Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abidin Widjanarko
"ABSTRAK
Hepatitis virus adalah lesi inflamasi hati yang difus,
hampir selalu disertai kelainan klinis dan biokimia, dan di
sebabkan oleh infeksi virus. Hepatitis virus akut di Indonesia merupakan penyakit
endemis, hampir sepanjang tahun di rumah-rumah sakit kita dapat menemukan penderita penyakit ini. Dari ketiga jenis hepatitis virus utama
tersebut diatas, hepatitis virus A tidak pernah menjadi kronis sedang-
kan hepatitis B dan NANB dapat menjadi kronis.
Tujuan penelitian ini adalah (1). memperoleh data persentase hepatitis virus A akut, B Akut, dan yang mungkin NANB di RS Persahabatan. (2). Memperoleh data gambaran klinis dan pola enzim hepatitis virus A,B, dan NANB akut.
(3). Memperoleh data banyaknya penderita hepatitis virus akut yang
dirawat di RS Persahabatan setiap bulan. (4). Memperoleh data kronisitas
dari masing-masing hepatitis virus akut tersebut.

"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahendra Wijaya .J
"Introduction:
Bladder stones, a common urological condition, can significantly impact a patient's quality of life, leading to symptoms such as obstructive lower urinary tract symptoms (LUTS) and hematuria. In recent years, the utilization of laser lithotripsy has emerged as a promising technique for the removal of bladder stones, offering potential advantages in terms of efficacy and safety.
Material & Methods:
Data obtained from the medical record was collected retrospectively since the use of laser lithotripsy in 2019. Patients who fulfilled the inclusion and exclusion criteria were included. Data on patients’ age, sex, symptoms, maximum stone diameter, operation duration, complications, and length of in-hospital duration were gathered and analyzed using SPSS v.27. The primary endpoint was to assess the stone size being successfully removed and procedure duration.
Results:
We recruited 46 participants (40 men and 6 women) with a mean age of 55,5 years old. In 18 (39%) participants, obstructive LUTS was the main presenting symptom, followed by hematuria in 9 (19%) patients. In 10 (28%) of cases, work-up was done by plain abdominal x-ray, while the remaining 36 (72%) underwent CT-scan. The mean surgery duration was 57,2 ± 22,3 minutes. Out of subjects, 3 (6,5%) experienced hematuria as a side effect while 1 (2,1%) patient had a fever.
Conclusion:
Our data demonstrated a safe and effective result of laser lithotripsy used for bladder stones removal. More research is warranted to compare the current modality applied in Indonesia general hospitals along with cost analysis to provide the best treatment option for the patients.

Pendahuluan:
Batu kandung kemih, kondisi urologi yang umum, dapat secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien, menyebabkan gejala seperti gejala obstruktif saluran kemih bawah (LUTS) dan hematuria. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan litotripsi laser telah muncul sebagai teknik yang menjanjikan untuk pengangkatan batu kandung kemih, menawarkan potensi keuntungan dalam hal efektivitas dan keamanan.
Metode:
Data yang diperoleh dari catatan medis dikumpulkan secara retrospektif sejak penggunaan litotripsi laser pada tahun 2019. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan. Data tentang usia, jenis kelamin, gejala, diameter batu maksimum, durasi operasi, komplikasi, dan lama rawat inap pasien dikumpulkan dan dianalisis menggunakan SPSS v.27. Titik akhir utama adalah menilai ukuran batu yang berhasil diangkat dan durasi prosedur.
Hasil :
Penelitian ini terdapat 46 subjek (40 pria dan 6 wanita) dengan usia rata-rata 55,5 tahun. Pada 18 subjek (39%), gejala utama yang muncul adalah obstruksi, diikuti oleh hematuria pada 9 pasien (19%). Pada 10 kasus (28%), pemeriksaan dilakukan dengan X-ray abdomen, sedangkan 36 lainnya (72%) menjalani CT-scan. Rata-rata durasi operasi adalah 57,2 ± 22,3 menit. Tiga orang (6,5%) mengalami hematuria sebagai efek samping sementara 1 pasien (2,1%) mengalami demam.
