Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fredy Christianto
"Latar Belakang: Dry eye disease (DED) merupakan sekelompok gangguan pada lapisan tirai mata yang terjadi akibat penurunan produksi air mata atau instabilitas dari tirai mata. Salah satu penyebab terjadinya DED adalah penurunan sekresi air mata akibat penurunan refleks berkedip, yang sering terjadi pada pekerja visual display terminal (VDT). Blinking therapy merupakan salah satu terapi yang dapat diberikan pada penderita DED untuk meningkatkan blink rate dan menurunkan jumlah incomplete blink. Metode: Pencarian literatur dilakukan pada database Pubmed, Cochrane Library, dan Google Scholar dengan kata kunci dry eye disease, blinking therapy, dan ocular surface disease index. Pencarian menghasilkan tiga artikel terpilih yang kemudiaan ditelaah kritis. Hasil: Blinking therapy dapat dilakukan secara konvensional, menggunakan software animasi pada komputer, ataupun menggunakan kacamata khusus wink glass. Blinking therapy dapat memberikan perubahan nilai OSDI yang signifikan secara statistik dalam jangka waktu terapi 20 menit hingga 4 minggu. Kesimpulan: Blinking therapy dapat digunakan sebagai tata laksana pada pasien dengan DED untuk memperbaiki gejala mata kering sesuai dengan parameter yang dinilai pada OSDI.

Background: Dry eye disease (DED) is a group of tear film disturbances that is caused by decrease in tear production or tear film instability. One of the causes of DED is reduced tear secretion, which often happens in visual display terminal (VDT) workers. Blinking therapy is one of the therapies that can be given to DED patients to increase blink rate and reduce the number of incomplete blinks.
Methods: Literature searching was done on database such as Pubmed, Cochrane Library, and Google Scholar. The keywords used on the literature searching were dry eye disease, blinking therapy, and ocular surface disease index. Three articles were chosen and critically appraised.
Results: Blinking therapy can be done using conventional method, using animation software on computer, or by using specifically designed wink glass. Blinking therapy shows statistically significant changes in OSDI scores with therapy duration ranging from 20 minutes to 4 weeks.
Conclusion: Blinking therapy can be done as a treatment for DED patients to improve dry eye symptoms as measured in OSDI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Susilo Joko
"ABSTRAK
Latar belakang: Mata masih merupakan salah satu organ yang paling sering terluka dalam kecelakaan kerja. Diperkirakan 1,6 juta orang buta terhadap cedera mata di seluruh dunia. Secara umum, cedera mata di tempat kerja dapat dicegah dan disebabkan oleh tidak digunakannya kacamata pelindung. Tujuan dari laporan kasus berdasarkan bukti ini adalah untuk menentukan efektivitas alat pelindung diri (APD) untuk pencegahan cedera mata akibat kerja.
Metode: Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Cochrane, Science Direct, dan Wiley Online. Kriteria inklusi dari strategi pencarian ini adalah teks lengkap, manusia, dan diterbitkan dalam 10 tahun terakhir. Kriteria eksklusi dari pencarian ini adalah anak-anak, artikel teks lengkap yang tidak dapat diakses, dan penelitian yang tidak berfokus pada pekerjaan. Artikel-artikel itu dinilai secara kritis dengan menggunakan kriteria yang relevan oleh Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Hasil: Dua artikel yang relevan dan valid ditemukan. Sebuah studi kasus-kontrol oleh Zakrzweski H et.al menyatakan bahwa APD mata tidak dikenakan oleh 66,9% dari responden, dengan 33,1% dari responden mengalami cedera mata akibat pekerjaan meskipun telah menggunakan APD. Penggunaan APD tidak mengurangi proporsi yang signifikan dari pekerja tersebut dari kemungkinan cedera. Sebuah studi cross-sectional oleh Lombardi DA et.al (2009) menyatakan bahwa kurangnya kenyamanan, dan asap/embun dan goresan kacamata merupakan hambatan paling penting dalam penggunaan APD. Usia yang lebih muda dan kurangnya pelatihan keselamatan adalah faktor penting lainnya yang mempengaruhi pengunaan APD.
Kesimpulan: Efektivitas penggunaan APD untuk mencegah cedera mata masih belum terbukti. Advokasi untuk penggunaan dan pemilihan APD mata yang tepat di tempat kerja masih merupakan hal penting yang harus terus didorong untuk dilaksanakan.

