Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachrul Razy
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T58812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Indra Pertiwi
"Latar Belakang. Jumlah penyandang diabetes melitus terus meningkat sementara kendali glikemik masih sulit tercapai. Edukasi perlu berkelanjutan untuk mencapai kendali glikemik yang baik, sayangnya terdapat kendala waktu yang terbatas. Aplikasi telepon seluler merupakan sarana pemberian edukasi berkelanjutan dan berperan pada kendali glikemik tetapi manfaatnya di Indonesia belum diketahui. Tujuan. Mengetahui manfaat edukasi berbasis aplikasi telepon seluler dalam pengendalian glikemik penyandang DM tipe 2 dengan terapi insulin dosis multipel harian. Metode. Desain uji acak tersamar. Total 29 subjek pada kelompok intervensi (aplikasi DM educorner + edukasi standar) dan 31 subjek pada kelompok edukasi standar yang memenuhi kriteria inklusi yaitu DM tipe 2 berusia 30-60 tahun dengan insulin dosis multipel harian, memiliki A1C ≥ 7%, dan dapat menggunakan telepon pintar. Dilakukan pemeriksaan A1C saat awal dan setelah intervensi 3 bulan. Uji Wilcoxon digunakan untuk menganalisis perbedaan perubahan A1C setelah intervensi di kelompok edukasi dan aplikasi. Perbedaan perubahan A1C antar kelompok dianalisis dengan uji Mann Whitney. Perbedaan proporsi penurunan A1C ≥ 1% menggunakan uji kai kuadrat. Hasil. Perubahan A1C signifikan pada kelompok intervensi (edukasi + aplikasi) pasca 3 bulan evaluasi yaitu dari 9,5 (7,8-13)% menjadi 8,3 (5,8-10,5)%, p < 0,001. Tidak terdapat perbedaan perubahan signifikan A1C antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, p = 0,103. Proporsi penurunan A1C ≥ 1% tidak berbeda bermakna antar kelompok, p = 0,427. Kesimpulan. Terdapat perbedaan nilai A1C penyandang DM tipe 2 dengan terapi insulin dosis multipel harian sebelum dan setelah pemberian edukasi dan aplikasi. Tidak terdapat perbedaan penurunan A1C maupun proporsi penurunan A1C ≥ 1% penyandang DM tipe 2 dengan terapi insulin dosis multipel harian antara kelompok yang mendapatkan edukasi secara tatap muka dan aplikasi dengan kelompok yang hanya mendapatkan edukasi secara tatap muka.