Kesimpulan:
Penggunaan litotripsi laser untuk menghilangkan batu kandung kemih aman dan efektif. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membandingkan metode saat ini yang diterapkan di rumah sakit umum di Indonesia, serta analisis biaya untuk memberikan opsi pengobatan terbaik bagi pasien.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haryanto Surya
"Latar Belakang. Diagnosis demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Biakan S. typhi sebagai baku emas diagnosis hanya mampu positif pada 40-70% kasus. PCR sebagai alternatif diagnosis masih terhambat oleh harganya yang mahal dan fasilitas yang terbatas. Uji Widal yang saat ini banyak digunakan karena murah dan mudah dilakukan, dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga sensitivitas dan spesifisitas hanya berkisar 60-80%. Oleh karena itu dibutuhkan uji serologi lain yang cepat dan mampu memberikan hasil yang baik ditinjau dari sensitivitas dan spesifisitas. Salah satu uji serologi yang memenuhi kriteria di atas adalah TUBEX TF yang telah diuji coba di beberapa negara tetapi belum pernah diuji coba di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui perbandingan nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan TUBEX TF dengan uji Widal dalam mendiagnosis demam tifoid yang telah dikonfirmasi dengan PCR dan atau biakan S. typhi. Metodologi. Uji diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan kecurigaan demam tifoid sesuai skor tifoid Nelwan>/=8 dan dirawat di RSCM, RSP dan RSUD Tangerang. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dasar, uji Widal, PCR dan biakan S. typhi serta uji TUBEX TF. Hasil pemeriksaan TUBEX TF dan uji Widal dibandingkan PCR dan atau biakan S. typhi sebagai baku emas. Data diolah dengan program SPSS13 dan dimasukkan ke tabel frekuensi dan tabel silang.
Hasil. Selama periode Mei - Oktober 2006 terkumpul 52 pasien dengan kecurigaan demam tifoid, yang terdiri dari 27 laki-laki (52%) dan 25 perempuan (48%). Kelompok usia terbanyak 20-30 tahun (28 orang, 53,8%). Dari perhitungan tabel 2x2, uji TUBEX TF dibandingkan dengan uji Widal, didapatkan masing-masing sensitivitas 100% dan 53,1%, spesifisitas 90% dan 65%, NDP 94,1% dan 70,8%, NDN 100% dan 46,4%. Luas daerah dibawah kurva ROC adalah 0,950 untuk TUBEX TF dan 0,591 untuk uji Widal. Dibandingkan uji Widal, pemeriksaan TUBEX TF menunjukkan hasil bermakna (p<0,05) pada uji statistik Chi square."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Nurainy
"ABSTRAK
Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus DNA yang berukuran 42 nm, yang termasuk ke dalam kelompok virus Hepadna (Hepadnaviridae). VHB menyebabkan infeksi hepatitis akut, kronis dan fulminan, serta sirosis sampai dengan kanker hati. VHB terbagi dalam empat serotipe (subtipe) hepatitis B surface antigen (HBsAg) utama, yaitu adw, adn ayw, ayn dan seiring dengan berkembangnya ilmu biologi molekul, delapan genotipe, A,B,C,D,E,F,G dan H. Sekitar 350 juta orang di 'dunia Saat ini terinfeksi hepatitis B dan hampir 75% diantaranya terdapat di Asia. Berdasarkan prevalensi HBsAg, menurut WHO, Indonesia termasuk dalam daerah endemik sedang sampai tinggi.
