Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Radityo Prakoso
"Latar Belakang: Gangguan fungsi saraf otonom memberikan kontribusi yang bermakna terhadap terjadinya aritmia ventikular dan kejadian mati mendadak pada penderita peyakit jantung koroner (PJK). Namun usaha untuk meneliti hal tersebut masih belum banyak dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan hubungan sensitivitas barorefleks dengan parameter turbulensi lajujantung pada penderita PJK.
Metoda: Penderita PJK yang sedang menjalani tindakan kateterisasi di ruang kateterisasi PJNHK dengan hasil stenosis koroner 2: 50%, diberikan induksi ventricle extra systole (VES) melalui temporary pacemaker (TPM) yang dihubungkan dengan Programmable Stimulator Medtronic sebanyak 3 kali dan dihitung onset turbulensi dan kemiringan turbulensinya. Kemudian diberikan nitrogliserin 300 mikrogram intra aorta melalui kateter, yang selanjutnya dihitung sensitivitas barorefleksnya.
Hasil: Karakteristik subjek yaitu terdiri atas 22 orang laki-Iaki (84,6%) dan 4 orang wanita (15,4%), usia berkisar 56.81±9.04 tahun. Sebagian besar subjek memiliki faktor risiko dislipidemia (57,7%) kemudian diikuti faktor risiko lainnya seperti merokok (46,2%), hipertensi (42,3%), dan hanya 3 subjek (11,5%) yang memiliki faktor risiko diabetes melitus. Jumlah subjek penelitian yang pemah mengalami infark miokard sebanyak 11 orang (42,5%) hampir setara dengan jumlah subjek yang belum pemah mengalami infark miokard. Dari semua subjek penelitian, obat-obatan yang dipakai paling banyak antara lain clopidogrel sebanyak 25 orang (96,2%), aspirin sebanyak 22 orang (84,6%), sedangkan penyekat beta dan nitrat juga banyak dipakai (14 orang, 53 ,8% dan 15 orang, 57,7%). Tidak terdapat hubungan antara nilai onset turbulensi dan sensitivitas barorefleks (koefisien korelasi r=0,15 dan p=O,456). Korelasi antara kemiringan turbulensi dan sensitivitas barorefleks menunjukkan koefisien korelasi yang tidak bermakna (r=0,361, p=0,07), namun masih terdapat kecenderungan hubungan nilai KT dan sensitivitas barorefleks.
Simpulan: Pada pasien PJK terdapat nilai sensitivitas barorefleks menunjukkan kecenderungan sebanding dengan kemiringan turbulensi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T59023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edrian
"Latar belakang. Pengukuran tekanan darah di klinik (TDK) saat ini masih dianggap sebagai metoda referensi dalam mendiagnosis dan follow-up pasien hipertensi,tetapi disebabkan adanya fenomena white-coat hypertension dan masked hypertension terlihat semakin jelas informasi yang diberikan seringkali tidak adekuat tentang status tekanan darah pasien yang sebenarnya. Hipertensi sendiri dikaitkan dengan kerusakan target organ dan salah satu diantaranya ke organ ginjal. Pemeriksaan indeks resistensi renalis (RRI) dapat menjadi prediktor disfungsi ginjal dan dapat mencerminkan tingkat aterosklerosis sistemik. Khususnya pada kasus hipertensi, peningkatan RRI dihubungkan dengan berat dan lama nya durasi hipertensi esensial. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat nilai pengukuran tekanan darah di rumah (TDR) dibandingkan TDK dalam memprediksi nilai RRI.
Metode. Tujuh puluh dua pasien hipertensi dalam terapi obat antihipertensi diambil secara konsekutif untuk studi potong lintang ini, mulai bulan Maret hingga Mei 2013 di poli rawat jalan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien menjalani pemeriksaan TDK saat kontrol dan TDR dilakukan selama 4 hari dimana keduanya memakai alat osilometri yang tervalidasi. Pemeriksaan Doppler renal dilakukan pada semua pasien untuk mendapatkan nilai RRI.
Hasil. Uji korelasi antara nilai TDR dan TDK mempunyai korelasi yang baik untuk sistolik maupun diastolik (r = 0,48/0,45 , p < 0,001). Pada uji korelasi regresi didapatkan korelasi yang bermakna antara nilai sistolik TDR dengan nilai RRI (r=0,118 dengan p=0,032), dan korelasi ini tidak signifikan baik untuk sistolik TDK, dan diastolik baik TDK dan TDR. Dari uji multipel regresi melihat prediktor independen terhadap nilai RRI didapatkan nilai sistolik TDR merupakan prediktor independen.
Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa TDR merupakan prediktor yang baik dari nilai RRI sebagai penilaian kerusakan target organ, dan metode ini lebih superior dibandingkan TDK.

