Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tumanggor, Rusmin
"ABSTRAK
Pemilihan judul ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kesehatan termasuk kebutulian pokok. Hal yang menarik, mengapa pengobatan tradisional lewat racikan langsung unsur-unsur alam "natural" bersama upacara religi "supernatural" atau ramuan tradisional yang secara lokal disebut dengan pulungan roha-roha/pulungan hutahuta" masih diminati masyarakat Barus, di saat dunia mengalami kemajuan pesat dibidang pengobatan modern. Komunikasi relatif terbxika ke dunia luar. Buktinya agama-agama besar dapat menjadi anutan mayoritas masyarakatnya. Kristen, Islam disamping agama lokal Sipele Begu. Pranata pengobatan modern: Puskesmas, klinilc-klinik pribadi dokter, bidan dan mantri badir disim. Berarti kota yang berpeluang bagi perubahan. Apalagi hampir di setiap desa terdapat warga masyarakat yang memiliki pesawat TV dengan parabolanya.
Dan itu yang menjadi permasalahan dalam disertasi ini adalah eksistensi pengobatan tradisional masih sangat kuat di kalangan masyarakat Barus di tengah-tengah era pembangunan kesehatan modern hingga sekarang.
Karena itu pertanyaan penelitian ialah mengapa pengobatan tradisional masih dominstn di kalangan masyarakat Barus? Mengapa mereka memilih model penggunaan ramuan tradisional seperti itu? Kepercayaan apa yang terdapat di baliknya? Bagaimana agama-agama yang di anut masyarakat bisa permisif terhadap model pengobatan setempat? Seberapa dalam keterkaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang berlaku pada masyarakat tersebut?
Atas rangkaian itu, penuhs berhipotesa bahwa pengetahuan niasyarakat Barus tentang kosmologi yang bersumber dari penafsiran mereka atas lintas berbagai agama dan kepercayaan yang diyakininya membawa kerukvinan dan kedamaian hidup, menjadi pedoman umum mereka dalam melakukan interpretasi dan kegiatan pengobatan tradisional.
Tujuan yang ingin dicapai adalah substansi kebudayaan berupa pengetahuan dan kepercayaan yang mendorong praktek penggunaan ramuan tradisional dalam sistem pengobatan tradisional warga masyarakat Barus, sebagai kajian teoritis. Sementara sifnifikansinya berguna dalam memahami makna keragaman kebudayaan berkaitan dengan masalah biologi, psitologi dan sosial dalam pengobatan serta perencanaan SKN (Sistem Kesehatan Nasional) untuk kepentingan terapan.
Kerangka teori. Dalam pengembangan kerangka teori, dimnlai dengan kajian atas tuliean para ahli tentang sistem kebudayaan yang meliputi idea sebagai intinya, aktivitas dan benda-benda kebudayaan berupa hasilnya. Dilanjutkan dengan analisa terhadap berbagai tvdisan tentang sistem kepercayaan (belief system) yang meliputi kosmologi, makrokosmos dengan kekuatan gaibnya , dan mikrokosmos dalam kaitannya dengan pandangan mengenai kesehatan, penyakit dan penyembuhannya. Juga dikaji bagaimana hal itu berproses menjadi nilai kebudayaan kesehatan dalam masyarakat.
Karena data temuan memperhhatkan bahwa masyarakat Barus menggimakan ramuan tradisional tumbuh-tumbuhan, hewan, benda, diiringi dengan mantra dan jampi (tahas dan tonggo) serta urut (kusuk) untuk hampir semua jenis penyakit, maka teori yang relevan dikaji dalam penehtian ini adalah teori pengobatan lewat cairan "Humoral Medicine Theory" yang dikembangkan Hippocrates 460-357 sM dan teori pengobatan lewat manipulasi kekuatan gaib dan pemujaan secara agama "Magico-Religious Medicine Theory" yang diketengahkan oleh Rivers 1864-1972 . Seberapa jauh faham ini berlaku atau menyimpang di Barus.
Dengan kata lain kemungkinan bahwa di Barus memiliki teori tersendiri. Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya kemapanan, penyerapan dan perubahan dalam pengobatan tradisional, juga dikaji teori perubahan kebudayaan dari Spradley, Boehisantoso, Suparlan, Kalangie dan Bodhihartono yang intinya sebuah kebudayaan a lean mengalami perubahan jika ada: keharusan untuk adaptasi; inovasi; dihisi dan terterima oleh masyarakat pendukungnya. Pendekatan. Sesuai dengan data yang dibutuhkan adalah sistem kepercayaan dan pengobatan tradisional masyarakat yang mengacu pada pandangan mereka sendiri tentang dunianya, maka pendekatan yang digunakan adalah "emik". Karena gejala perilaku kesehatan ini tidak akan dapat menjawab dinnya sendiri seutuhnya tanpa melihat kaitannya dengan gejala lainnya dalam satu sistem kebudayaan, dimana harus dilihat hubungannya dengan sistem kepercayaan dan unsur kebudayaan lainnya secara menyeluruh, maka pendekatan dalam pengumpulan data dilakukan secara "hohstik" dan "sistemik".
Metode. Sesuai pendekatan tersebut, maka metode yang digunakan bersifat kuahtatif. Sehingga yang dituju tersentral pada data yang siffltnya esensial dan substansial. Dari itu dalam pengumpulan data dilakiikan lewat wawancara, diiringi observasi terhbat dengan frekuensi tinggi dan intensif, ditambah dengan photografi. Sementara informan terdiri dari para datu dukun', pasien dan keluarganya, petugas pengobatan modern, orang tua-tua, pimpinan formal dan informal yang terdapat di Barus.
Wilayah dan kehidupan masyarakat Barus. Wilayah Barus memiliki kekayaan flora dan fauna dan sumberdaya laut dan potensi hidrogen. Semua ini menjadi dasar mata pencaharian penduduk. Kaya dengan simpanan situs kepurbakalaan Tiongkok, Persia/Timur Tengah dan India maupun artefak karya putra Barus sendiri. Dalam lintasan sejarah, Barus terkenal dengan ke-bahari-an, j^QQ^aritiman, perdagangan, kota penuh misteri, mitos dan legendaris. Diperkirakan 6000 Tabun sM telah ada kehidupan manusia di Barus.
Sewaktu penulis melakukan penelitian tahun 1995 , di Desa Lobu Tua sedang diadakan Perayaan Peringatan Lobu Tua 5000 tahun yang dihadiri oleh Penganut dan Pemuka Agama Islam, Kristen dan Sipele begu setempat dan Pemda Tk. II. Demikian diyakini masyarakat Barus sekahpun tidak semua di dukung oleh data akurat dilihat dari pendekatan ilmiah yang selama ini digunakan untuk Barus.
Dari sudut perdagangan, dari Barus sangat terkenal kapur barus (getah/kristal sejenis kayu) asH dari Barus yang bernama hayu hapur, kemenyan dengan nama haminjon, dll. Khusus kapur barus dari wilayah inilah berkembang ke seluruh dunia. Hal ini penulis yakini dengan melihat nama kapur barus terpakai di negara manapun dalam rangka menyebutkan kapur barus yaitu dasar kapxir dan penuhs hubungkan dengan proposisi Boedhisantoso el."Perkembangan kebudayaan di suatu masyarakat tidak satupun yang lepas dari pengaruh kebuadayaan lainnya karena keterbatasan setempat." Dengan kata lain "Tidak akan lahir satu kosa kata sesuatu bahasa masyarakat di suatu wilayah pendukung kebudayaan, jika disitu tidak terdapat sumberdaya 'resources.
Dari segi keagamaan, di Barus telah lama hidup agama lokal yaitu Sipele Begu (pembauran animisme, dinamisme dan pohteisme). Kemudian dipengaruhi kosmologi Tionghoa kuno agama RU hingga Prasejarah yang belakangan berwujud agama seperti Taoisme dan Konfusionisme oleh Tsyou dan Kong Fu Tse dengan adanya kepercayaan Shang Ti (dapat kesaktian dari Tuhan) dan Hong (Raja Setan) pada masyarakat Barus. Kemudian dipengaruhi agama Hindu dan Budha dari India tetapi tidak utuh dan tak bertahan lama. Selanjutnya masuk agama Yahudi kalau tidak dan masa Nabi Musa dengan kitabnya Taurat atauprm setidaknya dari masa Nabi Daud dengan kitabnya Zabur.
