSA in children were operatif and non operatif. Subjectively improvement quality of life can be measured with a questionnaire OSA 18 and objectively by polysomnography examination.
Objectives: To determine the effectiveness of the adenotonsilectomy in children with OSA compared with Mometasone furoate therapy. Methods: This study was a clinical trial with random allocation involves two groups of 20 subjects, i.e. 10 subject in adenotonsilectomy group and 10 subjects with Mometasone furoate. The analysis was perfomed based on the changes of OSA 18 scoring and polysomnography before and after 6 weeks therapy.
Result: The subject characteristic in this research was more girls, with average age of 5 to 7 years old, education level at primary school, normal body weight, mean neck circumference was 25.28 (2.28). Physical examination characteristic were tonsilar hypertrophy (T3), 2nd stage palatum position, 3rd stage adenoid hypertrophy based on the flexible nasoendoscopy. Allergy predisposing factor in this research showed positive result from skin prick test. There was statistical significant in OSA 18, Visual Analog Scale (VAS), and AHI at before and 6 weeks after treatment, either in surgical group or intranasal corticosteroid group. But there was no significant difference of the lowest oxygen saturation at before treatment and 6 week after treatment in both groups.
Conclusions: In children, OSA 18 Questionare, VAS, and AHI from polysomnography parameters can be used as evaluation effectiveness of treatment of OSA. Adenotonsilectomy can be treatment of choice as a surgical option along with intranasal corticosteroid as a treatment consideration for patient OSA with allergic. Keywords: Children OSA, OSA 18 Questionare, AHI, adenotonsilectomy, intranasal corticosteroid.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Surya
"ABSTRAK
Hidung tersumbat merupakan salah satu keluhan terbanyak pada pasien yang datang berobat ke ahli THT. Hipertrofi konka inferior merupakan salah satu penyebab sumbatan hidung dan telah banyak dipelajari dari berbagai penelitian dan terbukti berperan dalam regulasi aliran udara hidung. Namun dari beberapa penelitian terakhir ditemukan suatu struktur yang disebut nasal septal swell body NSB yang mungkin berperan dalam regulasi tahanan aliran udara hidung karena lokasinya yang berdekatan dengan katup hidung internal serta dapat mengembang mengempis sesuai siklus hidung.Tesis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi radiofrekuensi NSB pada pasien sumbatan hidung dengan hipertrofi NSB dengan membandingkan respon klinis sebelum dan sesudah terapi berdasarkan nilai NOSE, nilai PNIF, dan nilai tahanan hidung.Penelitian ini merupakan studi eksperimental dua kelompok paralel acak yang membagi pasien sumbatan hidung dengan hipertrofi konka inferior dan NSB menjadi dua kelompok yang dilakukan radiofrekuensi konka inferior saja dan kelompok radiofrekuensi konka inferior dan NSB.Analisis data dilakukan dengan pendekatan Bootstrap. Hasil dari penelitian ini didapatkan perbedaan secara bermakna dari perubahan nilai NOSE p=0,001 dan nilai tahanan hidung 75 Pa p=0,018 antara kedua kelompok. Hasil ini berarti terapi radiofrekuensi NSB dapat menjadi terapi tambahan radiofrekuensi konka inferior terhadap pasien sumbatan hidung kronis refrakter dengan hipertrofi konka inferior dan NSB untuk mengurangi gejala sumbatan hidung.Kata kunci: radiofrekuensi, nasal septal swell body, konka inferior, sumbatan hidung kronis refrakter

ABSTRACT
Nasal obstruction is one of the most symptom in daily practice of ENT Surgeon. Inferior turbinate hypertrophy is one of the causes of nasal obstruction and has been widely studied from various research and has been shown having a role in the regulation of nasal airflow. But from several recent studies found a structure called a nasal septal swell body NSB that may play a role in the regulation of nasal airflow resistance because of its location adjacent to the internal nasal valve and alternating congestion and decongestion according to nasal cycle.This study aims to evaluate the effect of radiofrequency therapy of NSB on patients with nasal obstruction with NSB hypertrophy by comparing clinical response before and after therapy based on NOSE value, PNIF value, and nasal resistance value.This study is an experimental study of two random parallel groups that divide the nasal obstruction patients with hypertrophy of inferior turbinate and NSB into two groups which underwent radiofrequency of inferior turbinate only and underwent radiofrequency inferior turbinate and NSB.Data analyzed with bootstraps method. The results of this study show significant differences from changes in the value of NOSE p 0.001 and the nasal resistance value 75 Pa p 0.018 between the two groups. These results suggest that radiofrequency ablation of NSB may be an additional therapy to radiofrequency of inferior turbinate in patients with nasal obstruction and hypertrophy of inferior turbinate and NSB.Keywords radiofrequency, nasal septal swell body, inferior turbinate, refractory chronic nasal obstruction "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58853
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Rahmawati
"Latar belakang: Gangguan tidur merupakan keluhan yang sering terjadi pada rinitis kronis, dengan penyebab tersering adalah hidung tersumbat. Hidung tersumbat juga merupakan faktor risiko terjadinya sleep disordered breathing (SDB). SDB memiliki spektrum penyakit yang luas, salah satunya adalah obstructive sleep apnea (OSA). Walaupun berbagai literatur telah membuktikan adanya gangguan tidur pada pasien rinitis alergi, penelitian mengenai gangguan tidur pada pasien rinitis nonalergi masih terbatas. Tujuan penelitian: Membandingkan derajat gangguan tidur antara kelompok rinitis alergi dan rinitis nonalergi di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 11 subjek rinitis alergi dan 11 subjek rinitis nonalergi yang berusia 18-60 tahun di Poliklinik THT RSUPN Ciptomangunkusumo. Derajat obstruksi nasal dinilai menggunakan kuesioner NOSE. Derajat gangguan tidur dinilai secara subjektif dengan kuesioner ESS, PSQI, dan ISI serta secara objektif dengan polisomnografi. Hasil: Tidak didapatkan perbedaan pada hasil skor NOSE, ESS, RSI, PSQI, ISI, maupun parameter polisomnografi antara kelompok rinitis alergi dengan kelompok rinitis nonalergi (p > 0,05). Didapatkan hubungan bermakna antara RDI NREM, RERA, saturasi minimum oksigen dan saturasi baseline oksigen dengan klasifikasi OSA pada kelompok rinitis kronis (p< 0,05). Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan derajat gangguan tidur antara rinitis alergi dan rinitis nonalergi.

Background: Sleep disturbance is common in chronic rhinitis, primarily caused by nasal congestion. Nasal congestion is also a risk factor for sleep disordered breathing (SDB). SDB refers to a spectrum of breathing abnormalities, one of which includes obstructive sleep apnea (OSA). Although many studies have linked sleep disturbance with allergic rhinitis, data regarding its association with nonallergic rhinitis seem to be limited. Aim : To compare the severity of sleep disturbance between allergic and nonallergic rhinitis. Methods: This cross-sectional study consisted of 11 subjects with allergic rhinitis and 11 subjects with nonallergic rhinitis at ORL-HNS outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital. NOSE questionnaire was used to assess the degree of nasal obstruction. The severity of sleep disturbance was subjectively assessed using ESS, PSQI, and ISI questionnaires and objectively assessed using polysomnography. Results: No significant differences in NOSE, ESS, RSI, PSQI, and ISI scores were found between both groups (p > 0,05). There was a significant relationship between RDI NREM, RERA, minimum oxygen saturation and baseline oxygen saturation with OSA classification in the chronic rhinitis group (p <0.05). Conclusion: The type of rhinitis (allergic or nonallergic) did not influence the severity of sleep disturbance."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library