Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Delta Fermikuri Akbar
"Leukemia mieloblastik akut (LMA) merupakan kelainan sel punca hematopoetik yang dikarakterisasi oleh ekspansi progenitor mieloid yang tidak terdiferensiasi. Mutasi NPM1 ekson 12 merupakan perubahan genetik yang paling sering diketahui pada pasien LMA dengan kariotipe normal. Saat ini belum ada penelitian tentang mutasi ekson 12 gen NPM1 tipe A pada populasi Indonesia, sehingga belum ada data dan laporan mengenai mutasi ekson 12 gen NPM1 tipe A pada populasi orang Indonesia. Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu mengetahui karakteristik mutasi ekson 12 gen NPM1 pada pasien LMA dewasa di RSCM dan RSKD dan tujuan khusus yaitu mengetahui frekuensi kejadian mutasi tipe A pada ekson 12 gen NPM1 dan mengetahui benar atau tidaknya bahwa mutasi tersebut ditemukan pada pasien LMA dewasa di RSCM dan RSKD dengan kariotipe normal.
Penelitian bersifat deskriptif dengan desain potong lintang. Sampel diperiksa dengan teknik ASO-RT-PCR dan hasil negatif dilanjutkan dengan seminested-ASO-RT-PCR. Hasil penelitian memperlihatkan 8 sampel (24,24%) dari total 33 sampel terdeteksi positif mengalami mutasi tipe A dan mutasi tersebut lebih banyak ditemukan pada pasien LMA dewasa di RSCM dan RSKD dengan kariotipe abnormal. Saran dari penelitian ini yaitu perlu dilakukan studi dengan jumlah sampel lebih banyak dan perlu dilakukan sequencing untuk mengetahui tipe mutasi lain dari ekson 12 gen NPM1.

Acute Myeloid Leukemia (AML) is a hematopoietic stem cell disorders characterized by expansion of myeloid progenitors that are not differentiated. Exon 12 NPM1 mutations are the most frequent genetic alterations detected in AML patients with normal karyotype. Currently there is no study on type A exon 12 NPM1 gene mutation in Indonesian population. The general objective of this study was to determine the characteristic of exon 12 NPM1 gene mutation in adult AML patients at RSCM and RSKD. While the specific objectives were to determine the frequency of type A exon 12 NPM1 gene mutation and to observe if this mutation was found on adult AML patients with normal karyotype.
This research was designed as a cross sectional descriptive study. Samples were examined for type A mutation in exon 12 NPM1 gene using ASO-RT-PCR technique followed by seminested-ASO-RT-PCR for samples showing negative result. From this study, we found that 8 samples (24.24%) from a total of 33 samples were positively detected for type A mutation. In addition, we also found that this mutation was more frequent in adult AML patients with abnormal karyotype. Further study with larger number of samples and analysis by DNA sequencing is needed to better characterize this type A mutation and to find other type of mutation in exon 12 NPM1 gene respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nibras Zakiyah
"Terapi penyakit degeneratif menggunakan sel punca mesenkim (SPM) dikembangkan dengan pendekatan seluler ataupun dengan conditioned medium (CM) yang mengandung faktor pertumbuhan dan vesikel ekstraseluer (VE). Sel punca kanker merupakan populasi kecil sel dalam jaringan kanker yang berkaitan dengan resistensi terapi. Belum diketahui dampak VE SPM tali pusat terhadap kepuncaan sel kanker payudara. Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak pemberian VE SPM tali pusat terhadap kepuncaan sel kanker payudara. VE diisolasi dengan kromatografi kolom; diidentifikasi dengan mikroskop konfokal dan transmission electron microscope. Internalisasi VE oleh sel kanker payudara dikonfirmasi dengan mikroskop konfokal. Analisis viabilitas sel pasca kokultur VE dilakukan menggunakan trypan blue exclusion assay, ekspresi mRNA OCT4 dengan qRT-PCR, ekspresi protein OCT4 dengan Western Blot, aktivitas enzim ALDH dengan ALDEFLUOR™. Hasil, VE SPM tali pusat berhasil diisolasi serta diidentifikasi. Derajat internaliasasi VE oleh ketiga jenis sel kanker payudara berbeda. VE 5% meningkatkan viabilitas ketiga jenis sel serta ekspresi mRNA OCT4 sel MCF7 dan ALDH+. Tingkat ekspresi protein OCT4 sel MCF7 dan ALDH+ berbanding terbalik dengan peningkatan konsentrasi VE. VE 5% meningkatkan ekspresi protein OCT4 sel MDA-MB-231. VE 5% meningkatkan aktivitas ALDH ketiga sel kanker payudara. Pada VE 10%, aktivitas ALDH sel MDA-MB-231 dan MCF7 menurun, namun pada sel ALDH+ meningkat. Kesimpulan, pemberian VE SPM tali pusat dengan konsentrasi yang berbeda memberikan dampak berbeda terhadap kepuncaan berbagai sel kanker payudara, berkaitan dengan regulasi ekspresi OCT4 dan aktivitas ALDH.