Terakhir masuk Islam dan Kristen pembawa ajaran Monoteisme. Kecuah Kristen, semua mi tergambar pada kosmologi dan kedukunan Barus. Dari Barus ini terkenal dua ulama dan ilmuan besar dizamannya yaitu Hamzah Fansuri dan Abdurrauf Al-fansuri. Keduanya pernah mengajar di Banda Aceh/Kutaradja-lama, sekitar abad 17 dan Abdurrauf Alfansuri diabadikan namanya pada Perguruan Tinggi Negeri terkenal di Banda Aceh dengan mengambil nama tempat pemukimannya yaitu Universitas (Tengku/Kiyai/Ulama-pen) Syiah Kuala Darussalam. Adapun keorganisasian sosial yang hidup hanyalah keagamaan dan oTTii kopGrasx luar d-o-lzhQii/ tlcl tolu sGcaxa informal dan infGnsl^* Transportasi SGtampat, ada dangan jalan kaki, kuda, SGpada, rakit, motor dan mobil angkutan antar kocamatan dan Ibu kota. SomGntara kesenian adalab gondang, opara, sikambang, tarian-tarian malayu, ukirukiran dan ornaman. Bahasa adalah bahasa Tapanuli, Malajm/Pasisir dan Pakpak Dairi.
Palayanan kesehatan modarn tardiri dari Puskesmas dan Balai Kesahatan, Klinik pribadi dangan tanaga para doktar, mantri/parawat dan bidan. Adapun jumlah doktar 4 orang, bararti 1: 19.018 panduduk. Bidan 19 orang, bararti 1: 782 KK dan parawat 45 orang, bararti 1; 1690 panduduk. Sadangkan jumlah datu kasaluruhannya (kacuali 8 dasa yang tidak mangirimkan nama datunya), 242 orang dangan parincian 186 di Barus 56 di Manduamas. Bararti satu datu untuk 314 pandudiik. Satiap Dasa mamiliki ± 5 datu.
Dari sagi pemerintahan, di Dasa Lobu Tua ditamukan sabuah bantang yang diperkirakan abad ke 8 - 12, tempat raja dsin keluarganya yaitu orang Arab. Ada juga yang mangatakan pada abad ka 10 (929 M) Barus sabagai Ibu kota Sriwijaya. Kamudian pada abad ka 11 s/d 16 Barus dikuasai raja-raja Acah. Abad ka 17 Balanda masuk dan juga rajaraja Minangkabau hingga abad ka 19. Sahingga raja-raja lokal dibawah jajahan itu. Abad ka 20 Jepang dan Sakutu masuk, dan parang kamardakaan olah rakyat. !Merah putih barkibar, raformasi barjalan, Barus tinggal kanangan dan nyaris tarlupakan.
Kehidupan Ma^yarakat Barus dapat dilihat dari babarapa sudut. Mata pancaharian pada umumnya adalah tani sawah, nalayan dan tukang secara musiman. Jika dilihat dari tingkat pandapatan penduduk, kuahtas pariimahan masyarakat, pamilikan lahan, transportasi dan tarnak, Barus targolong miskin dan sangat miskin. Pandangan hidup dan keteraturan dalam kehidupan. Adapun paiidangan hidup "world view"/"Weltanschauung" masyarakat Barus yakni gigih maraih kahormatan, kakayaan dan katurunan yang manyabar. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari sini, pada tingkat personal dapat hidup sampuma. Semantara di tingkat sosial dimilikinya horas 'keutuhan' sabagai centra dari core culture masyarakat Barus. Tempat mawujudkannya adalah melalui pranata keorganisasian sosial dalihan na tolu 'tiga tungku' yang tardiri dari saudara samarga, pihak marga pamberi wanita dan pihak marga panarima wanita. Disini terjadi penggalangan potensi setiap adanya kewajiban dan hak dalam menghadapi suka d\ika dalam hidup kekerabatan, termasuk soal kesehatan dan pengobatan. Semua ini diyakini sesuai yang dicontohkan Tiihan dan arwah leluhur.
Masyarakat pesisir menghubimgkannya dengan jaringan "sumando": orang tua, mertua, anak menantu, abang ipar, adek ipar, cucu, dll. Dikaitkan pula dengan nilai-nilai budi pekerti ajaran Islam. Kosmologi asli masyarakat Barus terdapat pada Pustaha 'kumpulan ilmu' Batak, yang terbuat dari kulit ka5ni. Isinya meUputi: tumbaga huling 'dinding baja' yang mencakup; keagamaan, kerajaan dan adatistiadat. Satu lagi adalah sura agong 'pikiran dalam kegelapan', yang mencakup: paperangan, pekerjaan dan kedukunan, Semua ini adalab sesuatu yang masib gelap untuk diasumsikan dan diprediksi. Melalui pembabasan dalam sura agong inilab akan terang jalan keluarnya. Penganut Sipele Begu menganggap ini sebagai kitab suci. Sementara ummat Islam dan Kristen yang memilikinya memandang sebagai kitab pusaka yang mengandung tuab atau kesaktian "mana". Baik untuk memabami tumbaga huling maupun untiik sura agong, ablinya adalab datu.
Adapun isi kosmologi mebputi kebidupan di dunia macrokosmos yaitu tempatnya berbagai kekuatan supernatural dengan alam gaibnya. Tempat ini terdiri dari dunia atas dan dunia bawab. Ada pula kebidupan di Dunia Tengab atau mikrokosmos sebagai natural tempat tinggalnya manusia, tmnbub-tumbuban, bewan, benda-benda dengan rob serta kesaktian "mana" masing-masing. Manusia adalab anak cucu dari Tuban yaitu dari anak Tuban yang pertama turun ke Bumi "Boru Deak Parujar dan Raja Odap-odap" di kaki gunung "Pusxik Bubit" di pinggiran Danau Toba. Lokasi inilab yang disebut "Batakna" yaitu areal perumaban cucunya Tuban Pencipta. Inilab dasar kata "Batak".
Sementara yang beragama Islam dan Kristen nama-nama Tubannya berubab, akan tetapi makbluk gaib lainnya dan manusia, tetap sama. Baik eksistensi maupun fungsinya. Warga masyarakat Barus juga mempunyai sistem kategorisasi dan keteraturan hidup. Alam supernatural dan natural adalab tempat pencipta dan ciptaannya. Alam juga memiliki jenis, sifat berpasangpasangan, bertentangan maupun netral. Ada Tuban Pencipta, Tuban- Tuban Ciptaan-Nya, Anak-Anak Tuban, Pembantu, setan (di udara, darat, laut dan pelimbaban), jin (di laut), rob (manusia, bewan, tumbubtumbuban dfjn benda). Alam natural terdiri dari benda bumi (dengan kandungan besi, air, tanab, udara/angin), bulan (yang melabirkan ikbm sejuk), mata bari (yang melabirkan ikbm panas), dan bintang (pemberi tanda dan arab).
Keteraturan hidup dapat dicapai lewat manjalankan bak dan kewajiban antara diri dengan lainnya. Jika tidak terjadilab gangguan bidup berupa ketidak barmonisan. Diantara akibatnya adalab terserang penyakit wabah "epidemi" secara massal, penyakit akut atau kronis maunpun beresiko kematian keluarga serta pribadi.
Konsepsi tentang kesehatan. Konsepsi masyarakat Barus tentang sehat, yaitu: sehat badan, jiwa dan roh. Badan bisa menikmati makan dan mengeluarkan sisanya tanpa kelainan perasaan dari kenikmatan biasa. Mampu berketurunan, bersih, dapat melakukan tugas sehari-hari. Mwa dapat berpikir lurus, perasaan gembira, beribadah sesuai perintah Tuhan. Tidak mudah dimasuki makhluk halus. Rohnya sanggup memikul beban yang ditimbulkan oleh kegiatan phisik dan jiwa.