ABSTRACT

Background : The eyes are still among the organs most frequently injured in occupational accidents. It is estimated that 1.6 million people are blinded as a result of eye injuries worldwide. In general, ocular injuries at work can be preventable and attributable to non-use of protective eyewear. The purpose of this evidence based case report was to determine the effectiveness of PPE for the prevention of occupational ocular injury.
Method : The literature search was conducted through PubMed, Cochrane, Science Direct, and Wiley Online. The inclusion criteria of this searching strategy were full text, humans, and published within 10 years. The exclusion criteria of this searching were children, inaccessible full text article, and non-occupational focus study. The articles were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Result : Two relevant and valid articles were included. A case-control study by Zakrzweski H et.al stated that eye PPE was not worn by 66.9% of the cohort, with 33.1% of the cohort sustaining an occupational eye injury despite the use of eye PPE. Its use does not preclude a significant proportion of such workers from injury. A cross-sectional study by Lombardi DA et.al (2009) stated that lack of comfort/fit, and fogging and scratching of the eyewear were suggested as the most important barriers to PPE usage. Younger age and lack of safety training were other important factors affecting use of PPE
Conclusion : The effectiveness of PPE usage to prevent ocular injury is still inconclusive. The advocating for both the use and appropriate selection of eye PPE in the workplace is still an important thing that should be continuously encouraged.
"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ariningsih
"ABSTRAK
Latar Belakang: Silikosis adalah pneumokoniosis yang disebabkan inhalasi silika kristal. Risiko relatif pada silikosis masih menjadi perdebatan.Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini untuk mengetahui risiko kanker pada silikosis.
Metode: Pencarian literature menggunakan data base PubMed dan Scopus. Kriteria inklusi penelitian ini adalah meta-analisis, and studi kohort, kasus kontrol, dewasa dengan silikosis, risiko kanker paru. Kriteria eksklusi adalah artikel yang tidak relevan, tidak dapat diakses, studi kohort dan kasus kontrol yang termasuk dalam meta-analisis. Artikel telah dilakukan penilaian kritis menggunakan kriteria Oxford Center for Evidence-Based Medicine.
Hasil: Sebagai hasil, kami memilih 29 studi. 2 artikel meta analisis dilakukan penilaian kritis setelah melalui kriteria eksklusi. Berdasarkan penilaian kritis 2 artikel meta analisis tersebut valid. Meta-analisis oleh Kurihara N, dkk (2004) menjelaskan risiko relative kanker paru adalah 2.37 (95% CI, 1.98-2.84) pada silikosis dan 0.96 (95% CI, 0.81-1.15) untuk non-silikosis. Pada pasien silicosis dan merokok (RR, 4.47; 95% CI, 3.17-6.30). Artikel yang lain adalah meta-analisis oleh Erren T.C, dkk (2011) yang memasukkan 38 studi. Artikel ini menjelaskan risiko kanker paru pada silikosis adalah RR=2.1 (95% CI, 2.0-2.3), dan pada non silikosis adalah RR=1 (95% CI, 0,8-1,3).
Kesimpulan dan Rekomendasi: Silikosis merupakan faktor risiko kanker paru. Merokok sangat meningkatkan risiko kanker paru pada silikosis. Pasien silikosis harus dilakukan pemantauan secara berkala. Pada studi mendatang agar melakukan investigasi silicosis dan pajanan silika sebagai risiko kanker paru di Indonesia.

ABSTRACT
Background: Silicosis is a pneumoconiosis caused by the inhalation of crystalline silica. The higher relative risks among those with silicosis stimulated continued debate.The purpose of this evidence based case report was to know probability silicosis as risk of lung cancer.
Method: The literature search was performed to answer clinical question via electronic databases: PubMed and Scopus. The inclusion criteria of this searching strategy were systematic reviews, and cohort study, adult with silicosis, risk of lung cancer. The exclusion criteria of this article were not relevance, inaccessible articles, cohort or case control that have been used in recent systematic review. Article was critically appraised using criteria Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Result: As a result, we chose 29 study. 2 meta analysis articles was critically appraised after exclusion criteria. Critical appraisal of meta analysis that 2 articles was valid. Meta-analysis by Kurihara N, et al (2004) states the relative risks of lung cancer were 2.37 (95% CI, 1.98-2.84) for those with silicosis and 0.96 (95% CI, 0.81-1.15) for non-silicosis. Cigarette smoking strongly increased the lung cancer risk in silicosis patients (relative risk, 4.47; 95% CI, 3.17-6.30). The other article is a meta-analysis by Erren T.C, et al (2011) which included 38 studies. It stated that silicosis lung cancer risks were found to be doubled RR=2.1 (95% CI, 2.0-2.3), and in non silicosis were found RR=1 (95% CI, 0,8-1,3).