Background. The number of people with diabetes mellitus increases while glycemic control is still difficult to achieve. Education needs to be given continuously to achieve good glycemic control, unfortunately there are time limited. The mobile phone application provides continuous education and plays a role in glycemic control but its benefits in Indonesia are still unknown. Objective. To know the benefit of mobile phone application-based education on glycemic control for people with type 2 diabetes on multiple daily dose insulin Methods. Randomized controlled trial. 29 subjects on the intervention group (education + smartphone application) and 31 subjects on the control group (education) who fulfill the inclusion criterias: type 2 diabetes, age 30-60 years old, using multiple daily dose insulin, A1C ≥ 7%, and operating smartphone. A1C was measured at the beginning and 3 months after intervention. Wilcoxon test was performed to analyze the difference of A1C before and after 3 months after intervention. Mann Whitney test was performed to analyze the difference change of A1C between groups. Chi square was performed to analyze the difference of proportion A1C ≥ 1% decrease between groups. Results. A1C change significantly in the intervention group after 3 months evaluation from 9,5 (7,8-13)% to 8,3 (5,8-10,5)%, p < 0,001. A1C change between groups is no difference, p = 0,103. There is no differemce of proportion A1C ≥ 1% decrease between groups, p = 0,427. Conclusion. There was a difference in A1C value of people with type 2 diabetes with multiple daily dose insulin therapy before and after the provision of education and application. There is no difference in A1C reduction and the proportion of A1C reduction ≥ 1% of people with type 2 diabetes mellitus with multiple daily dose insulin therapy between intervention (education + application) group and control (education only) group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismeila Murtie Rahenod
"Penyakit jantung koroner (PJK) telah menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Selain mengakibatkan kematian, penyakit ini juga mempunyai dampak sosial dan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha pennggulangan yang dapat dimassyarakatkn. Oislipidemia merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya PJK. Latihan fisik aerobik yang teratur dengan intensitas sedang akan mempengaruhi metabolisme lipoprotein, sehingga dapat diharapkan mengurangi risiko terjadinya PJK. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh latihan fisik aerobik yang teratur dengan intensitas sedang pada profil lipid dan juga faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap PJK. Selain itu juga diteliti adanya korelasi antara perubahan berat badan dan perubahan gambaran lipid plasma. Penelitian dilakukan terhadap 30 orang laki-laki anggauta Klub Aerobik PKO dr Sadoso Krida Loka Senayan Jakarta yang berumur 40-60 tahun. Pada awal penelitian diberikan kuesioner, sedangkan pemeriksaan fisik dan pengambilan darah dilakukan pada awal penelitian dan setelah latihan selama 12 minggu. Terhadap darah dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol HOL dan kolesterol LOL. Gambaran awal rata-rata profil lipid tidak lebih baik dari keadaan populasi pada umumnya. Setelah latihan fisik yang teratur selam 12 minggu. 3 kali dalam 1 minggu selama 1 jam, didapatkan penurunan kadar kolesterol total dari 234 , 77 mg/dl menjadi 236,11 mg / dl (3,11 %). trigliserida dari 163,67 mg/dl menjadi 160,10 mg/dl (2,18 %), kolesterol LOL dari 183 . 70 mg/dl menjadi 166.73 mg/dl (9,24 %). Sedangkan kolesterol HOL menunjukkan peningkatan dari 44,47 mg/dl menjadi 49 , 60 mg/dl (11 . 34 %). Keadan 1n1 mengakibatkan penurunan yang bermakna dar i rasio kolesterol total/kolesterol HOL dari 5,55 menjadi 4,82 (13.1 %) dan rasio kolesterol LOL/kolesterol HDL dari 4,18 menjadi 3,42 (11.8 %). Mengingat kadar kolesterol LOL. rasio kolesterol total/kolesterol HDL dan rasio kolesterol LDL/kolesterol HDL merupkan prediktor yang berbanding lurus dengan risiko kejadian PJK, serta kadar kolesterol HOL merupakan prediktor yang berbnding terbalik dengan risiko kejadin PJK, dapat diharapkan bahwa latihan ini telah dapat menurunkan risiko PJK. Pada penelitian ini juga tampak bahwa perubahan gambaran lipid plasma lebih merupakan akibat latihan ae robik yang teratur dari pada perubahan berat badan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gratcia Ayundini
"

Latar Belakang. Akumulasi lemak yang berlebihan dalam tubuh dapat menyebabkan berbagai penyakit metabolik termasuk Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2). Lipid Accumulation Product (LAP) merupakan rumus yang dikembangkan untuk mengestimasi lemak ektopik dalam tubuh pada populasi Kaukasia dan memiliki nilai prediksi yang baik terhadap kejadian kardiovaskular maupun DMT2.

 

Tujuan. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui apakah LAP dapat digunakan sebagai prediktor DMT2 pada populasi Indonesia serta apakah LAP merupakan prediktor DMT2 yang lebih baik daripada indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut (LP).

 

Metode. Penelitian ini merupakan studi kohor retrospektif menggunakan data sekunder dari Studi Kohor Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular Litbangkes di Bogor dalam kurun waktu 2011-2016. Subyek dengan usia 25-65 tahun yang belum terdiagnosis DMT2 di awal penelitian diobservasi selama 5 tahun untuk dievaluasi kejadian DMT2 baru pada akhir masa observasi. Uji hipotesis yang dilakukan adalah uji multivariat cox regression. Analisis dipisah berdasarkan gender.

                                                                                   

Hasil. Subyek yang terinklusi penelitian sebesar 2907 orang (748 laki-laki dan 2159 perempuan). Sebanyak 131 kejadian DMT2 baru tercatat selama masa observasi. Analisis multivariat pada subyek perempuan menunjukkan nilai LAP kuartil 4 merupakan prediktor independen terhadap kejadian DMT2 (RR 3,19 (KI 95% 1,63 – 6,26); p<0,01). LAP kuartil 4 juga merupakan prediktor kejadian DMT2 yang lebih baik apabila dibandingkan dengan IMT dan LP pada perempuan.

