Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
S. J. K. Juniarti Hatta
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menilai, apakah tolok ukur prabedah yang selama ini dipergunakan untuk memperkirakan keberhasilan tindakan bedah ganti katup aorta di RSJHK sudah cukup memadai. Penelitian bersifat studi retrospektif terhadap semua penderita Regurgitasi Aorta yang dilakukan penggantian katup aorta di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta pada periode Februari 1986 s.d. 31 Desember 1989.
Terdapat 31 penderita yang memenuhi kriteria penelitian, terdiri atas 9 penderita wanita dan 22 pria,umur berkisar antara 10-60 tahun, rata rata 33,77±14,58 tahun.
Empat belas variabel prabedah dan tiga variabel intrabedah .diteliti untuk melihat pengaruhnya terhadap kematian bedah dan perbaikan kelas fungsionalnya (NYHA) pascabedah. Dari hasil tindakan bedah penderita dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu kelompok A (hasil kurang baik) dan kelompok B (hasil baik). Kelompok A penderita yang mengalami kematian bedah atau penderita dengan kelas fungsional menetap atau bahkan memburuk (n : B). Kelompok B penderita yang hidup dan kelas fungsionalnya meningkat satu tingkat atau lebih dinilai secara kriteria NYHP (n : 23).
Angka kematian bedah 16.12%. Dari 14 variabel prabedah tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari kelompok A dan kelompok B, dari 3 variabel intrabedah terdapat satu variabel yang berbeda bermakna yaitu lama klem aorta.
Kelompok A dengan rata rata 185±221,56 menit dan kelompok B 80,69±22,01 menit ( p:0.03 ).
Sebagai kesimpulan penelitian ini belum dapat mencari variabel prabedah mana yang berpengaruh terhadap kematian bedah ,pada tindakan bedah ganti katup aorta pada penderita Regurgitasi Aorta. Dengan tolok ukur yang lama tampaknya seleksi penderita prabedah sudah cukup ketat oleh karena nilai dari rata-rata tolok ukur dibawah nilai risiko tinggi yang dianjurkan peneliti sebelumnya.
Suatu penelitian prospektif dan jangka panjang perlu dilakukan agar dapat dicari variabel prognostiknya dan angka ketahanan hidup dari penderita Regurgitasi Aorta pascabedah ganti katup aorta di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rus Munandar
"ABSTRAK
Untuk menentukan variabel prediktor terhadap ketahanan hidup penderita pascainfark dilakukan penelitian secara retrospektif terhadap 174 orang penderita yang dirawat di RSJHK dalam periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1987. Pengamatan penderita dilakukan sampai tanggal 28 Februari 1989.
Sebanyak 16 variabel diuji secara univariat dengan uji Log-Rank dan selanjutnya dengan 'Step-wise variable selection' untuk analisis multivariat. Terbukti secara bermakna 5 variabel yang mempengaruhi angka ketahanan hidup yaitu: jenis kelamin (X2 = 15,70; p < 0,00), riwayat infark terdahulu (X2 = 6,55; p < 0,025), riwayat penyakit diabetes mellitus (X2 = 7,82; p t 0,01), riwayat gagal jantung selama perawatan (X2 = 14,58; p < 0,005) dan adanya blok cabang berkas kanan His (X2=15,29; p< 0,005). Dan 4 diantaranya, kecuali riwayat penyakit DM merupakan faktor rediktor yang independen
Angka ketahanan hidup secara keseluruhan yang diperoleh dengan cara Kaplan Meir adalah sebesar 89,6 ± 2,36 % selama pengamatan 3 tahun. Diperlukan tindakan yang agresif terhadap penderita dengan faktor-faktor tersebut untuk memperbaiki ketahanan hidup penderita pascainfark berikut kualitas hidupnya.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Aspar Mappahya
"Pemeriksaan invasif dengan arteriografi koroner selektif dapat memberi informasi akurat tentang lokasi dan luasnya proses aterosklorosis sekaligus memungkinkan visualisasi kolateral. Dengan pemeriksaan ventrikulografi kiri dapat diketahui kemampuan kontraksi ven trikel kiri dengan menganalisa kontraktilitasnya baik Secara regional maupun global.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data awal tentang gambaran morfologi arteri koronaria termasuk distribusi, lokasi dan derajat stenosis serta hubungannya dengan beberapa parameter yang berkaitan erat pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Indonesia umumnya dan di Rumah Sakit Jantung Hara pan Kita khususnya; dan menilai peranan sirkulasi kolateral pada penderita infark miokard anterior dengan obstraksi total dan subtotal pada arteri desendens anterior kiri.
Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 821 penderita yang dirujuk ke Unit Pelaksana Fungsionil Invasif RSJHR dengan suspek atau pasti menderita PIK selama periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1988. Terdapat 126 penderita dengan arteri koronaria yang normal dan sisanya, 695 penderita dianalisa lebih lanjut. Secara keseluruhan dari 821 penderita ditemukan 44,7% distribusi dominan kanan, 40,1% distribusi seimbang, dan 15,2% distribusi dominan kiri. Dari perhitungan berat dan luasnya stenosis ditemukan korelasi bermakna (p <0,01) antara skor stenosis cara AHA dan jamlah pembuluh yang sakit cara GLH. Dari segi umur tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara kelompok umur dengan rata-rata keseluruhan (p>0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna (
p <0,05) antara kelompok dibawah 39 tahun dan kelompok 40-69 tahun. Juga tidak ada perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kelompok umur pada mereka dengan penyakit satu maupun dua dan tiga pembuluh.Berdasarkan jenis kelamin tidak banyak perbedaan distribusi jumlah pembuluh yang sakit. Obstruksi total lebih banyak dijumpai pada ke tiga arteri koronaria utama dibanding obstruksi subtotal pada semua kelompok umur kecuali pada kelompok diatas 70 tahun untuk Cx terjadi sebaliknya. Secara umum hipotesis tentang makin banyaknya faktor risiko koroner makin tinggi skor stenosisnya tidak terbukti pada penelitian ini dan hanya hipertensilah satu-satunya terbukti mempunyai pengaruh jelas terhadap beratnya stenosis . Dari gambaran radiologis, terbukti bahwa berat stenosis merupakan salah satu penyebab yang penting untuk timbulnya kardiomegali; selain itu adanya kardiomegali pada penderita PJX bisa meramalkan adanya asinergi dengan sensitivitas 64% dan spesifitas 57%. Berdasarkan gambaran EKG penderita yang diteliti lebih banyak yang telah mengalami infark (56,7%) dibanding yang tanpa infark; dan ada kecenderungan persentase penyakit satu pembuluh lebih dominan pada penderita tanpa infark dan persentase penyakit tiga pembuluh lebih dominan pada penderita infark, sementara penyakit dua pembuluh paling tinggi persentasenya pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara penderita infark transmural dan penderita infark non-Q meskipun skor stenosis pada infark transmural lebih tinggi. Stenosis bermakna pada LMCA lebih banyak ditemukan pada penderita PJK tanpa infark (55%) dibanding yang telah infark, juga persentase bermakna pada LMCA lebih banyak dijumpai.pada penyakit tiga pembuluh. Terdapat 5 (20,8%) dari penderita dengan aneurisma ventrikel yang menunjukkan elevasi. ST dan hany,a 11 (45,8%) yang disertai kolateral. Hasil ULJB pada 267 penderita memperlihatkan kecenderungan hasil positif ringan lebih banyak pada penyakit satu pem buluh dan hasil positif berat lebih banyak pada penyakit tiga pembuluh; sensitivitas pemeriksaan ULTB adalah 85%. Dari beberapa parameter yang berhubungan dengan ventrikulografi terlihat gambaran asinergi lebih sering dijumpai pada penyakit yang lebih luas sedangkan normokinesis lebih sering pada mereka dengan stenosis yang tidak begitu luas. Tnsufisiensi mitral sering dijumpai pada pemeriksaan ventrikulografi dan pada penelitian ini lebih banyak dijumpai (40,8%) pada asinergi inferior; juga paling sedikit ditemukan pada penyakit satu pembuluh.