Conclusion and recommendation: Silicosis is a risk factor of lung cancer. Smoking strongly increased the lung cancer risk in patients with silicosis. Silicotic patients who have a risk of lung cancer should be continuously followed-up. Future study should investigate silicosis and silica exposure being as a risk of lung cancer among patients in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jovita Krisita
"Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling umum ditemukan pada populasi pekerja dengan salah satu faktor risiko adalah jam kerja yang panjang terutama pada laki-laki. Tinjauan literatur ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara jam kerja yang panjang dan peningkatan risiko penyakit jantung koroner pada pria dewasa. Metode pencarian literatur yang digunakan adalah melalui pencarian daring sesuai dengan pedoman PRISMA di PubMed dan Scopus dari awal hingga 15 Mei 2020 dengan istilah pencarian berikut: 'pria', 'jam kerja panjang', 'lembur', dan 'risiko penyakit jantung koroner' di Medis Subject Heading Terms (MeSH Terms), judul, kata teks, abstrak, dan semua bidang. Pencarian manual dilakukan dengan mencari bagian referensi dari semua makalah yang diambil sebagai sumber potensial artikel relevan yang memiliki populasi yang tumpang tindih (n=4). Pada akhir proses pencarian literatur, sebuah artikel penelitian dipilih untuk proses penilaian kritis dan ditemukan valid dan penting bagi pasien kami. Peningkatan risiko Infark Miokard Akut sebanyak dua kali lipat ditemukan pada pria dengan jam kerja tambahan sama dengan atau lebih dari 3 jam per hari. Rekomendasi tempat kerja dapat berupa penilaian kembali bekerja, program rehabilitasi, termasuk penilaian beban kerja dan modifikasi jam kerja. Studi intervensi lanjutan diperlukan untuk mendapatkan tingkat bukti yang lebih tinggi. 

Coronary heart disease is one of the most common cardiovascular diseases in worker population and may have resulted from long working hours especially in male population. This review aims to evaluate the relationship between long working hours and increased risk of coronary heart disease in adult males. We did online search in accordance with the PRISMA guidelines in PubMed and Scopus from inception to May 15th, 2020 with the following search terms: 'male', 'long working hours', ‘overtime’, and ‘coronary heart disease risk' in Medical Subject Heading Terms (MeSH Terms), title, textword, abstracts and all fields. Manual search was done by hand-searched the reference sections of all the retrieved papers as a potential source of relevant articles that have overlapping population (n=4). At the end of searching process, one study was chosen for critical appraisal process  that is valid and substantial for our patient. We found Acute Myocardial Infraction risk in male (additional work hours equal to or more than 3 hours per day) increased twofold. Workplace reccomendations that can be made for this patient are return to work assessment, rehabilitation program, work load assessment and modified- working hours. Further intervention studies required to gain higher evidence. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Joni Fiter
"Pendahuluan: Pekerja gilir memiliki risiko gangguan tidur akibat kerja gilir karena terganggunya irama sirkardian. Pemberian melatonin diyakini dapat mengatasi masalah ini. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah untuk menentukan efektivitas pemberian melatonin dalam mengatasi gangguan tidur akibat kerja gilir.
Metode: Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus dan Cochrane. Kriteria inklusi adalah RCT, tinjauan sistematis, pekerja gilir/pekerja malam dengan gangguan tidur, pemberian melatonin dan plasebo, dan hasil luaran gangguan tidur. Kemudian dilakukan telaah kritis dengan menggunakan kriteria yang relevan dari Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Hasil: Telah dipilih dua artikel yang relevan dan valid. Tinjauan sistematis dan meta-analisis oleh Liira J, dkk (2014) menyatakan bahwa total waktu tidur pada hari berikutnya pada kelompok melatonin adalah 24,34 menit lebih lama daripada plasebo. Total waktu tidur pada malam berikutnya pada kelompok melatonin adalah 16,97 menit lebih lama dari plasebo. Melatonin meningkatkan kewaspadaan selama kerja gilir malam. Tidak ada perbedaan efek samping antara plasebo dan melatonin. Sebuah RCT oleh Sadeghniiat-Haghighi K, dkk (2016) menyatakan bahwa efisiensi tidur melatonin secara statistik meningkat sekitar 2,96%. Latensi onset tidur melatonin membaik secara statistik sekitar 6,6 menit.
