Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farsely Mranani
"ABSTRAK
Hipotiroid kongenital (HK) adalah kelainan bawaan yang dapat menimbulkan
dampak berupa retardasi mental permanen. Pemberian levothyroxine dengan dosis tepat pada usia sedini mungkin, dapat mencegah gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Sayangnya, bayi baru lahir tidak menunjukkan gejala HK. Kalaupun ada, berarti sudah ada gangguan pertumbuhan. Perlu skrining hipotiroid kongenital (SHK) untuk menemukan kasus bayi yang menderita HK.
Meski sudah dilakukan sejak 2006, baru pada tahun 2014 dikeluarkan Permenkes tentang pelaksanaan SHK di Indonesia. Penelitian evaluasi ekonomi program SHK tahun 2014-2015 ini mencakup analisis biaya skrining dan terapi dini, sedangkan outcome didapat dari systematic review (SR). Asumsi dikembangkan berdasarkan data riil pasien skrining SHK di 2 laboratorium rujukan di Jakarta dan Bandung.
Dari total 56.186 bayi yang melakukan skrining, diperoleh 24 pasien positif
menderita HK. Hasil SR menyatakan bahwa semakin dini onset terapi, semakin adekuat dosis inisiasi dan semakin kontinyu terapi dapat memberikan hasil yang baik. Hasil Tersebut berupa pencegahan terhadap komplikasi HK lebih jauh dan perbaikan pada penyimpangan tumbuh kembang.
Dari hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa baru pada tahun kedua terlihat adanya keuntungan ekonomis SHK. Hal ini berhubungan dengan patologi gejala HK yang umumnya muncul pada usia 3-6 bulan. Orang tua baru mencari pertolongan medis pada tahun kedua dan mengeluarkan lebih banyak biaya. Biaya skrining dan terapi dini menjadi sepadan dibandingkan dengan kerugian yang dapat dicegah akibat gejala gangguan tumbuh kembang.

ABSTRACT
Congenital hypothyroidism (CH) is a congenital disorder that can have an impact in the form of permanent mental retardation. Giving the right dose of levothyroxine at the earliest possible age, can prevent the disruption of growth and development. Newborns do not show symptoms of CH, and unfortunately the symptoms appear in the late period and in many cases it shows growth disorders. The congenital hypothyroidism screening (CHS) program has been implemented to find infant cases with CH, and followed up with treatment.
Although it has been made since 2006, Minister of Health just issued the regulation in 2014 on the implementation of CHS in Indonesia. This economic evaluation of the CHS program in 2014-2015 was done using cost analysis, while outcome obtained from the systematic review (SR). The assumptions used in the analysis were developed based on real data from a CHS screening program in two referral laboratories in Jakarta and Bandung. Out of 56.186 screened babies, 24 babies were found as CH positive cases.
The result of the SR revealed that the earlier onset of initiation therapy, the more adequate dose and the more continuous therapy given to the patient, the better result will be achieved. It will prevent the patients from severe complications of CH and will improve the quality of thegrowth and development. The study found that the economic benefit is achieved in the second year of CH treatment, since the pathological symptoms generally appear at the age of 3-6 month and parents seek care in the second year. Consequently, cost to treat patients will increase. The cost of screening and early treatment was found worthy as compared to economic loss resulting from growth disorders"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farsely Mranani
"ABSTRAK
Hipotiroid kongenital (HK) adalah kelainan bawaan yang dapat menimbulkan
dampak berupa retardasi mental permanen. Pemberian levothyroxine dengan dosis
tepat pada usia sedini mungkin, dapat mencegah gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Sayangnya, bayi baru lahir tidak menunjukkan gejala HK. Kalaupun
ada, berarti sudah ada gangguan pertumbuhan. Perlu skrining hipotiroid kongenital
(SHK) untuk menemukan kasus bayi yang menderita HK.
Meski sudah dilakukan sejak 2006, baru pada tahun 2014 dikeluarkan Permenkes
tentang pelaksanaan SHK di Indonesia. Penelitian evaluasi ekonomi program SHK
tahun 2014-2015 ini mencakup analisis biaya skrining dan terapi dini, sedangkan
outcome didapat dari systematic review (SR). Asumsi dikembangkan berdasarkan
data riil pasien skrining SHK di 2 laboratorium rujukan di Jakarta dan Bandung.
Dari total 56.186 bayi yang melakukan skrining, diperoleh 24 pasien positif
menderita HK.
Hasil SR menyatakan bahwa semakin dini onset terapi, semakin adekuat dosis
inisiasi dan semakin kontinyu terapi dapat memberikan hasil yang baik. Hasil
tersebut berupa pencegahan terhadap komplikasi HK lebih jauh dan perbaikan pada
penyimpangan tumbuh kembang.