Sumber kesehatan dapat diperoleh dari perlindungan, usaha diri sendiri dan tidak ada pengguna black-magic yang mengganggu. Konsepsi masyarakat Barus tentang sakit adalah kebalikan dari keadaan di atas tadi yang intinya dapat melakukan tugas sehari-hari. Warga masyarakat juga melakukan kategorisasi penyakit. Sakit badan meHputi penyimpangan dari segi bobot, bentuk, dan rasa. Sakit jiwa mehputi keturiman, setan/jin dan perbuatan sendiri. Sementara itu sumber penyakit ada yang dari Tuhan, makhluk halus, manusia dan berbagai kekuatan alam.
Masyarakat Barus juga mempunyai konsep tentang penyembuhan yaitu prinsip penyembuhan kembah kepada penyebab peny^t tadi.
BabV
Penyembuh tradisional "Datu" dalatn masyarakat. Orang-orang yang dipercayai imtuk menganalisa pengobatan lewat penggimasin ramuan tradisional yang diirmgi sejumlah aktivitas ritual dan seremonial kepercayaan tertentu, disebut datu.
Datu terdin dari beberapa hategori. Berguru dan bukan berguru tetapi lewat kemasukan, mimpi maupim bisikan hati. Kategori yang disebut terakhir mi umumnya tidak mau disebut datu. Alasannya datu yang berguru cendrung melekat pada dirinya kemampuan mengobati dan membuat penyakit sementara mereka tidak. Datu terdiri dari datu bolon 'dukun besar' dan datu gelleng 'dukun kecil'. Ada juga yang disebut datu parangas-angas, menguasai banyak atau hanya satu ilmu pengobatan, tetapi sangat telaten atau beken.
Motivasi jadi datu mehputi; pewarisan budaya, perhndungan, sosial kemanusiaan, keamanan, ekonomi, dan bakat. Khusus yang berguru, proses belajar mengajar antara guru dengan murid berlangsung secara rabasia (esoterik) dan umumnya satu persatu. Murid melihat cara datu berpraktek, mencatat nama-nama obat, mantra dan jampi yang digunakan untuk setiap jenis penyakit serta menghafalnya.
Sesudah jadi datu, tidak boleh sombong, tidak materiahs, penyabar, dan makanan pemberian pasien tidak boleh dikonsumsi sendiri tetapi dibagi-bagikan kepada kerabat, tetangga, disamping dengan pasien sGndixi. B©rarti ada nilai psmbinaan. kButuhan tsritorial..
Selanjutnya terlihat pula historis dan huhungan antara Datu dengan Pasien dan Keluarganya dan dengan Masyarakatnya. Hubungan datu, pasien dan kelurganya sangat akrab. Pengobatan selalu diawali dengan tarombo 'membuka silsilah kekerabatan dan hubungan kemargaan'. Adapun acuan pedotnan kegiatan hadatuon meliputi. Pustaha yang isinya berupa Hmu-ilmu Batak yang dipengaruhi pula oleh berbagai sumber yakni kosmologi dan sistem kepercayaan Tiongkok kuno (dengan adanya tertera di Pustaha konsep shang ti 'kesaktian yang dititiskan penguasa langit terhadap seseseorang'. Selanjutnya oleh agama Yahudi, kalaupun tidak dimulai dari agama yang dibawa Nabi Musa dengan kitabnya Tairrat seminimalnya dari agama yang dibawa Nabi Baud dengan kitabnya Zabur (dengan tercantumnya di Pustaha pernyataan "Debata Batara Guru mertua dua Raja Sulaiman"lp\itra. Nabi Daud).
Seterusnya adalah dari Qur 'an dan Hadits (Islam), Tajul Muluk (Taj Al Mulk) oleh Ulama-ulama Islam, Rangkaian ritual dan do'a -do'a mujarrabat oleh 'ulama-ulama Islam, mantra dan jampi serta ramuan lewat mimpi, mantra dan jampi serta ramuan seketika dari bisikan hati, do'a dan ramuan dari kemasukan. Terakhir adalah kumpulan catatan datu-datu . Ada yang dari kosmologi dan sistem kepercayaan Tiongkok kuno (dengan adanya mantra dan jampi yang diawah dengan Hong! (Raja Setan! menurut para datu) yang dalam kosmologi dan teologi Tionghoa kuno bernama "Kwang Khong" dibaca "Kwan Hong" (Dewa Neraka). Selebihnya adalah mantra dan jampi rekayasa berupa inovasi dari para datu itu sendiri lewat berbagai pedoman di atas.
Bab VI
Penggunaan ramuan tradisional dalam pelestarian kehidupan dan upaya penyembuhan. Masyarakat menyatakan ini semua sebagai pengobatan "parubaton". Dalam pelestarian kehidupan, ramuan tradisional digunakan untuk: pengembangan (konstruktif) bagi kesehatan,. antara lain uras jabu 'membersihkan rumah' dan partahanan pamatang 'menyegarkan badan'; mengatasi berbagai masalah berupa pencegahan (preventif) pribadi seperti, terkena darah sial, keluarga seperti memindahkan kubiuran anggota keluarga sesuai mimpi kerabat, masyarakat seperti, penentuan waktu turun ke sawah.
Bagi penyembuhan (kuratif) mehputi: Penyakit alami "na somal/angin" seperti perubahan cuaca, ± 93 macam penyakit. Penyakit rekayasa manusia "pambaenan ni halak" /"black-magic" ± 12 macam seperti hona rasun. Kemudian penyakit intervensi makhluk gaib/supernatural "sahit sian ginjang/alogo" yang mehputi dari arwah leliihur, setan, jin atau Tuhan pencipta ± 13 macam seperti, na denggan basa/na elok baso/bunga.
Penggunaan ramuan tersebut dilatarbelakangi oleh pengetahuan mereka tentang kandungan ramuan tradisional yang bersumber dari pandangan teologi, konsep-konsep natural/sekuler serta pengetahuan pelaksana pengobatan modern yang ada di Barus.
Kandungan pada ramuan tradisional meniurut masyarakat: zat penambah, pengurang, pengimbang, pembunuh bakteri, makna simboHs, pembujukan, pengusiran penyakit atau sumbernya. Dari 129 species, 128 genus serta 74 family tumbuh-tumbuhan yang telah teridentifikasi khasiatnya menurut pengobatan modern, 51 species (39,5%), 60 genus (46,8%), 25 family (33,7%) terdapat persamaan pandangan dengan pengobatan tradisional, disamping berbagai perbedaan. Seperti, bulung ni sia (Adenostemma lavenia) sama-sama dinyatakan bisa mengobati penyakit mata, demam, diare, batuk Han penyakit perut.
Datu juga mempxmyai tehnik diagnosa dan pengobatan lewat ramuan tradisional. Prosedure dan peralatan diagnosa dilakukan dengain: menatap wajah dan tubuh pasien saja; memakai kunjdt; menggnnakan geleta atau stoples; gerakan beliung; menabiar beras; kemasan sirih; jeruk purut atau jeruk nipis; kemasukan; mimpi; bisikan/gerakan hati. Mengiringi ramuan tradisional adalah ritual dan seremonial dari magik-religi. Ritual dimaksud adalah upacara yang bersifat tatacara pemujaan, persembahan dan peribadatan. Seremonial, adalah upacara yang bersifat perayaan.
Prinsipnya, ritual dan seremonial dari magik-reHgi mesti dirangkaikan kepada setiap penggunaan ramuan tradisional. Alasannya, disatu sisi, alam memihki kekuatan dahsyat yang tersembun5d diluar kenyataan sehari-hari. Dari itu magik saat diperlukan dapat dimanfaatkan. Di sisi lain, difahami bersama, semua alam datang dari Maha Pencipta. Bahkan seluruh datu dan bukan saja datu penganut agama Sipele Begu tetapi sebahagian datu (Islam dan Kristen) menyatakan kitapun bahagian dari Tuhan. Oleh karena itu kita mesti minta kepada Tuhan atas penggunaan semua ciptaannya imtuk obat supaya dapat keberkahan. Permintaan itu dilakukan dalam bentuk tabas (jampi) dan tonggo (mantra) dengan konsentrasi tinggi "haripat". atau makrifat. Kalau haripat-nya tinggi, yang berbicara itu bukan lagi kita (datu) tetapi sudah Tuhan. Jadi "kata-kata itulah Tuhan dan Tuhan adalah kata-kata itu" (Hata i Do Debata, Debata do hatai/Keccek kito tu anyo Tuhan,Tuhan anyo keccektu). Nampaknya pernyataan ini ada hubungan dengan ajar an Sipele Begu disatu sisi, faham tasauf "Wahdatul Wujud" Hamzah Fansuri di sisi lain. Sehingga menggambarkan berpengaruhnya kedua faham tersebut ke dunia hadatuon di Barus. Adapun model tahas dan tonggo meliputi: bujukan, kemarahan dan rajukan serta pengusiran. Sebagai contoh:"... Binsumirloh dirahaman dirahamin... rangkaian jampi dan mantra.. sah" (keluarlah).