Introduction. Office blood pressure monitoring still considered as method of reference for diagnosing an follow up hypertension patients, but due to white coat hypertension and masked hypertension it seems the information inadequate for the real blood pressure status. Hypertension itself was related to target organ damage and one of them is renal damage. Renal Resistive index (RRI) can be a predictor of renal dysfunction and it reflect sistemic atherosclerosis. Especially for hypertension, increase of RRI is related to severity and duration of essential hypertension. Our objective was to assess the value of home blood pressure (HBP) monitoring in comparison to office blood pressure in predicting renal resistive index value(RRI).
Methods. Seventy two hypertension patients on medication was consecutively included in our cross sectional study, starting from March to Mei 2013 at National Cardiac Centre Harapan Kita Hospital Outpatient clinic. Office Blood pressure was measured when patients controlled to the clinic and HBP was measured for 4 workdays with the same validated electronic device. Renal Doppler was performed to measured RRI value.
Results. Correlation test between HBP and OBP showed a good correlation for systolic and diastolic (r=0,48/0,45, p<0,001). The correlation regretion test showed a good correlation between systolic HBP with renal resistive index (r=0,118 with p=0,032), and this correlation was not significant for systolic OBP, and diastolic OBP and HBP. In multiple regression analysis assessing independent predictor for RRI, systolic HBP was seen as the only independent predictor.
Conclusions. This result suggest that home BP was a better predictor of RRI as assessment for target organ damage, and this method was superior compared to the blood pressure measurement at the clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Hendra
"Latar Belakang. Remodeling ventrikel bermanifestasi klinis berupa perubahan ukuran, bentuk dan fungsi ventrikel. Remodeling ventrikel pasca infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Dalam keadaan IMAEST, munculnya sirkulasi kolateral koroner (SKK) sebelum tindakan intervensi koroner perkutan primer (IKPP) memberikan tenggang waktu yang lebih lama bagi miokardium untuk mendapat aliran yang cukup sampai tindakan reperfusi dilakukan. Penelitian-penelitian terdahulu pada pasien IMAEST telah menunjukkan bahwa aliran SKK yang baik sebelum tindakan reperfusi terbukti berhubungan dengan remodeling ventrikel yang lebih baik.
Metode. Studi prospektif ini melibatkan 33 pasien IMAEST yang menjalani IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) selama periode November 2012 ? April 2013. Pasien penelitian diambil secara konsekutif dan dikelompokkan menjadi grup nonkolateral (Rentrop 0 atau 1) dan grup kolateral (Rentrop 2 atau 3). Pasien menjalani pencitraan resonansi magnetik jantung (RMJ) pada minggu pertama dan minggu ke-6 pasca IMAEST.
Hasil. Dalam studi ini 29 pasien mengikuti penelitian sampai selesai. Dari analisa didapatkan nilai left ventricle end diastolic volume (LVEDV) yang lebih kecil pada grup kolateral dibandingkan dengan grup nonkolateral dengan perbedaan sebesar 23,8% (CI:6,6 - 41,1; p=0,008).
Kesimpulan. Sirkulasi kolateral koroner berperan dalam mengurangi proses remodeling ventrikel kiri fase awal pada pasien IMAEST yang menjalani tindakan IKPP yang berhasil.

Background. Ventricle remodeling manifested clinically as changes in size, shape and function of the heart. Ventricle remodeling after ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) is associated with morbidity and mortality rate. In STEMI patients, the presence of coronary collateral prior to primary percutaneous coronary intervention (PPCI) maintains blood flow to the myocardium. Previous studies have shown protective effect of coronary collateral in prevent worsening ventricle remodeling.
Method. This prospective study consists of 33 STEMI patients who underwent PPCI between November 2012 until April 2013 at National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) Jakarta. The patients were taken consecutively and grouped into noncollateral group (Rentrop 0 or 1) and collateral group (Rentrop 2 or 3). The patients underwent cardiac magnetic resonance evaluation in the first and sixth week after onset of STEMI.
Results. Twenty nine patients completed this study. Coronary collateral were associated with better early left ventricle remodeling, with smaller left ventricle end-diastolic volume (LVEDV) in collateral group compared to noncollateral group, with a difference of 23,8% (CI: 6,6 ? 41,1; p=0,008).