Kesimpulan: Melatonin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan untuk mengatasi gangguan tidur akibat kerja gilir, terutama untuk meningkatkan total waktu tidur. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan kualitas yang lebih baik.

Introduction: Shift workers have a risk of shift work sleep disorder because of circardian rhythm disturbing. Melatonin administration is believed to overcome this issue. The purpose of this evidence-based case report was to determine the effectiveness of melatonin to overcome shift work sleep disorder.
Method: The literature search was conducted through PubMed, Scopus and Cochrane. Then, they were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Results: Two relevant and valid articles were included. A systematic review and meta-analysis by Liira J, et al (2014) states that total sleep time in the next day on melatonin group was 24.34 minutes longer than placebo. Total sleep time in the next night on melatonin group was 16.97 minutes longer than placebo. Melatonin increased alertness during the night shift work. The side effects were not differ between placebo and melatonin. One RCT by Sadeghniiat-Haghighi K, et al (2016) stated that sleep efficiency of melatonin was statistically improved about 2.96%. Sleep onset latency of melatonin was statistically improved about 6.6 minutes.
Conclusion: Melatonin can be considered as an option for overcoming shift work sleep disorder, especially for increasing total sleep time. Further researches with better quality are recommended."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nunun Tri Aryanty
"Latar Belakang
Pekerjaan adalah prioritas bagi orang dengan gangguan mental apapun diagnosis atau keparahan penyakitnya. Manajemen kasus vokasional menawarkan dukungan komprehensif untuk reintegrasi ke dalam pekerjaan melalui program intervensi psikosis awal. Tujuan dari laporan kasus berdasarkan bukti ini adalah untuk menentukan efektivitas manajemen kasus vokasional dalam program kembali bekerja setelah skizofrenia episode pertama.
Metode
Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Google Cendekia dan Cochrane. Kriteria inklusi adalah pekerja dengan skizofrenia, manajemen kasus vokasional/rehabilitasi vokasional, dan program kembali bekerja. Kemudian, mereka dinilai secara kritis menggunakan kriteria studi terapeutik yang relevan oleh Oxford Center for Medicine yang berbasis bukti.
Hasil
Satu tinjauan sistematis terpilih. Studi tersebut menyatakan bahwa intervensi pada penderita skizofrenia episode pertama yang menggabungkan terapi psikiatrik dengan pekerjaan yang didukung pelatihan dan pekerjaan transisi lebih efektif daripada terapi psikiatrik saja dalam mempertahankan pekerjaan yang kompetitif. Dalam analisis subkelompok terapi yang didukung pekerjaan dengan pelatihan keterampilan terkait gejala menunjukkan hasil terbaik (RR dibandingkan dengan terapi psikiatrik saja 3,61, 95% CI 1,03 hingga 12,63, SUCRA 80,3, rerata peringkat 3,2). Perbandingan kualitas hidup menunjukkan perbedaan pengaruhnya tergantung pada skala kualitas hidup.
Kesimpulan dan saran
Mayoritas orang yang menderita psikosis dini melanjutkan aktivitas produktif dengan cepat ketika ditawari manajemen kasus vokasional dalam program intervensi dini selama masa tindak lanjut hingga 5 tahun. Terapi vokasional yang didukung pekerjaan adalah intervensi yang paling efektif untuk orang-orang dengan psikosis dini yang parah dalam hal mempertahankan pekerjaan, berdasarkan analisis perbandingan langsung dan meta-analisis, tanpa meningkatkan risiko kejadian buruk. Dibutuhkan lebih banyak studi tentang mempertahankan pekerjaan yang kompetitif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang apakah biaya dan upaya itu bermanfaat dalam jangka panjang bagi individu dan masyarakat. Penelitian lebih lanjut dengan kualitas yang lebih baik, ukuran sampel lebih banyak dan berbagai hasil, direkomendasikan terutama untuk hasil yang jarang dipelajari.

Background
Work is a priority, even for people with mental disorders whatever the diagnosis or illness severity. Vocational case management offers comprehensive support for reintegration into work within an early psychosis intervention program. The purpose of this evidence based case report was to determine the effectiveness of vocational case management in return to work program after first episode of schizophrenia.