 

Kesimpulan. LAP dapat digunakan sebagai prediktor terhadap kejadian DMT2 baru pada perempuan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan IMT dan LP.


Background. Excess lipid accumulation may results in metabolic diseases, one of which is type 2 diabetes mellitus (T2DM). Lipid Accumulation Product (LAP) is an index developed in Caucasian population to estimate ectopic lipid accumulation and has high predictive value in estimating cardiovascular diseases and T2DM incidence

                                             

Objective. This study aims to evaluate LAP as a predictor of T2DM in Indonesian population and whether its predictive value superior to body mass index (BMI) and waist circumference (WC).

 

Methods. This is a retrospective cohort using secondary data from Cohort Study of Non Communicable Disease in Bogor City 2011-2016. Subjects aged 25-65 years old who did not meet criteria of T2DM in the beginning of the study were observed for five years to evaluate T2DM incidence in the end of observation period. Multivariate cox regression is used for hypothesis test. The analysis was separated between gender.

 

Result. 2907 subjects were included in this study (748 males and 2159 females). A total 131 new cases of T2DM were observed during the observation period. Multivariate analysis in female showed that fourth quartile of LAP value is an independent predictor of DMT2 incidence (RR 3,19 (CI 95% 1,63 – 6,26); p<0,01). It is also a better predictor of T2DM compared to BMI and WC.

 

Conclusion. LAP may be used as a predictor of DMT2 in female compared to BMI and WC.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Silma Kaaffah
"Penelitian terkait evaluasi perilaku berobat penderita diabetes melitus (DM) tipe 2 terhadap penurunan parameter glikemik di Indonesia dengan big data skala nasional masih sangat terbatas. Tujuan penelitia mengevaluasi perilaku berobat penderita DM tipe 2 terhadap penurunan parameter glikemik ( kadar gula darah puasa (GDP) dan gula darah 2 jam pasca pembebanan (GDPP)). Metode penelitian kohor retrospektif menggunakan subset data sekunder Studi Kohor Bogor dengan membandingkan proporsi kelompok perilaku berobat dan kelompok perilaku tidak berobat terhadap penurunan parameter glikemik. Pengambilan subset data bulan Agustus 2019, didapatkan sampel responden dengan pemantauan 4 tahun, kelompok berobat 62 dan kelompok tidak berobat 105 responden.
Hasil penelitian, proporsi penurunan parameter glikemik  kelompok berobat lebih besar (GDP 80,6% dan GD2PP 90,3%) dibandingkan kelompok tidak berobat (GDP 42,0% dan GD2PP 67,3%). Terdapat perbedaan signifikan penurunan kadar GDP dan GDPP kelompok berobat dan tidak berobat (nilai p <0,05). Perilaku berobat meningkatkan kejadian penurunan kadar GDP selama 4 tahun sebesar 3,304 kali dibandingkan perilaku tidak berobat, setelah dikontrol oleh variabel penurunan kadar LDL dan penggunaan obat tablet. Perilaku berobat meningkatkan kejadian penurunan kadar GDPP selama 4 tahun sebesar 3,064 kali dibandingkan perilaku tidak berobat, setelah dikontrol oleh variabel penggunaan obat tablet, penurunan kadar LDL dan aktifitas fisik yang cukup.