Conclusion. Coronary collateral circulation in STEMI was proved to prevent adverse early left ventricle remodeling.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Budiono
"Shear stress tinggi terbukti berkaitan dengan penglepasan dan peningkatan sintesa EDRF, khususnya nitrogen monoksida (NO). Telah diketahui bahwa konsep respon endotil terhadap shear stress mendasari perbaikan fungsi endotil pada penelitian in vitro maupun in vivo. Penelitian mengenai efek olah raga terhadap fungsi endotil pada binatang percobaan maupun penderita gagal jantung, menjelaskan dugaan bahwa stimulus peningkatan aliran darah yang berlangsung lama, dapat merangsang pemulihan disfungsi endotil. Adanya peningkatan aliran darah (shear stress) juga telah dibuktikan pada penderita yang menjalani enhanced external counterpulsation (EECP), sehingga diduga akan menimbulkan respon yang mirip dengan aktivitas olah raga, yaitu pelepasan NO oleh sel endotil. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah terdapat peningkatan kadar NO plasma pada penderita penyakit jantung koroner yang mendapat perlakuan EECP. Dilakukan penelitian eksperimental dengan desain pra-pasca pada 20 penderita penyakit jantung koroner (PJK), di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Seluruh penderita berjenis kelamin laki koronerangiografi dengan hasil 9 (47,4%) penderita dengan penyempitan di tiga pembuluh koroner utama, 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan laki, dengan rerata umur 58,1 ± 7,72 tahun, telah menjalani pemeriksaan dua pembuluh koroner utama dan 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan pada satu pembuluh koroner utama. Satu orang penderita dikeluarkan dari penelitian karena akan operasi tumor paru. Seluruh penderita tersebut mendapat perlakuan EECP satu jam perhari sampai tiga puluh enam kali, minimal lima kali seminggu. Setelah puasa 12 jam, pengambilan sampel darah dari vena kubiti dilakukan sesaat sebelum EECP pertama dimulai dan sesaat sesudah EECP pertama selesai. Pengambilan sampel darah berikutnya dilakukan sesaat sebelum dan sesudah EECP ke tiga puluh enam. Kadar NO plasma diukur secara tidak langsung memakai reagen Griess. Analisa statistik dilakukan dengan uji non parametrik Wilcoxon sign rank test untuk distribusi tidak normal atau paired t test bila distribusi sampel normal, menggunakan perangkat Sigma Stat Jandel Scientific Software 1994. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kadar NO sebelum dan sesudah EECP ke-1 (p-0,046), sebelum EECP ke-1 dan sebelum EECP ke-36 (p=0,003) dan kadar NO sesudah EECP ke-36 dan sebelum EECP ke-1 (p=0,002). Sedangkan efek langsung peningkatan kadar NO pada EECP ke-36 tidak signifikan (p=0,181). Dari analisa statistik, kelompok umur < 60 tahun, memiliki peningkatan signifikan kadar NO3 dibanding dengan NO (p= 0,043) dibanding dengan kelompok umur ≥ 60 tahun (p= 0,077). Data tersebut memperlihatkan bahwa pada kelompok usia < 60 tahun memiliki respon lebih baik terhadap perlakuan EECP kumulatif dibandingkan dengan kelompok usia > 60 tahun. Keadaan ini sejalan dengan konsep bahwa proses penuaan berpengaruh terhadap fungsi endotil. Pengelompokan berdasar jumlah vessel disease memperlihatkan adanya peningkatan signifikan rerata kadar NO3 dibandingkan dengan NO (p=0,04) dan NO4 dengan NO1 (p=0,015) pada kelompok 1-2 vessel disease, sedangkan kelompok 3 vessel disease hanya terjadi peningkatan signifikan kadar NO4 dibandingkan dengan NO, (p=0,021). Peningkatan kadar NO yang belum signifikan, sekalipun telah mendapat perlakuan EECP 35 kali, mencerminkan bahwa perlakuan tersebut belum cukup adekuat untuk meningkatkan kemampuan memproduksi NO. Hal ini sesuai dengan penelitian Neunteufl dkk, yang mengatakan bahwa luasnya stenosis arteri koroner sebanding dengan luasnya disfungsi endotil sistemik. Seperti halnya pada organ lain, proses pemulihan fungsi akan sangat dipengaruhi oleh seberapa berat gangguan fungsi yang dihadapi. Secara umum hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Daisuke Masuda, dkk. Mereka, menggunakan tehnik pemeriksaan kadar NO dengan reagen Griess, melaporkan bahwa pada 11 pasien PJK yang dilakukan EECP selama 35 kali mengalami kenaikan rerata kadar NO dari 50 ± 26 menjadi 108 ± 9 uMolar/ L. Penelitian yang dilakukan oleh Giu-Fu Wu dkk, juga melaporkan terjadinya kenaikan rerata kadar NO secara signifikan pada 43 pasien PJK sejak jam pertama (1,26 ±0,06 menjadi 1,48 0,06 mg/ L, (1 pg/ul = 1μM)) dan kenaikan kadar NO tertinggi terjadi setelah EECP ke-36 (2,11 ± 0,20 mg/l). Kenaikan kadar NO diikuti penurunan kadar endotelin-1 sehingga rasio endotelin-1/ NO turun bermakna dari 96,37 5,95 menjadi 35,15 ± 4,39. Pada populasi penelitian kami, kadar basal NO lebih rendah. Populasi penelitian Masuda memiliki rerata kadar basal NO pra EECP 50 ± 26 Mol/L, sedangkan populasi penelitian kami 12,30 ± 6,82 µMol/L. Kadar NO basal yang lebih rendah mungkin menggambarkan kondisi disfungsi endotil yang lebih berat. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya ialah; 1. Jumlah sampel kecil. 2. Tidak dilakukan pemeriksaan pada beberapa hal yang dapat mempengaruhi respon endotil terhadap stimulus shear stress seperti kadar gula darah dankadar kolesterol. KESIMPULAN:
1. Terjadi peningkatan kadar NO pada penderita PJK yang diberi perlakuan EECP
2. Pada kelompok usia kurang dari 60 tahun terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok usia lebih dari 60 tahun.