Method
The literature search was conducted through PubMed, Google Scholar and Cochrane. The inclusion criteria were worker with schizophrenia, vocational case management/vocational rehabilitation, and return to work outcome. Then, they were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Result
One systematic review was selected. The study concluded that augmented supported employment, supported employment, prevocational training and transitional employment are more effective than psychiatric care only in maintaining competitive employment in the direct comparison and network meta-analysis. In the subgroup analysis supported employment with symptom-related skills training showed the best results (RR compared to psychiatric care only 3.61, 95% CI 1.03 to 12.63 SUCRA 80.3, mean rank 3.2).
Conclusion and recommendation
The majority of individuals suffering from early psychosis resume productive activity rapidly when offered vocational case management within an early intervention programme during a follow-up period of up to 5 years. Supported employment was the most effective intervention for people with first episode of schizophrenia in terms of maintaining employment. More studies on maintaining competitive employment are needed to get a better understanding of whether the costs and efforts are worthwhile in the long term for both the individual and society.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Herlinah
"Latar Belakang : Kanker kolorektal, yang meliputi kanker usus besar dan kanker rektal, menempati urutan ke dua sebagai kanker tersering yang diderita oleh wanita dan ke tiga pada pria di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan beban besar secara global baik pada morbiditas maupun mortalitas penderita kanker. The International Agency for Research on Cancer (IARC) menyatakan bahwa kerja shift yang melibatkan gangguan sirkadian mungkin bersifat karsinogenik pada manusia (2A). Sebagian besar studi epidemiologi hingga saat ini masih berfokus pada hubungan antara shift malam dan risiko kanker payudara, sementara studi tentang hubungan antara shift malam dan kanker kolorektal belum banyak diketahui, demikian halnya dengan hasil yang masih inkonsisten. Laporan kasus berbasis bukti ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh shift malam dan peningkatan risiko kanker kolorektal pada perawat yang terpapar kerja shift.
Metode : Kasus yang disajikan diikuti dengan tinjauan literatur berbasis bukti untuk menjawab pertanyaan klinis. Pencarian literatur menggunakan beberapa kata kunci terkait melalui database Pubmed® dan Google scholar® dengan mengikuti kriteria inklusi dan ekslusi. Artikel-artikel tersebut kemudian di telaah dengan menggunakan kriteria Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Hasil : Pada pencarian awal, 112 artikel diambil dari dua database. Melalui proses seleksi, tersisa tiga artikel, yang terdiri dari satu studi meta-analisis dan dua studi observasional. Dengan membandingkan ketiga artikel terpilih, maka studi meta-analisis dianggap lebih relevan dan sesuai untuk menjawab pertanyaan klinis. Studi meta-analisis menerapkan kriteria inklusi dan ekslusi yang ketat dengan mengecualikan studi yang berpotensi menyebabkan efek bias serta kurangnya validitas atau metode statistik yang tidak memadai. Studi tersebut menyatakan bahwa shift malam berhubungan dengan peningkatan risiko kanker kolorektal (OR = 1.318, 95% CI 1.121-1.551)
Kesimpulan : Bukti terbaik yang ada saat ini menyatakan bahwa shift malam dapat meningkatkan kanker kolorektal, meskipun hasil penelitian tidak cukup kuat. Kanker kolorektal merupakan penyakit multifaktorial, dimana berbagai faktor risiko dapat berperan dalam terjadinya penyakit, terutama faktor genetik

Background : Colorectal cancer, which includes colon cancer and rectal cancer, is the third most common cancer in men and the second most common in women worldwide. It occupies a great proportion of the global burden of cancer morbidity and mortality. The International Agency for Research on Cancer (IARC) considered shift work that involves circadian disruption to be probably carcinogenic (Group 2A). Most epidemiological studies have focused on the link between night shift work and breast cancer risk while studies of the relation between shift work and colorectal cancer have not been widely known, and evidence is inconclusive. This evidence-based case report aimed to determine about the effect of night shift work and the increasing risk of colorectal cancer among nurses who exposed with shift work.
