Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marco Raditya
"Introduksi: Burnout stress adalah sebuah masalah yang sedang berkembang di antara mahasiswa kedokteran, dengan prevalensi saat ini berjenjang dari 45-71%. Kondisi ini berpengaruh terhadap keadaan psikologis dan fisiologis, dan berdampak negatif pada kesehatan dan produktivitas. Studi terkini menunjukkan bahwa aktivitas fisik berpotensi mengurangi burnout. Dengaan begitu, studi ini dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat burnout dan tingkat aktivitas fisik, terutama pada mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia. 
Metode: Sebuah studi potong lintang dilakukan kepada 318 mahasiswa yang dipilih secara stratified random sampling. Maslach Burnout Inventory General Survey (MBI-GS) digunakan untuk mengukur burnout, dan International Physical Activity Questionnaire Short Form (IPAQ-SF) untuk aktivitas fisik. Tes korelasi dan regresi multipel dilaksanakan untuk menentukan hubungan antara seluruh variabel. 
Hasil: Mayoritas mahasiswa memiliki burnout tingkat sedang secara keseluruhan dan aktivitas fisik tingkat sedang. Uji korelasi Spearman menunjukkan korelasi positif antara burnout aspek pencapaian individu dengan aktivitas fisik intensitas sedang (r=0.127, p=0.024), dan aktivitas fisik total (r=0.113, p=0.045). Namun, korelasi dengan depersonalisasi dan kelelahan emosional tidak dapat disimpulkan karena tidak signifikan secara statistik. Lalu, ditemukan asosiasi signfikan secara statistic antara aspek depersonalisasi dengan jenis kelamin (r=-2.411, p=0.016) dan program studi (r=1.007, p=0.001). Sementara itu, ditemukan bahwa minimal 40% mahasiswa mengalami burnout tingkat tinggi pada setidaknya satu aspek dan 25,7% memiliki tingkat aktivitas fisik rendah walaupun mayoritas mahasiswa memiliki tingkat sedang di keduanya. Selain itu, kondisi terberat dari kedua variabel dapat ditemukan pada mahasiswa tingkat 3.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara burnout stress bagian pencapaian individu dengan aktivitas fisik.

Introduction: Burnout stress is an emerging problem among medical students, with the current prevalence ranging from 45-71%. This condition affects both psychologically and physiologically, lowering health and productivity. Current studies suggest physical activity as a plausible mechanism to reduce burnout stress. Thus, this study is conducted to identify the relationship between burnout stress level and physical activity level, especially in preclinical medical students of Universitas Indonesia.
Methods: A cross-sectional study is done on 318 students selected through stratified random sampling. The Maslach Burnout Inventory General Survey (MBI-GS) is used to measure burnout stress, along with the International Physical Activity Questionnaire Short Form (IPAQ-SF) for physical activity. Correlation and multiple regression test are conducted to determine relationship between all variables.
Results: Most students have an overall moderate burnout stress level and moderate physical activity level. Spearman correlation show statistically significant association between personal achievement with moderate-intensity (r=0.127, p=0.024), and total physical activity (r=0.113, p=0.045). Meanwhile, correlation on depersonalisation and emotional exhaustion are inconclusive due to statistically insignificance. On the other hand, statistically significant association between depersonalisation with both gender (r=-2.411, p=0.016) and study program (r=1.007, p=0.001) is present. Additionally, a minimum of 40% students have severe burnout on at least one aspect, while 25.7% have low physical activity level in spite of the moderate majority. In addition, both conditions are most severe among grade III students.
Conclusion: In conclusion, association between burnout stress and physical activity is present on personal accomplishment aspect.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Izzuddin Fathoni
"Latar belakang: Hidup aktif sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran. Aktivitas sepeda bersama, telah menjadi gaya hidup sebagian masyarakat perkotaan. Banyak penelitian pada atlet di laboratorium menunjukkan adanya efek penurunan tekanan darah sesudah melakukan latihan fisik aerobik berupa latihan treadmill atau sepeda statis. Aktivitas aerobik bersepeda yang dilakukan oleh komunitas bukan atlet di luar ruangan (outdoor) umum dijumpai di daerah perkotaan Indonesia.