3. Pada kelompok 2 vessel disease terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok 3 vessel disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57279
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taka Mehi
"[ABSTRAK
Latar belakang : Pada masa sekarang, reperfusi miokardium dengan trombolitik
atau intervensi koroner perkutan primer ( IKPP) adalah terapi utama pada pasien
yang mengalami IMA EST. Tujuan utama IKPP untuk mengembalikan patensi
arteri epikardial yang mengalami infark dan mencapai reperfusi mikrovaskular
secepat mungkin. Namun keberhasilan mengembalikan patensi dari arteri koroner
epikardial setelah oklusi tidak selalu menjamin cukupnya reperfusi ke level
mikrovaskular, yang disebut sebagai fenomena no reflow atau microvascular
obstruction (MVO). Terdapat dua mekanisme yang berperan pada no reflow
yaitu disfungsi mikrovaskular dan kerusakan intergritas mikrostruktur endotel.
Kerusakan endotel dapat diakibatkan berbagai hal, diantara nya jejas reperfusi
yang akan mengaktivasi netrofil. Netrofil teraktivasi akan mengeluarkan radikal
bebas oksigen, enzim proteolitik dan mediator proinflamasi yang secara langsung
menyebabkan kerusakan jaringan dan endotel. Trimetazidine adalah obat
antiangina yang dapat menurunkan netrofil yang dimediasi oleh trauma jaringan
setelah jantung mengalami iskemia. Akan tetapi belum diketahui secara luas
pengaruh pemberian trimetazidine terhadap akumulasi netrofil pada kejadian IMA
EST yang dilakukan tindakan IKPP.
Metode : Sebanyak 68 pasien IMA EST yang menjalani IKPP dipilih secara
konsekutif sejak Januari 2015 sampai Juni 2015 diambil saat masuk UGD,
dilakukan pengambilan darah vena perifer untuk menghitung jumlah netrofil
sebelum IKPP, kemudian pasien menjalani IKPP. Setelah 6 jam paska IKPP
dilakukan pengambilan kembali darah vena perifer untuk menghitung kembali
jumlah netrofil paska IKPP. Hitung netrofil diperiksa dengan Sysmex 2000i.
Perhitungan statistik dinilai dengan SPSS 17.
Hasil : Dari 68 subyek, dibagi menjadi 28 subyek pada kelompok yang diberikan
trimetazidine dan 40 subyek yang diberikan plasebo. Tidak didapatkan perbedaan
jumlah netrofil pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol baik sebelum
maupun sesudah IKPP, netrofil pre IKPP pada trimetazidine vs plasebo 10.71 ±
3.263 vs 10.99 ± 3.083,nilai p:0,341. Nilai netrofil post IKPP pada trimetazidine
vs plasebo 9.49 ± 3.135 vs 9.92 ± 3.463,nilai p:0,664.
Kesimpulan : Tidak terdapat penurunan jumlah netrofil pasca pemberian
trimetazidine pada pasien IMA EST yang menjalani IKPP.

ABSTRACT
Background
Nowadays, reperfusion strategy, either with thrombolytic or Primary Percutaneous
Coronary Intervention (PPCI), is the core treatment for Acute ST-Segment
Elevation Myocardial Infarct (STEMI). The goal of PPCI is to restore the patency
of infarcted epicardial artery and establish microvascular reperfusion as soon as
possible so that necrotic myocardial area can be reduced. However, successful
restoration of infarcted epicardial artery is not always followed by enough
reperfusion to the microvascular part. Trimetazidine is an antianginal drug, can
reduce neutrophil which was mediated by tissue trauma during ischemic heart
condition. Trimetazidine is currently approved and widely known as antianginal
drug which affect metabolism. Unfortunately, its influence over neutrophil
accumulation in acute STEMI patients which undergo PPCI is not well
understood.
Method
There were 68 consecutive-selected acute STEMI patients which undergo PPCI
since January 2015 until Juni 2015. They were admitted in emergency department.
Peripheral vein blood sampling was taken to measure neutrophil before PPCI was
performed. Six hour after PPCI was conducted, another peripheral vein blood
sampling was taken for another neutrophil measurement. Neutrophil measurement
was performed with Sysmex 2000i. Statistical analysis was performed by using
SPSS 17.