Pengetahuan tentang genotipe VHB sangat penting. Dari segi klinik, telah banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara genotipe VHB dengan manifestasi klinik penyakit hati dan respon terhaclap terapi antivirus. Berdasarkan epidemiologi, diketahui bahwa penyebaran virus hepatitis B di dunia berbeda secara geograiis. Sebagai negara kepuiauan, Indonesia memiliki populasi sangat beragam Iebih dari 475 kelompok etnik. Keragaman populasi ini sangat terkait dengan Iatar belakang genetik manusia dan pola migrasi purba, dan diduga mempengaruhi epidemiologi molekul VHB yang tergambarkan dalam distribusi genotipe dan subtipe VHB di Indonesia. Sampai saat ini Iaporan tentang genotipe VHB di Indonesia masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencan bukti bahwa polimorfisme Sekuens Pre-S2 dapat digunakan untuk penentuan genotipe VHB dan subgenotipenya, mempelajari hubungan antara genotipe dan serotipe VHB, menentukan pola distribusi genotipe VHB di Indonesia dan kaitan genotipe VHB derlgan migrasi populasi manusia, Serta mengembangkan prinsip metode praktis penentuan genotipe berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Peneiitian ini dilakukan pada 11 populasi Indonesia, terdiri dari 8 populasi sehat yaitu populasi Batak-Karo, Dayak Benuaq (mewakili Indonesia bagian barat); populasi Makassar, Mandar, Toraja dan Kajang (mewakili populasi Indonesia Timur - Sulawesi); populasi Alor dan Sumba (mewakili populasi Nusa Tenggara Timur), dan 3 kelompok pasien hepatitis B dari Sumatera, Jawa dan Cina Indonesia. Pendekatan metodologi yang digunakan bersifat eksploratif-cross sectional.
1. Bukti bahwa daerah Pre-S2 dapat digunakan dalam penentuan genotipe VHB: identifikasi subgenotipe yang terkait dengan populasi manusia. DNA VHB diisolasi dari serum HBsAg positif, dan fragmen DNA daerah Pre-S2 serta daerah pembanding Iainnya diamplifikasi dengan metoda PCR. Penentuan genotipe dilakukan dengan membandingkan hasil perunutan sekuens daerah Pre-S2 dengan sekuens daerah S, total genom, gen P, X, core dan Pre-S1. Penentuan genotipe VHB dengan menggunakan sekuens Pre-S2 sama baiknya dengan berdasarkan daerah S; semua sampel terdistribusi sama pada genotipe B dan C. Genotipe B adalah genotipe utama yang ditemukan (43/56 sampel; 76.B%), diikuti genotipe C dengan 13/56 sampel (23,2%). Variasi sekuens yang tinggi di daerah Pre-S2 memungkinkan pengenalan tiga subgenotipe VHB/B: Bc pada populasi Cina Indonesia, Bwi pada populasi Indonesia bagian barat dan Bei pada populasi Nusa Tenggara Timur. Variasi sekuens ini juga membagi VHB/C menjadi dua kelompok yaitu subgenotipe C1 dan C2. Dibuktikan bahwa subgenotipe Bc identik dengan subgenotipe B Asia non Japan (Ba) yang ditemukan pada populasi Cina di daratan Asia, menunjukkan bahwa genetik VHB dipertahankan pada populasi Cina Indonesia sampai Iebih dari tiga generasi Subgenotipe VHB/B yang ada di Indonesia membawa segmen kecil dari genotipe C di daerah precore dan core hasil proses rekombinasi, seperti halnya dengan genotipe Ba. Perbedaannya terletak pada tambahan titik rekombinasi dan Single Nucleotide Polimorphism (SNP) di daerah precore dan core tersebut. Adanya subgenotipe di atas diverifikasi dengan sekuens total genom VHB. Berbagai SNP di daerah Pre-S2 memberikan pola yang khas untuk masing-masing subgenotipe VHB sehingga dapat dijadikan situs diagnostik untuk penentuan genotipe dan subgenotipe.