Tujuan: Mengetahui dampak bersepeda luar ruangan terhadap penurunan tekanan darah dan MAP sesudah bersepeda serta beberapa faktor yang berhubungan.
Metode: Subyek adalah 33 pesepeda bukan atlet (20-30) tahun. Sebelum bersepeda, diukur berat badan dan tinggi badan, dan tekanan darah. Sesudah bersepeda sejauh 7 km, dilakukan pengisian kuesioner kebiasaan bersepeda dan pengukuran tekanan darah pada meni tke 5-30 pada masa pemulihan.
Hasil: Rerata penurunan tekanan darah sistolik adalah 8,36±5,41 mmHg, tekanan darah diastolik 1,82±3,94 mmHg dan MAP 4,00±3,09 mmHg. Tidak terdapat hubungan antara jender, usia, IMT, kebiasaan bersepeda dan penurunan tekanan darah sistolik sesudah bersepeda.
Kesimpulan: Terdapat penurunan yang bermakna pada tekanan darah dan MAP pasca bersepeda luar ruangan. Bersepeda luar ruangan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada subyek normotensi tanpa membedakan jender, usia, IMT dan kebiasaan bersepeda. Kata Kunci: Aerobik, bersepeda luar ruangan, penurunan tekanan darah sesudah latihan fisik.

Background: Active Living is very important to improve health and fitness. Cycling together, have become part of the urban lifestyle. Many studies have been conducted on athletes in the laboratory showed that after aerobic exercise training on a treadmill or stationary bike has lowering effect of the blood pressure. Cycling as aerobic activities undertaken by non- athlete community outdoors commonly found in urban areas in Indonesia.
Purpose: To determine the impact of outdoor cycling to blood pressure and MAP reduction after cycling and several related factors.
Methods: The subjects in this study were 33 non-athletes cyclists (20-30) years old. Body weight and height, and blood pressure was measured before cycling. After 7 km cycling, filling out the questionnaire of cycling habitsand blood pressure measurements in 5-30 minutes of recovery time.
Results: The mean reduction in systolic blood pressure was 8.36 ± 5.41 mmHg, diastolic blood pressure was 1.82 ± 3.94 mmHg and MAP was 4.00 ± 3.09 mmHg. There was no relationship between genders, age, BMI, cycling habits with systolic blood pressure reduction after cycling.
Conclusion: There was a significant reduction in blood pressure and MAP after outdoor cycling. Outdoor cycling is proven to reduce blood pressure in normotensive subject regardless of gender, age, BMI and cycling habits.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanda Tsania Lailaturrahmah
"Latar belakang: Gangguan menstruasi memiliki prevalensi yang tinggi pada perempuan yang telah mengalami menstruasi, termasuk mahasiswi kedokteran. Gangguan ini menjadi alasan utama perempuan berobat ke klinik obstetri dan ginekologi. Gangguan menstruasi dapat menjadi indikator adanya gangguan kesehatan reproduksi atau pun gangguan kesehatan secara umum. Gangguan ini juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi psikologi, sosial, emosional, dan finansial baik secara langsung maupun tidak langsung perempuan yang menderitanya. Meskipun masih menjadi perdebatan, aktivitas fisik yang terlalu rendah atau terlalu tinggi diketahui merupakan salah satu faktor yang menyebabkan gangguan menstruasi. Saat ini penelitian mengenai hubungan tingkat aktivitas fisik dan gangguan menstruasi lebih banyak diselenggarakan di kalangan atlet. Baru sedikit penelitian yang meneliti hubungan ini di populasi perempuan secara umum. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti hubungan tingkat aktivitas fisik dengan gangguan menstruasi pada mahasiswi preklinik FKUI.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat aktivitas fisik dengan gangguan menstruasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang analitik dan metode consecutive sampling dengan melibatkan 160 subjek penelitian dari Mahasiswi Preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Subjek penelitian diminta untuk mengisi kuesioner penelitian terstruktur yang terdiri atas enam bagian pertanyaan yaitu bagian skrining dan persetujuan menjadi responden, data demografi, status gizi, tingkat aktivitas fisik, tingkat stress, dan riwayat menstruasi yang telah diuji validasi dan reliabilitas secara daring. Beda proporsi gangguan menstruasi dengan aktivitas fisik dianalisis menggunakan uji Chi-square dengan program SPSS 24.0.