Penilaian peranan sirkulasi kolateral terhadap PJK umumnya terlihat tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) persentase pemendekan hemi dan longaxis diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral pada 38 penderita PIK dengan obstruksi total dan subtotal -
tanpa infark anterior. Juga tidak ada perbedaan bermakna dalam hal FE, TDAVK dan VDA pada kelompok ini. Adapun pada kelompok penderita yang telah mengalami infark anterior, ternyata ada perbedaan persentase pemendekan hemi dan longaxis yang bermakna, (p<0.01 ), khususnya aksis yang sesuai dengan perfusi LAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa makin baik kualitas kolateral makin baik pula fungal ventrikel kiri, meskipun persentase pemendekan tersebut masih lebih rendah dibanding yang ditemukan pada kelompok kontrol. Demikian pula ada perbedaan bermakna (p 0,01) dalam hal FE,dan TDAVK diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral yang selanjutnya memperkuat kesimpulan diatas.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peranan sirkulasi kolateral pada penderita PJK baik yang belum maupun yang telah mengalami infark sangat penting dalam menilai hubungannya dengan fungsi ventrikel k iri serta sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut baik yang bersifat konservatif maupun yang bersifat intervensi angioplasti dan bedah pintas koroner.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 4126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendarmin Syafei
"ABSTRAK
Telah di lakukan penelitian evaluasi variabel yang mempengaruhi keberhasilan kardioversi ('Direct Current Cardioversion') AF pasca-bedah katup mitral dan BMV, sel ama periode Pebruari 1987-November 1989 di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita-Jakarta. Variabel yang dimaksud adalah. data klinik, ekokardiografik, rontgenologik dan penyadapan jantung pra-bedah atau BMV. Merupakan evaluasi keberhasilan kardioversi jangka menengah (3tahun).
Keberhasilan kardioversi AF dinyatakan sebagai Angka bebas AF (satuan persen) keseluruhan (bedah dan BMV), dihitung sejak tindakan kardioversi dan Angka bebas AF dihubungkan dengan variabel-variabel tersebut di atas. Perhitungan secara metode tabel kehidupan menurut 'Kaplan Meir' dan.analisa multivariat model Regresi Cox.
Terdapat 58 penderita AF pra dan pasca-bedah atau BMV, yang diajukan ikut penelitian. Dua penderita langsung masuk ke irama sinus sebelum kardioversi, karena efek sulfas kinidin. Sehingga terdapat 56 penderita yang ikut penelitian (31 kelompok bedah, 25 kelompok BMV). Energi listrik yang digunakan rata-rata 241 ± 52 joule. Hasil awal kardioversi (irama sinus menetap selama 24 jam) adalah 43 penderita (77 %, 43 dari 56). Terdiri dari 25 kelompok bedah (81 %, 25 dari 31) dan 18 kelompok BMV (72 %, 18 dari 25). Pada akhir penelitian hanya 18 penderita yang tetap dalam irama sinus (12 kelompok bedah, 6 kelompok BMV).
Angka bebas AF jangka menengah secara keseluruhan 32 ±3,5 %. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara Angka bebas AF kelompok bedah dibanding kelompok BMV (37 +5 % vs 24 ±4%, p C 0,05).
Bila dihubungkan dengan lama AF, Angka bebas AF kelompok lama AF C 12 bulan lebih besar dibanding dengan kelompok lama AF 3 12 bulan (51 --8/. vs 21 +3Z, p C 0,05)- Angka bebas AF kelompok dimensi (anteroposterior) atrium kin i < 50 mm lebih besar dibanding kelompok dimensi atrium kiri ? 50 mm (42 +6Z vs 17 + 3 Z, p < 0,05). Angka bebas AF kelompok MVP 3 0,6 cm2 lebih besar dibanding kelompok MVP C 0,6 (39 + 5 Z vs 14 ± 3 Z, p < 0,05). Akan tetapi dalam perhitungan analisa multivariat, hanya lama AF yang bermakna, sebagai prediktor independen (p=0,0308).
Kesimpulan kardioversi AF penderita pasca-bedah katup mural dan BMV merupakan tindakan praktis, sebagai upaya mengubah AF ke irama sinus. Kesempatan irama sinus dapat dipertahankan pascakardioversi sampai jangka menengah 3 tahun, dari 56 penderita sebesar 32%.
Lama AF dapat dianggap sebagai prediktor independen, bahwa dapat bertahannya irama sinus dalam jangka menengah. Bila lama AF < 12 bulan, kesempatan di pertahankannya irama sinus sampai 3 tahun, cukup besar (51 %). Sebaliknya bila lama AF 3 12 bulan, kesempatannya, 21.