Dari hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa baru pada tahun kedua terlihat
adanya keuntungan ekonomis SHK. Hal ini berhubungan dengan patologi gejala HK
yang umumnya muncul pada usia 3-6 bulan. Orang tua baru mencari pertolongan
medis pada tahun kedua dan mengeluarkan lebih banyak biaya. Biaya skrining dan
terapi dini menjadi sepadan dibandingkan dengan kerugian yang dapat dicegah
akibat gejala gangguan tumbuh kembang.

ABSTRACT
Congenital hypothyroidism (CH) is a congenital disorder that can have an impact in
the form of permanent mental retardation. Giving the right dose of levothyroxine at
the earliest possible age, can prevent the disruption of growth and development.
Newborns do not show symptoms of CH, and unfortunately the symptoms appear in
the late period and in many cases it shows growth disorders. The congenital
hypothyroidism screening (CHS) program has been implemented to find infant cases
with CH, and followed up with treatment.
Although it has been made since 2006, Minister of Health just issued the regulation
in 2014 on the implementation of CHS in Indonesia. This economic evaluation of the
CHS program in 2014-2015 was done using cost analysis, while outcome obtained
from the systematic review (SR). The assumptions used in the analysis were
developed based on real data from a CHS screening program in two referral
laboratories in Jakarta and Bandung. Out of 56.186 screened babies, 24 babies were
found as CH positive cases.
The result of the SR revealed that the earlier onset of initiation therapy, the more
adequate dose and the more continuous therapy given to the patient, the better result
will be achieved. It will prevent the patients from severe complications of CH and
will improve the quality of thegrowth and development..
The study found that the economic benefit is achieved in the second year of CH
treatment, since the pathological symptoms generally appear at the age of 3-6 month
and parents seek care in the second year. Consequently, cost to treat patients will
increase. The cost of screening and early treatment was found worthy as compared to
economic loss resulting from growth disorders."
2016
T47178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Sri Gumilar
"Angka Kematian Ibu AKI merupakan indikator utama kesehatan ibu. Pada tahun 2015, angka kematian ibu mengalami penurunan menjadi sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup, namun angka ini masih belum memenuhi target MDGs. Apabila dibandingkan secara global, AKI di Indonesia masih berada di atas AKI Global. Tiga penyebab terbesar kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan, hipertensi, daninfeksi. Perdarahan dan komplikasi kehamilan pada masa kehamilan bisa terjadi padaawal kehamilan dan akhir kehamilan. Perdarahan dan komplikasi kehamilan pada masaawal kehamilan dapat disebabkan oleh aborsi dan kehamilan ektopik. Berdasarkan beberapa penelitian, salah satu faktor risiko kehamilan ektopik yaitu merokok. Prevalensi perokok wanita di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan terutama pada tahun2010 prevalensi perokok wanita adalah sebesar 4 dan menduduki urutan ke 17 di dunia.
Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya besaran masalah kehamilan ektopik di Indonesia, mengetahui sebaran variabel kehamilan ektopik dan merokok berdasarkan provinsi, dan diketahuinya hubungan antara merokok dengan terjadinya kehamilan ektopik di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional. Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian kehamilan ektopik dan variabel independen utamanya adalah merokok, sedangkan variabel kovariat terdiri dari status pendidikan, metode penggunaan kontrasepsi, jumlah paritas ibu, riwayat menderita Penyakit Menular Seksual PMS, status urban dan perokok pasif. Sumber data dalam penelitian ini adalah data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia SDKI tahun 2012. Kriteria responden pada penelitian ini adalah responden wanita yang diwawancarai dengan kuisioner wanita SDKI 2012. Jumlah responden yang dianalisis adalah sebesar 32.269 wanita yang eligibel. Analisis yang dilakukan terdiri dari analisis univariat, bivariat dan multivariat.
Penelitian ini menunjukan prevalensi kehamilan ektopik di Indonesia adalah sebesar 0,56 dan prevalensi merokok sebesar 3,31. Analisis bivariat menunjukan responden yang merokok memiliki risiko 2,64 kali untuk mengalami kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak merokok. Setelah dikontrol dengan variabel pendidikan, metode penggunaan kontrasepsi, riwayat menderita penyakit menular seksual PMS, danstatus urban, responden yang merokok memiliki risiko 3,28 kali untuk mengalami kehamilan ektopik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa merokok memiliki hubungan denganrisiko terjadinya kehamilan ektopik.