Lebih lanjut dapat pula kita ketahui adanya persentuhan sistem pengobatan tradisional dengan sistem pengobatan modern dalam keyakinan dan praktek pengobatan masyarakat Barus. Adapnn sejumlah alasan yang melatarbelakangi kepercayaan warga masyarakat terhadap efektifitas pengobatan tradisional, sbb: Karen a badan manusia terdiri dari isi (zat) alam, dan isi alam dan Tuhan, dimana manusia juga pimya hubungan dengan kekuatankekuatan gaib lainnya selain Tuhan, maka ramuan tradisional yang asalnya dari bumi dan juga ciptaan Tuhan, pasti ramuan tradisional tersebut sesuai dengan kesehatan manusia. Ramuan tradisional ini gabimgan dari isi/zat pada alam diperkuat dengan mantra dan jampi termasuk do'a, diiringi dengan urut badan pasien sebagai syarat sampainya ramuan ke tubiih dan jiwa pasien lewat mediator yaitu datu. Adapun kemudahan ramuan tradisional menurut masyarakat Barus, obatnya mudah didapat di sekitar rumah sendiri, tetangga, desa, desa lainnya atau hutan sekeliling wilayah Kecamatan. Kunjimgan ke datu, hubungannya penuh keakraban dan biaya terjangkau. Sekahpun bahan ramuannya terkadang agak mahal, tapi sasaran pengobatannya lebih meyakinkan dibandingkan dengan pengobatan modern. Di sisi lain, menyangkut sistem pengobatan modern dalam kehidupan masyarakat. Pertama, pengobatan modern telah masuk sejak 1920-an. Namun hingga tahun 1960-an warga masyarakat jarang sekah yang mau berobat ke Puskesmas Balai Kesehatan , mantri maupun bidan.
Pada tahun 1970-an untuk sejumlah jenis penyakit dalam kasus sangat terdesak sudah banyak yang mulai ke Puskesmas, mantri atau bidan. Tahun 1980-an berkembangnya Puskesmas dan Program KKB, warga masyarakat semakin dekat dengan jasa pengobatan modern. Diakui ada sejumlah kemudahan pelayanan sistem pengobatan modern. Obat-obatnya telah dikemas, tidak perlu dicari lagi. Sejumlah penyakit cepat dapat disembuhkan seperti mencret, demam karena influensa, menghentikan pendarahan waktu luka.
Kelemahan pada sistem pengobatan modern menurut masyarakat mehputi: obat-obatnya sering agak usang dan cepat cair berderai; sejumlah penyakit black-magik dan supernatural, tidak dapat disembuhkan pengobatan modern; pelaksana pengobatan modern masih banyak yang tidak mau kompromi penuh kesombongan. Namim demikian menurut para datu dan sejumlah pasien, prospek hubungan pengobatan modern dengan pengobatan tradisional, sudah terlihat akan ada titik terang. Buktinya akhir-akhir ini sejumlah penyakit yang tidak tertanggulangi oleh pelaksana pengobatan modern, diserahkan dan setidaknya ada juga yang sekedar dianjurkan ke datu. Dengan demikian sekalipun masih banyak hal dan wilayah di tanah air yang mesti distudikan, akan tetapi jika contoh ini terpolakan, langkah ke arah kerjasama, menimjukkan kegembiraan sesuai harapan Sistem Kesehatan Nasional (SE[N).
Bab VIII
Akhirnya dapat diketahm pertalian: pandangan hidup, kosmologi, sistem-sistem kepercayaan dan sistem pengobatan tradisional pada masyarakat Barus. Kebudayaan dan kepercayaan berfungsi terhadap penggunaan ramuan tradisional. Kebudayaan telah memberikan persingkat berupa model-model pengetahuan sebagai pedoman kehidupan umum. Sementara kepercayaan memberi kajian keyakinan tentang hubrmgan dunia nyata dengan nirnyata lewat hak dan kewajiban yang tertuang dalam ritual dan seremonial. Salah satu unsur terkait dengannya adalah soal kesehatan, penyakit dan penyembuhan.
Core culture masyarakat Barus adalah haras 'keutuhan hidup' yang akan tercapai hanya dengan sarimatua 'kesempirrnaan hidup' lewat perolehan kehormatan, kekayaan, dan keturunan yang menyebar dan inovatif.
Untuk kesempurnaan hidup perlu dibina kehangatan hubimgan makhluk hidup di diuna tengah dengan Tuhan di dunia atas dan dengan roh-roh orang yang telah mati di dunia bawah. Ketiga dunia ini diikat oleh satu pohon besar. Disinilah perlunya upacara yang bersifat ritual dan seremonial beserta pengorbanannya.
Kaitannya terhadap penggunaan ramuan tradisional tumbuh dari pandangan bahwa semua yang ada di bumi adalah ciptaan Tuhan untuk menghidupi manusia. Dan semua kehidupan diikat dengan tumbuhan sebagai landasan filosofis kehidupan dan pengobatan masyarakat Barus. Ketidak^eimbangan semua unsru melahirkan penyakit pada manusia. Oleh karena itu, dalam upaya penyembuhan harus juga menggunakan ramuan tradisional. Karena semua punya roh, roh ramuan perlu dibujiik dan dimohon keizinan pemanfaatannya. Dari itu perlu rangkaian tabas 'mantra' dan tonggo 'jampi'.
Dari uraia tadi dapat pula kita deskripsi teori sistem pengobatan tradisional yang berlaku pada masyarakat Barus yang mendukung hipotesis dalam disertasi ini. Hipotesis yang berbunjd pengetahuan masyarakat Barus tentang kosmologi yang bersumber dari penafsiran mereka atas lintas berbagai agama dan kepercayaan yang diyakininya membawa kerukunan dan J^^danxaian hidup^ mcnjadv psdanxan^ "LLtnum m^j^cka daLatn m^IfakiLkan interpretasi dan kegiatan pengobatan tradisional, terbukti dalam penelitian ini. Yaitu, sistem pengobatan tradisional pada masyarakat Barns merupakan likwidasi kepercayaan tentang huknm alam (natural) dengan kepercayaan religi (supernatural) secara ganda dan sinkretis kedalam idea hingga aktivitas pengobatan dan pembuatan obat. Berarti keran^a teori pada Bab I terbukti dalam penelitian, dengan beberapa perubaban yaitu, rob manusia, tumbuban, bewan, benda, ikut mempengarubi kondisi kesebatan, penyakit dan penyembuban yang tadinya tidak terpikirkan oleb penxdis. Kerangka teori finalnya terlibat
Halam Bab VIII.
