Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atika Yuanita Paraswaty
"ABSTRAK
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia adalah kitab undang-undang zaman kolonial. Dinamika perkembangan masyarakat demokratis menuntut adanya pembaharuan KUHP tersebut menjadi KUHP yang memuat nilai-nilai bangsa Indonesia. KUHP memang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum saat ini. Oleh karena itu terdapat upaya pembaharuan hukum pidana nasional melalui Rancangan KUHP. Terjadi perubahan perumusan pasal didalamnya, salah satunya adalah pasal mengenai tindak pidana agama. Telah terjadi perluasan perumusan pasal terkait tindak pidana tersebut, dipisahnya tindak pidana terhadap agama dan tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana beribadah. Pada KUHP, tindak pidana agama diatur dalam Pasal 156a KUHP. Hasil penelitian menyimpulkan upaya penanggulangan dalam KUHP terkait tindak pidana agama menjadi tidak efektif. Pada R-KUHP, perumusan pasalnya masih memiliki “jiwa” KUHP. Adanya perluasan delik menimbulkan overcriminalization. Terhadap prospek kedepannya harus lebih dijelaskan maksud tindak pidana yang ada agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam pengimplementasian undang-undang tersebut. Penelitian menyarankan kebijakan penanggulangan terhadap tindak pidana agama harus melalui proses sarana non-penal terlebih dahulu, dapat dilakukan dialog agar menjadi sepaham dengan permasalahan yang terjadi.

ABSTRACT
Criminal code applicable in Indonesia are colonial laws. Dinamic society growth claims criminal law reform which containing the values of the nation of Indonesia. Criminal code is nnot longer in line with the current legal developments. Hence the national criminal law reform efforts through draft criminal code. Article formulation changes therein, one of which is the chapter on religious offenses. That have an expansion clause is divided criminal offenses against religion and the other is crimes against religious life and worship facilities. In the criminal code, religious crime set in Pasal 156a. The study concluded criminal policy in criminal code is not effective. In draft criminal code, article draft is still have “soul” of criminal code. The expansion of crime cause overcriminalization. The outlook for the next must be clear that about crimes are not being mazy on that code implementation. The study suggest criminal policy for religious crime must be process non-penal effort firstly, that can be hold discuss or dialogue that be like-minded about society and religious problems."
Universitas Indonesia, 2013
T32788
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guruh T. Kusumo
"ABSTRAK
Gagasan akan adanya Hakim Komisaris semakin gencar dilakukan setelah diratifikasinya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 dalam salah satu ketentuan konvensi tersebut, mengisyaratkan bahwa apapun tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum harus segera dihadapkan ke depan sidang pengadilan. Hakim Komisaris juga diperlukan untuk mengurangi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa menggantikan lembaga praperadilan yang dinilai kurang bisa mengantisipasi kesewenang-wenangan tersebut. Hal yang menarik dengan dimasukkannya Hakim Komisaris dalam rancangan hukum acara pidana adalah persoalan jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana. Penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi, kemerdekaan dan kebebasan seseorang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang dan bentuk perampasan hak lainnya. Hal ini menjadi perhatian yang serius karena dalam proses pemeriksaan perkara pidana, prosedur pemeriksaan perkara pidana melalui tahapan-tahapan pemeriksaan merupakan instrumen keadilan pada tahap pertama yang dikenal dengan keadilan prosedural. Pada bagian ini dituntut ditegakkannya asas-asas hukum dalam rangka penghormatan terhadap hak-hak tersangka. Oleh sebab itu, proses peradilan yang adil merupakan hak mutlak bagi tersangka/terdakwa yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum pidana. Sedangkan bagian kedua adalah keadilan substansial yang bergantung kepada keadilan yang pertama. Artinya jika prosedurnya yang adil yang diatur dalam hukum acara pidana atau hukum pidana formil sudah ditegakkan, merupakan prasyarat terwujudnya keadilan substansial yang diatur dalam hukum pidana materiil, sebaliknya prosedur yang tidak adil tidak dapat melahirkan keadilan substansial. Atas dasar argumen hukum tersebut, persoalan keberadaan hakim komisaris tidak bisa dilepaskan daripada fungsi hukum acara pidana yang bertujuan mencari dan menemukan kebenaran materiil atau kebenaran hakiki dalam menegakkan hukum pidana materiil.