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa kategori tingkat aktivitas fisik yang paling banyak ditemukan adalah rendah (49,4%) dan sedang (45,0%). Angka kejadian gangguan menstruasi secara umum adalah 92,5% dengan jenis gangguan yang paling banyak ditemukan adalah dismenore sedang dan berat (71,88%) dan hipermenore (48,12%). Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi gangguan menstruasi yang signifikan (p = 0,669) antar kategori aktivitas fisik.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat aktivitas fisik dengan gangguan menstruasi pada Mahasiswi Preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (p = 0,669).

Introduction: Menstrual disorders have a high prevalence in women who have experienced menstruation, including medical students. This disorder is the main reason women seek treatment at obstetrics and gynecology clinics. Menstrual disorders can be an indicator of reproductive health problems or general health problems. This disorder can also have a negative impact on psychological, social, emotional, and financial, both directly and indirectly for women who suffer from it. Although it is still being debated, physical activity that is too low or too high is known to be one of the factors that cause menstrual disorders. Currently, research on the relationship between levels of physical activity and menstrual disorders is mostly conducted among athletes. Few studies have examined this relationship in the general female population. Therefore, the researcher wanted to examine the relationship between the level of physical activity and menstrual disorders in preclinical students of FKUI.
Objective : This study aims to determine the association between the level of physical activity and menstrual disorders.
Method: This study used an analytical cross-sectional study design and consecutive sampling method involving 160 research subjects from Preclinical Students of the Faculty of Medicine, University of Indonesia. Research subjects were asked to fill in a structured research questionnaire consisting of six types of questions, namely the screening and informed consent section, socio-demographic information, nutritional status, level of physical activity, stress level, and menstrual history that had been tested for validation and reliability online. Differences in the proportion of menstrual disorders with physical activity were analyzed using the Chi-square test with the SPSS 24.0 program.
Result: The results demonstrated that the categories of physical activity levels that are most found are low (49.4%) and moderate (45.0%). The incidence of menstrual disorders in general is 92.5% with the most common types of disorders found are moderate and severe dysmenorrhea (71.88%) and hypermenorrhea (48.12%). Based on statistical tests, there is no significant difference in the proportion of menstrual disorders (p = 0.669) between categories of physical activity.
Conclusion: There is no significant association between the level of physical activity with menstrual disorders in Preclinical Students of the Faculty of Medicine, University of Indonesia (p = 0.669).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Steven
"ABSTRAK
Obesitas merupakan penyakit tidak menular dimana lemak berlebih mengarah pada gangguan metabolik, penyakit kardiovaskular, dan perubahan abnormal biomekanik tubuh. Orang dengan obesitas memiliki kekuatan otot 6-10% lebih rendah dari orang dengan berat badan normal. Penurunan kekuatan otot sejalan dengan penurunan ruang gerak sendi, kontrol postural, dan kecepatan gerak yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kendala dalam melakukan aktivitas fisik. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh Hatha Yoga selama 12 minggu terhadap persentase lemak, lingkar pinggang, kekuatan otot genggam, fleksibilitas, kesiembangan, dan kecepatan gerak pada orang dewasa dengan overweightdan obesitas.