Research related to the evaluation of the treatment behavior of people with diabetes mellitus (DM) type 2 on the decrease in glycemic parameters in Indonesia with a national big data scale is still very limited. The purpose of this study is to evaluate the treatment behavior of patients with type 2 diabetes against glycemic parameters (fasting plasma glucose  (FPG) and post prandial glucose (PPG)). The retrospective cohort study method uses a secondary data subset of the Bogor Cohort Study by comparing the proportions of the treatment behavior group and the non-treatment behavior group to decrease glycemic parameters. Taking a subset of data in August 2019, obtained a sample of respondents with 4 years of monitoring, 62 treatment groups and 105 respondent non-treatment groups.
The results of the study, the proportion of the decrease in glycemic parameters of the treatment group was greater (FPG 80.6% and PPG 90.3%) compared to the group without treatment (FPG 42.0% and PPG 67.3%). There was a significant difference in the decrease in levels of FPG and PPG in the treatment and non-treatment groups (p value <0.05). Behavior of treatment increases the incidence of decreasing levels of GDP for 4 years by 3,304 times compared to non-treatment behavior, after being controlled by the variable decrease in LDL levels and the use of tablet drugs. Behavior of treatment increases the incidence of decreasing levels of GDPP for 4 years by 3.064 times compared to the behavior of no treatment, after being controlled by the variable drug use of tablets, decreased levels of LDL and sufficient physical activity.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T54834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Nusrianto
"ABSTRAK
Penelitian yang ada memperlihatkan bahwa lemak visceral memiliki peran yang lebih penting dibandingkan lemak subkutan dalam patogenesis resistensi insulin dan Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2). Visceral Adiposity Index (VAI) merupakan rumus yang dikembangkan untuk mengestimasi akumulasi lemak visceral pada populasi Kaukasia dan memiliki nilai prediksi yang baik terhadap kejadian DMT2.

Tujuan. Untuk mengetahui apakah VAI dapat digunakan sebagai prediktor DMT2 pada populasi Indonesia.

Metode. Penelitian ini merupakan studi Kohort retrospektif, menggunakan data sekunder dari Studi Kohort PTM Litbangkes di Bogor tahun 2011-2016. Subyek dengan usia 25-65 tahun yang tidak menderita DMT2 di awal penelitian diobservasi. Insiden DMT2 baru dicatat, Uji Hipotesis yang dilakukan adalah uji cox regression multivariat. Analisis statistik dipisah berdasarkan gender.

Hasil. Subyek yang terinklusi penelitian 2852 orang (834 pria dan 2018 wanita). Didapatkan 149 kejadian DMT2 baru dalam observasi. Analisis multivariat VAI kuartil 4 merupakan prediktor independen terhadap kejadian DMT2 (HRadj Pria : 3,592 (1,34-9,6; p 0,001); Wanita: 2,95 (1,24-5,69; p 0,008)) dengan Attributable risk laki-laki AR: 74/1000; AR%: 75% dan  perempuan AR: 65/1000; AR%: 72%.

Kesimpulan. Visceral Adiposity Index (VAI) merupakan prediktor independen terhadap kejadian DMT2 pada populasi di Indonesia.


ABSTRACT
It has been reported that visceral fat plays a relatively more significant part in the progression to type 2 diabetes (T2DM) than subcutaneous fat. Visceral Adiposity Index (VAI) is an equation model developed in Caucasian to estimate visceral fat accumulation, and has been reported to better predict the development of T2DM.

Objective. To assessed whether VAI can be used as a predictor of T2DM in Indonesian population.

Method. We analysed a secondary data from the Bogor Non-communicable Diseases Cohort Study 2011-2016 which involved participants aged 25-65 years old without T2DM at baseline. Newly occurred diabetes were observed. DMT2 is define as having fasting plasma glucose ≥126 mg/dL, and or 2 hours post prandial blood glucose ≥ 200 mg/dL, or was diagnosed as DMT2 by a healthcare professionals. The role of VAI as the predictor for T2DM was analysed using Multivariate Cox regression.

Result.  We observed 2852 subjects (834 male and 2018 female). A total number of new DMT2 case were 149. Multivariate analysis shown that 4th quartile of VAI were independent predictor to DMT2 incidence (HRadj Male: 3,592 (1,34-9,6; p 0,001); Female: 2,95 (1,24-5,69; p 0,008)) with attributable risk within male population AR: 74/1000; AR%: 75% and female  AR: 65/1000; AR%: 72% respectively.

Conclusion. VAI is an independent predictor for T2DM in Indonesian population."