ABSTRACT
More and more idea on Hakim Komisaris is highly conducted upon identification of International Covenant in terms of International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR) by Laws of 2005 No.12 in which had been required that whatever forceful efforts by law enforcer(s) immediately, it should be brought before the court. For reducing arbitrary commitment conducted by law enforcer(s) then, also it is required Hakim Komisaris in order to substitute other institution who may not be able to minimize it. Any interesting case to include Hakim Komisaris into draft of criminal procedural law is insurance of human right protection for theaccused in criminal proceedings. Illegal detention and arrest is serious violation on human rights, independence and individual freedom. Illegal seizure is serious violation against individual property and illegal shakedown is serious violation against individual residential conveniency/privacy and other rights deprivation. It had become serious case because in investigation process of criminal case there are stages, i.e, procedural judicial, in this stage the enforcement of law principles in order to revere the accused rights is very required. However fair/justice judical process is absolute right for the accused to be met for enforcement of criminal law. And subsequently, substancial judicial it is depend on the first one. It means provided that fair/justice procedure as setout in criminal procedural law or formil criminal law had been met, it is prerequisite of substantial judicial manifestation as setout in material criminal law, conversely, untair/unjustice one may not bring about substantial judicial. Based on such law argument, existence problem of Hakim Komisaris may not be released from function of criminal procedural law which of target if finding out or discovering material or real truth in order to enforce material procedural law."
2013
T32709
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apreza Darul Putra
"Tesis ini berisikan pembahasan mengenai pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam kerangka pembaruan hukum acara pidana Indonesia. Permasalahan dalam tesis ini terkait dengan bagimanakah pengaturan pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia pada saat ini untuk kemudian dikaitkan dengan bagaimana praktek sesungguhnya para penegak hukum di Indonesia serta pengaturan apa sajakah yang diperlukan untuk mengaturnya, terkait dengan pembaruan hukum acara pidana di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis, karena menggambarkan selengkapnya tentang pengaturan proses dan tata cara penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Indonesia dan dikaitkan dengan pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang terdapat di Amerika Serikat dan Inggris. Wawancara dilakukan terhadap narasumber yang melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut seperti penyidik dan ahli digital forensik, dan juga terhadap akademisi yang bidang keilmuannya sesuai dengan permasalahan penelitian ini.
Hasil penelitian ini mendapatkan fakta bahwa KUHAP yang menjadi induk hukum acara pidana di Indonesia tidak memiliki pengaturan terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik karena bukti elektronik bukan merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut KUHAP. Namun demikian bukti elektronik mulai diakui sebagai salah satu alat bukti yang sah di Indonesia, yang pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan hanya beberapa diantaranya yang telah mengatur tentang hukum acara pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik.
Dikarenakan pengaturan dan pengetahuan yang minim para penegak hukum Indonesia perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, maka tidak semua penegak hukum telah memiliki pedoman, panduan atau Standard Operating Procedures (SOP) dalam melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Seharusnya memang ketentuan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut diatur dalam satu peraturan yang lengkap dan memperhatikan segala keunikan karakteristik dari bukti elektronik dan hal-hal lainnya, terutama yang terkait dengan perlindungan terhadap privacy, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data.

This thesis contains a discussion concerning regulation on search and seizure of electronic evidence within the framework of Indonesia?s criminal procedure law reform. The questions in this thesis relates to how Indonesia?s criminal procedure law at the moment regulates the search and seizure of electronic evidence and then to be linked to how the actual practice of law enforcement in Indonesia, and what are the required provision to rule it, with respect to Indonesia's criminal procedure law reform.
This research is a sociological juridical research, because it completely describes the regulation concerning processes and procedures for search and seizure of electronic evidence in Indonesia and then linked to the regulation of search and seizure of electronic evidence located in the United States and England. Interviews conducted on informants who carry out the action of search and seizure of electronic evidence such as investigators and digital forensics expert, and also to academics which his or her scientific fields is related to this research problem.
The results of this research is the fact that the KUHAP or Criminal Procedure Code as the source of criminal procedure law in Indonesia does not have a provision related to the search and seizure of electronic evidence because electronic evidence is not a valid evidence under the Criminal Procedure Code. However, the electronic evidence is recognized as one of the legitimate evidence in Indonesia, which is spread in a variety of legislation and only a few of them which has a provision on the procedural law that regulates search and seizure of electronic evidence.
Due to the minimal regulation and knowledge of Indonesian law enforcement officials regarding the search and seizure of electronic evidence, then not all law enforcement agencies have guidelines or Standard Operating Procedures (SOP) in implementing the act of search and seizure. The provision on search and seizure of electronic evidence should be set out in one comprehensive rules and pay attention to all the unique characteristics of electronic evidence and other matters, especially those related to the protection of privacy, confidentiality, smooth running of public services and the integrity of the data.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32518
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reda Manthovani
"