Therapy of degenerative diseases using umbilical cord mesenchymal stem cells (UCMSCs) are currently developed either using the cell or the conditioned medium containing extracellular vesicles (EVs). Cancer stem cells are a minor subpopulation of cells within cancerous tissue that had been associated with therapy resistance. This study aimed to investigate the effect of EVs secreted by UCMSC (UCMSC-EVs) on the stemness of human breast cancer cells. UCMSC-EVs were isolated using SEC, then identified using confocal microscope and TEM. UCMSC-EV uptake by MDA-MB-231, MCF7, and ALDH+ cells was analyzed by confocal microscope. The viability of co-cultured breast cancer cells was determined using trypan blue exclusion assay, mRNA and protein expression of OCT4 as well as ALDH activity were analyzed qRT-PCR, Western Blot, and ALDEFLUOR™, respectively. As the result, UCMSC-EVs were successfully isolated and identified. The internalization ability of each type of breast cancer cell seemed different. Notably, 5% EVs increased the viability of those three cells. Five percent of EVs increased the mRNA expression of OCT4. On MCF7 and ALDH+ cells, the higher the EVs concentration given, the lower expression of OCT4 protein was. Supplementation of EVs 5% increased the ALDH activity of cells. In conclusion, supplementation of UCMSC-EVs in different concentrations gives different impacts in terms of stemness that was correlated with OCT4 and ALDH regulation within the treated cells."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Erlia Anggrainy
"Latar Belakang: Penurunan sensitivitas hingga resistensi terhadap tamoksifen sering terjadi dalam pengobatan kanker payudara jangka panjang. Salah satu penyebab utamanya adalah peningkatan ekspresi transporter efluks P-glikoprotein (P-gp) dan Breast Cancer Resistance Protein (BCRP). Kurkumin diketahui sebagai penghambat P-gp dan BCRP. Pemberian kurkumin pada sel yang telah menurun sensitivitasnya terhadap tamoksifen diharapkan mampu meningkatkan sensitivitas sel kanker payudara terhadap tamoksifen melalui penghambatan kedua transporter tersebut.
Metode: Sel MCF-7 dipaparkan tamoksifen 1 µM selama 10 pasasi (sel MCF-7(T)), kemudian dianalisis perubahan sensitivitas sel terhadap tamoksifen melalui viabilitas sel dan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP. Pada sel MCF-7(T), kurkumin diberikan dalam dosis 5, 10, dan 20 µM dengan atau tanpa tamoksifen selama 5 hari dan dianalisis viabilitas sel dan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP pada hari ke-2 dan 5. Sebagai kontrol positif, verapamil 50 µM digunakan sebagai penghambat P-gp, ritonavir 15 µM dan nelfinavir 15 µM sebagai penghambat BCRP.
Hasil: Setelah diberikan tamoksifen 1 µM selama 10 pasasi (44 hari), sel MCF-7(T) menurun sensitivitasnya terhadap tamoksifen yang dibuktikan dengan terjadinya pergeseran CC50 sebesar 32,08 kali, peningkatan viabilitas sel sebesar 106,4%, dan peningkatan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP sebesar 10,82 kali dan 4,04 kali. Pemberian kurkumin dengan atau tanpa tamoksifen selama 5 hari dapat menurunkan viabilitas sel dan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP (p < 0,05).
Kesimpulan: Kurkumin meningkatkan sensitivitas sel MCF-7(T) terhadap tamoksifen yang ditandai dengan penurunan viabilitas sel dan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP. Peningkatan sensitivitas tersebut diduga terjadi melalui penghambatan ekspresi mRNA P-gp dan BCRP oleh kurkumin.

Background: Decrease of sensitivity or resistance to tamoxifen occurs after long-term treatment in breast cancer. One of the major factor in tamoxifen resistance is overexpression of efflux transporter P-glycoprotein (P-gp) and Breast Cancer Resistance Protein (BCRP). Curcumin has been known as inhibitor of P-gp and BCRP. The addition of curcumin to tamoxifen resistant cells is expected to increase the sensitivity of breast cancer cells to tamoxifen.
Methods: MCF-7 breast cancer cell line was exposed with tamoxifen 1 µM for 10 passage (MCF-7(T)), then cell viability and mRNA expression of P-gp and BCRP were analyzed. To the MCF-7(T) cells, curcumin of 5, 10, dan 20 µM with or without tamoxifen was given for 5 days and cell viability and mRNA expression of P-gp and BCRP were analyzed on day 2 and 5. As positive control, verapamil 50 µM was used as P-gp inhibitor, ritonavir 15 µM and nelfinavir 15 µM were used as BCRP inhibitor.