Tetapi sebaiknya bila tidak ada indikasi kontra, kardioversi AF terhadap penderita pasca-bedah katup mitral maupun BMV sebaiknya diberikan kesempatan. Walaupun lama AF telah berlangsung kronik, karena bila berhasil harapan dapat dipertahankannya irama sinus tetap ada. "
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Prasetyo Andriono
2006
T22684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Maria Ulfa
"[ABSTRAK
Latar belakang. Pada stenosis mitral sering timbul komplikasi hipertensi pulmoner dan disfungsi ventikel kanan. Belum ada penelitian yang menghubungkan antara resistensi vaskular paru sebelum operasi dengan fungsi jantung kanan saat pasca operasi serta perubahannya pasca operasi stenosis mitral rematik.
Metode. Studi ini merupakan studi kohort prospektif pada 31 pasien stenosis mitral rematik yang menjalani operasi katup mitral di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita sejak April 2014 sampai Maret 2015. Pasien menjalani pemeriksaan ekokardiografi sebelum operasi, sebelum pulang perawatan pasca operasi serta saat follow up mid term di poliklinik. Dilakukan analisa statistik untuk melihat hubungan antara resistensi vaskular paru (RVP) pra operasi dengan strain longitudinal ventrikel kanan saat follow up mid term serta perubahan strain longitudinal ventrikel kanan pasca operasi (delta strain).
Hasil. Tidak terdapat korelasi antara RVP pra operasi dengan strain longitudinal speckle tracking ventrikel kanan saat follow up mid term pasca operasi (r 0,199 p 0,264) serta dengan perubahan strain longitudinal ventrikel kanan pasca operasi atau delta strain (r 0,174 p 0,350).
Kesimpulan. Resistensi vaskular paru pra operasi tidak berhubungan dengan strain longitudinal speckle tracking ventrikel kanan saat follow up mid term pasca operasi serta dengan perubahan strain longitudinal ventrikel kanan pasca operasi atau delta strain.

ABSTRACT
Background. In MS right ventikel (RV) dysfunction and pulmonary hypertension often occur as complication. There is no research that connects the pulmonary vascular resistance before surgery with RV function and its changes in the case of rheumatic mitral stenosis who underwent mitral valve surgery.
Methods. This study is a prospective cohort study which involves 31 patients with rheumatic mitral stenosis who underwent surgery at National Cardiovaskular Center Harapan Kita Hospital from April 2014 to March 2015. Patients underwent echocardiography before surgery, after surgery pre-hospital discharge and mid-term follow-up at clinic. Statistical analysis was performed to see the relationship between preoperative pulmonary vascular resistance (PVR) with RV function at mid term follow up, which is assessed using echocardiographic parameters right ventricular longitudinal speckle strain, and also with right ventricle longitudinal speckle strain postoperative changes (delta strain).
Results. There is no correlation between pre operative PVR with RV longitudinal speckle strain at mid term follow-up (r 0,199 p 0,264), and post operative changes or delta strain (r 0.174 p 0.350).
Conclusion. RVP before surgery is not associated with right ventricle longitudinal speckle strain at follow up mid term and post operative changes or delta strain., Background. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease is still regarded as an
important public health problem especially in developing countries. Mitral stenosis (MS) is a
sequale of rheumatic fever which are most commonly found. In MS right ventikel (RV)
dysfunction and pulmonary hypertension often occur as complication. The right ventricle has
a smaller muscle mass so it is more sensitive to changes in pressure loads. There is no
research that connects the pulmonary vaskular resistance before surgery with RV function
and also changes in the case of rheumatic mitral stenosis who underwent mitral valve
surgery.
Methods. This study is a prospective cohort study which involves 31 patients with rheumatic
mitral stenosis who underwent surgery at National Cardiovaskular Center Harapan Kita
Hospital from April 2014 to March 2015. Patients underwent echocardiography before
surgery, after surgery pre-hospital discharge and mid-term follow-up at clinic. Statistical
analysis was performed to see changes in RV function with longitudinal speckle strain, after
surgery pre-hospital discharge and mid-term follow-up at clinic. Analysis also performed to
see the relationship between preoperative pulmonary vascular resistance (PVR) with RV
function at mid term follow up, which is assessed using echocardiographic parameters right
ventricular longitudinal speckle strain, and also with right ventricle longitudinal speckle
strain postoperative changes (delta strain).