2. Hubungan antara serotipe dan genotipe VHB: studi pada genotipe VHB di Asia Tenggara. Pada total 110 sampel VHB yang berasal dari beberapa kelompok populasi: Sumatra (n=12), Cina Indonesia (n=29), Jawa (n=23), Sulawesi (n=19), Alor (n=13) and Sumba (n=14), ditemukan serotipe adw, adr, ayw dan ayr. Pola distribusi serotipe yang ditemukan adalah adw dominan di Indonesia bagian barat seperti daerah Sumatra dan Jawa, ayw serotipe dominan di Nusa Tenggara Timur, dan serotipe campuran (adw, ayw dan add ditemukan di daerah Sulawesi Serotipe ayr merupakan serotipe yang paling jarang ditemukan. Uji statistik Chi-square, menunjukkan seoara bermakna hubungan antara serotipe HBsAg dan genotipelsubgenotipe VHB. Serotipe adw berkaitan dengan subgenotipe Bwi dan Bc, serotipe ayw1 dengan genotipe Bei, serotipe adr dan ayr dengan genotipe C, sedangkan serotipe ayw2 berkaitan dengan genotipe D. Terdapat anomali hubungan antara serotipe dan genotype pada beberapa sampel, yaitu serotipe adr dengan genotipe B (adr-B) dan serotipe adw dengan genotipe C (adw-C). Mekanisme molekul yang mendasarinya telah diselidiki, dan ternyata adalah: (a) isolat adr-B, adanya mixed infection VHB/B (adw) dan VHB/C (adr). Hasil kioning menunjukkan VHBIB (adw) Iebih banyak dari VHB/C (adr), akan tetapi ternyata secara serologi adr Iebih dominan dari adw, sesuai dengan sifat antigenesitas r yang tinggi dibanding w atau adanya mutasi di daerah determinan a pada posisi Iain yang mempengaruhi ekspresi vm (b) isoiat adw-C, adanya recunent mutation pada posisi asam amino ke 160 yang merubah determinan r menjadi w, dan adanya mutasi baru P127T dan C139W. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan bahwa data serotipe di Indonesia yang telah dipublikasi olen peneliti-peneliti sebelumnya dapat dikonversi menjadi data genotipe VHB dengan tingkat kesalahan ?I,8% untuk genotipe C yang berserotipe adw, dan 5,4% untuk genotipe B dengan serotipe adr.
3. Epidemiologi molekul VHB di Indonesia: genotipe sebagai marka migrasi populasi. Frekuensi HBsAg di Indonesia ben/ariasi diantara delapan kelompok etnik yang dipelajari, yaitu pada populasi Batak Karo (6,7%), Dayak Benuaq (13.2 %), Makassar (4,2 %), Mandar (5,5%), Toraja (4,2%), Kajang (72%), Alor (10,7%), dan Sumba (7,4%). Dari 138 sampel didapatkan bahwa genotipe B merupakan genotipe utama di Indonesia (73,9%), diikuti genotipe C (24.6%) dan kemudian genotipe D (1,5%). Penemuan ini sesuai dengan hasil konversi serotipe-genotipe yang dilakukan terhadap data serotipe Indonesia yang telan dipublikasikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Data genotipe VHB 11 populasi Indonesia hasil penelitian ini dan genotipe VHB pada 27 kota hasil konversi serotipe-genotipe telah disusun menjadi petal distribusi genotipe VHB di Indonesia. Distribusi genotipe VHB menunjukkan adanya hubungan dengan pola migrasi purba populasi manusia ke kepulauan Nusantara. G-enotipe C tampaknya datang bersama migrasi manusia modern (Homo sapiens) pertama dari daratan Asia sekitar 40.000 - 60.000 tahun sebelum sekarang (years before presence;YBP). Kemudian gelombang migrasi besar manusia ke dua ke kepulauan Nusantara, tediri dari populasi berbahasa Austronesia (4,000 - 6.000 YBP), diusulkan membawa genotipe B. Sesuai dengan pola migrasi ini, genotipe B dominan di hampir semua wilayah Indonesia dengan populasi penutur bahasa-bahasa Austronesia, dan hanya menyisakan dominasi genotipe C di daerah Papua dan daerah berpopulasi Austromelanosid lain di sekitarnya. Disimpulkan bahwa genotipe B merupakan marka populasi Austronesia.