ABSTRAK Disertasi ini merupakan penelitian juridis normatif yang dilakukan dengan menggunakan privacy rights theory, prinsip-prinsip internasional tentang penerapan hak asasi manusia dalam communication surveillance dan teori sistem peradilan pidana. Fokus penelitian ini adalah mengkaji bagaimana hukum di Indonesia mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi dari intersepsi baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan serta perbandingannya dengan negara Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris dan Prancis. Hasil penelitian ini mendapati bahwa intersepsi merupakan tindakan yang melanggar zona privasi, tindakan tersebut merupakan tindakan yang dilarang. Tindakan intersepsi memiliki karakter yang khusus dan berbeda dengan upaya paksa lainnya, oleh karena intersepsi dilakukan dengan cara rahasia, tidak terlihat dan tidak terasa. Penelitian ini menegaskan bahwa intersepsi selain berfungsi sebagai upaya paksa khusus namun terkadang dapat disalahgunakan dan melanggar hak asasi manusia. Intersepsi dipandang sebagai tindakan yang mengurangi hak privasi, namun intersepsi tetap dipergunakan oleh aparat penegak hukum dimanapun didunia ini sebagai salah satu instrumen upaya paksa dengan pertimbangan adanya kebutuhan untuk penegakan hukum. Hal tersebut dimungkinkan karena hak privasi masih termasuk derogable rights sehingga hak privasi masih dapat dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan berdasarkan undang-undang. Penelitian ini menemukan bahwa intersepsi yang diatur di Indonesia baru sebatas pemberian wewenang (legality) kepada aparat untuk penegakan hukum (legitimate aim) dan belum menerapkan prinsip proportionality dan necessity. Selain itu prinsip admisibility dan due process of law belum sepenuhnya diadopsi dalam hukum acara pidana Indonesia sehingga hakim belum banyak berperan dalam menentukan keabsahan alat bukti yang diperoleh dari intersepsi. Sehingga alat bukti yang diperoleh dengan melanggar hak asasi manusia pun masih dapat diakui sebagai alat bukti yang sah dan digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam putusannya. Hal tersebut berbeda dinegara Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris dan Prancis yang menerapkan menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Penelitian ini menemukan RUU KUHAP saat ini berupaya membangun hukum acara pidana Indonesia yang compatible dengan prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia di atas. Oleh karena itu saran dari hasil penelitian ini berupa : Pertama, diperlukan unifikasi bentuk upaya paksa dalam satu peraturan perundang-undangan yang menerapkan prinsip legitimate aim, necessity dan proportionality sehingga intersepsi dipandang sebagai upaya terakhir setelah jalan lain sudah ditempuh sebelumnya. Kedua, memberlakukan hukum acara pidana yang menerapkan prinsip admisibility dan due process of law sehingga hakim lebih berperan dalam menentukan keabsahan alat bukti dan membatalkan alat bukti yang diperoleh dengan melanggar hak asasi. Ketiga merobah klasifikasi alat bukti tertutup yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP menjadi klasifikasi alat bukti terbuka dengan menambahkan klausula pengamatan hakim dalam persidangan sehingga alat bukti apapun dapat diterima di pengadilan (admissible) sepanjang diperoleh secara sah. Keempat, agar RUU KUHAP saat ini diteruskan pembahasannya dan untuk melengkapinya diperlukan suatu RPP yang mengatur secara detail teknis dari tatacara intersepsi, misalnya monitoring pasca dilakukannya intersepsi melalui post audit oleh lembaga eksternal diluar lembaga penegak hukum yang melakukan intersepsi.


ABSTRACT This dissertation is a normative juridical research which has been conducted by using privacy rights theory, international principles about implementing of human rights in communication surveillance and theory of the criminal justice system. The focus of this research is to study how the law in Indonesia accommodates the principles of the protection to the human rights of interception whether in the constitution, legislation, verdicts, and its comparison with the United States, Australia, Netherland, UK, and France. The result of this research found that interception is an intrusion to privacy zone, and it is a forbidden act. Interception, however, has special characteristics and differ with other coercion, therefore interception is done by secret, is not visible and is not noticeably. This research affirm that interception beside has its functions as a special coercion but sometimes can be misused and violate the human rights. Interception is deemed as an action which decrease the privacy right, but however it is used as a tools of state by the law enforcement officer in the world with the law enforcement consideration. It is still possible to be done because the privacy right is classified as derogable rights therefore it is could be limited by the regulations. This research found that the interception regulated in Indonesia is merely granting authority (legality) to the law enforcement agencies (legitimate aim) and yet implemented proportionality and necessity principles. Moreover, the principle of admissibility and due process of law are not entirely adopted yet in Indonesian criminal procedure so that the judge does not get his perfect role in determining the validity of evidence obtained from the interception. It is so that the evidence obtained by violating human rights can still be admitted as a valid evidence and it can be used as a Judge consideration in its verdict. The situation above is different in the law system of USA, Australia, Netherland, UK, and France which have applied such principles. This research found that the Draft of Criminal Procedure Code nowadays tries to build Indonesian criminal procedural law that is compatible with the principles of respecting the human rights, as above. Because of that, the suggestions from this research are, as follow : One, it is required the unification in coercion within one regulations which implement the principles of legitimate aim, necessity and proportionality, therefore interception can be regarded as the last resort after other coercion had previously been through. Two, imposing criminal procedural law which implement the principle of admissibility and due process of law therefore the judge is able to play it’s role in determining the validity of the evidence and exclude the evidence which was obtained by violating human rights. Three, to amend the classification of limited evidence-which is regulated in Chapter 184 Criminal Procedure Code (KUHAP) – to be the classification of unlimited evidence by ammending the clause of judge observation in the trial so that any evidence can be accepted in the court (admissible), as long as it is obtained lawfully. Four, Continuing the discussion of the Draft of Criminal Procedure Code in House Representative, and in order to complement it, it needs a RPP (Draft of Governmental Regulations) which regulates in detail, the technical order of interception, for example : monitoring the things after implementing the interception through post audit by external body outside the law enforcement agencies which implements the interception.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D2581
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library