Results. Right ventricular function after surgery seen with longitudinal speckle strain
improved from -12.94 ± 3.63 preoperatively into -13.06 ± 3.63 after surgery pre hospital
discharge, and -15.25 ± 3.75 at follow-up evaluation (p 0.007). There is no correlation
between pre operative PVR with longitudinal speckle strain at mid term follow-up (r 0,199 p
0,264), and RV longitudinal speckle strain post operative changes or delta strain (r 0.174 p
0.350).
Conclusion. After mitral valve surgery, right ventricle longitudinal speckle strain improves.
RVP before surgery is not associated with right ventricle longitudinal speckle strain at follow up mid term and right ventricle longitudinal speckle strain post operative changes or delta
strain. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Imasanti
"Latar belakang: Program rehabilitasi jantung pada pasien pasca bedah pintas arterikoroner BPAK dapat dilaksanakan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit,dimana hambatan utama pada program rehabilitasi di rumah sakit adalah jarak tempattinggal yang jauh. Mengingat kesulitan ini, untuk meningkatkan jangkauan pelayananprogram rehabilitasi jantung perlu dikembangkan ke arah program latihan mandiri dirumahdengan menggunakan pemantauan jarak jauh / telemonitor elektrokardiografi Tele-EKG .Pemantauan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap programlatihan mandiri dirumah.
Tujuan: Menilai efek pemantauan jarak jauh untuk meningkatkan kepatuhan pasien pascaBPAK yang menjalani program latihan mandiri.
Metode: Pasien BPAK yang masuk kriteria inklusi dirandomisasi dan dibagi dua kelompok dengan dan tanpa alat pemantauan jarak jauh . Dilakukan dua kali uji latih treadmilldengan metode bruce, yaitu setelah kedua kelompok menyelesaikan program rehabilitasifase II dirumah sakit sebagai baseline, dan setelah latihan dirumah selama 12 minggupasca-intervensi sebagai evaluasi akhir program. Selanjutnya dilakukan analisis statistikantara kedua kelompok untuk melihat pengaruh pemantauan jarak jauh terhadap kepatuhanprogram latihan mandiri.
Hasil penelitian: Sebanyak 44 pasien diikut sertakan pada penelitian ini. Dari hasilevaluasi, tidak didapatkan tingkat kepatuhan yang lebih baik antara kelompok intervensi n= 20 dan kontrol n = 24 95 vs 70,8 ; p = 0,054 , demikian pula peningkatan durasidan kapasitas aerobik uji latih [ 57,90 81,14 detik vs 21,67 61,22 detik; p = 0,099 , dan 0,77 1,19 METs vs 0,33 1,05 METs; p = 0,193 ].
Kesimpulan: Pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani program latihanmandiri dengan pemantauan jarak jauh tidak mempunyai kepatuhan yang lebih baikterhadap program latihan mandiri.

Background: Cardiac rehabilitation CR program in patient who had coronary artery bypass surgery CABG surgery could be institution based or home based, but there were many barriers for home based CR program that influence the patient's adherence to the program. As an effort to overcome the barrier of distance, confidence, and safe feeling, electrocardiography telemonitoring ECGTM could be used But there wes no data regarding the effect of the electrocardiography telemonitoring to the adherence to the home based CR program in Indonesia.
Aim: To assess the effect of electrocardiography telemonitoring to the adherence to homebased CR program for the patients who have had CABG surgery.
Methods: Patients after having CABG surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta who have finished phase II CR program were recruited consecutively and were radomized to the intervention group which used ECGTM and to the control group which did not use ECGTM for 3 months home based CR program. Home based exercise was based on the result of exercise stress testing using Bruce Protocol. Adherence was defined as compliance to the minimum of 3 sessions per week for 12 weeks CR program.
Results: A total of 44 patients completed the study, The adherence to the CR program of the intervention group n 20 and control group n 24 was not different 95 vs 70,8 p 0.054 , and neither was the exercise testing duration 57.9 81.1 vs 21.7 61.2 seconds, p 0.099 , and the improvement of functional capacity 0.77 1.2 vs 0.33 1.05 METS, p 0.193.
Conclusion: The aplication of electrocardiography telemonitoring did not increase the patients adherence to home based CR program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mefri Yanni
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pada penderita APTS/IMA-NEST, agregasi platelet dianggap
sebagai faktor penyebab kejadian trombosis dan disfungsi mikrosirkulasi melalui
mekanisme embolisasi distal. Pemeriksaan fungsi platelet berperan dalam menilai
derajat inhibisi platelet oleh pemberian antiplatelet khususnya clopidogrel.