Maternal mortality rate is a primary indicator for maternal health. In 2015,maternal mortality rate has decreased to 305 for 100.000 live birth, nevertheless this ratedoes not meet with the MDGs target. Indonesia rsquo s maternal mortality rate is still abovefrom global rate. In Indonesia, there are Three cases that caused maternal death, bleeding,hypertension, and infection. Bleeding can be occurred in early pregnancy or in the end ofpregnancy. Bleeding in early pregnancy can be caused by abortion and ectopic pregnancy. Some research showed that one of the risk factor of ectopic pregnancy was smoking.Prevalence of female smoker in Indonesia is 4 in 2010 and increasing in every year.Indonesia has 17th in rank of prevalence female smoker in the world.
This study aim to know about prevalence ectopic pregnancy in Indonesia that canshowing the problem about ectopic pregnancy, to know the distribution of ectopicpregnancy and female smoker by province in Indonesia, and to know about theassociation between smoking and ectopic pregnancy. This study is cross sectional study with ectopic pregnancy as a dependent variableand smoking as main independent variable. Covariate variables for this study are education, contraception method, parity, history of sexually transmitted diseases, urbanstatus and passive smoker. This study use Indonesia Demographic And Health Survey IDHS 2012. Responden's criteria was women that to be interviewed with women questionnaire IDHS2012. Thera are 32.269 woman who is elgible to include in this study. This study does three step analysis, univariate, bivariate, and multivariate analysis.
The result shows that prevalence of ectopic pregnancy in Indonesia is 0,56 and prevalence of women smoking in Indonesia is 3,31. From bivariate analysis shows that female smoker had 2,64 fold to experience ectopic pregnancy compared with nonsmoker female. After controlled by education, contraception method, history of sexually transmitted diseases, and responden's residence, female smoker has 3,28 fold toexperience ectopic pregnancy comparing with non smoker female. This study has showed that smoking has a relationship with ectopic pregnancy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwika Sari Sasoka
"Angka Kematian Bayi merupakan salah satu indikator pembangunan suatu bangsa. Kematian neonatal (0-28 hari) menyumbang lebih dari setengah (59,4%) kematian bayi. Berdasarkan data SDKI 2012 angka kematian neonatal mengalami penurunan sebesar 41% dari 32/1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 19/1000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Namun pada dua periode terakhir angka kematian neonatal stagnan di angka 19/1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 dan 2012. Salah satu faktor yag dapat meningkatkan kematian neonatal adalah jarak kelahiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jarak kelahiran yang berkontribusi dan hubungannya terhadap kejadian kematian neonatal. Penelitian ini merupakan analisis data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol dengan sampel sebanyak 102 kasus dan 306 kontrol. Kasus adalah bayi yang mengalami kematian neonatal dan merupakan anak terakhir pada persalinan tunggal. Dan kontrol adalah bayi yang hidup melewati usia 28 hari.
Hasil analsis multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik , didapatkan adanya perbedaan risiko yang signifikan untuk terjadinya kematian neonatal antara ibu dengan jarak kelahiran < 27 bulan dan jarak kelahiran > 78 bulan dibandingkan dengan jarak kelahiran 28-77 bulan. Ibu yang memiliki jarak kelahiran <27 bulan memiliki risiko 2,2 kali (95%CI : 1,274- 3,822) mengalami kematian neonatal dibandingkan ibu dengan jarak kelahiran 28-77 bulan. Risiko juga meningkat bila jarak kelahiran >78 bulan,, ibu dengan jarak kelahiran >78 bulan memiliki risiko untuk mengalami kematian neonatal sebesar 1,95 kali (95% CI : 1,126-3,368) bila dibandingkan dengan jarak kelahiran 28-77 bulan.

Infant Mortality Rate is one of development indicator from a nation. Neonatal mortality (0-28 days) accounts for more than half (59.4%) of infant mortality. Based on the 2012 IDHS data the neonatal mortality rate decreased by 41%, from 32/1000 live births in 1991 to 19/1000 live births in 2007. But in the last two periods, there are stagnant condition of neonatal mortality rate, which is 19/1000 live births in 2007 and 2012. One of the factors that can increase neonatal mortality is birth spacing.
This study aims to know the relationship between birth spacing and the incidence of neonatal death. This research is an analysis of data of Indonesia Demographic and Health Survey (SDKI) 2012. The research design is using case control study with the number of sample are 102 cases and 306 controls. Cases are infants who have neonatal death and the last child in a single labor. And control is a baby that lives past the age of 28 days.
Multivariate analysis is using logistic regression showed that there was a significant difference of risk for neonatal mortality between mothers with birth spacing <27 months and birth spacing of > 78 months compared with 28-77 month of birth spacing. Mothers with birth spacing <27 month had a 2.2 times (95% CI: 1,274-3,822) risk of neonatal mortality compared to mothers at 28-77 months of birth spacing. The risk also increased when birth spacing is > 78 months, mothers with birth spacing > 78 months had a risk of neonatal deaths of 1.95 times (95% CI: 1,126-3,368) compared with 28-77 months of birth spacing.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library