4. Pengembangan prinsip metoda praktis penentuan genotipe VHB berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Dalam penelitian ini terbukti bahwa penentuan genotipe VHB berdasarkan daerah Pre-S2 dapat dilakukan dan paling sedikit sama baiknya dengan cara berdasarkan daerah S yang sekarang umum dipakai. Metoda penentuan genotipe berdasar daerah Pre-S2 dengan direct sequencing ideal untuk penelitian, tetapi pada saat ini tidak praktis untuk pemeriksaan Iaboratorium kIinik. Pengembangan metoda PCR-RFLP berdasarkan polimorfisme di daerah Pre-S2 akan memungkinkan penentuan genotipe dan subgenotipe secara Iebih praktis. Untuk itu, telah dilakukan analisis 110 sekuens Pre-S2 VHB hasil penelitian ini dan 84 sekuens dari GenBank, untuk menentukan situs pemotongan enzim restriksi endonuldease yang tepat rancang PCR-RFLP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Genotipe C dan D dapat dibedakan dari genotipe B dengan menggunakan enzim Aval, genotipe C dan D dibedakan dengan enzim Bmrl, dan genotipe B dan C-adw dengan enzim Banll. Subgenotipe Bc dibedakan dari Bwi dan Bei dengan enzim Apal. Pembedaan subgenotipe Bwi dan Bei dilakukan dengan menggunakan primer dengan modifikasi satu nukleotida untuk membuat situs enzim restriksi Btsl. Metoda praktis PCR-RFLP untuk membedakan genotipe dan subgenotipe khas Indonesia dapat dikembangkan."
2005
D617
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Nurainy
"ABSTRAK
Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus DNA yang berukuran 42 nm, yang termasuk ke dalam kelompok virus Hepadna (Hepadnaviridae). VHB menyebabkan infeksi hepatitis akut, kronis dan fulminan, serta sirosis sampai dengan kanker hati. VHB terbagi dalam empat serotipe (subtipe) hepatitis B surface antigen (HBsAg) utama, yaitu adw, adn ayw, ayn dan seiring dengan berkembangnya ilmu biologi molekul, delapan genotipe, A,B,C,D,E,F,G dan H. Sekitar 350 juta orang di 'dunia Saat ini terinfeksi hepatitis B dan hampir 75% diantaranya terdapat di Asia. Berdasarkan prevalensi HBsAg, menurut WHO, Indonesia termasuk dalam daerah endemik sedang sampai tinggi.
Pengetahuan tentang genotipe VHB sangat penting. Dari segi klinik, telah banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara genotipe VHB dengan manifestasi klinik penyakit hati dan respon terhaclap terapi antivirus. Berdasarkan epidemiologi, diketahui bahwa penyebaran virus hepatitis B di dunia berbeda secara geograiis. Sebagai negara kepuiauan, Indonesia memiliki populasi sangat beragam Iebih dari 475 kelompok etnik. Keragaman populasi ini sangat terkait dengan Iatar belakang genetik manusia dan pola migrasi purba, dan diduga mempengaruhi epidemiologi molekul VHB yang tergambarkan dalam distribusi genotipe dan subtipe VHB di Indonesia. Sampai saat ini Iaporan tentang genotipe VHB di Indonesia masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencan bukti bahwa polimorfisme Sekuens Pre-S2 dapat digunakan untuk penentuan genotipe VHB dan subgenotipenya, mempelajari hubungan antara genotipe dan serotipe VHB, menentukan pola distribusi genotipe VHB di Indonesia dan kaitan genotipe VHB derlgan migrasi populasi manusia, Serta mengembangkan prinsip metode praktis penentuan genotipe berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Peneiitian ini dilakukan pada 11 populasi Indonesia, terdiri dari 8 populasi sehat yaitu populasi Batak-Karo, Dayak Benuaq (mewakili Indonesia bagian barat); populasi Makassar, Mandar, Toraja dan Kajang (mewakili populasi Indonesia Timur - Sulawesi); populasi Alor dan Sumba (mewakili populasi Nusa Tenggara Timur), dan 3 kelompok pasien hepatitis B dari Sumatera, Jawa dan Cina Indonesia. Pendekatan metodologi yang digunakan bersifat eksploratif-cross sectional.