Method : a case is presented followed by a review of evidence to answer the clinical question. Literature searching used several related keywords in Pubmed® and Google scholar® by following inclusion and exclusion criteria. The article were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Result : At the initial search, 112 articles were retrieved from the two databases. Through the selection process, three article remained, which consisted of one meta-analysis and two observational studies. Comparing the selected articles, the meta-analysis is considered as more relevant and appropriate for answering the clinical question. The meta-analysis applied strict inclusion and exclusion criteria and excluded studies that potentially led to bias effects with lack of validity or inadequate statistical methods. The study stated that night shift work was correlated with an increased risk of colorectal cancer (OR=1.318, 95% CI 1.121-1.551)
Conclusion : The current best available evidence stated that night shift work may increased of colorectal cancer, although the result of the study are not strong enough. Colorectal cancer is a multifactorial disease, where various risk factors may play a role in the occurrence of the disease, especially in the genetic one.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Pendahuluan. Kadmium memiliki peranan penting karena banyak digunakan di berbagai macam industri. Kadmium dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh termasuk di prostat. Kadmium sangat toksik dan bisa menyebabkan kanker. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah untuk mendapatkan jawaban yang tepat terkait hubungan antara pajanan kadmium di tempat kerja dan kanker prostat pada pekerja. Metode. Pencarian literatur dilakukan melalui database PubMed, Scopus dan Cochrane Library. Kata kunci yang digunakan adalah cadmium, cancer, prostate, work* dan occupation*. Pemilihan artikel menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Kemudian dilakukan penilaian kritis menggunakan kriteria yang relevan untuk studi etiologi atau systematic review berdasarkan Oxford Center for Evidence-Based Medicine. Hasil. Terpilih dua artikel yang relevan dan valid dengan desain studi systematic review dan meta-analisis. Penelitian dari Ju-Kun, dkk menunjukkan rasio kematian terstandarisasi (standardized mortality ratio) antara pajanan Cd dan risiko terjadinya kanker prostat adalah 1.66 (95% CI 1.10–2.50) pada populasi pekerja yang terpajan Cd. Berdasarkan penelitian Chen, dkk menunjukkan bahwa pekerja dengan pajanan kadmium memiliki risiko terjadinya kanker prostat yang lebih tinggi dibandingkan populasi umum, namun secara statistik tidak signifikan yakni dengan nilai OR pada studi case-control 1.17 (95%CI [0.85-1.62]), dan standardized mortality ratio (*100) pada studi kohort adalah 98 (95%CI [75-126]). Kesimpulan. Hasil studi yang ada tidak menunjukkan bukti yang cukup untuk memastikan bahwa pajanan kadmium bisa menyebabkan kanker prostat pada pekerja.

Introduction. Cadmium has an important role because widely used in various industries. Cadmium penetrates and can be accumulated in human body including prostate. Cadmium is highly toxic and can cause human carcinogens. The aim of this evidence-based case report is to get an appropriate answer about the association between occupational cadmium exposure and prostate cancer in worker. Method. The literature searching was conducted through PubMed, Scopus and Cochrane Library. The keywords used were cadmium, cancer, prostate, work* and occupation*. The selection of articles was performed using the defined inclusion and exclusion criterias. Then, they were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-Based Medicine for etiological study or systematic review. Result. Two relevant and valid articles with systematic review and meta-analysis study design were included. Studies by Ju-Kun, et al. showed that the combined standardized mortality ratio of the association between Cd exposure and risk of prostate cancer was 1.66 (95% CI 1.10–2.50) in populations exposed to occupational Cd. While a study by Chen, et al. showed that workers with cadmium exposure have more risk for prostate cancer than general population but was not significant statistically with the weighted OR in case-control studies was 1.17 (95%CI [0.85-1.62]), and the weighted standardized mortality ratio (*100) in cohort studies was 98 (95%CI [75-126]). Conclusion. The current evidences do not show sufficient evidence to ensure that cadmium exposure can cause prostate cancer in worker."
[Jakarta;, ]: [Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;, ], 2022
SP-pdf;;;;
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annes Waren
"Latar Belakang: Pria, 48 tahun, pekerja minyak dan gas bumi, didiagnosis dengan myelofibrosis, bagian dari myeloproliferatif neoplasma. Pasien bekerja sebagai operator selama 15 tahun, dimana salah satu hazardnya adalah paparan rendah benzen. Laporan kasus ini bertujuan untuk melihat hubungan antara paparan benzene dengan myeloproliferatif neoplasma pada pekerja minyak dan gas bumi. 