2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustika Dian Permana
"Latar Belakang. Hanya sepertiga pasien DM tipe 2 yang mencapai target HbA1c yang diharapkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa health coaching terbukti mampu menurunkan kadar HbA1c secara bermakna, namun belum banyak diketahui pengaruh health coaching dalam jangka panjang setelah coaching dihentikan.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh edukasi dan health coaching dalam perbaikan kendali glikemik jangka panjang pada pasien DM tipe 2 rawat jalan di pusat kesehatan nasional tersier.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional lanjutan dari 6 bulan RCT yang dilaksanakan di dua pusat kesehatan nasional tersier untuk membandingkan kombinasi edukasi dan health coaching dengan edukasi saja
pada pasien DM tipe 2 dengan diabetes yang tidak terkontrol. Subjek penelitian diikuti pada bulan ke-6 dan ke-18 dari RCT awal. Keluaran primer adalah beda rerata HbA1c antar kedua kelompok, dan keluaran sekunder adalah beda proporsi subjek yang mengalami penurunan HbA1c ≥1% dari baseline dan beda proporsi subjek yang mencapai target HbA1c <7%. Analisis data menggunakan uji-T independen dan uji Chi-square.
Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 42 dari 60 subjek (70%) yang mengikuti penelitian hingga bulan ke-18. Tidak ada perbedaan yang bermakna rerata HbA1c antara kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (8,70
[±2,00] vs 9,02 [±1,71], p=0,334); dengan rerata HbA1c yang meningkat secara bermakna jika dibandingkan dengan rerata HbA1c bulan ke-6 (8,70 [±2,00] vs 7,83 [±1,80], p=0,016). Keluaran sekunder didapatkan perbedaan yang bermakna
proporsi subjek yang mengalami penurunan kadar HbA1c ≥1% antara kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (41,4% [n=12] vs 10,3% [n=3], p=0,015); serta tidak ada perbedaan yang bermakna proporsi subjek yang mencapai target HbA1c <7% (13,8% [n=4] vs 6,9% [n=2], p=0,670).
Kesimpulan. Health coaching tidak mampu mempertahankan perbaikan kendali glikemik pada pasien DM tipe 2 untuk jangka panjang jika coaching dihentikan, diperlukan pemberian coaching ulang agar perbaikan kendali glikemik dapat menetap.

Background. Only one-third of type 2 DM patients achieved the expected HbA1c
target. Several studies have shown that health coaching has been shown to be able
to significantly reduce HbA1c levels, but it is not widely known the effects of
long-term health coaching after coaching is stopped.
Aim. This study was to determine the effect of education and health coaching in
improving long-term glycemic control in outpatients with type 2 diabetes at a
tertiary national health center.
Method. This study is a follow-up observational study of 6 months RCT
conducted in two tertiary national health centers to compare the combination of
education and health coaching with education alone in type 2 diabetes mellitus
patients with uncontrolled diabetes. Study subjects were followed at 6 and 18
months of baseline RCT. The primary outcome was the difference in the mean
HbA1c between the two groups, and the secondary outcome was the difference in
the proportion of subjects who experienced a decrease in HbA1c ≥1% from
baseline and the difference in the proportion of subjects who achieved the HbA1c
target <7%. Data analysis used independent T-test and Chi-square test.
Result. This study managed to collect 42 out of 60 subjects (70%) who attended
the study until the 18th month. There was no significant difference in the mean
HbA1c between the intervention group and the control group (8.70 [± 2.00] vs
9.02 [± 1.71], p = 0.334); with the mean HbA1c which increased significantly
when compared with the mean HbA1c at 6 months (8.70 [± 2.00] vs 7.83 [± 1.80],
p = 0.016). Secondary outcomes showed a significant difference in the proportion
of subjects who experienced a decrease in HbA1c levels ≥1% between the
intervention group and the control group (41.4% [n = 12] vs 10.3% [n = 3], p =
0.015); and there was no significant difference in the proportion of subjects who achieved the HbA1c target <7% (13.8% [n = 4] vs 6.9% [n = 2], p = 0.670).
Conclusion. Health coaching is unable to maintain improved glycemic control in type 2 DM patients for the long term when coaching is stopped, re-coaching is needed so that improved glycemic control can persist.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Sinthya Langow
"ABSTRAK
Latar Belakang: Obesitas merupakan faktor risiko utama osteoartritis (OA). Penelitian terdahulu mendapatkan bahwa faktor mekanik saja tidak cukup untuk menjelaskan hubungan kejadian OA dengan obesitas. Leptin diduga berperan dalam proses destruksi kartilago pada OA. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat adakah korelasi antara leptin serum dengan COMP dan dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada penderita OA yang berobat di poliklinik Reumatologi RSCM dalam periode Juni-Juli 2014. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling. Diagnosis OA lutut berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1896. Dilakukan pemeriksaan leptin dan COMP serum dengan metode ELISA. Pemeriksaan radiologi kedua lutut dilakukan dengan posisi antero-posterior pada pasien yang berdiri tegak. Kemudian dilakukan pengukuran lebar celah sendi tibiofemoral medial oleh ahli radiologi, Analisa statistik bivariat digunakan mendapatkan korelasi antara leptin dengan COMP dan dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial.
Hasil: Sebanyak 51 subjek memenuhi kriteria inklusi penelitian, 45 orang (88,2%) adalah wanita. Rerata kadar leptin didapatkan 38119,45 ± 21076,09 pg/ml. Nilai median COMP adalah 805,3(144,1-2241)ng/ml dan rerata lebar celah sendi tibiofemoral medial 3,73 ± 1,58 mm. Pada analisa bivariat tidak ditemukan korelasi antara leptin dan COMP ( r = 0,043, p= 0,764) dan juga antara leptin dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial( r = -0,135, p = 0,345). Pada subjek dengan lama sakit > 24 bulan didapatkan korelasi negatif kuat antara leptin dengan lebar celah sendi tibio femoral medial ( r = 0,614, p = 0,015).
Simpulan: Tidak didapatkan korelasi antara leptin dan COMP pada penelitian ini. Penelitian ini juga tidak mendapatkan korelasi antara leptin dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial pada pasien OA lutut dengan obesitas.