Results: The administration of tamoxifen 1 µM for 10 passage (44 days), caused a decreased of MCF-7(T) cells sensitivity to the drug, with 32,08 times reduction in CC50 towards tamoxifen, increased of cell viability of 106,4%, and increased mRNA expression of P-gp and BCRP mRNA of 10,82 and 4,04 fold, respectively. The administration of curcumin with or without tamoxifen for 5 days reduced cell viability and the mRNA expression of P-gp mRNA and BCRP (p < 0,05).
Conclusion: Curcumin increased MCF-7(T) sensitivity to tamoxifen, characterized by decreased of cell viability and mRNA expression of P-gp and BCRP. Increased of sensitivity was estimated at least in part through inhibition of P-gp and BCRP mRNA expression by curcumin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisana Sidqi Aliya
"Latar Belakang: Sel punca kanker merupakan populasi sel minor yang memiliki kemampuan self-renewal dan proliferasi tak terbatas sehingga bersifat tumorigenik dan diduga berperan dalam penurunan sensitivitas terhadap berbagai terapi kanker. Tamoksifen merupakan terapi lini pertama pada kanker payudara ER positif namun penggunaan jangka panjangnya menimbulkan masalah resistensi. Beberapa faktor yang diduga berperan dalam penurunan sensitivitas sel terhadap Tamoksifen yakni modulasi pensinyalan estrogen melalui ER?66; dan ER?36 (yang diketahui memperantarai pensinyalan non-genomik), serta ekspresi transporter effluks seperti MRP2 yang berperan dalam penurunan kadar Tamoksifen intraseluler. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek pemaparan Tamoksifen berulang pada sel punca kanker payudara CD24-/CD44+, dalam kaitannya mengenai sensitivitas terapi melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.
Metode: Selpunca kanker payudara CD24-/CD44+ dipaparkan Tamoksifen 1 ?M selama 21 hari dengan DMSO sebagai kontrol negatif. Viabilitas sel setelah pemaparan Tamoksifen diuji dengan metode trypan blue exclusion. Sifat tumorigenik sel setelah pemaparan (CD24-/CD44+(T)) diuji dengan mammossphere formation assay dan dibandingkan dengan sel CD24-/CD44+(0) yang belum dipaparkan Tamoksifen. Ekspresi mRNA Oct4, c-Myc, ER?66, ER?36 dan MRP2 dianalisis dengan one step quantitative RT-PCR.
Hasil: Terjadi penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+(T) yang dipaparkan Tamoksifen selama 21 hari yang ditunjukkan dengan kenaikan viabilitas sel hingga 125,2%. Tamoksifen tidak dapat menekan sifat tumorigenik sel CD24-/CD44+(T) yang dibuktikan melalui jumlah mammosfer yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan CD24-/CD44+(0). Penurunan sensitivitas sel CD24-/CD44+(T) juga dibuktikan melalui peningkatan ekspresi Oct4 dan c-Myc; keduanya merupakan petanda pluripotensi dan c-Myc juga dikenal sebagai petanda keganasan. Parameter penurunan sensitivitas seperti ER?66, ER?36 dan MRP2 juga menunjukkan peningkatan ekspresi pada hari ke-15 namun menurun kembali pada hari ke-21 yang menunjukkan adanya mekanisme regulasi lain yang mungkin terlibat dalam penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara terhadap Tamoksifen.
Kesimpulan: Pemaparan Tamoksifen berulang dapat menurunkan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+ melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.

Background: Cancer stem cells are minor population of cells possessing self-renewal and unlimited proliferation abilities which support their tumorigenicity and role in decreased sensitivity to many cancer therapies. Tamoxifen is a first line therapy for breast cancer patients with positive ER status. Nonetheless, after 5 years of its long term use eventually leads to recurrence and resistance in 50% of patients receiving tamoxifen therapy. Among some factors that might play role in decreased sensitivity to tamoxifen are modulation of estrogen signaling through ER?66 and ER?36 (the latter known for its non-genomic estrogen signaling), and expression of efflux transporter such as MRP2 responsible for decreased intracellular tamoxifen level. The objective of this study is to analyze the effects of long term tamoxifen exposure toward decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
Methods: Breast cancer stem cells CD24-/CD44+ were exposed to 1 ?M tamoxifen for 21 days with DMSO as negative control. After exposure with 1 ?M tamoxifen, the cell viability were tested by the trypan blue exclusion method. Cell tumorigenicity of tamoxifen-exposed CD24-/CD44+(T) and CD24-/CD44+(0) (before treatment) were tested by the mammosphere formation assay. The expression of Oct4, c-Myc, ER?66, ER?36 andMRP2 mRNAs were analyzed by one step quantiative RT-PCR.