Oleb karena terdapatnya kepercayaan antar lintas dari penganut rebgi (Islam, Kristen, Sipele Begu) dalam penggunaan mantra dan jampi untuk pengobatan, dimana masyarakat pengguna dan para datu mengakm keberadaan eksistensi Tuban antar penganut Agama dan dapat digunakan imtuk menolong dalam upaya pengobatan lewat mantra dan jampi kepada Tuban penganut agama lain itu sebagai tetangga Tubannya, disamping dipercayai ada xmsur alam yang berpengarxib terbadap kesebatan yang berpangkal dari alam tumbub-tumbuban, hewan dan benda sertamerta robnya, maka teori pengobatan tradisional yang berlaku di Barus adalab "henotheism-natural medicine theory" atau "teori pengobatan lintas kepercayaan dan alamiah". Berarti penggabungan konsep teori Hippocrates dan Rivers.Menyinggang teori perubahan dari Spradley, Boedhisantoso, Suparlan, Kalangie dan Boedhihapitoao, dari konsep horas, terjadi penyerapan keyakinan religi terhadap pengobatan. Metode pengembang agama-agama besar yang masuk ke Barus yang lebih bersifat sosiologis ketimbang teologis, membuat sinkretisme agama-agama termasuk pengarunya terhadap memahami upaya pengobatan. Sulitnya warga masyarakat menerima pengobatan modern, karena konsepnya sangat jauh dari sistem kepecayaan masyarakat. Karena itu umur penggobatan tradisional ini masih sangat lama.
Bab IX
Kesimpulan. Dalam berbagai penubsan teori pengobatan tradisional sebelumnya rasanya belum pernab ada yang mengetengabkan teori ini. Demikianlab ringkasan sebagai pengantar untuk mengetabui irraian lebib rinci dalam sembUan bab disertasi ini. Semoga ada manfaatnya."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
D406
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Tarimana
"Sukubangsa Tolaki berdiam di wilayah kabupaten hendari dan kabupaten Kolaka dalam lingkungan Propinsi Sulawesi tenggara. Mereka yang mendiami wilayah kabupaten Kendari menamakan dirinya orang Konawe, dan mereka yang mendiami wilayah kabupaten Kolaka menamakan dirinya orang Mekongga. Kedua wilayah kabupaten tersebut jauh sebelumnya adalah masing-masing bekas wilayah kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga. Dalam berbagai aspek kehidupannya, orang Tolaki memakai dan menggunakan kalo sebagai simbol yang mengekspresikan unsur-unsur manusia, unsur-unsur alam, unsur-unsur masyarakat, dan unsur-unsur nilai budayanya. Kalo juga mengekspresikan hubungan timbal balik antara unsur-unsur tersebut, yang tampak baik dalam konteks upacara maupun di luar upacara.
Saya mengkaji kalo orang Tolaki dengan memperhatikan sistem klasifikasi simbolik yang ada dalam kebudayaan Tolaki dan jugs memperhatikan struktur berpikir elementer orang Tolaki. Sistem klasifikasi simbolik dalam kebudayaan Tolaki menunjukkan adanya ciri-ciri klasifikasi dua, tiga dan lima. Ciri klasifikasi dua dan tiga ini merupakan perwujudan dari struktur berpikir orang Tolaki yang melihat segala sesuatu yang ada dalam lingkungannya sebagai terdiri atas dua kategori yang saling berlawanan, dan kategori ketiga yang bertindak sebagai aspek penengah antara dua kategori yang berlawanan tersebut. Sistem klasifikasi atas kategori dua dan tiga, serta cara berpikir elementer dalam wujud semacam ini di mana-mana terdapat pada semua sukubangsa di dunia.
Penelitian saya terpusat pada delapan desa di kedua kabupaten tersebut di atas. Tiga desa terletak di dalam wilayah kota, masing-masing dua desa di kota Kendari, dan satu desa di kota Kolaka, dan lima desa terletak di pedalaman, masing-masing tiga desa di pedalaman kabupaten Kendari dan dua desa di pedalaman kabupaten Kolaka. Desa-desa itu adalah Kemaraya, Wua-Wua (keduanya di kota), Tawanga, Meraka, dan Sambeani (ketiganya di pedalaman) di kabupaten Kendari; dan Watuliandu (di kota), Wundulako dan Mowewe (keduanya di pedalaman) di kabupaten Kolaka."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1985
D398
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulyani Hidayah
"ABSTRAK
Tujuan pokok dari disertasi ini adalah untuk memaparkan mengapa cara-cara kebiasaan makan pada komuniti Talang Mamak disesuaikan dengan kondisi lingkungannya dan alasan-alasan mengapa kebiasaan makan mereka menjadi seperti keadaannya sekarang, yaitu berubah pada beberapa aspek namun secara keseluruhan masih bertumpu kepada budaya lama mereka yang dicirikan oleh sistem berladang berotasi yang didukung oleh kegiatan-kegiatan subsisten lain yang juga dikembangkan secara adaptif dengan lingkungan hutan setempat. Tujuan pertama mengacu kepada dasar pemikiran bahwa kebiasan makan merupakan sebuah proses kerja sebuah sistem yang banyak kaitannya dengan lingkungan. Sedangkan tujuan kedua mengacu kepada dasar pemikiran, bahwa kebiasaan makan merupakan sebuah sistem dinamis, dimana unsur-unsurnya terus-menerus disesuaikan dengan daya dukung dan perubahan lingkungan.
Disertasi ini dicirikan oleh perhatian terhadap adaptasi pada dua tataran masalah. Pertama, sehubungan dengan masalah apa dan bagaimana kebiasaan makan Talang Mamak beradaptasi terhadap lingkungan totalnya (adaptasi sistemik). Kedua - sebagai konsekuensi adaptasi sistemik itu - adalah masalah berkenaan dengan mengapa unsur-unsur yang ada di dalam kebiasaan makan Talang Mamak tersebut beradaptasi atau saling menyesuaikan diri dengan lingkungan. Perwujudan adaptasi orang Talang Mamak terhadap lingkungannya dapat dipandang sebagai upaya mereka memenuhi salah satu kebutuhan hidup yang paling mendasar, yaitu makan. Karena itulah kajian ini difokuskan pada sistem adaptasi yang mereka kembangkan sebagaimana tercermin dalam pola-pola pengolahan sumber daya alam dalam rangka pengadaan makanan (food, supply), pengolahan makanan dan distribusi makanan (food preparation and distribution), dan pemanfaatan makanan (food utilization) menurut konsep orang Talang 'Mamak tentang makan dan makanan itu sendiri.
Dari hasil penelitian lapangan ditemukan berbagai fakta, bahwa sejak sekurangkurangnya dua puluh tahun yang lalu lingkungan alam dan budaya Talang Mamak telah mengalami sejumlah perubah yang cukup penting. Perubahan tersebut sebagian besar disebabkan oleh dampak dari penerapan kebijakan pembangunan di bidang politik dan ekonomi yang memaksa komuniti setempat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi daya dukung alam yang ada dan merubah kebiasaan-kebiasaan tertentu sebagai strategi adaptasi sesuai dengan peluang-peluang baru yang muncu1.
Berkenaan dengan berbagai aspek dalam kebiasaan makan komuniti Talang Mamak dapat dinyatakan, bahwa selain ada kebiasaan-kebiasan yang tidak berubah, ada pula cara-cara tertentu dalam pola makan mereka yang berubah tanpa menyebabkan aspek-aspek lain ikut berubah pula. Misalnya, ada sejumlah perubahan dalam bahan makanan bukan-untuk upacara, sebaliknya hampir tidak ada perubahan dalam bahan makanan untuk upacara. Ada cara-cara mengadakan makanan yang berubah dan ada pula yang tetap dipertahankan dan terus dikembangkan secara adaptif dengan lingkungan. Pengadaan bahan makanan yang berubah itu sejalan dengan perubahan mata pencarian. Komuniti Talang Mamak yang sudah berdiam secara menetap cenderung hidup dari matapencaraian bukan-berladang dan mengadakan pangan dengan cara ,membeli makanan produksi luar. Sementara itu, kelompok yang berdiam di petalangan tetap menjadikan sistem perladangan berotasi disertai berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya, dan betapa dalam rangka pengembangan tingkat produksi huma atau ladang mereka sengaja menanam berbagai macam tanaman pangan (food crops diversity) sebagai langkah strategis untuk mengamankan ketersediaan, kecukupan, dan keamanan pangan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D506
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumanggor, Rusmin
"Pemilihan judul ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kesehatan termasuk kebutuhan pokok. Hal yang menarik, mengapa pengobatan tradisional lewat racikan langsung unsur-unsur alam "natural" bersama upacara religi "supernatural" atau ramuan tradisional yang secara lokal disebut dengan pulungan roha-roha/pulungan hutahuta" masih diminati masyarakat Barus, di saat dunia mengalami kemajuan pesat dibidang pengobatan modern. Komunikasi relatif terbuka ke dunia luar. Buktinya agama-agama besar dapat menjadi anutan mayoritas masyarakatnya. Kristen, Islam disamping agama lokal Sipele Begu. Pranata pengobatan modern: Puskesmas, klinik-klinik pribadi dokter, bidan dan mantri hadir disini. Berada kota yang berpeluang bagi perubahan. Apalagi hampir di setiap desa terdapat warga masyarakat yang memiliki pesawat TV dengan parabolanya.