Tujuh puluh dua orang dengan overweightdan obesitas, berusia 18-60 tahun, dirandomisasi ke dalam kelompok perlakuan (n=36) dan kelompok kontrol (n=36). Persentase lemak, lingkar pinggang, kekuatan otot genggam, fleksibilitas, keseimbangan, dan kecepatan gerak merupakan variabel yang diukur. Pemeriksaan yang sudah terstandarisasi dilakukan sebelum dan sesudah intervensi.
Terdapat perbedaan signifikan di antara kedua kelompok (semua p <0,001). Persentase lemak dan lingkar pinggang memberikan hasil dengan arah berlawanan. Kekuatan otot genggam, fleksibilitas, keseimbangan, dan kecepatan gerak membaik pada kelompok perlakuan. Sementara itu, fleksibilitas dan kecepatan gerak menurun secara siginifikan pada kelompok kontrol. Tidak dilaporkan adanya efek samping serius pada kedua kelompok.
Secara umum, program latihan Hatha yoga selama 12 minggu terbukti efektif dalam memperbaiki komponen antropometri dan fungsional pada orang dengan overweight dan obesitas. Penemuan ini memiliki makna implikasi klinis yang penting karena yoga dapat diimplementasikan sebagai salah satu alternatif aktivitas fisik.

ABSTRACT
Obesity is a non-communicable disease in which excess body fat may lead to metabolic disorder, cardiovascular disease, and abnormal mechanics in body movements. Obese people have 6-10% less muscle-strength than those in the normal weight range. That decline in muscle-strength, along with similar declines in the range of movement of major joints, in postural control, and in the speed of movement may result in impaired ability to engage in physical activity. The purpose of this study is to investigate the effects on obese people of a 12-week Hatha yoga intervention--specifically focused on fat percentage, waist circumference, muscle strength, flexibility, balance, and gait speed.
Seventy-two overweight and obese people, aged 18-60 years, were randomly allocated to the yoga group (n=36) or to a "no exercise" control group (n=36). The fat percentage, waist circumference, handgrip strength, flexibility, balance, and gait speed were defined as outcome variables. Standardized tests were administered at baseline and post intervention.
There were significant differences between the two groups in regard to the outcome variables (all p <0.001). Predictably, fat percentage and waist circumference had moved in the other direction. Handgrip strength, flexibility, balance, and gait speed had significantly improved in the yoga group. Meanwhile, flexibility and gait speed significantly declined in the control group. No serious adverse events were reported in either group.
Overall, the 12-week Hatha yoga program was found to be effective in improving functional and anthropometric variables in obese people. The findings have important clinical implications since yoga may well serve as an alternative form of physical activity."
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurza Mulyani
"Penelitian ini membahas mengenai perbedaan pola aktivitas fisik pada tenaga kesehatan dengan sindroma metabolik dan tanpa sindroma metabolik. Sindroma metabolik adalah suatu sindrom yang terdiri dari sekumpulan gejala meliputi peningkatan ukuran lingkar pinggang, peningkatan kadar trigliserida darah, penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL) kolesterol, tekanan darah tinggi dan intoleransi glukosa.Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan desain deskriptif kategorik. Hasil penelitian dengan menggunakan metode Bouchard dan NCEP-ATP III modifikasi Asia didapatkan bahwa prevalensi sindroma metabolik meningkat pada tenaga kesehatan dengan pola aktivitas fisik banyak duduk.