Result
Among 68 patients, divided in two groups, trimetazidine 28 patients and plasebo
40 patients. There were no differences amount of neutrophils in trimetazidine or
plasebo group, before or after PPCI. Neutrophil pre PPCI in trimetazidine vs
plasebo group 10.71 ± 3.263 vs 10.99 ± 3.083, p:0,341. Neutrophil post PPCI in
trimetazidine vs plasebo group 9.49 ± 3.135 vs 9.92 ± 3.463, p:0,664.
Conclusion
There were no reducing amount of neutrophils after trimetazidine was given in
patients STEMI which underwent PPCI., Background
Nowadays, reperfusion strategy, either with thrombolytic or Primary Percutaneous
Coronary Intervention (PPCI), is the core treatment for Acute ST-Segment
Elevation Myocardial Infarct (STEMI). The goal of PPCI is to restore the patency
of infarcted epicardial artery and establish microvascular reperfusion as soon as
possible so that necrotic myocardial area can be reduced. However, successful
restoration of infarcted epicardial artery is not always followed by enough
reperfusion to the microvascular part. Trimetazidine is an antianginal drug, can
reduce neutrophil which was mediated by tissue trauma during ischemic heart
condition. Trimetazidine is currently approved and widely known as antianginal
drug which affect metabolism. Unfortunately, its influence over neutrophil
accumulation in acute STEMI patients which undergo PPCI is not well
understood.
Method
There were 68 consecutive-selected acute STEMI patients which undergo PPCI
since January 2015 until Juni 2015. They were admitted in emergency department.
Peripheral vein blood sampling was taken to measure neutrophil before PPCI was
performed. Six hour after PPCI was conducted, another peripheral vein blood
sampling was taken for another neutrophil measurement. Neutrophil measurement
was performed with Sysmex 2000i. Statistical analysis was performed by using
SPSS 17.
Result
Among 68 patients, divided in two groups, trimetazidine 28 patients and plasebo
40 patients. There were no differences amount of neutrophils in trimetazidine or
plasebo group, before or after PPCI. Neutrophil pre PPCI in trimetazidine vs
plasebo group 10.71 ± 3.263 vs 10.99 ± 3.083, p:0,341. Neutrophil post PPCI in
trimetazidine vs plasebo group 9.49 ± 3.135 vs 9.92 ± 3.463, p:0,664.
Conclusion
There were no reducing amount of neutrophils after trimetazidine was given in
patients STEMI which underwent PPCI.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Maya Suryana
"Latar Belakang: Reperfusi koroner sangat penting untuk menyelamatkan miokardium yang mengalami iskemia namun tindakan ini ternyata juga dapat mengakibatkan cedera miokardium yang dikenal sebagai jejas reperfusi Manifestasi klinisnya berupa komplikasi pasca BPAK diantaranya aritmia penurunan curah jantung dan perioperatif infark miokard Stres oksidatif merupakan salah satu inisiator utama kejadian jejas reperfusi Allopurinol sebagai inhibitor efektif enzim xantin oksidase dapat menurunkan stres oksidatif dengan menghambat pembentukan reactive oxygen species Sehingga diharapkan pemberian allopurinol pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri yang akan menjalani BPAK dapat menurunkan kejadian komplikasi pasca operasi
Tujuan: Mengetahui efek allopurinol terhadap komplikasi pasca operasi BPAK low cardiac output syndrome yang dinilai dengan penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi kematian dalam masa rawat perioperatif infark miokard dan aritmia pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis tersamar ganda 34 subjek dipilih secara konsekutif pada September November 2015 Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu 16 orang mendapat allopurinol 600mg dan 18 orang mendapat plasebo Obat per oral diberikan 1 hari sebelum dan 6 jam sebelum operasi Pengamatan kejadian komplikasi pasca operasi dimulai sejak pelepasan klem silang aorta hingga pasien selesai perawatan
Hasil: Penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok p 0 047 Ini berarti penggunaan allopurinol berpotensi mengurangi penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi BPAK Proporsi kematian dalam masa rawat pasca operasi BPAK pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna yaitu 6 25 vs 5 6 p 1 000 Sedangkan untuk kejadian aritmia pada kedua kelompok terdapat perbedaan bermakna dengan total proporsi 31 vs 66 p 0 039 dengan jumlah aritmia terbanyak pada kedua kelompok adalah fibrilasi atrium Kejadian perioperatif infark miokard tidak didapatkan pada penelitian ini sehingga efek pemberian allopurinol terhadap kejadian tersebut tidak dapat dinilai
Kesimpulan: Pemberian allopurinol sebelum operasi pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri berpotensi menurunkan kejadian low cardiac output syndrome LCOS yang terlihat dari rendahnya penggunaan obat inotropik dan IABP pasca operasi dan menurunkan kejadian aritmia pasca operasi BPAK