Dari itu yang menjadi permasalahan dalam disertasi ini adalah eksistensi pengobatan tradisional masih sangat kuat di kalangan masyarakat Barus di tengah-tengah era pembangunan kesehatan modern hingga sekarang. Karena itu pertanyaan penelitian ialah mengapa pengobatan tradisional masih dominan di kalangan masyarakat Barus? Mengapa mereka memilih model penggunaan ramuan tradisional seperti itu? Kepercayaan apa yang terdapat di baliknya? Bagaimana agama-agama yang dianut masyarakat bisa permisif terhadap model pengobatan setempat? Seberapa dalam keterkaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang berlaku pada masyarakat tersebut? Atas rangkaian itu, penulis berhipotesa bahwa pengetahuan masyarakat Barus tentang kosmologi yang bersumber dari penafasiran mereka atas lintas berbagai agama dan kepercayaan yang diyakininya membawa kerukunan dan kedamaian hidup, menjadi pedoman umum mereka dalam melakukan interpretasi dan kegiatan pengobatan tradisional.
Tujuan yang ingin dicapai adalah substansi kebudayaan berupa pengetahuan dan kepercayaan yang mendorong praktek penggunaan ramuan tradisional dalam sistem pengobatan tradisional warga masyarakat Barus, sebagai kajian teoritis. Sementara signifikansinya berguna dalam memahami makna keragaman kebudayaan berkaitan dengan masalah biologi, psikologi dan sosial dalam pengobatan serta perencanaan SKN (Sistem Kesehatan Nasional) untuk kepentingan terapan.
Kerangka teori. Dalam pengembangan kerangka teori, dimulai dengan kajian atas tulisan para ahli tentang sistem kebudayaan yang meliputi ide sebagai intinya, aktivitas dan benda-benda kebudayaan berupa hasilnya. Dilanjutkan dengan analisa terhadap berbagai tulisan tentang sistem kepercayaan (belief system) yang meliputi kosmologi, makrokosmos dengan kekuatan gaibnya , dan mikrokosmos dalam kaitannya dengan pandangan mengenai kesehatan, penyakit dan penyembuhannya. Juga dikaji bagaimana hal itu berproses menjadi nilai kebudayaan kesehatan dalam masyarakat.
Karena data temuan memperlihatkan bahwa masyarakat Barus menggunakan ramuan tradisional tumbuh-tumbuhan, hewan, benda, diiringi dengan mantra dan jampi (tab's dart tonggo) Berta unit (kusuk) untuk hampir semua jenis penyakit maka teori yang relevan dikaji dalam penelitian ini adalah teori pengobatan lewat cairan "Hurnoral Medicine Theory" yang dikembangkan Hippocrates 460-357 SM dan teori pengobatan lewat manipulasi kekuatan gaib dan pemujaan secara agama 'Magico-Religious Medicine Theory" yang diketengahkan oleh Rivers 1864-1972 . Seberapa jauh faham ini berlaku atau menyimpang di Barus. Dengan kata lain kemungkinan bahwa di Barus memiliki teori tersendiri.
Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya kemapanan, penyerapan dan perubahan dalam pengobatan tradisional, juga dikaji teori perubahan kebudayaan dari Spradley, Boehisantoso, Suparlan, Kalangie dan Bodhihartono yang intinya sebuah kebudayaan akan mengalami perubahan jika ada: keharusan untuk adaptasi; inovasi; difusi dan terterima oleh masyarakat pendukungnya.
Pendekatan. Sesuai dengan data yang dibutuhkan adalah sistem kepercayaan dan pengobatan tradisional masyarakat yang mengacu pada pandangan mereka sendiri tentang dunianya maka pendekatan yang digunakan adalah "emik". Karena gejala perilaku kesehatan ini tidak akan dapat menjawab dirinya sendiri seutuhnya tanpa melihat kaitannya dengan gejala lainnya dalam satu sistem kebudayaan, dimana harus dilihat hubungannya dengan sistem kepercayaan dan unsur kebudayaan lainnya secara menyeluruh, maka pendekatan dalam pengumpulan data dilakukan secara "halistik" dan "sistemik".
Metode. Sesuai pendekatan tersebut maka metode yang digunakan bersifat kualitatif. Sehiugga yang dituju tersentral pada data yang sifatnya esensial dan substansial. Dan itu dalam pengumpulan data dilakukan lewat wawancara, diiringi observasi terlibat dengan frekuensi tinggi dan intensif, ditambah dengan photografi. Sementara informan terdiri dari para data 'dukun', pasien dan keluarganya, petugas pengobatan modern, orang tua-tua, pimpinan formal dan informal yang terdapat di Barus."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
D446
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yophie Septiady
"ABSTRACT
Jakarta is the Capital States which have much kind of societies. By seeing from the smallest unit of its society, therefore Jakarta is consisting of immeasurably community. One of them is waria community, which represents small scale of social whereby members could fulfill all their life or some through interdependence relation among them. All members or at least member of them, have tradition or attentions becoming their equality fastener element. They have norm, certainty, and regulation obeyed as a tying and also made guidance to ful fill requirement of its everyday.
Waria community has certain marked which differentiating with other communities in Jakarta. Waria represents men which have woman identities, where those identities emerge in interaction as confessed its existence by other people. They have different way in expressing each other identities. The difference of this expression made classifications form related to equality of marking among them. With in performance those classifications would emerge pursuant to each maturity of waria in running the role and express requirement of its soul.
As would we saw, the main problem of waria performance was causing of difficulty in determination of gender identity. In this matter they would have 2 conflicts i.e. psychological conflict and social conflict. Psychological conflict was related to adversative desire with the situation of its physical; while social conflict was related to eliminate them from life of ssociation and family and social opportunity to fulfill requirement of its life (in the field of employment).
Refer to Goffman (1986:14-5), among 2 existing stigma type i.e. one who is earn to be discreditable and the other one is who discredited. Waria is the one who "discredited stigma". The elimination of waria in social environment and economucs is because of their existence would debased and had made them worked as commercial sex worker for continuing their life. Therefore performance of waria represented product culture of waria as environment response which get stigma to have living and spiritual easiness,
which did not outfont the activity context of waria environment and community though
"market" in prostitution world.
Their performance would see as waria form by classifications based on woman attribute
to manipulation man 's body through impression management to identity in every
interaction. The attribute is to identify him/her self for showing their culture it self.
According to context and interaction target, their appearance would selectively conduct
by them self due to interaction with another community.
Comparison within dwelling area, performance in prostitution area would have more
important for waria sex worker: Prostitution area is as strength corefor their factual life
in represent interaction place to get money for utilize main requirement of 1%.
Interaction at prostitution area became important between waria and service user. They
would identity each other related to community and their culture. ln this congeniality,
waria performance at prostitution area present through separate regulation base on
cordidence and knowledge will use as a guidance for life within the classification system
i.e. their own self relevant to environmental with classification of him/her self as a
waria, waria service user, visitors and also prestige of waria from prostitution area.
Hereby, this original research would not been influence by other researcher who had
picked the same subject. Dramaturgi concepts from Erving Goffman (1959, 1986) was
influenced me in believing that dramaturgi theory as equality among the theater shows
with the various role of type where our conduct and everyday interaction. Regarding this
research, dramaturgi analysis would pay attention to problem of waria life in Jakarta
everyday as it in an interaction. This theory would be acquainted with 2 important
junctions in interaction (Goffman 1959: l7-30; Goffman 1959 in Poloma 2002 and Ritzer
& Goodman 2004), that is front region and back stage.