Tujuan. Menilai hubungan antara reaktivitas platelet dalam terapi clopidogreal
dengan kejadian obstruksi mikrovaskular pada penderita APTS/IMA-NEST.
Metode. Penelitian potong lintang dilakukan untuk menilai hubungan reaktivitas
platelet pada terapi clopidogrel dengan kejadian obstruksi mikrovaskular pada
penderita APTS/IMA-NEST yang menjalani tindakan intervensi perkutan.
Pengukuran nilai reaktivitas platelet dilakukan sebelum tindakan IKP minimal 6
jam pasca loading dose clopidogrel 300 mg. Penilaian obstruksi mikrovaskular
diukur dengan myocardial blush grade (MBG) setelah intervensi koroner
perkutan.
Hasil. Total sebanyak 96 orang pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian
selama periode Mei-Oktober 2012. Sebanyak 21 subjek (21.9%) dikategorikan
sebagai non responder dengan nilai reaktivitas platelet ≥ 47 U, sementara
sebanyak 75 subjek (78.1%) dikategorikan sebagai responder (< 47U). Rerata
nilai reaktivitas platelet pada kelompok non responder 63.8±18.4 U berbanding
28.3±10.34 U pada kelompok responder (p=0.000). Berdasarkan nilai myocardial
blush grade, kelompok subjek dengan nilai MBG 0-1 ditemukan sebanyak 12
subjek (12.5%) sementara kelompok subjek dengan nilai MBG 2-3 sebanyak 84
subjek (87.5%) dengan rerata nilai reaktivitas platelet 47±26.3 U berbanding
35.5±19.6 U (p=0.00). Terdapat perbedaan antara kedua kelompok terhadap skor
GRACE ≥ 140 (75% vs 89,3%,p=0.17), tipe lesi ACC/AHA (58,4% vs33.4%,
p=0.11), aliran TIMI (50% vs 2.3%, p=0.000), dan jumlah non responder (58.3%
vs 16.6%, p=0.004). Melalui analisis multivariat, nilai reaktivitas platelet pada
terapi clopidogrel memiliki hubungan dengan kejadian obstruksi mikrovaskular
dengan odds ratio (OR) 6.8 (IK 95%:1,8-25.4, p=0.004).
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara nilai reaktivitas platelet pada terapi
clopidogrel dengan kejadian obstruksi mikrovaskular pada penderita IMA-NEST
yang menjalani tindakan IKP dalam masa perawatan di rumah sakit.

ABSTRACT
Background. In the setting of UA/NSTEMI, platelet aggregation has a pivotal
role in trombosis and microcirculation dysfunction resulting from distal
embolization, and the rate of microcirculation dysfunction will increase by
iatrogenic plaque rupture during PCI. Platelet function tests has been widely used
to measure platelet inhibition level on antiplatelet therapy, particularly on
clopidogrel.
Objective. This study aimed to evaluate the association between platelet
reactivity on clopidogrel treatment with microvascular obstruction after PCI in
UA/NSTEMI patients.
Method. A cross sectional study was conducted to evaluate the association
between platelet reactivity on clopidogrel treatment and microcvascular
obstruction after PCI in UA/NSTEMI patients. Platelet reactivity was measured
before PCI minimal 6 hours after loading dose 300 mg clopidogrel, while
microvascular obstruction was evaluated by myocardial blush grade (MBG).
Results. Out of 96 subjects examined during May to October 2012, 21 subjects
(21.9%) was categorised as non responder (≥47 U) and 75 subjects (78.1%) as
responder (<47 U). Mean platelet reactivity in non responder group was 63.8±18.4
U versus 28.3±10.34 U in responder group (p=0.000). Based on myocardial
blush, MBG 0-1 was found in 12 subjects (12.5%) while MBG 2-3 was found in
84 subjects (87.5%). There were difference in both groups on GRACE risk score
≥ 140 (75% vs 89,3%,p=0.17), ACC/AHA type lesion (58,4% vs33.4%, p=0.11),
TIMI flow (50% vs 2.3%, p=0.000), and number of responder subjects (58.3% vs
16.6%, p=0.004) with mean platelet reactivity 47±26.3 U vs 35.5±19.6 U,
respectively (p=0.00). Multivariate analysis showed that platelet reactivity on
clopidogrel treatment is persistently associated with microvascular obstruction
(OR 6.8, CI: 1,8-25.4, p=0.004).