Background: Reperfusion of coronary blood flow is important to resuscitate the ischemic or hypoxic myocardium However the return of blood flow to the ischemic area can result paradoxical cardiomyocyte dysfunction this is referred to as ldquo reperfusion injury rdquo Clinical manifestations of reperfusion injury post CABG surgery are arrhythmias decrease cardiac output and perioperative myocardial infarct Oxidative stress has been confirmed as one of the main initiator in myocardial injury at ischemic and reperfusion state Allopurinol as an effective inhibitor of xanthine oxidase XO can reduce the oxidative stress by blocking the formation of reactive oxygen species ROS Pre operative allopurinol on CAD's patient with LV dysfunction is expected reduce the complications of post CABG surgery
Objective: To analyze effects of pre operative administration of allopurinol on complications of post CABG surgery low cardiac output syndrome which is measured by the use of post surgery inotropic and IABP hospital mortality perioperative myocardial infarction and arrhythmias in CAD's patient with LV dysfunction
Methods: This study is a double randomized clinical trial 34 CAD's patients with LV dysfunction were randomly selected by consecutive sampling methods from September November 2015 They were divided into two groups Sixteen patients were given 600 mg dose of allopurinol per oral one day before and 6 hours before surgery and the rest received placebo Complications of post CABG surgery were observed since the aortic cross clamp off until discharged
Results: The use of post surgery inotropic and IABP found significantly lower in allopurinol group p 0 047 There was no significant difference in proportion of death in post operative hospitalization period in both groups 6 25 vs 5 6 p 1 000 While for the incidence of arrhythmias was found significantly different in the two groups 31 vs 66 p 0 039 with atrial fibrillation as the most common arrhythmia No perioperative myocardial infarction was found in this study therefore effects of allopurinol to the event is unknown
Conclusions: Pre operative administration of allopurinol may reduce the complications of post CABG especially the use of inotropic and IABP and occurrence of arrhythmias
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Bakhtiar Rahmat Jati
"Latar Belakang: Disfungsi mikrovaskular merupakan salah satu manifestasi cedera reperfusi letal. Ticagrelor diketahui memiliki efek kardioprotektif terhadap cedera reperfusi pada hewan coba. Efeknya pada manusia masih harus dibuktikan terutama terhadap perfusi mikrovaskular koroner.
Tujuan: Mengetahui efek ticagrelor terhadap perfusi mikrovaskular koroner pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer IKPP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada bulan Agustus 2016 sampai November 2016. Pasien IMA-EST yang akan dilakukan IKPP dirandomisasi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan ticagrelor dan yang mendapatkan clopidogrel sebelum IKPP. Dilakukan pemeriksaan myocardial blush kuantitatif dengan menggunakan program Quantitative Blush Evaluator QuBE.
Hasil Penelitian: Terdapat total 40 subyek, 20 subyek kelompok ticagrelor dan 20 subyek kelompok clopidogrel. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok ticagrelor dengan clopidogrel terhadap nilai myocardial blush kuantitatif dengan QuBE 18,8 6,6-33,6 vs 18,1 12,4-32,3 , nilai p 0,978.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan nilai myocardial blush kuantitatif pada pemberian ticagrelor sebelum IKPP pada pasien IMA-EST yang menjalani revaskularisasi bila dibandingkan dengan pemberian clopidogrel sebelum IKPP.

Background: Microvascular dysfunction become one of lethal reperfusion injury manifestation. Ticagrelor known having cardioprotective effect against reperfusion injury in animal trial. It effects in human need further investigation and evidence.
Objective: To determine the effect of ticagrelor on coronary microvascular perfusion in acute ST elevation myocardial infarction STEMI patients underwent primary percutaneous coronary intervention PPCI.
Method: This was a double blind randomized clinical trial conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita from August to November 2016. Acute ST elevation myocardial infarction patients underwent PPCI were randomized into two groups, ticagrelor or clopidogrel loading dose before PPCI. Quantitative myocardial blush score was assessed after PPCI using Quantitative Blush Evaluator QuBE program.
Result: There were 40 subjects included in this trial, 20 subjects in ticagrelor group and 20 subjects in clopidogrel group. There was no significant difference between two groups regarding the QuBE score 18,8 6,6 33,6 vs 18,1 12,4 32,3 , nilai p 0,978.