ABSTRACT
Background: Obesity is a well-recognized risk factor for osteoarthritis. However, the relationship between obesity and OA may not simply due to mechanical factor. Increasing evidence support the role of leptin in OA cartilage destruction. The objective of this study was to examine the possible correlation between leptin serum with COMP and medial joint space width in knee OA with obesity. Methods: This study was a cross sectional study in OA patients visiting Rheumatology outpatient clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital between June- July 2014. Samples were collected using consecutive sampling method. Knee OA was diagnosed from clinical and radiologic evaluation based on American College of Rheumatology 1986 criteria. Serum was collected from 51 knee OA patients, serum leptin and COMP were measured by ELISA. Antero-posterior radiographs of the knee have been taken in weight bearing position, and then the radiologist measured the minimum medial joint space width. The correlation between leptin and same variables, such as COMP and tibiofemoral medial minimum joint space width were analized by bivariate analysis.
Results: Fifty one subjects met the inclusion criteria, with 45 (88,2%) are women. Mean of Leptin was 38119,45 (SD 21076,09). Median of COMP was 805,3(144,1-2241) and mean of minimum joint space width was 3,73 (SD1,58) mm. In bivariate analysis we found no correlation between leptin and COMP ( r = 0,043, p= 0,764) and also between leptin and medial joint space width ( r = - 0,135, p = 0,345).Cluster analysis for the subject with disease onset >24 month showed strong negative correlation between leptin and tibiofemoral medial minimum joint space width (r = 0,614, p = 0,015).
Conclusion: There was no correlation between leptin and COMP in this study. This study also showed that there was no correlation between leptin and medial tibiofemoral joint space width in knee OA with obesity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susie Setyowati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit Graves merupakan penyebab terbanyak hipertiroidisme. Remodeling pada hipertiroidisme dilaporkan meningkat terutama resorpsi tulang. Peningkatan turnover tulang terus menerus bertanggung jawab terhadap percepatan keropos tulang. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat korelasi antara status tiroid dengan kadar ALP, OC sebagai penanda formasi tulang dan CTx sebagai penanda resorpsi tulang.
Metode: Metode yang digunakan adalah potong lintang dengan consecutive sampling pada wanita penyakit Graves usia reproduktif di Poliklinik Metabolik Endokrin RSCM pada periode Juli–September 2014. Analisis statistik dilakukan dengan Mann Whitney, korelasi Spearman dan analisis ROC.
Hasil: Pada 68 subyek penelitian, didapatkan 28 (41.2%) eutiroid, 23 (33.8%) hipertiroid subklinis dan 17 (25%) hipertiroid. Terdapat perbedaan median kadar penanda remodeling tulang antara kelompok eutiroid dan kelompok belum eutiroid (hipertiroid subklinis/hipertiroid) yaitu ALP (71 U/L [40-165] vs 91.5 U/L [39-256]), OC (19.48 ng/mL [10.95-92.70] vs 32.46 ng/mL [13.31-137.0]), dan CTx (0.36 ng/mL [0.11-1.24] vs 0.613 [0.11-1.93]).
Pada uji Spearman didapatkan tidak ada korelasi yang bermakna antara FT4 dengan ALP (r=0.106 p=0.389); terdapat korelasi positif yang bermakna FT4 dengan OC dan CTx (r=0.289 p=0.017 dan r=0.265 p=0.029); terdapat korelasi negatif yang bermakna antara TSH dengan ketiga penanda tulang yaitu ALP (r=- 0.240 p=0.049), OC (r=-0.450 p=<0.001) dan CTx (r=-0.420 p<0.001). Sensitivitas dan spesifisitas diskriminasi TSH dengan kadar serum CTx adalah baik dengan nilai 70.72% dan 70.96% dan titik potong TSH yang didapatkan adalah 0.015 μIU/mL.
Simpulan: Median ALP, OC dan CTx pada kelompok belum eutiroid lebih tinggi daripada kelompok eutiroid. Terdapat korelasi positif yang bermakna antara FT4 dengan OC dan CTx. Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara TSH dengan ALP, OC dan CTx. Titik potong TSH 0.015μIU/mL merupakan penanda yang sensitif dan spesifik untuk kadar serum CTx.