Parsundi Suparlan (2004a) is also influence me in seeing waria stigma as coherence or
equality stigma which sticky attached at some individuals. This would form the identity
group with their own identity and aim to strengthen or seeking exploration their identity
through to performance. Transaction, arrangement of categories, space domination
cooperation, emulation, and conflict among themselves are need to have to accommodate
the target market.
Approaching dissertation research of this is qualitative (Miles & Huberman I984;
Suparlan 1994) where as collecting data, observation and circumstantial interviewed
executing by participate. ln support of verify and current ethnography detail picture we
were collecting waria datas in Jakarta and taking pictures by handy cam or camera for
special activity at prostitution area, dwelling area, certain place where doing other
activities such as field events, mall, Public Square, dangdut shows etc. "
2006
D808
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanti Herlambang
"Disertasi ini mengetengahkan masalah dinamika kognitif dan pola-pola tingkah Iaku dalam kehidupan ekonomi orang-orang miskin pada tingkat individual berkenaan dengan usaha penanggulangan masalah kemiskinan di indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk memahami faktor-faktor di Iuar faktor ekonomi yang menyebabkan kegagalan orang-orang miskin tersebut dalam menanggapi dan memanfaatkan usaha pemerintah untuk meningkatkan atau memperbaiki kehidupan ekonomi mereka.
Dari pengamatan terhadap bermacam-macam usaha pemerintah dibantu pihak swasta untuk memperbaiki kehidupan ekonomi atau meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk miskin di indonesia, yang belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan, maka timbul pertanyaan, mengapa kelompok orang-orang miskin ini seakan-akan sulit untuk diajak bekerja sama memperbaiki nasibnya sendiri.
Dari tinjauan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai ekspresi kondisi kejiwaan manusia pelakunya, maka salah satu aspek yang menjadi perhatian dalam masalah kemiskinan adalah dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku orang-orang miskin tersebut dalam kehidupan ekonomi. Yang menjadi dasar pertimbangan adalah masalah kemiskinan tidak akan dapat diatasi bila orang-orang miskin tersebut hanya menjadi obyek yang pasif, sehingga malah menciptakan ketergantungan. Kemampuan dan kemauan kelompok masyarakat miskin ini untuk menjawab dan berperan serta dalam program-program penanggulangan kemiskinan perlu dikembangkan.
Banyak yang belum diketahui mengenai keanekaragaman dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku bermacam-macam kelompok masyarakat miskin di Indonesia dalam kehidupan ekonomi, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta dinamika terbentuknya.
Hal ini tetap tidak akan diketahui selama penelitian mengenai dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku berbagai kelompok masyarakat miskin dalam kehidupan ekonomi, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta dinamika terbentuknya tidak dikembangkan secara sistematik dan spesitik untuk masing-masing daerah dengan masing-masing kondisinya. Sebab hal ini berkaitan erat dengan pola-pola kehidupan dan kegiatan mereka sehari-hari yang merupakan perpaduan pengaruh sekelompok faktor-faktor ekologis, sistem pencarian nafkah, sistem sosial-budaya, sistem individual dan sistem inter-individual.
Studi semacam ini penting untuk dilakukan atau dikembangkan, agar dapat dikemas paket-paket strategi penanggulangan masalah kemiskinan yang sesuai untuk masing-masing daerah, karena seringkali kemampuan kelompok masyarakat ini untuk menjawab tantangan keadaan sangat terbatas serta memerlukan bantuan dengan strategi khusus.
Landasan teoritis yang digunakan dalam Studi ini adalah teori analisis kebudayaan subyektif dari Harry C. Triandis. Melalui teori ini peneliti bermaksud menjelaskan terbentuknya variasi-variasi ekspresi dari dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku dalam kehidupan ekonomi seorang individu dengan pendekatan sistem atau dalam istilah psikologis disebut pendekatan interaksionis. Dengan teori ini, perkembangan dan variasi-variasi dinamika kognitif dan pola-pola tingkah Iaku dalam kehidupan ekonomi sekelompok orang-orang miskin dianalisis dalam konteks iingkungan ekologis, sosial, budaya dan ekonomi yang mengelilingi sistem individual dari para subyek penelitian ini.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah menjelaskan dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku dalam kehidupan ekonomi orang-orang miskin dan memahami peranan faktor-faktor lain di luar faktor ekonomi yang dapat menyebabkan kegagalan orang-orang miskin ini memperoleh manfaat dari usaha-usaha pemerintah maupun masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi mereka.
Studi ini juga diharapkan melengkapi studi mengenai masalah kemiskinan yang umumnya Iebih bersifat ekonom,. karena memperlihatkan dimensi kemanusiaan lainnya dalam kacamata yang obyektif. Pertimbangan sosiai psikologis yang dipandang dari sudut ekonomi, merupakan faktor-faktor yang tidak rasional, tetapi mempunyai pengaruh penting dalam program penanggulangan masalah kemiskinan dan merupakan bantuan bagi ekonom.
Subyek dalam penelitian ini adalah orang-orang miskin Desa Parungsari, Kecamatan Telukjambe, Kabupaten Kerawang, Jawa Barat yang telah dua generasi atau Iebih hidup daiam kemiskinan, pria, kepala keluarga, suku Sunda, beragama Islam dan berusia antara 25 - 55 tahun.
Lingkup dan sifat studi ini adalah studi psikologis dan analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif yang seringkati juga disebut sebagai pendekatan humanistik, Karna dalam pendekatan ini, cara hidup, cara pandang atau ungkapan emosi dari subyek penelitian mengenai suatu gejala yang ada dalam kehidupan merka justru yang digunakan sebagai data.
Teknik pengumpulan yang digunakan adalah pengamatan terlibat, pengamatan, wawancara dengan pedoman, Studi kasus dan memanfaatkan data sekunder.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif. Pertama-tama jawaban-jawaban dan bukti-bukti yang diperoleh dari para subyek penelitian dan atau informan Serta hasil pengamatan peneliti diinterpretasikan dan dianalisis dengan mengacu pada konsep-konsep kebudayaan kemiskinan yang dikemukakan oleh Oscar Lewis, untuk melihat apakah orang-orang miskin di desa Parungsari ini telah mengembangkan kebudayaan kemiskinan. Kemudian analisis tahap kedua dilakukan dengan terlebih dahulu memilah-milah dan mengelompokkan jawaban-jawaban orang-orang miskin tersebut sesuai dengan tema-tema tingkah Iaku dalam kehidupan ekonomi, yakni tingkah Iaku dalam pemupukan modal, tingkah laku dalam peningkatan populasi, tingkah laku dalam pembagian kerja dan tingkah Iaku kewirausahaan.
Kemudian hasil pengelompokkan tersebut dianalisis dalam rangka menemukan dan menjelaskan dimensi-dimensi dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku mereka dalam kehidupan ekonomi pada tingkat individual.
Dari hasil Studi ini disimpulkan bahwa sebagai reaksi dari kemiskinan yang dideritanya selama dua generasi atau lebih, orang-orang miskin Desa Parungsari mengembangkan nilai-nilai, sikap-sikap dan pola tingkah laku yang menjadi ciri-ciri masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan.
Profil dari kebudayaan kemiskinan yang mereka perlihatkan pada tingkat individual adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan, rasa rendah diri, sikap fatalisme dan tingkat aspirasi yang rendah, ciri-ciri lain dari kebudayaan kemiskinan yang dijumpai pada orang-orang miskin Desa Parungsari adalah perasaan tidak berguna serta kuatnya orientasi pada masa kini. Hal ini selanjutnya mempengaruhi dan membentuk dinamika kognitif mereka, yakni seluruh organisasi psikologis di dalam diri mereka, yang tercermin dalam perhatian, keputusan-keputusan, perasaan-perasaan, penilaian-penilaian, pemecahan masalah dan banyak lagi aspek-aspek lalnnya. Dengan mempengaruhi kognisi dan dinamikanya, maka berarti kebudayaan kemiskinan yang dialami orang-orang miskin Desa Parungsari juga mempengaruhi kebudayaan subyektif mereka, karena kognisi juga meliputi kebudayaan subyektif serta banyak konsep-konsep Iainnya.