Conclusion: There is no difference on quantitative myocardial blush score in STEMI patient given ticagrelor before PPCI compare to clopidogrel.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Mahavira
"Latar belakang: Hubungan antara kadar gula darah yang tinggi dan thrombolysisin myocardial infarction TIMI flow pra/pascaprosedur angioplasti primerterhadap mortalitas 1 tahun belum banyak dieksplorasi.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan kadar gula darahsaat admisi dan TIMI flow pra/pascaprosedur terhadap mortalitas 1 tahun pasieninfark miokard akut disertai elevasi segmen ST IMA-EST yang menjalaniintervensi koroner perkutan primer IKPP .Metode: 856 pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP pada Januari 2014 hinggaJuli 2016 dianalisis secara retrospektif. Cut-off yang digunakan untuk kadar guladarah tinggi pada studi ini adalah ge;169 mg/dL. Kesintasan 1 tahun dinilai denganmetode Kaplan-Meier.Hasil: Pasien dengan kadar gula darah ge;169 mg/L N=307 mempunyai proporsiTIMI flow akhir 0 ndash; 1 yang lebih tinggi [3.3 vs. 0.5 ; adjusted odds ratio OR = 5.58, 95 confidence interval CI 1.30 ndash;23.9; p=0.02] dan mortalitas 1 tahun lebih tinggi [16.3 vs. 6 ; adjusted hazard ratio HR = 1.9, 95 CI1.12 ndash;3.23, p=0.017] dibanding pasien dengan kadar gula darah rendah N=549 .TIMI flow akhir 0 ndash; 1 merupakan prediktor independen mortalitas 1 tahun HR= 7.0, 95 CI 3.23 ndash;15.15;

Background The association of high blood glucose level and Thrombolysis InMyocardial Infarction TIMI flow before after primary angioplasty with 1 yearmortality has not much been explored.Objective This study sought to determine the association of blood glucose level BGL on admission and pre post procedural TIMI flow with 1 year mortality inpatients with ST segment elevation myocardial infarction STEMI undergoingprimary percutaneous coronary intervention PCI .Methods 856 patients with STEMI and treated with primary PCI betweenJanuary 2014 and July 2016 were retrospectively analyzed. The cut off used for ahigh BGL in this study was ge 169 mg dL. Survival at 1 year was assessed byKaplan Meier method.Results Patients with BGL ge 169 mg dL N 307 had higher proportion of finalTIMI flow 0 1 3.3 vs. 0.5 adjusted odds ratio OR 5.58, 95 confidenceinterval CI 1.30 to 23.9 p 0.02 and higher 1 year mortality 16.3 vs. 6 adjusted hazard ratio HR 1.9, 95 CI 1.12 to 3.23, p 0.017 compared withlower BGL patients N 549 . Final TIMI flow 0 1 was an independent predictorof 1 year mortality HR 7.0, 95 CI 3.23 to 15.15 p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnaini
"Latar Belakang Kombinasi penggunaan antikoagulan dan antiplatelet mengurangi kejadian kardiovaskular mayor pada pasien dengan sindroma konorer akut. Oleh karena itu kami membandingkan dua anti koagulan enoxaparin atau fondaparinux dalam menurunkan KKM pada pasien NSTEMI pengamatan 1 tahun. Metode Kami, meneliti secara konsekutif pada pasien NSTEMI, dari registri sindroma konorer akut januari 2008 hingga desember 2009. Sebanyak 450 pasien NSTEMI yang mendapat enoxaparin ( 60 mg, 2x sehari) atau fondaparinux (2,5 mg 1 x sehari ), dimana sebanyak 388 masuk kriteria inklusi dan dilakukan pengamatan dilakukan pengamatan sampai dengan 1 tahun. Hasil 388 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, pasien yang mendapat enoxaparin sebanyak 168 dan yang mendapat fondaparinux 220 pasien yang mengalami kejadian kardiovaskular mayor setara kedua kelompok ( 40 dengan enoxaparin (23.1%) vs 42 dengan fondaparinux (19.1%); HR 0.76 (0.49-1.19; P=0.222 ). Kesimpulan Tidak ada perbedaan dalam kejadian kardiovaskular mayor pada pasien NSTEMI yang mendapat enoxaparin atau fondaparinux pada pengamatan 1 tahun.

Background Combination use of anticoagulant and antiplatelet reduce major cardiovascular events in patients with acute coronary syndrome. Therefore, we compared two anti-coagulant enoxaparin or fondaparinux in reducing MACE in NSTEMI patients for 1 year of observation. Method We, examining consecutive NSTEMI patients from acute coronary Syndrome Registry in january 2008- December 2009. A total of 450 patients with NSTEMI who received enoxaparin (60 mg, twice daily) or fondaparinux (2.5 mg daily), where the total of 388 entered the inclusion criteria and were examined conducted observations up to 1 year. Results From 388 patients that matched the inclucion criteria, 168 patiens were given enoxaparin while 220 patients were given fondaparinux. The number of patients undergoing major cardiovascular events equivalent to-2 groups ( 40 with enoxaparin (23 .1 %) vs 42 with fondaparinux (19.1 %) ; Hazard Ratio 0.76 ( 0.49-1.19 ; P=0.222 ). Conclusion There was no difference in major cardiovascular events in patients with NSTEMI who received enoxaparin or fondaparinux on the observation of 1 year.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2011
T58344
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ismir Fahri
"Terapi reperfusi dengan IKPP pada pasien IMA-EST bertujuan menyelamatkan miokard dan menurunkan angka kematian. Kembalinya patensi arteri koroner epikardial dengan aliran TIMI derajat 3 tidak selalu berarti terjadinya aliran yang adekuat pada tingkat mikrovaskular, fenomena ini dikenal dengan istilah no reflow atau obstruksi mikrovaskular. Beberapa alat bantu diagnostik untuk mendeteksi kejadian obstuksi mikrovaskular telah banyak dikembangkan, namun sampai saat ini belum didapatkan baku emas.