ABSTRACT
Background: Grave's disease (GD) is one of the main causes of hyperthyroidism. Bone remodelling has been reported to increase in hyperthyroidisme, especially bone resorption. Continuous increase in bone remodelling has been held responsible for accelerated bone loss. The aim of this study is to find correlation between thyroid status and serum ALP and OC levels as bone formation marker as well as serum CTx as bone resorption marker.
Methods: This is a cross-sectional study involving reproductive-age women with GD who attended endocrine metabolic outpatient clinic Cipto Mangunkusumo General Hospital from July to September 2014. Sampling was conducted by mean of consecutive sampling. Statistical analysis was performed using Mann-Whitney, Spearman correlation and ROC analysis.
Results: From 68 subjects, 28 (41.2%) were euthyroidism, 23 (33.8%) were subclinical hyperthyroidism and 17 (25%) were hyperthyroidism. We found the difference in median concentration of bone markers between euthyroidism group and non euthyroidism group (subclinical hyperthyroidism/hyperthyroidism) i.e. ALP (71 U/L [40-165] vs 91.5 U/L [39-256]), OC (19.48 ng/mL [10.95-92.70] vs 32.46 ng/mL [13.31-137.0]), and CTx (0.36 ng/mL [0.11-1.24] vs 0.613 [0.11- 1.93]). Spearman test used to find correlation between FT4 and bone markers showed no significant correlation between FT4 and ALP (r=0.106, p=0.389). Nevertheless, FT4 was significantly correlated with OC and CTx in a positive manner (r=0.017 and r=0.265, p=0.029). Correlation between TSH and bone markers was found to be significantly negative (ALP [r=-0.240, p=0.049], OC [r=-0.450, p=<0.001] and CTx [r=-0.420, p=<0.001]). Sensitivity and specificity of TSH discrimination with serum concentration of CTx was 70.72% and 70.96% respectively with obtained cut off for TSH was 0.015 μIU/mL.
Conclusion: Median value of the three bone markers are higher in non euthyroidism group compared to that of euthyroid group. The correlation between FT4 and OC or CTx is positive and significant. Cut-off point of 0.015 μIU/mL for TSH is a sensitive and specific marker for serum concentration of CTx."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>