Pada tingkat keluarga, masyarakat Desa Parungsari tidak memiiiki sistem kekerabatan atau klan, yang ada hanya nilai-nilai persaudaraan dan kekeluargaan yang berfungsi sebagai perekat diantara saudara sekandung, saudara tiri, sanak saudara serta tetangga, yang dewasa ini sudah mulai berkurang, bentuk-bentuk solidaritas yang hanya diucapkan, tetapi jarang dilakukan dalam bentuk tindakan diantara kerabat, sebab seringkali terjadi perebutan harta warisan dan saling tipu diantara sesama saudara yang disebabkan oleh keterbatasan dan ketergantungan mereka pada harta warisan untuk mencapai suatu keberhasilan di bidang ekonomi.
Kesimpulan Iain yang diperoleh melalui penelitian ini adalah pandangan yang berpendapat, bahwa orang-orang miskin senantiasa hidup dalam kemiskinan, karena mereka adalah orang-orang yang sederhana, masa bodo, males dan tidak dapat dipercaya adalah tidak sepenuhnya benar. Mereka mungkin tidak pandai, tetapi bukan orang-orang yang masa bodo dan tidak mau meningkatkan pengetahuannya.
Sebagai konsekwensi dari kebudayaan kemiskinan yang membelenggunya, maka cara orang-orang Desa Parungsari memecahkan persoalan-persoalan hidupnya pada umumnya Iebih berdasarkan kebiasaan, sehingga tidak merupakan cara bertikir yang segar serta seringkali tidak dapat memberi pemecahan pada persoalan-persoalan yang baru. Hal ini walaupun berguna untuk penyesuaian dirinya dengan lingkungannya (ekologis, sosial, budaya dan psikologis), namun sering merintangi mereka menemukan dan menciptakan suatu cara pemecahan yang baru. Pada orang-orang miskin Desa Parungsari dijumpai, bahwa kebiasaan cenderung menggantikan peranan pengamatan, penyerapan pelajaran dari hal-hal yang baru, pemikiran yang benar dan baru, tanpa susah payah.
Pendapat-pendapat yang mereka kemukakan juga Iebih didorong oleh peniruan (imitasi). Tampaknya sebagian besar dari kesimpulan dan jawaban atas berbagai persoalan yang mereka hadapi dalam bidang-bidang kehidupan ekonomi, mereka hadapi dengan cara imitasi tersebut.
Secara khas, pada orang-orang miskin Desa Parungsari, tingkah laku untuk mengatasi kesulitan ekonomi Iebih ditentukan oleh faktor penentu ekstemal (adanya contoh-contoh dan bantuan dari orang Iain). Umumnya tingkah laku mereka dalam kehidupan ekonomi merupakan reaksi atas suatu keadaan yang memaksa, suatu persoalan atau kebutuhan yang harus diatasi atau dipenuhi melalui perubahan tingkah laku dalam kehidupan ekonomi.
Dalam menghadapi masa depan, pikiran dan pendapat mereka Iebih berpusat pada tujuan yang ingin dicapainya daripada cara-cara untuk mencapai nya.
Walaupun orang-orang miskin ini tidak memiliki perasaan mampu atau dapat mengandalkan diri sendiri, keyakinan diri, rasa percaya diri sendiri, rasa keberhasilan, rasa mampu, rasa patut dihormati serta prestise, namun untunglah mereka belum kehilangan semangat juangnya dan menjadi apatis. Pada generasi yang Iebih tua (>35 tahun) memang mengalami rubrikasi dalam berfikir, yang antara Iain tampak dari sulitnya mereka menyerap hal-hal baru atau memberi bentuk baru, sehingga persoalan baru diletakan dalam pola yang sudah dikenal dan bukan sebagai hal baru. Mereka membutuhkan jawaban yang siap pakai untuk pemecahan masalahnya.
Dalam kasus kemiskinan di Desa Parungsari, faktor manusia (kemampuan kognisi dan pola-pola tingkah laku orang-orang miskin ini dalam kehidupan ekonomi) memegang peranan penting, sehingga mereka tidak mampu mengambil manfaat dari usaha-usaha pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan meialui program Inpres Desa Tertinggal dan pelatihan keterampilan kerja yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja. Mereka juga tidak mampu memetik keuntungan dari perkembangan daerah-daerah industri di sekitar desanya Dari hasil studi ini, maka untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi orang-orang miskin Desa Parungsari disarankan:
(1) Strategi untuk menolong mereka harus merupakan perpaduan antara pendekatan yang bersifat pertanian dan non pertanian, dan dengan memanfaatkan interaksi desa-kota, yakni perkembangan daerah industri yang ada di Kabupaten Kerawang dan Bekasi;
(2) Kehidupan mereka hanya dapat ditingkatkan, bila keterampilan dan pendidikan mereka juga ditingkatkan. Hal ini merupakan syarat yang tidak dapat ditawar bila mereka diharapkan dapat turut memetik manfaat dari perkembangan wilayahnya yang sebagian telah berubah menjadi kawasan industri modern. Hal ini juga untuk membendung masuknya pendatang dari daerah Iain yang Iebih maju, yang ingin memanfaatkan perkembangan industri di Kabupaten Kerawang dan Bekasi, sedangkan para penduduk aslinya terdesak;
(3) Untuk jangka panjang, pendidikan juga memiliki nilai ekonomi yang menentukan bagi warga Desa Parungsari ; Oleh karena itu, dalam konteks Desa Parungsari, kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi anak-anak dan remajanya harus diupayakan, sehingga memperluas akses mereka ke Iapangan kerja;
(4) Menggunakan pendekatan atau strategi yang berorientasi pada supply dan demand, sebab orang-orang miskin ini tetap diragukan akan mampu untuk bersaing dengan individu-individu Iain;
(5) Pertama-tama harus diteliti dan didata terlebih dahulu sampai sejauhmana orang-orang miskin Desa Parungsari yang umumnya memperoleh nafkah dari sektor pertanian dan sektor-sektor informal tersebut dapat dialihkan dan diserap dalam kegiatan di luar pertanian serta berapa jumlahnya yang dapat dipekerjakan sebagai tenaga produktif di luar sektor pertanian. Sebab tanah pertanian yang tersedia sudah makin berkurang, sehingga kelompok penganggur dan penganggur terselubung bertambah;
(6) Langkah berikutnya adalah menumbuhkan hasrat dari orang-orang miskin tersebut untuk memperoleh perbaikan di bidang ekonomi atau kemajuan tingkat kesejahteraan hidup dengan mengembangkan ketabahan dan kesediaan untuk menerima segala konsekwensi dari hasrat untuk maju tersebut;
(7) Kemampuan produktif dan kelenturan orang-orang miskin Desa Parungsari untuk menghadapi perubahan ekonomi dan peristiwa-peristiwa sosial yang cepat juga harus dikembangkan pada semua tingkat usia dan pendidikan, dan diantara semua kelompok bila ingin meningkatkan daya saing mereka;
(8) Penanganan yang dilakukan hendaknya terpadu dengan memanfaatkan perkembangan daerah industri yang ada di dekat Desa Parungsari, bersifat multi-level, yakni meliputi penanganan kepala keluarga, istri dan anak-anak mereka serta dengan memanfaatkan multi-media. Pendekatan yang dilakukan harus bersifat komprehensif dan dalam pelaksanaannya berperan saling melengkapi;
(9) Harus diupayakan secara intensif untuk menyediakan pendidikan dasar secara umum. Sekurang-kurangnya kemampuan membaca dan berhitung adalah suatu pra-kondisi untuk menjadi orang-orang yang produktif dan adaptif, yang dapat mereka gunakan untuk membantu penyesuaian dirinya terhadap perubahan-perubahan di Iuar desanya;
(10) Meningkatkan pendidikan menjadi Iebih penting lagi, terutama untuk memutus belenggu dan mencegah kebudayaan kemiskinan diturunkan ke generasi-generasi berikutnya;
(11) Dalam upaya meningkatkan kehidupan ekonomi mereka ke tingkat yang Iebih baik dari keadaannya sekarang, maka perlu juga dikembangkan sifat mobilitas dari orang-orang miskin ini, baik secara vertikal maupun horisontal."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library