1. Bukti bahwa daerah Pre-S2 dapat digunakan dalam penentuan genotipe VHB: identifikasi subgenotipe yang terkait dengan populasi manusia. DNA VHB diisolasi dari serum HBsAg positif, dan fragmen DNA daerah Pre-S2 serta daerah pembanding Iainnya diamplifikasi dengan metoda PCR. Penentuan genotipe dilakukan dengan membandingkan hasil perunutan sekuens daerah Pre-S2 dengan sekuens daerah S, total genom, gen P, X, core dan Pre-S1. Penentuan genotipe VHB dengan menggunakan sekuens Pre-S2 sama baiknya dengan berdasarkan daerah S; semua sampel terdistribusi sama pada genotipe B dan C. Genotipe B adalah genotipe utama yang ditemukan (43/56 sampel; 76.B%), diikuti genotipe C dengan 13/56 sampel (23,2%). Variasi sekuens yang tinggi di daerah Pre-S2 memungkinkan pengenalan tiga subgenotipe VHB/B: Bc pada populasi Cina Indonesia, Bwi pada populasi Indonesia bagian barat dan Bei pada populasi Nusa Tenggara Timur. Variasi sekuens ini juga membagi VHB/C menjadi dua kelompok yaitu subgenotipe C1 dan C2. Dibuktikan bahwa subgenotipe Bc identik dengan subgenotipe B Asia non Japan (Ba) yang ditemukan pada populasi Cina di daratan Asia, menunjukkan bahwa genetik VHB dipertahankan pada populasi Cina Indonesia sampai Iebih dari tiga generasi Subgenotipe VHB/B yang ada di Indonesia membawa segmen kecil dari genotipe C di daerah precore dan core hasil proses rekombinasi, seperti halnya dengan genotipe Ba. Perbedaannya terletak pada tambahan titik rekombinasi dan Single Nucleotide Polimorphism (SNP) di daerah precore dan core tersebut. Adanya subgenotipe di atas diverifikasi dengan sekuens total genom VHB. Berbagai SNP di daerah Pre-S2 memberikan pola yang khas untuk masing-masing subgenotipe VHB sehingga dapat dijadikan situs diagnostik untuk penentuan genotipe dan subgenotipe.
2. Hubungan antara serotipe dan genotipe VHB: studi pada genotipe VHB di Asia Tenggara. Pada total 110 sampel VHB yang berasal dari beberapa kelompok populasi: Sumatra (n=12), Cina Indonesia (n=29), Jawa (n=23), Sulawesi (n=19), Alor (n=13) and Sumba (n=14), ditemukan serotipe adw, adr, ayw dan ayr. Pola distribusi serotipe yang ditemukan adalah adw dominan di Indonesia bagian barat seperti daerah Sumatra dan Jawa, ayw serotipe dominan di Nusa Tenggara Timur, dan serotipe campuran (adw, ayw dan add ditemukan di daerah Sulawesi Serotipe ayr merupakan serotipe yang paling jarang ditemukan. Uji statistik Chi-square, menunjukkan seoara bermakna hubungan antara serotipe HBsAg dan genotipelsubgenotipe VHB. Serotipe adw berkaitan dengan subgenotipe Bwi dan Bc, serotipe ayw1 dengan genotipe Bei, serotipe adr dan ayr dengan genotipe C, sedangkan serotipe ayw2 berkaitan dengan genotipe D. Terdapat anomali hubungan antara serotipe dan genotype pada beberapa sampel, yaitu serotipe adr dengan genotipe B (adr-B) dan serotipe adw dengan genotipe C (adw-C). Mekanisme molekul yang mendasarinya telah diselidiki, dan ternyata adalah: (a) isolat adr-B, adanya mixed infection VHB/B (adw) dan VHB/C (adr). Hasil kioning menunjukkan VHBIB (adw) Iebih banyak dari VHB/C (adr), akan tetapi ternyata secara serologi adr Iebih dominan dari adw, sesuai dengan sifat antigenesitas r yang tinggi dibanding w atau adanya mutasi di daerah determinan a pada posisi Iain yang mempengaruhi ekspresi vm (b) isoiat adw-C, adanya recunent mutation pada posisi asam amino ke 160 yang merubah determinan r menjadi w, dan adanya mutasi baru P127T dan C139W. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan bahwa data serotipe di Indonesia yang telah dipublikasi olen peneliti-peneliti sebelumnya dapat dikonversi menjadi data genotipe VHB dengan tingkat kesalahan ?I,8% untuk genotipe C yang berserotipe adw, dan 5,4% untuk genotipe B dengan serotipe adr.