Conclusion. In this study, platelet reactivity on clopidogrel treatment is
associated with microvascular obstruction after stenting in UA/NSTEMI patients."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusup Endang
"ABSTRAK
Latar Belakang : Pada era sebelum tindakan reperfusi, kadar fibrinogen merupakan faktor
independen terhadap mortalitas pada pasien-pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi
segmen-ST (IMA-EST) dibandingkan dengan kadar fibrinogen yang normal. Dan kemudian era
reperfusi dikatakan obstruksi mikrovaskular merupakan salah satu faktor menyebabkan kejadian
mayor kardiovaskular. Dengan kemajuan teknologi dibidang kardiologi kejadian dan besaran
MVO dapat di ketahui secara akurat dan pada fase akut. Dari studi terbaru dikatakan bahwa
indeks resistensi mikrovaskular memiliki hubungan positif terhadap MVO dibandingkan dengan
magnetic resonance imaging. Dan diduga faktor hemostasis terutama kadar fibrinogen diduga
memiliki peran yang penting terhadap kejadian obstruksi mikrovaskuler melalui mekanisme
hiperkoagulasi dan embolisasi distal.
Metode: Sebanyak 55 subjek IMA–EST yang menjalani IKPP dipilih secara konsekutif yang
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sejak 15 Oktober 2013 – 31 Maret 2014. Fibrinogen
diambil saat masuk UGD, penilaian indeks resisten mikrosirkulasi (IMR) diambil segera pasca
IKPP. Perhitungan statistik menggunakan SPSS 17.
Hasil: Dari lima puluh lima pasien yang masuk dalam penelitian didapatkan proporsi laki-laki
87,3%, dengan rerata umur pasien adalah 53,1+8,9 tahun. Faktor risiko penyakit jantung koroner
yang paling besar adalah merokok yaitu 76,36. Semua pasien menjalani IKPP dengan waktu
perfusi 89.04+37.114 menit dan waktu Iskemia 458,69+170,709. Nilai rerata IMR 55,2 + 47,454
dengan nilai rerata fibrinogen 350,80+103,190. Melalui diagram scattered plot didapatkan kadar
fibrinogen memilliki kecenderungan yang terbalik terhadap IMR, dengan kekuatan hubungan
yang lemah dan secara statistik tidak bermakna. ( r = - 0,137 ; p = 0,319 ).
Kesimpulan: Kadar fibrinogen saat admisi tidak memiliki hubungan terhadap IMR pada pasien
pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

ABSTRAK
Background: In no coronary reperfusion era, fibrinogen is known as an indepndent risk factor
for cardiac mortality in acute myocard infract patient. And in revascularization era,
microvascular obstruction (MVO) is associated with adverse ventricular remodelling and patient
prognosis. With the advanced technology in cardiology, MVO can be detected accurately in the
acute phase. In recent study index microcirculatory resistance (IMR) show a positive correlation
with magnetic resonance imaging while detecting and counting severity of MVO. It is suspected
that hemostatic factor mainly fibrinogen play an important role in MVO due to hypercoagulable
state and distal embolization.
Methode: 55 STEMI patients undergoing primary PCI were consecutively recruited from
October 15th, 2013 to march 31th, 2014. The fibrinogen was withdraw at admission. We evaluate
the IMR immediately after PCI done. Statistical analysis was done by SPSS 17.
Results: From fifty-five patients included in the study, there were 87,3% men, with mean age
53,1±8.9 years old, and smoker show the biggest proportion compare with risk factor for
coronary artery disease. All the patient undergo primary percutaneus coronary intervention with
mean door to ballon time 89.04+37.114 minute and ischemia time 458,69+170,709 minute.
Mean IMR was 55,2 + 47,454 and mean fibrinogen level was 350,8+103,19. From the scaterred
plot fibrinogen prone to had a weak negatif correlation with IMR and statistically non significant
(r = - 0,137 ; p = 0,319)
Conclusion: There is no correlation between fibrinogen level and IMR value in STEMI patients
that undergoing PPCI"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>