Metode:  Analisis PICO digunakan untuk memformula pertanyaan klinik laporan kasus ini, populasi: pekerja, intervensi/paparan: benzen, komparasi: tidak terpapar benzen, hasil: myeloproliferatif neoplasm. Strategi pencarian literatur untuk menjawab pertanyaan klinis menggunakan data basis leektronik pada PubMed, Google Scholar dan daftar pustaka. Kriteria inklusi adalah penelitian etiologik dengan kriteria eksklusi adalah leukemia myeloid kronik dan trombositopenia esensial. Penelitian yang terpilih kemudian dilakukan penilaian kritis untuk menentukan apakah penelitian ini valid, bermakna, dan dapat diaplikasikan terhadap pasien menggunakan kriteria relevansi dari Ofxord Centre untuk kedokteran berbasis bukti pada penelitian etiologik.
Hasil: Terdapat satu peneliltian terpilih yaitu penelitian kasus kontrol dari Glass dkk, 2014 (n= 30 kasus dengan n=124 dengan matched controls), hasil dari penelitian ini paparan kumulatif benzene memiliki OR 1.57 (95% CI 0.55-2.78) terhadap myelofibrosis, paparan benzene 2-20 tahun p 0.49 dan OR 4.4 (95% CI 1.29-15). Setelah dilakukan penilaian kritis terhadap penelitian ini dengan hasil poenelitian valid, memiliki kualitas yang tinggi pada pengukuran paparan benzene pada pekerjaan individu. Meskipun terdapat limitasi berupa confounder data seperti tidak tersedianya informasi mengenai kebiasaan merokok, penggunaan alkohol, paparan radiasi dan atau kerentanan genetik. 
Kesimpulan: Berdasarkan analisis kasus 7 langkah diagnosis penyakit akibat kerja, dapat disimpulkan bahwa myelofibrosis dapat berhubungan dengan paparan benzen di tempat kerja.

Background: A 48-years old male, oil and gas worker was diagnosed with myelofibrosis, part of myeloproliferative neoplasm. The patient worked as an operator for 15 years, where one of the hazards was low level of benzene exposure. Hence, this case report is aimed to find the association of benzene exposure with myeloproliferative neoplasm in oil and gas worker.
Method:  The following is PICO analysis to formulate clinical question from this case report; Population: worker, intervention/exposure: benzene, comparison: not exposed to benzene, outcomes: myeloproliferative neoplasm. Literature searching strategies for answering the clinical question used electronic database in PubMed, Google Scholar, and list of references. The inclusion criteria is etiologic research study, while the exclusion criteria are chronic myeloid leukaemia and essential thrombocythemia. The selected papers were then critically appraised to determine whether the article is valid, meaningful, and applicable to the patient using relevant criteria bye the Oxford Centre for Evidence-based Medicine for etiological study.
Result: Finally, one study was selected; a case control study by Glass et al, 2014 (n=30 cases with n=124 matched controls), the outcome of this study was OR of 1.57 (95% CI 0.55-2.78) for cumulative benzene exposure, p 0.49 and OR of 4.4 (95% CI 1.29-15) for a 2-20 years benzene exposure, p 0.018. After a critical appraisal, it was found that this article was valid, the study has high quality and precise benzene exposure metrics based on exposure of individual job. However, there were potential limitations on confounders data such as not available data on smoking habit, alcohol use, radiation exposure and/or genetic susceptibility.
Conclusion: Based on the case analysis through 7 (seven) steps of occupational disease diagnosis and journal critical appraisal, it can be concluded that the myelofibrosis may be related to exposure to benzene at the workplace.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agustiany
"Latar Belakang: Migrain sebagai salah satu jenis prevalensi nyeri kepala primer pada kedua jenis kelamin mencapai puncaknya antara usia 25 hingga 55 tahun sedangkan puncak prevalensi TTH diamati antara usia 30 hingga 39 tahun, dimana periode tersebut merupakan tahun paling produktif untuk bekerja. Karena dampaknya signifikan terhadap produktivitas, ketidakhadiran, dan kesehatan pekerja, bersama dengan prevalensinya yang tinggi dalam populasi pekerja, nyeri kepala harus dipertimbangkan sebagai prioritas dalam kedokteran kerja. Latihan fisik merupakan salah satu intervensi yang bisa menjadi cara efektif untuk mengurangi gejala sakit kepala. Laporan kasus berbasis bukti ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas latihan fisik di lingkungan kerja untuk mengurangi gejala, frekuensi dan intensitas, penggunaan analgesik atau perbaikan lain pada pasien nyeri kepala tipe tegang (TTH).