The research discusses about the difference between physical activity pattern of medical worker with metabolic syndrome and without metabolic syndrome. Metabolic syndrome is a syndrome which consists of a set symptoms increasing in the size of the waits circumference, blood triglyceride levels, decreasing of high density lipoprotein (HDL) cholesterol, high blood pressure and glucose intolerance. This study was a cross sectional study with a design categorical description. The results of the study that use Bouchard and NCEP- ATP III methods Asian modifications found that the prevalence of metabolic syndrome increased in pattern with lots of sitting physical activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugrahayu Widyawardani
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian cornflakes dan susu
skim dibandingkan dengan minuman isotonik terhadap replesi glikogen dengan penilaian kadar
glikogen sintase kinase (GSK)-3B leukosit selama dua jam masa pemulihan setelah pertandingan
sepakbola 2 x 45 menit. Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain paralel, acak,
tersamar tunggal. Subyek penelitian, sebanyak 21 atlet sepakbola dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok kontrol (n = 11) dan kelompok perlakuan (n = 10). Selama dua jam masa
pemulihan setelah bertanding sepakbola, kelompok kontrol dan perlakuan berturut-turut mendapat
minuman isotonik dan campuran cornflakes dan susu skim sebanyak 1200 mL Asupan nutrisi
dihitung dengan metode food record 3 x 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan signifikan penurunan kadar GSK-3B leukosit antara kedua kelompok, namun, terjadi
penurunan kadar GSK-3B yang lebih besar pada KP (29% vs 19%). Kesimpulan yang diambil
adalah pemberian campuran cornflakes dan susu skim mempunyai kecenderungan lebih baik untuk
replesi glikogen dibandingkan dengan pemberian minuman isotonik

ABSTRACT
This study to verify the effect of cornflakes-skim millk drink compared with isotonic drink on
glykogen repletion using indicator level of glykogen sintase kinase (GSK)-3B leukosit during two
hours on recovery period after soccer games 2 x 45 minute. This study was randomized , contolled,
single-blinded, clinical trial. The subjects of study was twenty one soccer athletes divided two
group: control group (n = 11) and treatment group (n = 10). After two hours on recovery period
after soccer games, control group and treatment group subsquence isotonic drink and cornflakesskim
milk received either 1200 ml. This study counting with
food record 3 x 24 hours. The result of study there were different significant on decreassed level
of GSK-3B more higher at TC (29% vs 19%). The result of cornflakes-skim milk was having
tendency better for glycogen repletion compared with isotonic drink"
Jakarta: [Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ], 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Joselini Corlesa
"Latar Belakang. Kejadian Female Athlete Triad (FAT) merupakan salah satu
permasalahan yang masih umum ditemukan pada atlet remaja perempuan, yang melibatkan
rendahnya ketersediaan energi, gangguan siklus menstruasi, dan rendahnya densitas massa
tulang. Berbagai studi menunjukkan risiko lebih tinggi terkait kejadian FAT ditemukan
pada kelompok cabang olahraga individual yang menekankan pada daya tahan, estetika,
dan berat badan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik atlet remaja
perempuan dan stratifikasi risiko FAT terhadap atlet remaja perempuan berdasarkan
masing-masing cabang olahraga yang ditekuni serta hubungannya dengan jenis olahraga
individu maupun kelompok Metode. Studi potong lintang analitik ini dilakukan 88 pada
atlet remaja perempuan berusia 15-18 tahun di Pusat Pendidikan dan Latihan X,
berlangsung sejak Agustus sampai September 2019. Setiap subjek penelitian akan
mengikuti proses wawancara, pemeriksaan fisik, antropometri, pemeriksaan densitas massa
tulang dengan Dual X-Ray Energy Absorptiometry (DXA) yang kemudian dimasukkan ke
dalam stratifikasi risiko FAT Hasil. Dari 88 subjek penelitian, didapatkan sebanyak 75%
atlet dengan risiko rendah FAT, 23,9% risiko sedang FAT, dan 1,1% risiko tinggi FAT.
.Cabang olahraga senam, pencak silat, dan bola voli merupakan cabang olahraga dengan
risiko FAT sedang-tinggi lebih banyak dibandingkan dengan cabang olahraga lainnya.
Berdasarkan stratifikasi risiko FAT , tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara
jenis olahraga individu kelompok (p=0,609) Kesimpulan. Proporsi risiko rendah FAT
lebih banyak ditemukan pada atlet dalam penelitian ini, namun demikian perlu dilakukan
edukasi lebih lanjut mengenai risiko FAT dan pentingnya asupan kalori kepada atlet,
pelatih dan orang tua atlet. Tidak didadapatkan hubungan antara jenis olahraga dengan
stratifikasi risiko FAT.