Results: A decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ exposed with 1 ?M tamoxifen for 21 days was observed as indicated by an increased cell viability up to 125.2%. In the presence of tamoxifen, breast cancer stem cells CD24-/CD44+(T) exhibited tumorigenic properties as indicated in no significant difference in the formation of mammosphere unit compared to those of CD24-/CD44+(0). After exposure with 1 ?M tamoxifen for 21 days, an elevated level of Oct4 and c-Myc expressions were observed; both are known as pluripotency markers and the latter also known as marker of aggresiveness. Parameters for a decreased sensitivity such as ER?66, ER?36 and MRP2 also exhibited an elevated expression after 15 days of exposure, but the decreased expression after 21 days of exposure suggests that there might be another mechanism involved in decreased sensitivity of the breast cancer stem cells toward tamoxifen.
Conclusion: Long term tamoxifen exposure may decrease the sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisana Sidqi Aliya
"Latar Belakang: Sel punca kanker merupakan populasi sel minor yang memiliki kemampuan self-renewal dan proliferasi tak terbatas sehingga bersifat tumorigenik dan diduga berperan dalam penurunan sensitivitas terhadap berbagai terapi kanker. Tamoksifen merupakan terapi lini pertama pada kanker payudara ER positif namun penggunaan jangka panjangnya menimbulkan masalah resistensi. Beberapa faktor yang diduga berperan dalam penurunan sensitivitas sel terhadap Tamoksifen yakni modulasi pensinyalan estrogen melalui ERα66; dan ERα36 (yang diketahui memperantarai pensinyalan non-genomik), serta ekspresi transporter effluks seperti MRP2 yang berperan dalam penurunan kadar Tamoksifen intraseluler. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek pemaparan Tamoksifen berulang pada sel punca kanker payudara CD24-/CD44+, dalam kaitannya mengenai sensitivitas terapi melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.
Metode: Selpunca kanker payudara CD24-/CD44+ dipaparkan Tamoksifen 1 μM selama 21 hari dengan DMSO sebagai kontrol negatif. Viabilitas sel setelah pemaparan Tamoksifen diuji dengan metode trypan blue exclusion. Sifat tumorigenik sel setelah pemaparan (CD24-/CD44+(T)) diuji dengan mammossphere formation assay dan dibandingkan dengan sel CD24-/CD44+(0) yang belum dipaparkan Tamoksifen. Ekspresi mRNA Oct4, c-Myc, ERα66, ERα36 dan MRP2 dianalisis dengan one step quantitative RT-PCR.
Hasil: Terjadi penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+(T) yang dipaparkan Tamoksifen selama 21 hari yang ditunjukkan dengan kenaikan viabilitas sel hingga 125,2%. Tamoksifen tidak dapat menekan sifat tumorigenik sel CD24-/CD44+(T) yang dibuktikan melalui jumlah mammosfer yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan CD24-/CD44+(0). Penurunan sensitivitas sel CD24-/CD44+(T) juga dibuktikan melalui peningkatan ekspresi Oct4 dan c-Myc; keduanya merupakan petanda pluripotensi dan c-Myc juga dikenal sebagai petanda keganasan. Parameter penurunan sensitivitas seperti ERα66, ERα36 dan MRP2 juga menunjukkan peningkatan ekspresi pada hari ke-15 namun menurun kembali pada hari ke-21 yang menunjukkan adanya mekanisme regulasi lain yang mungkin terlibat dalam penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara terhadap Tamoksifen.
Kesimpulan: Pemaparan Tamoksifen berulang dapat menurunkan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+ melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.

Background: Cancer stem cells are minor population of cells possessing self-renewal and unlimited proliferation abilities which support their tumorigenicity and role in decreased sensitivity to many cancer therapies. Tamoxifen is a first line therapy for breast cancer patients with positive ER status. Nonetheless, after 5 years of its long term use eventually leads to recurrence and resistance in 50% of patients receiving tamoxifen therapy. Among some factors that might play role in decreased sensitivity to tamoxifen are modulation of estrogen signaling through ERα66 and ERα36 (the latter known for its non-genomic estrogen signaling), and expression of efflux transporter such as MRP2 responsible for decreased intracellular tamoxifen level. The objective of this study is to analyze the effects of repeated tamoxifen exposure toward decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
Methods: Breast cancer stem cells CD24-/CD44+ were exposed to 1 μM tamoxifen for 21 days with DMSO as negative control. After exposure with 1 μM tamoxifen, the cell viability were tested by the trypan blue exclusion method. Cell tumorigenicity of tamoxifen-exposed CD24-/CD44+(T) and CD24-/CD44+(0) (before treatment) were tested by the mammosphere formation assay. The expression of Oct4, c-Myc, ERα66, ERα36 andMRP2 mRNAs were analyzed by one step quantiative RT-PCR.