3. Epidemiologi molekul VHB di Indonesia: genotipe sebagai marka migrasi populasi. Frekuensi HBsAg di Indonesia ben/ariasi diantara delapan kelompok etnik yang dipelajari, yaitu pada populasi Batak Karo (6,7%), Dayak Benuaq (13.2 %), Makassar (4,2 %), Mandar (5,5%), Toraja (4,2%), Kajang (72%), Alor (10,7%), dan Sumba (7,4%). Dari 138 sampel didapatkan bahwa genotipe B merupakan genotipe utama di Indonesia (73,9%), diikuti genotipe C (24.6%) dan kemudian genotipe D (1,5%). Penemuan ini sesuai dengan hasil konversi serotipe-genotipe yang dilakukan terhadap data serotipe Indonesia yang telan dipublikasikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Data genotipe VHB 11 populasi Indonesia hasil penelitian ini dan genotipe VHB pada 27 kota hasil konversi serotipe-genotipe telah disusun menjadi petal distribusi genotipe VHB di Indonesia. Distribusi genotipe VHB menunjukkan adanya hubungan dengan pola migrasi purba populasi manusia ke kepulauan Nusantara. G-enotipe C tampaknya datang bersama migrasi manusia modern (Homo sapiens) pertama dari daratan Asia sekitar 40.000 - 60.000 tahun sebelum sekarang (years before presence;YBP). Kemudian gelombang migrasi besar manusia ke dua ke kepulauan Nusantara, tediri dari populasi berbahasa Austronesia (4,000 - 6.000 YBP), diusulkan membawa genotipe B. Sesuai dengan pola migrasi ini, genotipe B dominan di hampir semua wilayah Indonesia dengan populasi penutur bahasa-bahasa Austronesia, dan hanya menyisakan dominasi genotipe C di daerah Papua dan daerah berpopulasi Austromelanosid lain di sekitarnya. Disimpulkan bahwa genotipe B merupakan marka populasi Austronesia.
4. Pengembangan prinsip metoda praktis penentuan genotipe VHB berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Dalam penelitian ini terbukti bahwa penentuan genotipe VHB berdasarkan daerah Pre-S2 dapat dilakukan dan paling sedikit sama baiknya dengan cara berdasarkan daerah S yang sekarang umum dipakai. Metoda penentuan genotipe berdasar daerah Pre-S2 dengan direct sequencing ideal untuk penelitian, tetapi pada saat ini tidak praktis untuk pemeriksaan Iaboratorium kIinik. Pengembangan metoda PCR-RFLP berdasarkan polimorfisme di daerah Pre-S2 akan memungkinkan penentuan genotipe dan subgenotipe secara Iebih praktis. Untuk itu, telah dilakukan analisis 110 sekuens Pre-S2 VHB hasil penelitian ini dan 84 sekuens dari GenBank, untuk menentukan situs pemotongan enzim restriksi endonuldease yang tepat rancang PCR-RFLP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Genotipe C dan D dapat dibedakan dari genotipe B dengan menggunakan enzim Aval, genotipe C dan D dibedakan dengan enzim Bmrl, dan genotipe B dan C-adw dengan enzim Banll. Subgenotipe Bc dibedakan dari Bwi dan Bei dengan enzim Apal. Pembedaan subgenotipe Bwi dan Bei dilakukan dengan menggunakan primer dengan modifikasi satu nukleotida untuk membuat situs enzim restriksi Btsl. Metoda praktis PCR-RFLP untuk membedakan genotipe dan subgenotipe khas Indonesia dapat dikembangkan."
2005
D755
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library