Background. Female Athlete Triad (FAT) remains as a common problem on adolescent
female athletes, which is divided in three major aspects, such as low energy availability,
menstrual dysfunction, and low bone mass density. Studies showed higher risk of FAT in
individual sports athletes, focusing in endurance, aesthetic, and weight classification. The
purpose of this study was to determine the associations between type of sports and FAT
risk stratification in adolescent female athletes Method. This cross-sectional analytical
study was conducted on 88 adolescent female athletes aged 15-18 years at the education
and training center, taking place from August to September 2019. Each subject will follow
the interview process, physical examination, anthropometry, examination of bone mass
density with Dual X -Ray Energy Absorption (DXA) then classified using FAT risk
assessment score Results. From 88 subjects, 75% of athletes with low risk of FAT were
found, 23.9% of moderate risk of FAT, and 1.1% of high risk of FAT. Gymnastics, pencak
silat, and volleyball are sports with moderate to high risk of FAT compared to other sports.
Based on FAT risk stratification, no significant relationship was found between the types
of sports-individual and group (p = 0.609) Conclusion. The proportion of low risk FAT
is more found in the athletes in this study, however further education needs to be done
about the risk of FAT and the importance of calorie intake to athletes, coaches and
athletes parents. There is no association between the type of sports and FAT risk
stratification."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Candrarukmi Yogandari
"Beberapa studi di bidang akupunktur mengemukakan bahwa akupunktur merupakan salah satu modalitas terapi untuk mengurangi radikal bebas pada atlet yang menjalani latihan teratur dengan intensitas tinggi dan durasi lama. Latihan dasar kemiliteran merupakan latihan intensif yang dijalani oleh setiap calon prajurit yang memungkinkan terjadinya stres oksidatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan apakah modalitas akupunktur manual dan elektroakupunktur mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar malondialdehid pada calon prajurit saat latihan dasar kemiliteran. Metode penelitian menggunakan uji acak tersamar tunggal dengan kontrol. Penelitian ini dilakukan terhadap 34 calon prajurit saat latihan dasar kemiliteran dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok akupunktur manual dan kelompok elektroakupunktur yang masing-masing terdiri dari 17 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selisih rerata kadar MDA plasma pada kelompok akupunktur manual 0,228 ± 0,441 dan selisih rerata kadar MDA plasma pada kelompok elektroakupunktur 0,409 ± 0,415.

Several studies in the field of acupuncture suggests that acupuncture is a treatment modality for reducing free radicals in athletes who undergo regular training with high intensity and long duration. Military basic training is intensive training undergone by each candidate that would allow soldiers to oxidative stress. The purpose of this study was to compare whether the manual acupuncture and electroacupuncture modalities have the same effect on levels of malondialdehyde in recruits during training military base. The research method uses a single-blind randomized trials with a control. This study was conducted on 34 recruits when basic military training and were divided into 2 groups: manual acupuncture and electroacupuncture group, each of which consists of 17 people. The results showed that the mean difference of plasma MDA concentration on manual acupuncture group 0.228 ± 0,441 and mean difference of plasma MDA concentration in electroacupuncture group 0.409 ± 0.415."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Anggunadi
"[ABSTRAK