Results: A decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ exposed with 1 μM tamoxifen for 21 days was observed as indicated by an increased cell viability up to 125.2%. In the presence of tamoxifen, breast cancer stem cells CD24-/CD44+(T) exhibited tumorigenic properties as indicated in no significant difference in the formation of mammosphere unit compared to those of CD24-/CD44+(0). After exposure with 1 μM tamoxifen for 21 days, an elevated level of Oct4 and c-Myc expressions were observed; both are known as pluripotency markers and the latter also known as marker of aggresiveness. Parameters for a decreased sensitivity such as ERα66, ERα36 and MRP2 also exhibited an elevated expression after 15 days of exposure, but the decreased expression after 21 days of exposure suggests that there might be another mechanism involved in decreased sensitivity of the breast cancer stem cells toward tamoxifen.
Conclusion: Repeated tamoxifen exposure may decrease the sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca N. Angka
"Faktor perturnbuhan cndote1 vaskular atau Vascular Endothelial Growth Factor (selanjutnya disebut VEGF) adalah suatu glikoprotein dimer yang dihasilkan oleh sel tumor dan jaringan yang memerlukan pasokan pembuluh darah baru. Beberapa penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara penyebaran ke kelenjar gctah bening ketiak dengan ekspresi VEGF C dan D terutama pada kanker payudara jenis duktal invasif. Ekspresi berlebihan dari VEGF disenai ekspresi berlebihan dari HER2 kanker payudara. Lebih jauh diketahui bahwa ekspresi VEGF berhubungan dengan penyebaran ke kelenjar getah bening ketiak. Pengaruh faktor ini mendorong peneliti untuk mempelajari kanker payudara stadium II dengan HER-2 posltif karena penyebaran ke kelenjar getah benlng ketiak pada sisi yang sama dengan kanker payudara, mulai ditemukan pada stadium II baik pada tumor ukuran di bawah 2 em ataupun pada tumor berukuran lebih dari 2 em. Dalam penelitian ini dinilai poia ekspresi VEGF pada subjek dengan penyebaran ke kelenjar getah bening (N l) dan pada keadaan belum adanya keterlibatan kelenjar getah bening (NO). Ekspresi VEGF dapat diamati dan diukur derajatnya pada jaringan kanker payudara dengan teknik imunohistokimia. Pola ekspresi yang didapatkan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat melihat sifat biologik kanker payudara dalam hal penyebarannya ke kele11iar gctah bening ketiak dan dapat digunakan sebagai faktor prediksi dalam hal penyebarannya.

Vascular Endotbelia1 Growth Factor (VEGF) is a chimeric glycoprotein produced by tumor cells and tissues that require ample blood supply. Some studies have suggested that there is an association between metastasis of cancer cells to the axillary lymph nodes and VEGF C and D especially in ductile invasive breast carcinoma. The over expression from VEGF together with HER-2 were found in 77.2 percent of breast cancer patients. Furthermore evidence suggest that VEGF expression is connected with the spread of cancer to the axillary lymph nodes. We examined breast cancer stage II with HER-2 positive, as the spread of cancer cells to the axillary lymph nodes from the same breast cancer side will only be found at stage H for both tumor under 2 em or more than 2 em. We examined VEGFC the its relationship with axillary lymph node. The results from this research is aimed at monitoring the spread of breast cancer to the axillary lymph nodes and to predict its spread and therefore to find the most effective treatment management for this type of cancer. We analyzed VEGF-C expression in 95 sample breast cancer stage ll with HER-2 positive from 1999 2009. There is no significant associated between VEGF-C expression and axillary lymph node (p = 0.089)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32374
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ay ly Margaret
"Tujuan: Mengetahui aktivitas MnSOD pada darah penderita kanker paru dengan riwayat merokok, menilai hubungan aktivitas MnSOD dengan stres oksidatif dan genotipe MnSOD.
Metode: Penelitian ini adalah studi kasus kontrol. Sampel yang digunakan adalah set leukosit dari 20 pasien kanker paru di RS Persahahatao Jakarta, Kontrol adalah 50 pcrokok dan 50 non perokok dari pabrik pulp di Tangerang. Pcmeriksaan aktivitas spesifik MnSOD berdasarkan prinsip penghambatan terhadap xantin oxidase. untuk menghambat Cu/ZnSOD perlu ditambahkan natrium sianida 5 mM pada sampel lalu diinkubnsi 5 menit pada suhu ruang. Kadar MDA plasma ditcntukan berdasarkan reaksi dcngan asam tiobarbituat membentuk produk berwama merah sesuai metod: Wills, pengukuran kadar karbonil plasma menggunakan metode modifikasi Levine. Aktivitas spesifik katalnse ditentukan berdasarkan penguraian H2O2 yang terjadi menglkuti metode modiflkasi Mates. Pemeriksaan genotype menggunakan metode PCR-RFLP dengan NgoMIV sebagai enzim restriksi.