Metode: Pencarian literatur dilakukan melalui tinjauan database elektronik: Pubmed, Google Scholar dan Cochrane. Kata kunci yang digunakan adalah “tension type headache” and “physical exercise” and “workers”. Kriteria inklusi pencarian ini adalah uji coba terkontrol secara acak (RCT), systematic review (SR), pekerja dengan nyeri kepala tipe tegang. Kriteria eksklusi artikel ini adalah artikel yang tidak dapat diakses, RCT yang telah digunakan dalam systematic review terkini.
Hasil: Pencarian literatur dilakukan pada 21 April 2019. Ditemukan 3 artikel yang relevan untuk menjawab pertanyaan klinis; 2 RCT dan 1 SR. Pada artikel pertama, intention to treat analysis menunjukkan penurunan frekuensi dan intensitas nyeri kepala sekitar 50% di semua kelompok intervensi dibandingkan dengan REF pada tindak lanjut 20 minggu (P <0,001). Penggunaan analgesik lebih rendah pada kelompok intervensi yang diamati (1WS, 3WS dan 9WS), tetapi tidak pada kelompok dengan supervisi pelatihan minimal (3MS), dibandingkan dengan REF saat tindak lanjut. Pada artikel kedua, tidak ada efek antar kelompok yang terdeteksi, tetapi dalam kelompok tersebut terdapat penurunan angka dari awal hingga tindak lanjut. Frekuensi TTH pada kelompok ST menurun 11% (P = 0,041) dan durasi menurun sebesar 10% (P = 0,036), sedangkan kelompok koreksi ergonomis dan postur menunjukkan penurunan frekuensi yang signifikan sebesar 24% (P = 0,0033) dan penurunan durasi 27% (P = 0,041). Artikel ketiga adalah SR yang menemukan 15 artikel. Tidak ada artikel yang diklasifikasikan sebagai risiko bias rendah menurut the Cochrane Collaboration’s tool.
Kesimpulan: Ketiga artikel yang dinilai membuktikan bahwa latihan fisik efektif dalam mengurangi gejala, frekuensi, intensitas sakit kepala serta penggunaan analgesik pada pekerja khususnya pekerja kantoran. Latihan tersebut dapat diterapkan pada pekerja kantoran, meskipun tidak dapat disimpulkan mana yang terbaik.

Background : Migraine as one type of primary headache prevalence in both sexes peaks between 25 to 55 years of age whereas the peak prevalence for TTH is observed between 30 to 39 years of age, with those periods often regarded as the most productive years of employment. Because of their significant impact on productivity, absenteeism, and workers’ wellness, together with their high prevalence in the working population, headache disorders should be considered as a priority in occupational medicine. To our knowledge, physical exercise is one of intervention that could be an effective way to reduce the symptoms of headache. This evidence based case report aimed to know about the effectiveness of physical exercise in workplace setting to reduce symptom, frequency and intensity, use of analgesic or any other improvement in tension type headache patient.
Method : Literature searches were conducted through an electronic database review: Pubmed, Google Scholar and Cochrane. The keywords used were “tension type headache” and “physical exercise” and “workers”. The inclusion criteria of this searching strategy were randomizes controlled trial, systematic reviews, workers with tension type headache. The exclusion criteria of this article were inaccessible articles, RCTs that have been used in recent systematic review.
Result : Literature search was carried out on April 21 2019. Found 3 relevant articles to answer clinical question; 2 Randomized control trial and 1 systematic review. In first article, the intention-to-treat analysis showed reduced headache frequency and intensity of approximately 50% in all training groups compared with REF at 20-week follow-up (P<0.001). Use of analgesics was lower in the supervised training groups (1WS, 3WS and 9WS), but not in the group with minimal training supervision (3MS), compared with REF at follow-up. In second article, twenty-three patients completed strength training and 21 completed ergonomic and posture correction (perprotocol). No between-group effect was detected, but within groups numerical reductions were noted in both groups from baseline to follow-up. Frequency of TTH in the strength training group decreased by 11% (P=0.041) and duration decreased by10% (P=0.036), while the ergonomic and posture correction group showed a significant reduction in frequency of 24% (P=0.0033) and a decrease in duration of 27% (P=0.041). Third article was a systematic review which found fifteen articles. None of them were classified as low risk of bias according to the Cochrane Collaboration’s tool for assessing risk of bias.
Conclusion : The three studies that have been appraised prove that physical exercise can be effective in reducing symptoms, frequency, intensity of headache also the use of analgesic in workers especially those experienced by office workers. Those exercise is also applicable in workplace setting especially in office workers, although can not be concluded which one is the best.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>