Latar belakang : Cedera ligamentum krusiatum anterior merupakan salah satu cedera olahraga yang sering terjadi. Penanganan dengan operasi rekonstruksi diharapkan dapat membantu pasien untuk kembali melakukan aktivitas fisik seperti semula. Tujuan: Mengetahui aktivitas fisik dan kemampuan fungsional pasien 12-24 bulan pasca operasi rekonstruksi ligamentum krusiatum anterior akibat cedera olahraga, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Dikumpulkan 11 subyek dari daftar rumah sakit tempat praktek dokter spesialis bedah ortopedi anggota IHKS dan IOSSMA. Data demografik dan kondisi fungsional subyektif lutut dikumpulkan menggunakan kuesioner IKDC, data aktivitas fisik menggunakan kuesioner aktivitas fisik Tegner, dan data kondisi fungsional obyektif lutut menggunakan tes lompat satu kaki. Hasil: Sebagian besar subyek memiliki indeks massa tubuh di atas normal dan kebiasaan merokok. Seluruh cedera ligamentum krusiatum anterior yang dialami terjadi akibat suatu mekanisme cedera non-kontak dengan biomekanisme yang khas, yaitu: permukaan plantar kaki menempel di lantai dan berada di posisi menjauhi pusat massa tubuh, sendi lutut berada dalam keadaan hampir ekstensi dan valgus, serta batang tubuh bergeser ke lateral. Namun, sebagian besar subyek tidak menjalani program rehabilitasi sebelum operasi rekonstruksi. Hampir seluruh subyek memiliki tingkat aktivitas fisik lebih rendah dibandingkan dengan tingkat aktivitas fisiknya sebelum cedera, dan alasan utamanya adalah karena adanya rasa takut untuk kembali ke aktivitas fisiknya seperti semula. Sebagian besar subyek memiliki kondisi fungsional sendi lutut yang buruk, baik secara subyektif maupun obyektif, dan didapatkan kecenderungan adanya hubungan antara hal tersebut dengan beberapa faktor, yaitu jarak waktu antara terjadinya cedera dengan dilakukannya operasi rekonstruksi, serta pemberian program rehabilitasi sebelum maupun sesudah operasi rekonstruksi. Kesimpulan: Pasien 12-24 bulan pasca operasi rekonstruksi ligamentum krusiatum anterior akibat cedera olahraga memiliki tingkat aktivitas fisik dan kemampuan fungsional yang rendah. Dan terdapat kecenderungan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh jarak waktu antara terjadinya cedera dengan dilakukannya operasi rekonstruksi, serta pemberian program rehabilitasi sebelum dan sesudah operasi rekonstruksi yang dijalani.

ABSTRACT
Background: Anterior cruciate ligament (ACL) injury is one of the common sports injuries and one of the management strategy is by doing reconstruction surgery. It is hoped that the patient can get back to previous physical activity level after the surgery. Objective: To know the physical activity level and functional ability of patients 12-24 months post anterior cruciate ligament reconstruction surgery due to sports injury and their related factors. Methods: Eleven subjects were selected from hospitals where orthopedic surgeons of IHKS and IOSSMA having their practice. The followings data were collected: demographic and subjective functional knee evaluation using IKDC questionnaire, physical activity level using Tegner activity scale, and objective functional knee evaluation using single leg hop test. Results: Most of the subjects had high body mass index and smoking habit. All the anterior cruciate ligament injuries happened due to a non-contact mechanism with a classic biomechanics: plantar surface of the foot planted on the ground and positioned away from the center of mass of the body, valgus and almost fully extended knee, and lateral trunk motion. Unfortunately, most of the subjects did not have pre-surgical rehabilitation program. Almost all the subjects had a lower physical activity level compare to the one before injury, and the main reason was afraid to do their previous physical activity. Most of the subjects also had bad subjective and objective functional knee condition, and there was a possibility that it was affected by the time interval duration between the injury and reconstruction surgery, and the rehabilitation program given pre- and post-reconstruction surgery. Conclusion: The patients 12-24 months post ACL reconstruction surgery due to sports injury had low physical activity level and functional ability. There was a propensity that this condition was affected by the time interval duration between the injury and reconstruction surgery, and the rehabilitation program given pre- and post-ACL reconstruction surgery., Background: Anterior cruciate ligament (ACL) injury is one of the common
sports injuries and one of the management strategy is by doing reconstruction
surgery. It is hoped that the patient can get back to previous physical activity level
after the surgery.