Hasil: Kadar MDA plasma pada paslen kanker paru kbih rcndah cJibundingk0-n konlrol (p*"0,479). Hal ini merupakan konsekuensi dari progresivitas tumor mekanisme yang menyebabkan belum jelas). mekanisme adaptasi terhadap stres oksidatif atau digunakan sebagai sumber pcmbentukan oksidasi protein. Kadar karbonil plasma pada pasien kanker paru lebih tinggi dibandingkan konfrol (p=0.003), Hal ini menandakan sistem antloksidan telah jenuh dengan ROS yang tinggi dl jaringan paru, juga menandakan kerusakan sel yang lebih luas dan berat. Aktivitas spesifik katalase pada darah penderita kanker paru lebih rendah daripada ke!ompok kontrol (p=0.036). Hal ini mungkin disebabkan oleh ROS di jaringan yang tinggi atau karcna telah terjadi kerusakan oksidatif pada protein. Aktivitas spesifik MnSOD pada pusien kanker paru lebih rendah datipada kontrol (p=0,000). Hal ini menunjukkan enzim MnSOD telah jenuh oleh ROS yang banyak, kerusakan oksidatif pada protein MnSOD. atau gangguan transpor MnSOD, Aktivitas spesifik MnSOD pada perokok juga lebih rendah dilbandingkan dengan non perokok, Hal ini menunjukkan bahwa pajanan asap rokok yang kontinu mcningkatkan pruduksi ROS sehingga aktivitas enzim menurun. Studi ini menemukan genotipe Val/val dan Val/Ala pada kelompok kanker paru (80% dan 20%), pada perokok (90% dan 10%), dan non perokok (100% dan 0%). Kami tidak menemukan genotipe Ala/Ala pada kelompok kasus dan kontrol. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara genotipe dengan aktivitas spesifik MnSOD.
Kesimpulan: Kebiasaan metokok mempengaruhi aktivitas spesifik MnSOD di darah. Penyakin kanker paru dengan kebiasaan merokok mempengaruhi aktivitas spesifik MnSOD di darah. Perubahan aktivitas spesifik MnSOD berkorelasi lemah dengan kerusakan oksidatif baik pada kelompok kanker paru, kontrol perokok, dan non perokok. Tidak ada hubungan yang bermakna antara aktivitas spesifik MnSOD dengan genotipe MnSOD Ala16Val pada kekompok kanker paru dan kontrol. Aktivitas spesifik MnSOD dalam darah dapat diusulkan sebagai petanda dini karsinogenesis paru pada perokok."
Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T32017
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Cahyanur
"Latar belakang: Kanker nasofaring (KNF) merupakan kanker leher kepala terbanyak di Indonesia (28,4%) dan sebagian besar terdiagnosis pada stadium lanjut. Modalitas pengobatan pada kasus KNF stadium lanjut adalah kemoterapi dan radioterapi. Namun, pada stadium sama, respon terhadap pengobatan memiliki hasil berbeda dikarenakan adanya perbedaan karakteristik biologi molekular. Cyclin D1 adalah protein yang berperan dalam siklus sel. Peningkatan ekspresi cyclin D1 akan mempercepat proliferasi. Penelitian ini ingin mengetaui tingkat ekspresi cyclin D1 terhadap respons kemoterapi. Hal tersebut berdasarkan perbedaan hasil penelitian terdahulu. Data ekspresi cyclin D1 pada KNF di Indonesia belum ada, sehingga perlu penelitian ekspresi cyclin D1 pada KNF serta hubungannya berdasarkan respons pengobatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif dengan subjek merupakan pasien KNF yang berobat di RSCM pada kurun waktu 2015-2018. Gambaran radiologi sebelum dan sesudah pengobatan ditinjau ulang berdasarkan kriteria RECIST. Pewarnaan imunohistokimmia cyclin D1 menggunakan antibodi monoklonal cyclin D1 NovocastraTM dengan teknik pengambilan antigen suhu tinggi dan intensitasnya dinilai dengan H-skor menurut kriteria Allred.
Hasil: Terdapat 16 subjek (51,6%) dengan ekspresi cyclin D1 positif dan 15 subjek (48,4%) dengan ekspresi negatif. Peneliti menemukan bahwa ekspresi cyclin memiliki perbedaan rerata yang bermakna antara kelompok subjek yang respons (rerata 116,24 ± 57,80) dan tidak respons (rerata 77,97 ± 45,27) terhadap pengobatan (p = 0,048).