Mengetahui korelasi penilaian myocardial blush kuantitatif dengan program QuBE terhadap ukuran infark, fraksi ejeksi, volume akhir sistolik dan diastolik ventrikel kiri menggunakan SPECT Tc99m Tetrofosmin dalam 4-6 minggu paska IKPP pada pasien IMA-EST.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Gambaran angiografi pasien IMA-EST yang menjalani reperfusi dengan IKPP dari bulan Juli-Desember 2011 dievaluasi keberhasilannya mengunakan program ?QuBE?, dan pada minggu ke 4-6 paska IKPP dievaluasi dengan pemeriksaan SPECT Tc99m Tetrofosmin, untuk menilai ukuran infark, fraksi ejeksi, volume akhir sistolik dan diastolik ventrikel kiri.
Dari 36 pasien didapatkan proporsi terbanyak berjenis kelamin laki-laki sebesar 94,4%, rata-rata usia pasien 54,3±7,9 tahun. Sebanyak 69,4% pasien dengan diagnosis IMA-EST anterior. Uji Spearman menunjukkan korelasi yang cukup antara nilai QuBE terhadap ukuran infark (-0,594 dan p < 0,001) dan fraksi ejeksi (r 0,531 dan P 0,001), volume akhir sistolik (r -0,496 dan P 0,002) dan volume akhir diastolik (r -0,435 dan P 0,008) ventrikel kiri. Sub analisis pada ATI LAD juga memberikan korelasi yang cukup pada keempat variabel tersebut, namun tidak pada ATI RCA. Uji multivariat parsial mengunakan kontrol variabel; usia, waktu iskemik, ATI, multivessel disease, faktor risiko PJK, kategori killip dan IMT, tetap menunjukkan nilai QuBE berkorelasi cukup dengan ukuran infark (r -0,441 dan p 0,019).
Penilaian myocardial blush kuantitaif dengan program QuBE memiliki korelasi yang cukup terhadap ukuran infark, namun tidak menunjukkan korelasi terhadap fraksi ejeksi, volume akhir sistolik dan diastolik ventrikel kiri menggunakan SPECT Tc99m Tetrofosmin pada minggu ke 4-6 paska IKPP pada pasien IMAEST.

Primary PCI as a reperfusion therapy in STEMI patients is aimed to salvage myocardium and reduce mortality. Successful restoration epicardial coronary artery patency with TIMI 3 flow has not always lead to adequate flow at microvascular level, these phenomena is known as no reflow or microvascular obstruction. Several diagnostic tools were developed to detect MVO, but until now there is no gold standard.
knowing correlation between Quantitative Myocardial blush using QuBE program with infarct size, ejection fraction, systolic and diastolic volume of the left ventricle using SPECT Tc99m Tetrofosmin at 4-6 weeks after PPCI of STEMI patients.
This study is designed as a cross sectional study. Selected angiographic result of STEMI patients that underwent primary PCI from July?December 2011 at The National Cardiac Center Harapan Kita were evaluated directly with the QuBE program. The infarct size, ejection fraction, end systolic and end diastolic volume of left ventricle were evaluated using SPECT Tc99m Tetrofosmin at 4-6 weeks after PPCI.
Thirty six consecutive patients were enrolled. Proportion of men is 94.4% and age average of 54.3±7.9 years old. Most of patients were diagnosed with anterior STEMI (69.4%). Spearmen analysis obtained a moderate correlations between QuBE score and infarct size (r -0.594, p < 0.001), left ventricle ejection fraction (r 0.531, P 0.001), end diastolic volume (r -0.496, P 0.002), end systolic volume (r -0.435, P 0.008). Sub analysis based on IRA at LAD revealed the similar result of the four variables, but not with IRA at RCA. Partial multivariate analysis adjusted with age, ischemic time, IRA, multivessel disease, CAD risk factors, Killip class and BMI consistent showed moderate correlation of QuBE score with infarct size (r -0,441, p 0.019).
Quantitative Myocardial blush using QuBE program revealed a moderate correlation with infarct size, but not with ejection fraction, systolic and diastolic volume of the left ventricle using SPECT Tc99m Tetrofosmin at 4-6 weeks after PPCI of STEMI patent.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>