Objective: To know the physical activity level and functional ability of patients
12-24 months post anterior cruciate ligament reconstruction surgery due to sports
injury and their related factors.
Methods: Eleven subjects were selected from hospitals where orthopedic
surgeons of IHKS and IOSSMA having their practice. The followings data were
collected: demographic and subjective functional knee evaluation using IKDC
questionnaire, physical activity level using Tegner activity scale, and objective
functional knee evaluation using single leg hop test.
Results: Most of the subjects had high body mass index and smoking habit. All
the anterior cruciate ligament injuries happened due to a non-contact mechanism
with a classic biomechanics: plantar surface of the foot planted on the ground and
positioned away from the center of mass of the body, valgus and almost fully
extended knee, and lateral trunk motion. Unfortunately, most of the subjects did
not have pre-surgical rehabilitation program. Almost all the subjects had a lower
physical activity level compare to the one before injury, and the main reason was
afraid to do their previous physical activity. Most of the subjects also had bad
subjective and objective functional knee condition, and there was a possibility that
it was affected by the time interval duration between the injury and reconstruction
surgery, and the rehabilitation program given pre- and post-reconstruction
surgery.
Conclusion: The patients 12-24 months post ACL reconstruction surgery due to
sports injury had low physical activity level and functional ability. There was a
propensity that this condition was affected by the time interval duration between
the injury and reconstruction surgery, and the rehabilitation program given pre- and post-ACL reconstruction surgery.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rachma Novita Indrarini
"ABSTRAK
Latihan fisik merupakan hal yang penting untuk kesehatan namun dapat pula meningkatkan stres oksidatif yang menyebabkan peningkatan Reactive Oxygen Species ROS . Superoksida dismutase SOD adalah antioksidan endogen yang terdapat dalam tubuh, merupakan enzim yang mengkatalisis dismutasi ion superoksida radikal O2- menjadi hidrogen peroksida H2O2 dan molekul oksogen O2 sebagai perlawanan terhadap stres oksidatif.Akupunktur merupakan salah satu modalitas terapi yang diharapkan dapat mengurangi stress oksidatif yang terjadi akibat latihan fisik. Penelitian ini dilakukan pada tiga puluh pria tidak terlatih yang dibagi secara acak menjadi dua kelompok, kelompok akupunktur manual n = 15 yang dilakukan penusukan pada titik akupunktur ST36 dan SP6 bilateral, dan kelompok plasebo n = 15 yang dilakukan penusukan jarum pada plester tanpa menembus kulit. Terapi akupunktur dilakukan satu kali selama 30 menit segera setelah subyek selesai melakukan latihan fisik akut.. Penilaian kadar SOD darah dinilai sebelum latihan fisik dan satu jam setelah melakukan latihan fisik. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna secara statistik selisih kadar SOD antara sebelum dan sesudah latihan fisik antara kelompok akupunktur manual dan kelompok plasebo p = 0,001.

ABSTRACT
Physical exercise is important for health but can also increase oxidative stress that induce Reactive Oxygen Species ROS . Superoxide dismutase SOD is endogenous antioxidants found in the body, an enzyme that catalyzes the dismutation of radical superoxide ions O2 into hydrogen peroxide H2O2 and oxygen molecules O2 against oxidative stress Acupuncture is one of the therapeutic modalities that is expected to reduce oxidative stress that occurs due to physical exercise. The study was conducted on thirty untrained men who were randomly divided into two groups, the manual acupuncture group n 15 performed acupuncture therapy at bilateral ST36 and SP6 acupuncture points, and the placebo group n 15 performed the needle stitching on the plaster without penetrating the skin. Acupuncture therapy is performed once for 30 minutes immediately after the subjects have finished acute physical exercise. Assessment of the blood SOD level was assessed before physical exercise and one hour after physical exercise. The results of this study showed a statistically significant difference in the difference between the level of SOD before and after physical exercise between the manual acupuncture group and placebo group p 0.001. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>