Simpulan: Penelitian ini menunjukkan ekspresi cyclin D1 yang kuat pada kelompok dengan respons pengobatan yang baik.

Background: Nasopharyngeal cancer (NPC) is the most type of head and neck cancer in Indonesia (28.4%) and mostly diagnosed at advanced stage. Treatment of this stage is chemotherapy and radiotherapy. However, patients with the same stage of disease had different treatment response probably due to different characteristics of molecular biology. Cyclin D1 is a protein involved in cell cycle, which the overexpression of it will fasten proliferation. Studies regarding the association of cyclin D1 expression and chemotherapy response have shown a different result. In Indonesia, data of cyclin D1 expression of NPC do not yet exist. This study aimed to examine the proportion of cyclin D1 in NPC and its association with treatment response.
Methods: A retrospective cohort study was conducted using subjects of NPC patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from 2015 until 2018. The response of treatment was reviewed based on RECIST criteria. The technique used for cyclin D1 immunohistochemistry staining was antigen retrieval methods, using cyclin D1 NovocastraTM monoclonal antibody and the intensity was assessed based on Allred criteria.
Results: Sixteen subjects (51.6%) had positive expression of cyclin D1 and 15 subjects (48.4%) had negative expression. The researchers found that cyclin D1 expression had significant mean differences between groups of subjects who responded (mean ± SD = 116.24 ± 57.80) and did not respond (mean ± SD = 77.97 ± 45.27) to treatment (p = 0.048).
Conclusion: This study suggests that higher expression of cyclin D1 is associated with a good treatment response in NPC patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwi Andralia Kartolo
"ABSTRAK
Latar Belakang: Trombositosis pada pasien kanker payudara KPD diduga berkontribusi pada penyebaran dan sifat invasi sel punca kanker payudara. Modifikasi lingkungan mikro tumor dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas terapi anti kanker. Belum diketahui apakah platelet derived growth factor PDGF -AB dalam lisat trombosit LT juga berperan terhadap cancer stem cell CSC payudara CD24-/CD44 .Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek LT dan PDGF-AB didalamnya sebagai lingkungan mikro tumor pada proliferasi dan sifat invasi sel punca kanker payudara CD24-/CD44 yang ditandai dengan kadar matrix metalloproteinase-9 MMP-9 dan epithelial-cadherin E-cadherin . Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental pada kultur sel punca KPD yang diberi LT dari pasien KPD dan donor sehat. Darah semua donor dilakukan pemeriksaan hematologi dan diproses untuk mendapatkan platelet rich plasma PRP . Jumlah trombosit per ?L PRP setiap donor dihitung. PRP diproses untuk mendapatkan LT. Kadar PDGF-AB LT diukur. LT 0,01 ditambahkan ke dalam medium dulbecco rsquo;s modified eagle rsquo;s medium DMEM -F12 untuk kultur sel punca KPD. Setelah inkubasi 48 jam, total jumlah sel, population doubling time PDT dan viabilitas sel dihitung dan dinormalisasikan terhadap nilai kontrolnya. Ekspresi MMP-9 dan E-cadherin dipilih sebagai penanda biologi sifat invasi dan diukur dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay ELISA . Jumlah total sel, PDT, viabilitas sel, kadar MMP-9 dan E-cadherin dibandingkan antara pasien KPD dan donor sehat lalu dianalisis korelasinya dengan jumlah trombosit dan kadar PDGF-AB dalam lisat trombosit. Hasil: Jumlah trombosit dan kadar PDGF-AB dalam LT pasien KPD lebih tinggi dibandingkan LT donor sehat, keduanya dengan nilai p=0,02. LT pasien KPD memicu proliferasi sel punca KPD lebih baik dibandingkan LT donor sehat p

ABSTRACT
Background Thrombocytosis in breast cancer BC patient is supposed to play a role in the invasiveness of breast cancer stem cells. Modification of tumor microenvironment was proposed to increase the efficacy of anticancer therapy. Aim This study aimed to analyze the effect of platelet lysate PL as well as its platelet derived growth factor PDGF AB content as a tumor microenvironment on the CD24 CD44 breast cancer stem cell BCSC proliferation and invasiveness. Methods This experimental study treated BCSC culture with PL from BC patients or healthy donors. Venous blood from all donors were subjected to hematology test and processed to obtain PRP. Platelet counts in PRP were determined. PRP was processed to obtain PL. PDGF AB contents in PL were measured. PL 0.01 was supplemented into dulbecco rsquo s modified eagle rsquo s medium DMEM F12 medium and used for culturing the CD24 CD44 BCSCs . After 48 hours, total cell count, population doubling time PDT , and cell viability were calculated and normalized to its control. Matrix metalloproteinase 9 MMP 9 and E cadherin was used as biological marker for CSC invasiveness and measured by enzyme linked immunosorbent assay ELISA method. Total cell count, PDT, cells viability as well as MMP 9 and E cadherin levels between BCSC, healthy donor platelet lysate and control group were compared and their correlation with platelet count in PRP and PDGF AB levels in platelet lysates were analyzed. Results Platelet counts and PDGF AB levels were higher in BC patient PL compared to healthy donor group, both with a p value of 0.02. BC patient PL could stimulate the proliferation of BCSCs higher than healthy donor PL p"
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Agustini Kurniawati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Selain bergantung pada berbagai faktor prognosis, kesintasan pasien mieloma multipel MM aktif juga ditentukan oleh diagnosis yang lebih dini. Perkembangan kriteria diagnostik MM dari sebelumnya yaitu kriteria Durie-Salmon DS menjadi kriteria International Myeloma Working Group IMWG 2003 dilakukan sebagai upaya mendiagnosis lebih dini MM aktif, namun karena berbagai keterbatasan sumber daya, upaya pemenuhan kriteria diagnostik berdasarkan DS serta IMWG 2003 tidak dapat dilakukan secara konsisten di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diketahui proporsi pemenuhan diagnosis MM berdasarkan kriteria diagnostik DS dan IMWG 2003 serta dampaknya pada kesintasan pasien MM di Indonesia.Tujuan: Mendapatkan data proporsi dan kesintasan pasien MM aktif yang memenuhi kriteria diagnostik DS dan IMWG 2003 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM dan Rumah Sakit Kanker Dharmais RSKD .Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan teknik analisis kesintasan pada pasien MM aktif yang berobat di RSCM dan RSKD selama tahun 2005-2015. Data disajikan dalam kurva Kaplan Meier dan tabel kesintasan dengan interval kepercayaan IK 95 .Hasil: Studi ini melibatkan 102 pasien MM aktif yang data penunjang diagnosis tersedia dan memiliki kesintasan >1 bulan. Sebesar 56,9 pasien memenuhi kriteria diagnostik DS dan 72,5 memenuhi kriteria IMWG 2003. Median Overall Survival OS pasien berdasarkan kriteria DS sama dengan IMWG 2003yaitu 77,8 bulan. Overall Survival tahun ke-1, ke-3, ke-5 pasien MM yang memenuhi kriteria DS adalah 89,9 , 77,5 , dan 54,8 sedangkan pasien MM yang memenuhi kriteria IMWG 2003 adalah 87,5 , 75,6 , dan 55,9 .Simpulan: Proporsi pasien MM aktif yang memenuhi kriteria diagnostik IMWG 2003 lebih tinggi daripada yang memenuhi kriteria DS. Kesintasan menyeluruh pasien MM aktif yang memenuhi kriteria diagnostik DS sama dengan yang memenuhi kriteria IMWG 2003.
ABSTRACT
Background Besides other prognostic factors, survival in active multiple myeloma MM patients is determined by earlier diagnosis. Development of MM diagnostic criteria from Durie Salmon DS to International Myeloma Working Group IMWG 2003 criteria as part of efforts to diagnose earlier active MM patients, unfortunately due to resources constraints, the fullfillment of DS and IMWG 2003 diagnostic criteria can not be done consistently in Indonesia. Therefore, it is important to describe the proportion of fulfillment MM diagnosis based on DS and IMWG 2003 diagnostic criteria as well as its impact on survival of active MM patients in Indonesia.Aim To describe the proportion and survival rate of active MM patients in Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais National Cancer Hospital based on Durie Salmon and International Myeloma Working Group IMWG 2003 diagnostic criteria.Methods We conducted a retrospective cohort study with survival analysis in active MM patients in RSCM and RSKD during 2005 2015. Data were presented in Kaplan Meier curve and survival table with 95 confidence interval.Results This study involved 102 active MM patients whose initial supporting data were available and who survived 1 month. There were 56.9 patients who met DS criteria and 72.5 patients who met IMWG 2003 criteria. Median overall survival OS based on DS and IMWG 2003 diagnostic criteria were similar 77.8 months . The 1st, 3rd, and 5th year survival of patients who met DS criteria were 89.9 , 77.5 , and 54.8 . The 1st, 3rd, and 5th year survival for patients who met on IMWG 2003 criteria were 87.5 , 75.6 , and 55.9 .Conclusion The proportion of active MM patients who fulfilled IMWG 2003 diagnostic criteria was higher than DS diagnostic criteria. Survival of active MM patiens who met DS and IMWG 2003 criteria were similar.Keywords Active multiple myeloma survival Durie Salmon diagnostic criteria IMWG 2003 diagnostic criteria "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>